"Awas, ya. Jangan berani melewati batasanmu. kau bukan suamiku sebenarnya...!"
Raya menatap pemuda di depannya dengan tajam.
"Tapi kau sudah jadi istriku, Ray.."
"Itu di mata orang-orang. Dan ku harap kau masih ingat perjanjian kita." ucapnya ketus lalu meninggalkan Radit sendirian di kamar yang megah itu.
"Eeh... Enak saja tidur di kasur...!" suara bentakan Raya mengusik telinga Radit yang sudah pulas. Acara siang tadi cukup menguras tenaganya. Hingga saat Raya keluar meninggalkannya, dia memutuskan untuk tidur di ranjang yang empuk itu.
"Ada apa sih, ini masih malam. Kenapa kau ribut-ribut? Nanti apa pikiran Oma, coba? Di kira aku bermain terlalu kasar..." ucap Radit sambil tersenyum simpul.
"Dasar otak ngeres. Jangan berani membayangkan sesuatu tentang diriku. Hih jijik..!" ucap Raya dengan angkuhnya.
Raya langsung naik ke ranjang kebesarannya.
Ia tidak perduli pada pria yang baru saja di nikahinya. Radit sendiri berdecak kagum menatap Raya.
Gadis itu terlihat sangat cantik di matanya malam itu. rambut yang tergerai dengan leher jenjangnya yang putih mulus bak porselen.
Radit menelan ludahnya tersendiri.
"Bagaimana cowok sekampus tidak tergila-gila padanya, dia seperti bidadari..."
Batin Radit.
"jaga matamu! Pikirkan saja kalau esok hari kau harus keluar dari rumah ini karena perjanjian kita telah usai. dengan apa kau akan membiayai keluargamu." ledek Raya dari dalam selimut.
"Itu urusanku. Tapi ngomong-ngomong, terimakasih, kau sudah perhatian pada keluarga ku." ucap Radit senang.
Raya mendengus kesal.
Dia hanya ingin mengingatkannya, eh malah di anggap perhatian. Sial, pikirnya.
Radit memandang ke Kanan dan kirinya. Tidak ada yang bisa di pakainya untuk alas tidur. bahkan satu bantal saja Raya tidak memberikannya.
Lalu ia memberanikan diri membuka lemari yang ada di pojokan.
Disana dia menemukan bad cover.
"Lumayan lah untuk melewati malam ini." ia bergumam sendiri.
Radit merebahkan tubuhnya di atas bad cover itu. Ia menyilangkan tangannya di bawah kepala sebagai bantal. di tatapnya langit-langit kamar itu .Ia merasa sangat beruntung dapat menikah dengan gadis idaman hatinya. Tapi dia juga merasa sedih karena pernikahan mereka di landasi suatu perjanjian.
Walaupun sebenarnya pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Itu menurut Raya, tapi bagi Radit, pernikahan adalah untuk seumur hidup.
Ia menganggap prosesi pernikahannya adalah sah karena cukup syarat dan rukun nya. setidaknya itu yang dia dengar dari guru ngajinya di kampung.. Ia tidak perduli kalau Raya menganggapnya hanya pura-pura.
Radit menyipitkan matanya saat merasakan
sebuah bantal menimpuk kepalanya.
'Bangun! Jangan enak-enakan. ingat, disini kau bukan lah seorang menantu tapi pesuruh ku."
Radit menatap kaki jenjang di depannya sambil menguap panjang. terus keatas, dan dia melihat Raya sudah berkacak pinggang di depannya.
"Bisa ngga lembut sedikit pada suami mu?" ucap Radit sambil beringsut duduk.
"Lembut katamu, aku memang begini adanya.
Sudahlah, Itu tidak penting. Sekarang cepat kau bersiap, pakai baju yang rapi. Oma mengajak kita sarapan."
Radit berdiri dengan malas.
beberapa saat kemudian dia sudah berdiri di depan istrinya.
Mata Raya melotot kearahnya.
