Ponsel yang menempel di telinganya, terlepas begitu saja. Ponsel tersebut jatuh di lantai. Ardi memungut ponsel itu kembali. Di lihatnya, ponsel itu masih menyala, walaupun terjatuh namun ponsel itu masih aktif dan panggilan masih tersambung. Ia meletakkan ponsel tersebut ketelinganya.
"Kamu tadi ngomong apa?" ia masih ingin meyakinkan apa yang didengarnya
"Acara lamaran Arum," jawab gadis di seberang sana.
"Kamu dilamar?" ucapnya lagi meyakinkan apa yang sedang didengarnya.
"Iya Di," jawab gadis tersebut dengan nada yang begitu bahagia.
"Sama siapa?" tanyanya lagi. Kakinya sudah terasa lemas, ia kemudian duduk di tepi tempat tidur.
“Mas Habibi,” jawab Arumi bersemangat.
Tubuh Ardi lemas seketika, ingin rasanya dia melempar hp yang dipegangnya. Ia tidak menyangka kalau Habibi akan melamar Arum lebih cepat.
"Di kamu masih dengar aku kan?" tanya sahabatnya itu.
"Iya masih," jawabnya.
"Besok kamu datang ya," pinta gadis itu.
Ya allah Ardi mengusap wajahnya dengan kasar, bagaimana bisa Arum begitu santai memberitahunya, apakah gadis itu tidak pernah tahu kalau dia sangat mencintai Arum. Hembusan napas Ardi terdengar sangat kuat. Bagaimana mungkin dia bisa datang ke acara tersebut, yang ada mungkin dia bisa pingsan. Gadis yang dicintainya selama ini harus menerima cincin dari pemberian laki-laki lain.
"Datangkan besok?" desak sahabatnya itu.
"Insya Allah," jawabnya kemudian.
"Ya udah Arum mau ngasih tahu bang Ari, bang Doni, dan kak Sarah dulu ya."
"Iya selamat ya, " uacap pria tersebut. Ardi sudah tidak memiliki kata-kata apa lagi saat ini.
"Makasih ya Di," ucap Arum.
"Assalamu'alaikum," kata Arumi.
"Wa'alaikum salam," ucap Ardi sambil mematikan ponselnya.
Ardi menutup panggilan telepon tersebut, ia melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur. Rasanya perjuangannya sudah tidak akan bisa dilanjutkan lagi. Apakah Arum tidak pernah tahu dengan perasaannya? Ia sudah berencana kalau dia sudah selesai kuliah maka ia baru akan mengatakan cintanya dan sekaligus untuk melamar. Mengapa ia terlalu yakin bahwa Arum adalah jodohnya. Rasa kecewa begitu besar yang dirasakannya. Apakah salah selama ini dia tidak pernah mengatakan perasaannya. Bila ditanya kapan dia mulai mencintai sahabatnya itu. Dia sendiri mungkin sudah tidak tahu kapan pastinya. Mungkin saja waktu dia masih kecil di saat mereka bermain rumah-rumahan, Ardi menjadi papa dan Arum menjadi mama. Mereka menjadi keluarga yang harmonis, Ardi menirukan karakter papanya yang begitu sangat tegas namun penyayang, sedangkan Arum meniru karakter ibunya yang lembut dan penurut. Ardi masih mengingat masa-masa ia bermain rumah-rumahan bersama sahabatnya itu.
“Papa sarapan dulu ya sebelum ke kantor. Mama sudah buatkan papa sarapan,” ucap Arumi kecil kemudian meletakkan piring mainannya di lantai.
“Mama buat sarapan apa?” tanya Ardi yang berusia sekitar 5 tahun.
“Nasi goreng pa,” jawab Arum.
“Enak nih ma,” sambil pura-pura menyiapkan nasi kemulutnya. Setelah selesai sarapan, Ardi berpamitan sama Arum.
“Ma, papa berangkat dulu ya, mama jangan capek-capek kerjanya. Papa gak mau mama sakit,” ucapnya penuh perhatian.
“Iya pa. Papa hati-hati ya kerjanya,” sambil mencium tangan Ardi. Untung saja mereka tidak melihat kedua orang tuanya cium-ciuman sebelum berangkat kerja.
