Cerita ini adalah sequel dari 'Rahasia suami lumpuhku'. Yakni kisah anak-anak dari Aozora dan Arsen. Bagi yang belum baca, dipersilakan untuk membacanya lebih dulu. Terima kasih 🙏
.
.
.
"Tunggu, Pak, tunggu!" Senja Mentari Chairani, berlari secepat yang dia bisa ketika melihat pagar sekolah hendak ditutup.
"Cepat, Neng!" seorang pria berseragam satpam memutuskan untuk menunggu gadis remaja yang biasa dipanggil Senja itu.
"Aduh, terima kasih, Pak." Senja berbicara dengan napas yang tersengal- sengal.
"Iya, sama-sama. Lain kali jangan telat lagi ya! Kali ini, bapak kasih kamu kesempatan karena masih hari pertama sekolah. Besok-besok bapak akan langsung tutup pagar, dan tidak akan bapak bukakan, sekalipun kamu memohon," ucap satpam itu tegas.
"Aduh, tolong jangan begitu, Pak. Please jangan pernah tutup pintu hati Bapak pada gadis cantik sepertiku!" Senja memasang wajah imutnya, membuat Security itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kamu murid baru ya?"
"Lho, Bapak kok tahu? Bapak cenayang ya?" sudut alis Senja sedikit terangkat ke atas.
Security itu mengembuskan napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Siapapun bisa lihat dari dandanan neng sekarang,"
"Oh iya ya, aku lupa," Senja cengengesan sembari memainkan kunciran rambutnya yang dikuncir dua menggunakan tali serta menyandang tas yang terbuat dari kantongan plastik.
Ya, hari ini memang tahun ajaran baru dan Senja merupakan murid baru di sekolah SMA Angkasa, yang merupakan sekolah berstandar internasional dan diisi kebanyakan anak-anak orang kaya. Kemungkinan di antara murid di SMA itu, hanya Senja lah yang datang dari keluarga kalangan biasa, karena memang, ia bisa di sekolah bonafit itu hanya mengandalkan bea siswa.
"Sudahlah, neng. Kamu ngapain lagi di sini? sana cepat. Nanti kamu bisa kena hukum panitia MOS nya!" titah Security itu membuat Senja tersadar.
"Oh, iya. Aku lupa! Bapak sih, tampan. Kan aku jadi betah ngobrol sama Bapak," Sebelum beranjak pergi, sempat-sempatnya Senja menggoda Security itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Senja mengendap-endap masuk ke barisan para siswi yang berdandan serupa seperti dirinya. Kalau kondisi seperti ini, tidak terlihat adanya kesenjangan di antara para siswa-siswi baru itu. Semuanya tampak sama.
"Hei, udah lama ya mulainya?" tanya Senja pada seorang gadis yang berdiri tepat di sampingnya. Senja terlihat biasa saja bertanya seakan sudah akrab. Padahal, dia sama sekali tidak mengenal gadis itu.
"Belum terlalu lama sih. Cuma masih tahap perkenalan," sahut gadis itu, seraya tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
"Oh, yang itu siapa?" bisik Senja seraya menunjuk ke arah seorang laki-laki yang memiliki postur tubuh cukup tinggi, tampan dan berekspresi datar.
"Oh, itu ketua OSIS kita. Namanya Arkana," gadis tadi masih ramah membalas setiap pertanyaan Senja.
"Emm, tampan ya?" Senja berdecak kagum.
"Iya, tampan sih, tapi nyebelin!"
Senja sontak melirik gadis di sebelahnya dengan sudut alis yang terangkat ke atas.
"Nyebelin? emangnya kamu kenal dia?" tanya Senja, menyelidik.
"Emm ... ya ...."
"Tapi, iya juga sih. Bisa dilihat dari mukanya yang datar tanpa ekspresi," belum selesai gadis yang memiliki lesung pipi itu bicara, Senja sudah menyambar lebih dulu.
Gadis berlesung pipi itu terkekeh, merasa kalau ucapan Senja tadi cukup lucu.
"Kenapa kamu tertawa? Lucu ya? Kan yang aku katakan tadi benar kan?" Senja masih tetap dalam posisi berbisik.
"Iya, iya kamu benar!" gadis itu menganggukkan kepala, mengiyakan.