"Apa ini? Apa kau tidak punya baju yang lebih keren dikit dari ini?" Raya mengguncang kaos pendek yang di pakainya.
Radit mendesah panjang.
"Aku tidak sempat membawa baju yang lain. Kau tau sendiri, pernikahan kita mendadak. Bahkan kedua orang tuaku saja belum tau."
"Aah, aku tidak mau dengar alasan apapun. Pokoknya menghadap Oma itu harus rapi, kau tau? Oma membenci Arya justru karena style nya yang kurang cocok buat Oma. Jangan sampai aku di keluarkan dari list anggota keluarga gara-gara dirimu."
Ucapnya panjang lebar.
"Tunggu sebentar,." ucapnya mengambil sesuatu dari lemari.
"Pakai ini, kayaknya pas di badanmu."
Radit masih menatap pakaian di tangannya.
"Itu pakaian Arya yang waktu itu ketinggalan di mobil." ucap Raya seolah bisa membaca pikiran Radit.
Meskipun ada rasa tidak suka setiap kali Raya menyebut nama Arya. namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah rapi, mereka turun kelantai bawah dimana Oma sedang menunggu pasangan pengantin baru itu. Merasa di perhatikan oleh Omanya. Raya memasang senyum mesra kearah Radit.
"Gandeng tanganku.." bisiknya lirih sambil tetap tersenyum.
"Apa?" Radit tidak mendengarnya.
"Gandeng tanganku, atau Oma akan tau sandiwara kita."
Dengan senang hati Radit menggandengnya.
"Jangan berlebihan..!" umpat Raya namun berusaha tetap tersenyum di depan Omanya.
"Oma sudah baikan?' Raya mendekati orang tua itu.
"Duduk lah...!"
Raya dan Radit duduk berdampingan.
Mata orang tua itu menatap Radit.
"Mulai hari ini kamu ikut Raya ke kantor."
"Hah? Buat apa, Oma?" Raya merasa cemas. Kalau Radit sampai muncul di kantor, semua temannya akan tau kalau mereka adalah suami istri. Dan Raya tidak mau itu terjadi.
"Tentu saja, Oma menyuruhmu menikah tujuannya agar ada yang mendampingi mu dalam mengelola bisnis kita. Oma pikir Radit bisa belajar untuk itu."
Selama sarapan, wajah Raya terus cemberut. Ia tidak mungkin membantah ucapan Oma nya.
Kalau itu ia lakukan, Oma pasti mengancam akan menarik hak ahli waris satu-satunya dari dirinya.
"Oma memang keterlaluan..!" omelnya kesal.
Radit yang mengekor di belakangnya mendengar keluhannya.
"Menurut mu bagaimana? Aku ikut atau tidak?"
"Kalau tidak ingin Oma curiga, kau harus membawaku."
"Terserah..!" jawab Raya jengkel.
"Tapi ingat.. Jangan sampai orang kantor tau bahwa kita sudah menikah."
Radit mengangguk pasrah.
"Berhenti di sini!" tiba-tiba Raya menyuruhnya berhenti di sebuah tempat.
"Kenapa?" Radit merasa heran.
"Apa kau pikir pantas mengantar ku dengan pakaian seperti itu?"
tanpa menunggu reaksi Radit, gadis itu sudah masuk ke sebuah toko besar yang khusus menyediakan fashion pria
Raya duduk menunggu saat Radit mencoba beberapa kemeja.
"Bagaimana?" Radit muncul dengan setelan lengkap dengan sepatunya. Ia terlihat gagah dengan kostum itu.
Raya sampai pangling di buatnya.
Namun dengan cepat ia menepisnya.
"Biasa, tapi tidak jelek juga." ucapnya cuek.
Mereka sampai di kantor. Radit membukakan pintu mobil untuk Raya.
,"Ingat jangan malu-maluin!" oh, ya . Kau tidak usah ikut masuk. selama aku kerja. Kau boleh kemana pun kau mau. Asal saat aku butuhkan kau sudah siap disini." pesannya lagi.