Ardi memetik daun-daun untuk di jadikan uang dan mengambil tangkai daun ubi untuk membuat kalung dan gelang. Tak lama kemudian, terdegar suara ketukan pintu. Arum membuka pintu tersebut.
“Papa sudah pulang?” sambut Arumi kecil.
“Iya ma,” jawab Ardi.
“Papa capek ya?”
“Iya ma, tadi banyak kerjaan.”
“Oh iya ma, ini uang gaji papi,” kata Ardi sambil memberikan daun-daun yang di susun seperti uang dengan lembar yang banyak.
“Papa sudah gajian?” tanya Arum
“Sudah ma.”
“Makasih ya pa, uangnya akan mama hemat pa dan di tabung biar kita bisa beli rumah,” kata Arumi.
“Istri papa hebat,” jawab Ardi sambil tersenyum lebar.
“Ini, papa ada belikan mama perhiasan,” sambil mengeluarkan kalung yang di buatnya dari tangkai daun ubi dan kemudian memasangkannya keleher Arum.
“Ini cantik sekali pa,” kata Arumi.
Ardi kemudian memberikan gelang yang terbuat dari tangkai daun ubi dan memasang kannya. “Nanti kalau Ardi sudah besar, Ardi akan membelikan Arum kalung emas benaran, gelang, dan juga cincin. Ardi akan belikan Arum cincin berlian seperti yang di beri papa untuk mama,” kata Ardi.
“Ardi janji ya,” jawab Arumi.
“Iya aku janji,” sambil tersenyum lebar.
Handoko membuat pondok kecil di perkebunan miliknya karena Mardi selalu membawa anaknya ke perkebunan di hari sabtu dan Handoko membawa Ardi. Arum sangat mudah terjatuh, Ardi selalu membantunya untuk berdiri. Di saat Arum menagis, kakinya berdarah, Ardi mengendong Arum di punggungnya. Walaupun mereka masih sama-sama kecil namun Ardi tetap berusaha mengendong Arum. Iya membersihkan luka tersebut dan memberinya betadin kemudian membalut luka Arum dengan perban. Ardi selalu membawa betadin, hansaplas dan perban untuk mengobati Arum bila terjatuh. Bahkan sampai saat ini, ia tidak pernah meninggalkan betadin, hansaplas dan perban. Ia selalu menyimpannya di dalam tasnya. Walaupun ia tahu Arum bukan anak kecil yang rawan jatuh. “Nanti Ardi akan menjadi dokter agar bisa mengobati Arum. Nanti jangan lari-lari lagi ya.” Ardi terbayang saat ia memberikan punggungnya untuk Arum naik.
Setelah ayah Arum meninggal, Arum berjualan gorengan di depan kelas. Tidak ada yang mau bermain dengannya. Arum tetap tampak sangat tegar dan bahkan ia tampak biasa-biasa saja. Ardi selalu membeli gorengan tersebut bila tidak habis. Ia akan memberikan untuk teman-temannya satu kelas karena Ardi tidak suka makan gorengan. Arum selalu menambah jumlah gorengan yang di bawanya. Awalnya 25, kemudian 30, 40,50,100 dan terakhir 200. Ardi menghabiskan uang tabungannya untuk membeli sisa gorengan Arum, bahkan dia rela tidak jajan untuk menabung agar bisa menghabiskan gorengan tersebut.
Ardi menatap wajahnya di cermin. Ia meninju cermin besar tersebut. Darah segar mengalir dari tangannya. Beberapa beling tertancap di tangan tersebut. Iya duduk di lantai sambil melihat tangannya yang meneteskan darah. Setelah ia mampu mengendalikan emosinya, Ardi baru membersihkan lukanya. Ia mengambil rivanol dan membersihkan luka tersebut. Mencabut beling yang tertancap di tangannya dan kemudian, ia memberi betadin dan membalut luka tersebut dengan perban.
*******
Kita ketemu lagi ya reader. Ini novel yang author udah lama janjiin. Namun baru bisa membuatnya.
Kisah dokter Arumi ikutin terus ya.
Reader.