"Oh ya, kamu punya nomornya nggak? Tadi waktu perkenalan gitu, pasti di nyebutin nomor kan? Bagi dong!" bisik Senja lagi. Gadis itu sama sekali tidak memperhatikan apa yang disampaikan oleh panitia di depan sana.
"Lho, tadi kamu setuju kalau dia menyebalkan, sekarang kenapa malah minta nomornya? Lagian, mana ada perkenalan sampai nyebutin nomor segala," gadis berlesung pipi itu mengernyitkan keningnya.
"Ya, gimana ya? Cuma mau nambahin kontak di handphoneku saja. Kontak di handphoneku hanya sedikit soalnya," Senja, kembali cengengesan.
Gadis remaja berlesung pipi itu berdecak sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jadi, kamu tidak punya ya?" bisik Senja lagi. "Oh iya, kamu mana mungkin punya. Kan tadi kamu sudah bilang kalau dia tidak ada menyebut nomornya. Aku kok jadi bodoh begini sih?" Senja yang bertanya, tapi dia yang jawab sendiri.
"Tapi, aku punya nomornya kok," celetuk gadis lawan bicara Senja itu.
"Serius?" Gadis itu menganggukkan kepala mengiyakan.
"Wah, kok bisa? Jangan-jangan tadi dia memang ada nyebutin nomornya. Kamu sengaja bilang tidak ada, biar aku nggak minta lagi kan?" tukas Senja.
Gadis berlesung pipi itu berdecak, lalu menggelengkan kepalanya. "Dia memang tidak menyebutkan nomornya. Aku punya nomornya karena ...." Gadis itu tiba-tiba menggantung ucapannya, tersadar akan sesuatu.
"Karena apa?" tanya Senja dengan wajah yang sudah berada sangat dekat dengan gadis berlesung pipi itu.
"Ya, karena dia tampan, aku jadi cari sendiri," sahut gadis itu asal.
Senja mengangguk-anggukkan kepalanya dan kembali melihat ke depan.
Diamnya gadis itu membuat gadis berlesung pipi itu menghela napas lega. Namun, tenyata ketenangan yang didapatkan oleh gadis itu hanya bertahan sebentar. Karena Senja kini kembali mendekatkan bibirnya ke telinga gadis yang belum dia tahu namanya itu.
"Minta nomornya dong!" bisik Senja.
"Heh? Untuk apa nomornya? Kamu mau gangguin dia? Aku sarankan jangan. Soalnya dia itu kalau bicara suka nyakitin," bisik gadis itu balik.
"Tidak apa-apa! Nanti kalau dia bicara pedas, aku akan balas dengan tidak kalah pedas," sahut Senja.
"Lagian untuk apa sih nomor itu? Penting banget ya?" gadis berlesung pipi itu sepertinya masih berat untuk memberikan nomor Arkana, si ketua OSIS.
"Emm, nggak penting-penting amat sih. Cuma aku hanya ingin terlihat keren aja, bisa dapat nomor ketua OSIS. Aku hanya mau pamer ke teman-teman SMP ku yang songong. Mereka suka merendahkanku dan bilang kalau aku akan dikucilkan di sekolah ini. Oh iya, aku lupa ... For your information, aku sekolah di sini karena bea siswa. Aku bukan orang kaya seperti kalian. Tapi, aku tetap harus percaya diri kan?"
Gadis berlesung pipi itu sedikit kaget dan langsung melihat ke arah Senja dari atas sampai ke bawah.
"Kenapa? Kamu kaget ya? Alergi bicara denganku ya? Ya udah tidak apa-apa. Aku sudah biasa!" ucap Senja, cuek.
"Bu-bukan seperti itu. Aku tidak masalah kok! Kita semua itu sama kan? Sama-sama manusia," ucap gadis berlesung pipi itu sembari kembali tersenyum.
"Iya, sama-sama manusia, hanya derajat yang berbeda. Aku derajat Reamur dan kamu derajat Celcius atau boleh jadi derajat Kelvin," Senja menyamakan derajatnya dengan ukuran satuan suhu terendah, sementara gadis berlesung pipi itu satuan suhu tertinggi yakni Celcius atau Kelvin.
"Nggak, derajat Fahrenheit aja sekalian?" balas lawan bicara Senja itu, mulai cekikikan.