"Jadi sekarang aku sopir mu?"
Raya mengangguk.
"Hanya itu pekerjaan yang pantas buatmu."
"Lalu perintah Oma?"
"Oma tidak akan tau kalau kau tidak cerita."
Radit mengangguk.
"Selamat pagi, Ray.." seorang pemuda berlesung pipi menyapanya ramah.
"Pagi, Fandi." Jawa Raya dengan ramah.
Membuat Radit merasa heran.
"Degan orang lain dia bisa bersikap manis, tapi denganku?"
Fandi menatap Radit, lalu berpindah ke Raya.
"Siapa dia? pegawai baru?"
Raya menggeleng cepat.
"Dia sopir ku." ucap Raya tanpa beban.
Radit mengangkat wajahnya menatap mata Raya. Tak sedikitpun ada rasa bersalah di sana.
"Oowh, aku pikir kekasihmu atau siapa lah.."
"Bukan! Masa dia kekasihku." bantah Raya menepiskan tangannya.
Raya mengajak Fandi masuk, ia membiarkan Radit yang berdiri menatapnya.
Radit meninggalkan tempat itu dengan membawa mobil Raya.
💞Minta dukungannya ya say
Radit berniat menemui ibunya yang sedang sakit di rumah sakit.
Namun di tengah perjalanan ia menyadari kalau ponsel Raya ketinggalan di mobil.
"Kalau ponselnya disini? bagaimana dia menghubungiku kalau ada sesuatu?"
Radit memutar balik mobilnya ke kantor.
Sampai di parkiran seorang sekuriti mendekatinya.
"Kau sopirnya Bu Raya, kan?"
Radit tertegun sejenak, lalu dia mengangguk.
"Benar, aku sopirnya. Dengar.. Bu Raya meninggalkan ponselnya di mobil. Tolong berikan padanya."
"Kenapa kau tidak memberikannya sendiri?"
"Aku tidak tau ruangannya dimana." jawab Radit asal.
Setelah sekuriti itu pergi. Radit sudah membuka pintu mobil hendak pergi. saat dua orang wanita yang lewat di sampingnya mengatakan sesuatu.
"Lihat saja, kalau Raya yang sombong itu sampai memakan makanan ini, dia pasti langsung mampus."
"Ia, aku juga sudah bosan dengan tingkahnya yang sok ngatur itu." jawab yang satunya.
Radit mengurungkan niatnya untuk pergi.
"Apa aku tidak salah dengar? Barusan mereka menyebut nama Raya." tanpa pikir panjang, dia mengejar kedua wanita itu.
Karena memang tidak tau ruangan Raya, dia kehilangan jejak.
Radit merasa cemas, bagaimana kalau dia terlambat.
Setelah bertanya sana sini, dia menemukan ruangannya.
"Ray, jangan makan itu..!" ucapnya begitu masuk di ruangan itu.
Tangan Raya yang hampir mencomot pizza jadi terhenti.
Semua mata memandang aneh kepadanya. Termasuk Raya.
"Radit? kenapa disini?" Raya terlihat tidak suka.
"Ray, nanti aku jelaskan. Tapi tolong dengar kata-kata ku. Jangan makan pizza itu!."
"Kau ngomong apa? jangan bikin aku malu di depan rekan kerjaku.." bisik Raya tidak suka.
"Siapa dia?" tanya seseorang.
"Kau sopirnya Bu Raya,.kan?" Fandi tiba-tiba sudah menepuk bahunya.
"Dan apa kau bilang? Kenapa Raya tidak boleh makan makanan dari kami?"
"Sudah, jangan dengerin dia. aku mohon maaf atas kesalah pahaman ini." ucap Raya dengan malu.
"Raya, percaya padaku.. Aku dengar sendiri saat mereka lewat di depanku tadi, kalau makanan ini sudah di campur sesuatu." Radit menunjuk dua wanita yang di lihatnya di bawah.