Makasih atas dukungannya.
😊😊🙏🙏🙏
Rasa perih di tangannya sudah tidak lagi di rasakannya. Rasa sakit di hatinya melebihi dari rasa sakit apa pun. Sebagai seorang ahli bela diri taekwondo, memukul benda keras dari kaca bukanlah hal yang baru untuknya. Ia sudah terbiasa akan hal itu. Ia sudah tidak bisa mengungkapkan apa yang saat ini dirasakannya.
Ardi membuka album foto-fotonya saat ia masih kecil. Begitu banyak kenangan ia bersama dengan sahabnya itu. Kemudian foto-foto itu discan nya. Ia memindahkan foto-foto tersebut ke folder foto miliknya.
Kepalanya terasa begitu berat. Ia memijat-mijat keningnya sendiri. Ia kemudian mengeluarkan betadin, perban kain serta hansaplas dari dalam tasnya. Tiga benda tersebut tidak pernah jauh darinya. Ia selalu membawa benda tersebut. Sudah saatnya benda itu di tinggalkan nya. Ia memfoto benda tersebut dan meletakkan benda itu di dekat tempat tidurnya.
Ardi merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia memejamkan matanya. Ia tertidur cukup lama. Ardi baru terbangun saat jam 6 sore. Ia mandi dan langsung berwudhu. Ia kemudian memakai baju koko, dan juga kain sarung dan memakai peci. Ia keluar dari dalam kamarnya dan pergi ke masjid yang dekat dengan kosnya. Ia hanya berjalan kaki untuk sampai ke mesjid.
Ia selalu menyempatkan diri untuk bisa sholat berjamaah di masjid. Ia sholat Magrib dan kemudian ia mengaji di mesjid tersebut sambil menunggu waktu sholat Isya.
Kembali dari mesjid, ia masuk ke dalam kamar setelah membuka kunci kamar tersebut. Ia membuka baju yang dikenakannya dan menggantinya dengan baju kaos dan memakai celana training. Ardi mengambil ponselnya yang diletakkannya di nakas. Sudah banyak masuk chat dari para sahabatnya. Menanyakan kabarnya. Apa ia sudah dapat kabar dari Arumi. Ardi hanya membaca chat tersebut tampa berniat untuk membalasnya. Ia berusaha untuk memejamkan matanya. Makan malam yang sudah dibelinya sebelum pulang dari kampus tidak dimakannya.
*************
Pagi ini Ardi menyempatkan diri untuk ke toko perhiasan. Ia sudah berjanji, bahwa ia akan membelikan gadis cinta pertamanya itu perhiasan. Walaupun janji itu diucapkannya sewaktu mereka masih kecil dan ia akan tetap menepati janji itu. Ia membeli sebuah cincin emas, kalung dan gelang. Ia meminta pemilik toko tersebut untuk memasukan perhiasan itu kedalam kotak perhiasan. Ia kembali kekosannya setelah membeli perhiasan tersebut.
***
Ketukan di pintu kamarnya mengahlikan pandangannya dari monitor laptop yang ada di depannya. Ia sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Ketukan pintu tersebut semakin lama terdengar semakin kuat dan suara yang memangil-mangilnya sudah pasti sangat dikenalnya.
“Di.... Buka pintu Di. Buka Di. Di... Woy buka ... Kalau lo gak buka, ni pintu gua dobrakan ya.” Ucap orang dari luar. “Satu....dua.....”
Pintu itu terbuka. Sudah ada beberapa orang di depan kamarnya dan dua sahabat dekatnya nya. Saat pintu sudah terbuka, tampak wajah sahabatnya begitu mencemaskannya. Mereka tau bagaimana sahabatnya itu mencitai gadis yang berstatus sahabat sejak kecil itu. Apa lagi telpon dan juga chatnya tidak ada yang di balas Ardi. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk datang ke kos sahabatnya itu. Mereka takut sahabatnya itu melakukan tindakan bodoh. Namun melihat kondisi sahabatnya yang ternyata baik-baik saja Doni dan Ari merasa lega.