"Boleh juga tuh!" sahut Senja.
"Oh ya, kamu jadi nggak kasih nomornya tuh ketua OSIS? Biar handphoneku bisa terlihat keren. Walaupun butut, tapi isinya ada nomor orang keren," Senja merogoh sakunya, memperlihatkan handphonenya yang memang sudah terlihat buruk. Bagaimana tidak, layar handphone itu saja sudah penuh dengan garis-garis yang malang melintang tidak jelas.
Melihat kondisi handphone Senja, gadis berlesung pipi itu tiba-tiba tidak bisa menahan tawanya. Gadis itu tertawa kencang, hingga membuat perhatian semua orang mengarah ke mereka berdua.
"Hei, kalian berdua! Apa yang kalian tertawakan? Maju ke depan!" bentak Arkana, sosok yang Senja bicarakan dari tadi dengan teman baru yang sampai sekarang belum dia tahu namanya.
Tbc
"Ada apa, Kak?" tanya Senja setelah berdiri tepat di depan Arkana, yang kini menatap temannya tadi dengan sorot mata yang sangat tajam. Sementara gadis berlesung pipi itu hanya bisa menunduk, tidak membalas tatapan Arka.
"Kalian berdua aku perhatikan dari tadi sama sekali tidak memperhatikan sedikitpun yang dikatakan oleh panitia. Apa yang kalian bicarakan di belakang sana? Apa ada yang lucu di sini?" tanya seorang pemuda yang di dadanya tertulis nama Sabiru.
Senja menggelengkan kepalanya.
"Sekarang, coba ulangi apa yang dari tadi Arka jelaskan!" titah Sabiru lagi.
"Mampus gue!" umpat Senja. Raut wajah wanita itu berubah pucat, karena dia sama sekali tidak tahu apa yang dijelaskan oleh Arkana si ketua OSIS.
"Ayo jawab! Kenapa kamu diam saja!" bentak Sabiru lagi.
"Emm, apa ya, Kak?" Senja memicingkan matanya, berpura-pura berpikir.
"Emm, aku lupa kak, saking banyaknya dia bicara," jawab Senja membuat mata Arkana dan yang lainnya, membesar. Sumpah, baru kali ini mereka tahu ada murid baru yang bar-bar seperti Senja, yang terkesan tidak ada takut-takutnya pada kakak kelas.
"Hei, kamu jangan main-main ya! kami serius berbicara satupun kamu tidak ingat? Sekarang, aku mau tanya, tadi sudah ditunjukkan di mana arah Laboratorium. Sekarang kamu kasih tahu, dimana arah laboratorium itu!" Sabiru, yang merupakan sahabat Arkana mulai terpancing emosinya.
"Oh, arah laboratorium ya?" Senja mengitari segala penjuru lapangan untuk mencari keberadaan laboratorium yang kakak kelasnya itu maksud.
"Di mana laboratoriumnya? Kamu tahu nggak?" Senja menyikut gadis yang tadi jadi temannya bicara.
"Laboratoriumnya di __"
"Kamu diam, biarkan dia yang menunjuk!" Arkana yang dari tadi diam saja, buka suara, membuat gadis berlesung pipi itu terdiam dan kembali menundukkan kepalanya.
"Ayo jawab!" kali ini Arkana bicara ke arah Senja dengan nada dingin dan sorot mata yang tajam.
"Oh, iya kak! Sabar napa sih? Buru-buru amat. Aku tahu kalau aku cantik dan itu sudah mulai dari orok. Tapi, gak seburu-buru itu. Tenang aku masih ada di sini untuk kakak, dan tidak akan pergi ke mana-mana!" ucap Senja, asal. Membuat wajah Arkana memerah. Sementara gadis berlesung pipi itu, cekikikan tidak kuat menahan tawa. Sabiru dan yang lainnya yang awalnya kesal kini ikut tertawa.
"Baru kali ini ada yang terang-terangan berani menggoda Arkana!" batin Sabiru.
"Kalian jangan tertawa!" titah Arkana lagi, membuat tawa gadis berlesung pipi dan yang lainnya berhenti seketika.
Arkana kembali menatap ke arah Senja yang kini juga tengah menatapnya dengan memperlihatkan puppy eyes nya.
"Siapa namamu?" tanya Arka dengan nada yang masih dingin dan ekspresi datar.