Kedua wanita itu menggeleng.
"Tuh, kan. kau sudah membuat aku malu..!"
Radit masih berusaha membela diri.
"Kalau begitu untuk meyakinkanku. suruh mereka makan terlebih dulu...!" ucap Radit lantang.
Fandi merasa tidak suka. Ia mendekati Raya sambil berkata,
"Niat baikku ternyata di ragukan oleh sopir mu ini. Biar dia puas aku yang akan makan terlebih dulu."
Kedua wanita yang kepergok oleh Radit menahan nafas saat Fandi menggigit pizza itu.
Namun setelah menunggu beberapa menit tidak terjadi sesuatu pun pada Fandi.
Raya menjadi murka.
"Kau puas sekarang?" Radit terdiam mematung. Bagaimana mungkin Fandi tidak apa-apa?
"Sudah, buang saja makanan ini!" ucap Fandi kecewa dan meninggalkan ruangan Raya sambil membuang pizza ketempat sampah.
"Hari ku menjadi sial karena mu. Dasar orang udik..!" Raya melempar wajah Radit dengan tumpukan berkas di mejanya.
Raya berlari keluar dengan marah.
Radit masih berdiri mematung. Ia masih tidak percaya yang terjadi.
Perlahan dia mendekati pizza itu, lalu memungutnya sedikit.
"Aku harus buktikan pada Raya bahwa aku tidak salah."
Radit bergegas keluar dari ruangan itu.
Saat melewati sebuah ruangan, dia mendengar suara tawa yang begitu riuh disana.
"Raya pasti sudah memarahi sopirnya habis - habisan. Gadis angkuh seperti dia tidak gampang memaafkan seseorang." ucapan itu keluar dari mulut Fandi.
"Lalu bagaimana caranya kau tidak apa-apa, padahal kau sudah memakannya?"
"Aku hanya memasukkannya kedalam mulut, tidak aku telan. lalu saat kalian lengah, aku membuangnya." mereka tertawa lagi.
"Sebenarnya siapa pria itu? Bodyguard nya Raya?"
"Entahlah... Yang jelas dia sudah menggagalkan rencana kita."
Radit merasa geram. Rupanya mereka sudah bersandiwara di depan Raya.
Radit memutuskan menyusul gadis itu ke parkiran, tapi Raya susah naik taksi dengan wajah kesal.
Teriakan Radit tidak di hiraukan nya.
"Berani sekali dia, dia pikir dirinya siapa?
Seenaknya saja muncul dan membuat onar." Raya masih berasa sangat kesal.
Sementara itu, Radit masih termenung di belakang kemudi.
"Raya pasti langsung pulang. Tapi dia tidak mungkin berani mengadu pada Oma."
Ia bergumam sendiri.
Sebuah pesan masuk di ponselnya.
Ia merasa kaget karena sepuluh kali panggilan dari Aisyah adiknya terlewatkan.
"Aku terlalu fokus pada masalah di atas tadi, sampai Ais menelpon, aku tidak tau "
(Mas, cepat datang kerumah sakit. Ibu tidak sadarkan diri)
Tanpa membalasnya, Radit langsung meluncur kerumah sakit tempat ibunya di rawat.
"Bagaiman keadaan ibu, ?" tanyanya dengan panik.
"Tiba-tiba ibu tidak sadarkan diri. Sekarang masih di tangani dokter." jawab Ais dengan mata sembab bekas menangis.
"Maaf, karena ada urusan penting sampai tidak mendengar panggilan mu." Radit memeluk adiknya.
Saat melihat Dokter keluar. Radit langsung menghadangnya.
"Bagaimana ibu saya, Dok?"
"Sangat menyesal saya katakan, ibu anda harus segera di operasi, kanker nya sudah
sudah menyebar."
Radit tertunduk lemas.
Dia langsung mendekati ibunya yang belum sadarkan diri.