Dua pria tersebut masuk tanpa di suruh. Doni mengambil posisi duduk di lantai yang beralaskan karpet tebal tersebut. Ari juga melakukan hal yang setelah ia mengeluarkan buah serta mengambil roti dari lemari pendingin yang ada di kamar tersebut. Ardi hanya memandang sahabatnya. Kemudian pandangannya kembali tertuju ke benda petak di depannya. Jari-jari nya mulai sibuk menari-nari di atas keyboard laptopnya. Walaupun sebelah tangannya tidak bisa di gunakan nya untuk mengetik. Ia hanya memakai satu tangan saja.
Ari mengupas kulit salak dan kemudian mengingit nya. Doni membuka pelastik roti yang isi selai coklat keju tersebut. “Gak enak gak ada minumnya.” Ucap Doni yang mengunyah roti coklat tersebut. Ia kemudian berdiri ke lemari yang berisi piring dan gelas. Ia mengambil satu bungkus capuccino yang tersimpan di dalam lemari.
“Dua bro,” ucap Ari.
Doni hanya mengangkat jempolnya. Ia memasukkan serbuk capuccino tersebut ke dalam gelas dan kemudian menambahkan susu kental manis, menyeduh dengan air panas. Ia membuat 3 gelas capuccino. Ia kembali duduk dan menikmati roti serta segelas capuccino.
Bukan hanya satu bungkus roti yang di habiskan Doni dan Ari. Tapi mereka memakan 3 bungkus roti. Ardi memandang sahabat-sahabatnya itu.
“Kalian belum sarapan?” kalimat awal yang dikeluarkannya.
“Gue lapar banget. Dari semalam gue gak makan,” ucap Doni. Gue gak tenang, gak tau kabar lo,” ucap nya kemudian dengan bersungguh-sungguh. Sejak semalam ia tidak makan karena menghawatirkan sahabatnya. Sahabatnya yang tidak pernah pacaran dan hanya mencintai satu orang cewek semua hidupnya.
“Kalau aku memang belum sarapan,” ucap Ari sambil nyengir.
Ardi kembali diam melanjutkan tugas yang sedang di buatnya. Ia begitu bersyukur memiliki sahabat yang begitu perduli dengannya.
“Jadi tangan lo di jahit?” tanya Doni kemudian setelah menyelesaikan makan roti dan menghabiskan satu gelas capuccino.
“Gak ada yang robek. Cuman nancap doang.” ucap Ardi nyantai.
“Tapi itu darah nya masih netes,” ucap Ari yang memandang perbedaan putih yang masih basah tersebut.
“Gak apa kok,” Jawab Ardi.
“Kita periksa dulu luka lu tu,” usul Doni yang mencemaskan sahabatnya.
Ardi hanya mengangkat bahunya. Tanpa menghiraukan sahabatnya tersebut.
“Gimana, lu datang kan?” tanya Ari yang tampak ragu-ragu.
“Iya,” jawab Ardi.
“Nanti sore kami ke sini lagi. Kalau kami di sini sampai sore, lu bakal siapkan makan siang kami,” ucap Doni sambil tertawa.
“Terserah aja,” jawabnya.
Kedua sahabatnya itu pergi untuk mencari sesuatu.
*********
like dan komen nya jangan lupa ya reader.
vole juga. 😊😊😊
Ardi melihat Arum turun dari tangga. Gadis itu terlihat sangat cantik dengan gaun yang di pakainya. Gaun tersebut melekat sempurna di tubuhnya yang langsing dan tinggi semampai. Makeup yang merias wajahnya terlihat sangat cantik, dan tidak menampilkan kesan menor dan berlebihan. Ia turun bersama dengan Sarah dan Naura.
Siti sedang duduk bersama dengan Ardi, Doni dan Ari. Saat dilihat putrinya yang sedang turun dari tangga, membuat wanita yang berusia sekitar 40 tahun itu meminta izin untuk menemui tamunya yang lain dan memastikan keadaan.
Gadis itu tersenyum melihat ke arah tiga pria tersebut. Saat gadis itu sudah mendekat dengan pria tersebut, ia melihat wajah Ardi yang tidak seperti biasanya. Wajah pria tersebu tampak sangat dingin. Arum melihat tangan Ardi yang di balut perban dan tampak masih ada sedikit bercak darah yang tempus dari perban tersebut.