"Cie, cie, si akang nanya nama. Nanti ujung-ujungnya, kamu tinggal di mana, nomor handphonemu berapa, habis itu nomor sepatu kamu berapa," bukannya menjawab, Senja malah membalas dengan bercanda, membuat wajah Arka semakin merah padam.
"Hei, aku tidak lagi bercanda! Cepat siapa namamu, biar aku blacklist dari kegiatan apapun nanti di sekolah ini. Buruan!" bentak Arka, yang mulai hilang sabar.
"Pada waktu kapan Langit akan berubah berwarna jingga?" lagi-lagi Senja tidak memberikan jawaban, malah balik bertanya.
"Hei, kamu jangan pancing kesabaranku ya! Aku tanya namamu, bukan ngakak kamu untuk berteka-teki!"
"Ya, dijawab dulu, Kak! Karena jawabannya adalah namaku," sahut Senja.
"Senja!" bukan Arkana yang menjawab, melainkan Sabiru.
"Yaaa, kakak benar! Namaku Senja Mentari Chairani."
Arkana menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan napas, berusaha meredam emosinya.
"Baiklah, nama kamu sudah aku catat di buku hitam. Sekarang, kamu jawab pertanyaan di awal. Dimana arah letak Laboratorium?" Arka mengulangi pertanyaannya.
"Emm, di mana ya? Kakak mau tahu banget atau mau tahu aja,"
"SENJA!" bentak Arkana, yang kembali terpancing emosinya.
Mendengar suara Arkana yang mulai meninggi membuat Senja terjengkit kaget. Gadis yang tadinya terlihat berani itu kini menundukkan kepalanya, merasa gentar juga melihat tatapan Arkana yang semakin tajam.
"Ayo jawab!"bentak Arka lagi.
"Emm, maaf Kak, aku lupa!" akhirnya Senja, mulai serius.
"Kamu lupa atau tidak dengar sama sekali?" tukas Arkana dengan sorot mata yang semakin tajam.
"Maaf, Kak. Aku kurang perhatikan sih, karena dari tadi aku tidak fokus pada apa yang dikatakan Kak Arka. Aku terbuai sama wajah kak Arka yang tampan," ucap Senja yang seketika menimbulkan suara riuh di lapangan itu.
Wajah Arka kembali memerah, mendengar ucapan adik kelasnya yang menurutnya terlalu frontal.
"Sial! Beraninya dia berkata seperti itu! Biasanya murid baru itu, takut kalau dihadapkan masalah seperti ini. Ini dia malah sempat-sempatnya menggombal," batin Arkana.
"Lagian kenapa kakak masih bertanya di mana arah laboratorium sih ke aku? Aku kan murid baru, jadi mana tahu. Harusnya aku yang tanya Kakak di mana arah Laboratorium?"
Arkana mengepalkan tangannya, dan mengembuskan napasnya dengan sangat keras. Adik kelasnya yang bernama Senja itu benar-benar berhasil memancing kesabarannya kali ini.
"Sabiru, kamu urus dia! bisa-bisa pecah kepalaku menghadapi cewe gila seperti dia!" Arkana memilih untuk menyerah. Pria tampan yang memiliki postur tubuh yang tinggi itu memilih untuk mundur dan duduk di sebuah kursi.
"Senja, sekarang kamu jelaskan dengan baik-baik di mana letak Laboratorium?" kali ini Sabiru yang bertanya.
"Em, dimana ya? mati aku, aku benar-benar tidak tahu lagi. Sepertinya aku sudah tidak bisa bercanda lagi" bisik Senja pada dirinya sendiri.
"Emm, di sana Kak!" Senja menunjuk ke arah di mana terletak ada toilet khusus siswa yang kelasnya ada di lantai satu.
"Oh, toilet ya? Jadi Laboratoriumnya di mana dong?" Senja menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Heh, kami yang tanya kamu, kenapa kamu malah tanya balik?" bentak Sabiru.
"Sudahlah! jangan ditanya lagi. Buang-buang waktu! Yang jelas dia dari tadi tidak mendengar apapun. Kasih saja dia hukuman!" Arkana yang masih kesal kembali buka suara sembari berdiri dari tempat duduknya.
"Hah, hukuman? Jangan dong Kak!" Senja mulai merengek.