"Maafkan Radit, Bu." Radit mencium tangan ibunya lembut.
"Mas, darimana kita dapat uang untuk biaya operasi ibu? " Aisyah menyentuh bahu kakaknya.
"Ais.. kau tidak usah pikirkan itu. Kau fokus saja pada kuliahmu. Mas yang akan mencari biaya pengobatan ibu."
"Aku mau berhenti kuliah, Mas. Aku bisa bantu Mas Radit mencari biaya untuk ibu."
"Sstt... ! Jangan pernah berpikir untuk berhenti kuliah. Mas tidak suka mendengarnya. Apapun yang terjadi kau harus lulus, Mas ingin melihatmu jadi orang sukses. Jangan seperti Mas Radit."
Kedua kakak beradik itu termenung di ruang perawatan ibunya.
"Uang dari Raya belum cukup untuk membiayai operasi ibu, usahaku berjualan baju bekas hasilnya juga tidak seberapa." Radit memeras otak mencari jalan keluarnya.
***
Sementara itu, Raya pergi ketempat Arya.
Dia langsung memeluk pria itu sambil tersedu.
"Ada apa sayang...?" Arya bertanya dengan heran.
"Aku tidak kuat harus menjalani sandiwara ini lebih lama lagi." ucapnya tergugu.
"Tenang, aku ada disini untukmu."
Perlahan Raya bisa tenang. dia mulai menceritakan kejadian tadi pagi di kantor.
"Aku heran, kenapa dia bisa seceroboh itu? Sudah bersyukur kau mau menikahinya, dia malah ngelunjak." Arya semakin memanas manasi Raya.
Raya melirik malas ke ponsel di atas meja.
nama Radit tertera di layar.
Arya mengangkatnya.
"Halo, Ray.. Aku minta maaf atas kejadian tadi, tapi kau dimana, aku tanya orang rumah katanya kau tidak pulang?"
Raya merebut ponsel itu dan berkata dengan ketus.
"Aku di tempat Arya. Kau mau apa? Mau ngerecokin aku lagi?"
Radit merasa tidak suka.
"Aku kesana,!" ucapnya lalu menutup telponnya.
"Ngapain coba dia kesana? Dia kan sudah menikah, harusnya tau setiap batasannya." Radit menggerutu sendiri.
Di tempat Arya, Raya masih bersandar di bahu pemuda itu.
"Sebenarnya aku juga ingin kau menyudahi sandiwara ini, tapi bagaimana kalau Oma tidak memberimu apa pun? Karena itu, bersabarlah sedikit. Sampai ia benar-benar mempercayaimu." ujar Arya.
"Lalu apa kau tidak cemburu kalau aku harus bersama dengan pria asing itu?" Raya merajuk.
"Tentu saja, darahku mendidih saat melihatmu dengannya. tapi aku yakin cintamu hanya untuk ku.."
Arya mengecup kening gadis itu.
Mereka masih berpelukan mesra saat Radit sampai di tempat itu.
Radit merasa matanya tiba-tiba saja memanas melihat pemandangan itu.
"Ray, ayo kita pulang. Oma pasti sudah menunggu." ajaknya dengan lembut.
Radit berusaha memegang tangan Raya.
Raya menghempaskannya dengan kasar.
"Kau tidak lihat kami sedang apa? Dasar tidak tau malu!" umpat Raya. Arya hanya tersenyum sinis kearahnya.
"Kita pulang!" Radit mengulang ucapannya dengan tegas.
"Atau, apa perlu aku adukan semua ini pada Oma?"
Mata Raya terbelalak.
"Kau berani mengancam ku? Siapa kau?"
Telunjuk Raya tepat di hidung Radit.
"Aku suami mu.. Entah kalian suka atau tidak!" ucap Radit tegas.
"Ayo..!" ucapnya lagi tak perduli dengan kemarahan Raya dan Arya.
Arya memberi isyarat agar Raya menurutinya.