“Di, tangan kamu kenapa?” tampak wajah Arum panik saat melihat tangan Ardi yang terperban. Dengan reflek Arum memegang tangan yang di balut perban tersebut.
“Numbuk kaca.” ucap pemuda tersebut.
“Kenapa kamu numbuk kaca sih Di. Terus gimana kabar kacanya sekarang?”
“Hancur. Biasa latihan,” jawab Ardi dengan tatapan dingin.
“Kamu latihan taekwondo atau kuda lumping sih Di ?” Gadis itu tampak mengomel. “Ceroboh banget sih kamu repetnya.”
Ardi menatap Arum dengan tatapan tajam. “Kalau aku bilang, aku numbuk kaca karena kamu. Kamu bakal ngomong apa?” tanya kemudi.
Gadis itu tampak terkejut mendengar pertanyaan dari pemuda di depannya. Ekspresi wajah pemuda itu tampak begitu serius. Bahkan sekian lama mereka bersahabat, ini untuk pertama kalinya Arum melihat tatapan Ardi yang begitu berbeda.
“Kok karena aku?” protes gadis tersebut sambil memajukan bibirnya.
Ardi tersenyum tipis.
“Sini aku obatin,” kata Arumi sambil meraih tangan tersebut.
Ardi menepisnya, pemuda itu menggelengkan kepalanya. “Aku bisa mengobatinya sendiri. Aku gak mau tangan kamu jadi kotor karena memegang tangan aku.”
“Gak apa. Aku bisa mencucinya,” jawab gadis itu kemudian.
Ardi menggelengkan kepalanya. “Kamu ingat gak,waktu kecil kamu paling sering terjatuh, lutut dan juga siku kamu terluka dan berdarah. Aku selalu mengobati luka kamu. Kamu terkadang bisa jatuh di mana saja dan pada saat itu aku selalu mengantongi benda ini kemana-kemana.” Ardi mengeluarkan betadin, hansaplas dan juga perban dari dalam saku celananya. “Aku selalu mengantongi benda ini, aku juga selalu memasukkan benda ini di dalam tas sekolah aku. Sampai sekarang, aku masih mengantonginya dan menyimpannya di dalam tas kuliah aku. Namun aku baru sadar, bahwa saat ini kamu bukanlah gadis kecil yang selalu terjatuh, yang aku gendong dipunggung saat kamu menagis saat lutut kamu terluka. Saat ini kamu sudah menjadi gadis yang dewasa, pintar, cantik dan kuat. Kamu sudah bisa melindungi diri kamu sendiri dan juga orang lain. Aku sudah tidak perlu menjaga kamu dan sudah saatnya aku tidak membawa benda ini kemana-mana.”
Arum memegang benda yang di tangan Ardi tersebut. Mata gadis itu berkaca-kaca mendengar apa yang di sampaikan Ardi. “Di, kamu gak ninggalin Arumkan.” Terdengar suaranya yang mulai bergetar. Ia memeluk tubuh pria yang berstatus sahabatnya itu.
Ardi menunjukkan sikap tegarnya dihadapan gadis cantik pertamanya. “Aku sayang kamu Rum, lebih dari nyawa aku. Aku gak akan pernah ninggalin kamu. Aku tetaplah Ardi sahabat kecil kamu hingga sekarang. Namun sekarang kamu sudah ada yang menjaga dan mencintaimu dengan sangat baik. Jadi aku sudah tidak perlu menghawatirkan kamu.” Ucap pemuda itu yang menahan sesak di dadanya
Air mata Naura meluncur dengan lancar begitu juga dengan Sarah. Ia melihat Ardi yang tampak begitu terpukul, Sarah yang menjadi pejuang cinta untuk mendapatkan Ardi, begitu sangat kasihan melihat Ardi saat ini. Doni melihat benda yang di keluarkan Ardi dari kantongnya. Mengingatkan dirinya pada saat ada kecelakaan lalulintas yang menyerempet anak sekolah dasar. Ardi mengeluarkan betadin dan juga perban dari dalam tasnya.