"Tidak, kamu harus tetap dihukum!" pungkas Arkana tak terbantahkan.
"Baiklah! Tapi, hukumannya disuruh duduk di dekat Kakak setiap hari ya," Senja mengerjab-erjabkan matanya.
"Itu bukan hukuman, tapi itumah maunya kamu. Arka mana mau dekat-dekat dengan gadis petakilan seperti kamu!" kali ini yang bersuara adalah seorang gadis berparas cantik yang memang dari awal dirinya menggoda Arkana, sudah memasang wajah kesal.
Senja sontak menoleh ke arah gadis itu, dan melihat ke arah dadanya. Tampak di dada itu tertulis nama Hanna.
"Kalian berdua, aku hukum untuk membersihkan toilet wanita yang ada di lantai atas, setelah pulang sekolah!" ucap Arkana, tegas.
"Hah, bersihkan toilet? Tapi, Kak __"
"Tidak ada tapi-tapi! Sekolah sudah memberikan hak pada kami untuk memberikan pengarahan pada murid baru, dan juga memberikan hak untuk memberikan hukuman pada siapapun yang dianggap melakukan kesalahan, selama hukuman itu masih masuk akal. Nah, membersihkan toilet, aku anggap masih hukuman yang wajar," pungkas Arsen, memotong gadis berlesung pipi yang siap untuk membantah.
"Biarkan aku saja yang melakukannya. Dia tidak salah, karena aku yang asik mengajak dia bicara. Jadi ini murni kesalahanku!" ucap Senja, yang kali ini terlihat sangat serius.
"Tidak bisa! Dia harus tetap ikut dihukum. Karena dia punya hak untuk memutuskan untuk meladeni kamu bicara atau tidak. Dengan dia memilih meladenimu, itu berarti dia sudah siap untuk kena hukum juga,"
"Sudahlah, Senja! Aku tidak apa-apa! Nanti kita bersihkan toilet sama-sama," sahut gadis berlesung pipi itu.
"Maaf ya! Aku sudah membuatmu kena hukuman," Senja memasang wajah merasa bersalah.
"Ahh, tidak apa-apa! Justru aku senang, karena ini pengalaman pertamaku membersihkan toilet. Pasti rasanya menyenangkan!" mata Senja membesar, terkesiap kaget sekaligus merasa aneh pada teman barunya. Seumur-umur baru kali ini dia tahu ada orang yang senang membersihkan toilet.
"Oh ya, dari tadi kita bicara tapi aku tidak tahu siapa namamu. Nama kamu siapa?" tanya Senja.
"Namaku Adelia, kamu bisa panggil aku Adel!" sahut gadis berlesung pipi yang ternyata bernama Adelia.
"Dari tadi kalian ngobrol di belakang, tapi belum kenalan?" celetuk Sabiru.
"Urusan ke Kakak apa?" sahut Adelia menatap Sabiru dengan tajam.
Bukannya kesal, Sabiru malah terdiam dan memilih untuk mundur.
"Ayo Senja, kita ke belakang lagi!" Adelia menggandeng tangan Senja dan menatap ke arah Arkana dengan sorot mata kesal dan tidak kalah tajam dari tatapan yang tadinya ditujukan pada Sabiru.
"Del, untuk nomor Kak Arkana, gak jadi deh. Ternyata dia memang benar-benar menyebalkan seperti yang kamu katakan tadi," Senja sengaja berbicara seperti itu tepat ketika mereka lewat di depan Arka.
"Kan sudah kubilang dari tadi, kalau dia memang menyebalkan!" sahut Adelia, membuat Arkana kesal.
"Sialan! Dasar adik durhaka. Bisa-bisanya dia menjelekkan kakak sendiri ke orang lain," umpat Arkana.
tbc
"Kak Arka!" Langkah Arkana terhenti begitu mendengar suara seorang gadis yang sangat familiar di telinganya. Siapa lagi pemilik suara itu kalau bukan Hanna. Gadis yang dari dulu selalu menempel padanya, layaknya seperti sebuah prangko.
Arka berbalik dan melihat Hanna yang semakin mendekat ke tempatnya berdiri.
"Ada apa, Han?" tanya Arka begitu putri dari sahabat papanya itu sudah berdiri tepat di depannya.