Dengan menghentakkan kakinya. Raya berlari ke mobil.
Radit mengikutinya.
Namun suara Arya menghentikannya.
"Kau boleh bangga dengan status mu menjadi suaminya. tapi hati dan tubuhnya tetaplah milik ku!"
Radit berbalik dan menatap mata Arya.
"Kau juga boleh bangga dengan keadaan ini. Tapi semesta merestui ku sebagai suami yang sah dan halal untuk Raya. kau akan lihat itu, aku janji."
Dengan langkah lebar Radit menyusul Raya.
Arya hanya bisa meluapkan emosinya dengan mengumpat.
💞Masih tetap minta dukungannya
Sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam.
Radit sibuk dengan pikirannya bagaimana cara mendapatkan uang agar ibunya segera bisa di operasi. Sedangkan Raya, dia memikirkan cara agar secepatnya bisa lepas dari Radit.
"Ehem...!" Radit sengaja berdehem.
Raya masih tidak bereaksi.
"Kau masih marah dengan kejadian tadi?" ,Radit berusaha mencairkan suasana.
"Kau pikir saja sendiri..!" jawabnya sengit.
"Tapi apa yang aku bilang di kantor itu benar, Ray."
"Jangan mencari pembelaan. Memang kesalahan besar aku sudah memilihmu dalam rencana ini."
Radit terdiam.
"Sebaiknya kita cerai saja.!"
"Cerai?" Radit menoleh.
"Ia, aku sudah tidak tahan hidup denganmu, sehari rasanya seperti setahun."
"Lalu Oma? Apakah dia akan setuju? Kita baru menikah kemarin sore." ucap Radit.
"Itu dia masalahnya, aku harus mencari alasan untuk menceraikan mu."
"Kalau aku tidak mau?"
"Kau harus mau!" bentak Raya.
"Aku tetap tidak mau!" Radit tak kalah keras.
Mereka sama-sama terdiam.
Sampai di depan rumah pun, mereka masih saling diam.
Oma sedang berada di teras di temani Bik Suti.
"Lho, kenapa kalian pulang secepat ini?" sapanya heran.
Raya menjadi bingung harus menjawab apa.
"Raya merasa kurang enak badan, Oma." Radit yang menjawab sambil melirik Raya.
"Ia benar, Oma." ucap Raya seraya meraba tengkuknya.
"Kalau begitu istirahat lah..!"
Radit menggandeng tangan Raya dengan mesra.
"Kami permisi, Oma." ia mengangguk hormat.
Raya mendorong tubuh suaminya dengan keras.
"Jangan suka mencari kesempatan..!"
Radit hanya terdiam.
Ia juga diam saat Raya mengunci pintu kamarnya dari dalam.
"Lho, Mas Radit, kenapa diam di depan pintu?" sapa bik Suti yang datang dari kamar Oma.
"Eh, iya, Bik. Raya sedang istirahat. jadi, aku pikir. Ketimbang dia tidak bisa tidur, lebih baik membiarkannya." Radit berusaha mencari alasan.
Wanita paro baya itu mengangguk.
Diam-diam, Radit keluar dari rumah besar itu.
"Radit..!" suara Oma menghentikan langkahnya.
"Oma..?" Radit sangat terkejut.
"Wajahmu terlihat bingung. Apa ada sesuatu yang kau dan Raya sembunyikan dari Oma?"
Radit menelan ludah.
Orang. tua di depannya ini sangat jeli membaca keadaan. Pantaslah kalau bisnis keluarga maju pesat di bawah kepemimpinannya.
"Ada masalah?" ulang Oma sambil membenarkan syal yang melingkar di lehernya.
"Tidak, Oma..." jawab Radit mengelak.
"Gara-gara Raya, kan?" tebaknya dengan yakin.
Radit mendongak kaget.
"Tidak usah kaget. Oma hafal sifat cucu Oma sendiri."
Radit semakin tercengang.