Arum masih menagis saat memeluk tubuh Ardi. Ardi memeluk tubuh Arum dengan sangat erat kemudian ia melepaskannya. Ia melihat Arum yang masih menangis.
“Kamu masih ingat gak? Waktu kita kecil, kita main rumah-rumahan. Kamu jadi mama, aku jadi papa. Kita memiliki keluarga bahagia. Aku memberikan kamu perhiasan yang aku buat dari tangkai daun ubi. Aku memberikan kamu kalung dan juga gelang. Pada waktu itu itu, aku berjanji sama kamu, jika kita sudah besar dan aku punya uang, aku akan membelikan kamu perhiasan emas yang asli dan juga cincin berlian.” Ucap pemuda itu.
“Arum gak pernah menganggap itu janji,” balas gadis tersebut dengan isak tangisnya.
“Tapi aku udah janji dengan diri aku sendiri,” ucapnya. Ia mengeluarkan kotak perhiasan yang ada di saku kemeja yang dipakainya. Ia membuka kotak perhiasan tersebut.
“Ini hutang janji aku untuk kamu. Maaf kalau cincin berliannya aku gak bisa ngasi,” ucap pemuda tersebut.
Arum menagis dengan menutup mulutnya melihat benda yang di pegang Ardi. Ia merasa lututnya lemah hingga ia harus bersimpuh dengan lututnya sambil menangis.
Ardi melakukan hal yang sama, ia bersimpuh dengan lututnya. Arum menagis menutup wajahnya.
“Aku gak mau kamu menagis. Aku ingin kamu bahagia. Ini hari penting untuk kamu. Air mata kamu sudah membuat makeup kamu berantakan,” ucapnya. kalau boleh jujur seandainya bisa, ia ingin melakukan hal yang sama. Menagis melepaskan sesak yang ada di dadanya. Namun ia seorang laki-laki yang harus mempertahankan harga dirinya. Ia harus terlihat kuat walaupun di dalam hatinya begitu hancur.
“Maafkan Arum,” ucap gadis itu kemudian.
“Kamu gak salah. Jika kamu tidak berjodoh dengannya, maka aku akan jadi jodoh kamu,” jawab Ardi. Ardi membantu Arum untuk berdiri. “Udah rapikan lagi makeup kamu. Sebentar lagi calon tunangan kamu akan datang,” ucapnya yang begitu pedih di rasanya saat mengatakan tunangan.
Bayangan dimasa kecil mereka seakan terputar otomatis di pandangan Arum. Arum merasa sedang menonton film dirinya di masa lalu. Arum mengingat semua peristiwa satu persatu yang membuat ia terus menangis. Ardi pria pertama yang ia cintai sebelum Habibi. Ia tidak pernah tau ternyata Ardi juga merasakan hal yang sama.
Arum masih merapikan makeup nya kembali. Sarah dan Naura tidak ada yang berbIcara. Mereka hanya memandang Arum dari pantulan cermin.
********
Ketiga pria tersebut duduk di salah satu meja yang berada di taman samping rumah mewah tersebut. Berbagai pilihan makanan sudah ada terhidang di sana. Seorang gadis kecil datang berlari menabrak tubuh Ardi.
“Bang Ardi,” ucap gadis kecil yang terlihat begitu genit.
“Cantik amat,” Doni mengeluarkan pujian saat melihat gadis cantik, kulitnya putih dan terlihat centil tersebut.
Ari menabok pundak sahabatnya tersebut. “Itu cewek belum cukup umur,” ucap pemuda itu.
“Kalau yang namanya cantik, belum cukup umur juga pasti sudah cantik,” jawab Doni yang mendapatkan tabokan dari sahabatnya.
Doni berbisik di telinga Ardi. “Dunia belum berakhir bro. Gak dapat kakaknya, masih ada adeknya. Nih si adek gak bakalan kalah dari si kakak. Bibit unggul ini,” ucapnya yang terdengar bercanda, namun memiliki niat untuk memberikan semangat untuk sahabatnya.
Ardi memandang Doni dengan tatapan tajam. Membuat Doni menghentikan kalimatnya.
*********
like dan komen nya ya reader. jangan lupa vole nya juga.
😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!