"Nanti pulangnya aku nebeng ya, Kak," seperti biasa Hanna langsung bergelayut manja di lengan Arka.
"Kenapa? Emangnya supir kamu ke mana?" Arka mengernyitkan keningnya.
"Aku suruh pulang, tidak usah jemput aku," sahut Hanna sembari cengengesan.
Arka menghela napasnya, dan berusaha menahan kekesalannya. Gadis di depannya itu memang sudah terbiasa melakukan hal seperti itu, demi bisa pulang bersamanya. Kalau bukan karena gadis itu putri dari sahabat papa dan mamanya, Arka ingin sekali langsung menolak.
"Kenapa kamu meminta supir kamu pulang? Aku tidak bawa mobil, Hanna. Aku tadi ke sekolah pakai motor," sahut Arka, berharap dengan begitu Hanna akhirnya membatalkan niatnya untuk pulang bersama dengannya. Karena dia tahu jelas, kalau gadis itu sangat tidak ingin kulit putihnya gosong karena terpanggang cahaya matahari.
"Justru karena itu kak. Aku sudah tahu kalau kakak pakai motor makanya aku minta supir aku untuk tidak jemput. Aku mau mencoba naik motor dengan kakak. Pasti seru!" wajah Hanna terlihat berbinar. Bagaimana tidak, gadis itu kini sudah membayangkan bagaimana nantinya dia memelukku pinggang Arkana, ketika berada di atas motor laki-laki yang sangat dia kagumi dari kecil itu.
"Bagaimana, Kak. Boleh ya, aku nebeng?" tanya Hanna lagi dengan nada yang sangat manja.
Arkan tidak langsung menjawab. Laki-laki itu melihat ke arah Sabiru, Kevin dan Aldo sahabatnya, untuk meminta pendapat. Namun, ke tiga sahabatnya itu tidak memberikan jawaban apapun, mereka hanya mengangkat bahu mereka, pertanda semuanya terserah Arkan.
"Han, bagaimana ya? Bukannya aku tidak mau, tapi nanti kami tidak langsung pulang. Kami berempat mau ke toko buku," Arkan berusaha mencari alasan, agar Hanna mengurungkan niatnya untuk pulang bersama dengannya. Karena dia tahu jelas kalau gadis itu tidak terlalu suka ke toko buku. Gadis itu lebih suka mengelilingi mall.
"Nggak Pa-pa. Aku justru suka ke toko buku. Setelah ke toko buku, Kakak baru antarkan aku pulang. Boleh ya, Kak!" Hanna mulai merengek. Gadis itu berusaha memasang wajah memelas sembari mengerucutkan bibirnya.
"Tapi, nanti Tante Hanum akan kecarian. Om Daren juga belum tentu izinin kamu, kalau pulang tidak tepat waktu," Arkan masih berusaha menolak.
"Tenang saja, Papa dan Mama tidak akan marah kalau tahu aku lagi sama Kak Arkan. Kalau tidak percaya, ini aku hubungi Papa," tanpa menunggu jawaban dari Arkan, Hanna langsung menghubungi Daren papanya.
"Pa, hari ini aku pasti telat ya. Kak Arka ajak aku ke toko buku dulu, baru nanti aku akan diantar pulang," ucap Hanna setelah panggilannya mendapatkan respon dari papanya.
"Heh, sejak kapan aku mengajaknya? Bukannya dia yang memaksaku?" batin Arkan. Sementara tiga sahabatnya hanya bisa menahan tawa.
"Arka yang ngajak atau kamu yang mau?" tukas Daren membuat Hanna terkekeh. Papanya itu benar-benar sudah tahu bagaimana dirinya.
"Ya udah, mana Arka? Papa mau bicara!" Hanna dengan wajah masih berbinar memberikan handphone di tangannya pada Arka.
"Kak, nih papa mau bicara!" Walaupun sebenarnya Arka enggan, tapi demi kesopanan pemuda itu mau tidak mau menerima ponsel Hanna.
"Iya, Om!" sapa Arka, sopan.
"Titip anak Om ya. Aku percaya kamu. Sabar sama sikapnya yang manja. Maaf kalau sikap Hanna sering menyebalkan!"
"Papaaa, aku dengar ucapan Papa lho! Masa anak sendiri dikatain menyebalkan!" teriak Hanna, sembari mengerucutkan bibirnya.
"Baik, Om!" sahut Arka singkat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Senja dan Adelia akhirnya selesai juga melaksanakan hukuman mereka. Penampilan mereka sedikit berantakan dengan peluh yang menetes di pelipis.
"Akhirnya kita bisa pulang. Ini pengalaman yang tidak terlupakan. Hari pertama sekolah, dihukum membersihkan toilet," ucap Senja dengan bibir yang masih bisa tersenyum.
Adelia yang melihat Senja yang selalu ceria, merasa kalau Senja sepertinya sangat menikmati hidupnya, karena semuanya dia tanggapi dengan senyuman. Namun satu hal yang pasti Adelia merasa sangat tertarik untuk semakin dekat dengan Senja dan ingin berteman dengan gadis periang itu.
"Oh ya, kamu tadi sepertinya tidak terbiasa ya untuk melakukan hal seperti tadi? Pasti di rumahmu kamu terbiasa dilayani kan?" tebak Senja, membuat Adelia meringis malu.
"Kelihatan ya? Tapi berkat kamu, aku jadi bisa. Ini jadi pengalaman baru buatku. Setidaknya aku bisa lebih menghargai ART di rumah dan mengerti kalau ternyata pekerjaan mereka itu capek. Terima kasih ya, sudah membantuku tadi," Adelia tersenyum tulus.
"Hmm berterima kasih jugalah pada si Ketua OSIS songong yang sudah kasih kita hukuman. Sumpah, kalau tidak di sekolah aku ingin acak-acak mukanya yang sok tampan itu. Tapi dia memang tampan sih," Senja menggerutu dengan wajah yang berapi-api. Dan tanpa sepengetahuan Senja, Adelia mengambil video waktu teman barunya itu mencak-mencak.
"Sudahlah, jangan marah-marah lagi. Sebenarnya dia baik, cuma memang kadang menyebalkan!" Adelia menepuk-nepuk pundak Senja, untuk meredam sedikit kekesalan gadis yang dia anggap unik itu.
"Ayo, kita pulang!" sambung Adelia lagi.
Sesampainya di parkiran Senja langsung melangkah menuju gerbang.
"Eh, Senja kamu mau kemana?" tanya Adelia dengan alis bertaut.
"Mau pulang lah, emangnya mau kemana lagi?" sahut Senja.
"Kamu pulang naik apa?"
"Biasanya naik angkot, kenapa emangnya?"
"Emm, kamu naik ke mobilku aja. Aku akan minta supir untuk mengantarkan kamu lebih dulu," Adelia dengan baik hati dan tulus menawarkan pada Senja untuk pulang bersamanya.
"Sudah tidak apa-apa, Del. Aku bisa pulang sendiri. Aku takut merepotkanmu," tolak Senja dengan halus.
"Sumpah, aku tidak repot kok. Ayo naik!" Adelia meraih tangan Senja, agar mau ikut masuk ke dalam mobilnya. Selain niatnya yang memang ingin mengantarkannya gadis itu pulang, Adelia juga penasaran di mana teman barunya itu tinggal dan ingin tahu bagaimana kondisi Senja yang sebenarnya.
Karena desakan Adel, Senja akhirnya tidak bisa menolak lagi. Kini gadis itu sudah duduk di kursi belakang bersama dengan Adelia.
"Rumah kamu di mana, Ja?" tanya Adelia setelah mobil yang dikemudikan oleh supir Senja keluar dari gerbang sekolah.
"Aku tidak langsung pulang ke rumah, Del, karena aku merasa kalau aku pulang lebih dulu, aku akan telat," sahut Senja ambigu.
"Telat? Telat kemana?" tanya gadis berlesung pipit itu, dengan alis bertaut.
"Emm, gimana ya? Aku biasanya di jam-jam pulang sekolah, kerja jadi kurir pengiriman bunga. Aku kerja sampai sore. Lumayan, buat tambah-tambahan untuk beli keperluan di rumah. Dan kalau ada rejeki sisanya aku bisa beli buku dan jajan," ucap Senja, masih tetap tersenyum. Padahal Adel yang mendengarnya, sudah tidak bisa berkata-kata, karena seumur-umur dirinya tidak pernah merasa kekurangan.
Tbc
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!