"Ayo ikut Oma." wanita tua itu mengajak Radit masuk ke kamarnya.
"Oma mau kau menjaga Raya selamanya. Walaupun Oma sendiri tau, dia anak yang susah di atur. Manja dan kekanak-kanakan.
Oma juga tau, pernikahan kalian hanya settingan. Raya ingin mengelabui mata tua ini."
Radit berkeringat dingin. Bagaimana kalau orang tua itu marah kepadanya karena semua yang terjadi.
'Oma..." ucap Radit tergagap.
Oma mengangkat tangannya.
"Kau pikir Oma sakit beneran?"
"Jadi?"
"Semua ini Oma lakukan untuk mempersiapkan Raya menjadi pribadi yang mapan, sampai tiba waktunya dia akan menggantikan Oma memimpin perusahaan."
Luar biasa orang tua ini. Ternyata dia sangat berpengalaman.
"Kau butuh uang, kan?"
Sekali lagi orang tua itu membuatnya tercengang.
Belum sempat Radit menjawab, dia sudah menyodorkan selembar cek.
"Berapa yang kau butuhkan?"
Radit menerimanya dengan tangan gemetar.
"Tapi Oma punya syarat. Kau harus terus mendampinginya apapun yang terjadi. Kalau bisa pisahkan dia dari pemuda yang bernama Arya. Kau mau berjanji?"
Radit tercekat. Sebenarnya, walaupun tanpa syarat dari Oma, Ia akan tetap mempertahankan Raya.
"Aku setuju." jawab Radit.
"Sekarang pergilah kerumah sakit. Ibumu menunggumu. Dan ingat, siapapun tidak boleh ada yang tau tentang kesepakatan kita. Termasuk Raya."
Radit mengangguk.
Ia langsung pergi kerumah sakit.
Tanpa berpikir apa yang akan terjadi dengan keputusannya, dalam kepalanya hanya ada satu harapan. yaitu, kesembuhan ibunya.
Dengan harap-harap cemas. Ia dan adiknya menunggu di depan ruang operasi.
Ais menepuk pundaknya
"Mas, kau dapat darimana uang sebanyak itu hanya dalam satu hari?"
pertanyaan Ais membuatnya termenung.
Ia tidak mungkin bilang pada Ais bahwa dia telah menggadaikan hidupnya demi uang itu.
Karena mulai sekarang, dia harus bisa menerima semua perlakuan Raya bagaimanapun pahitnya.
"Mas Radit dapat merampok, ya?" bisik Ais lagi.
"Astagfirullah... Kau menuduh Mas mu ini sudah tidak waras?"
"Habisnya, aku heran saja."
"Yang jelas, uang itu bukan dari hasil merampok atau mencuri. Kau tenang saja. Yang terpenting sekarang adalah kesembuhan ibu dan juga kuliahmu harus tetap jalan." Radit tidak memberi kesempatan adiknya bertanya lagi.
***
Seminggu sudah ibunya menjalani perawatan paska operasi.
Hari itu dokter mengijinkannya pulang dengan catatan harus datang kontrol.
Radit sangat bahagia melihat senyum di wajah ibunya. Tak henti dia mengucap syukur.
Radit mengantar ibu dan adiknya pulang ke rumah sederhana mereka.
"Ibu tidak boleh banyak pikiran. Urusan mencari uang, serahkan pada Radit."
Ucapnya Meyakinkan.
Ibunya sangat terharu. Dia memeluk kepala Radit sambil menangis.
"Doa ibu selalu menyertaimu..."
"Oh, ya.. Dalam beberapa hari ini, mungkin aku tidak bisa pulang. Kalau kalian butuh sesuatu, Ais bisa menelpon Mas Radit." matanya menatap Aisyah.
"Apa pun yang kau kerjakan yang penting halal dan Istiqomah, dan satu lagi. Kejujuran, itu yang terpenting, Nak."
Nasehat ibunya.
Radit menggigit bibirnya.
"Apa yang akan terjadi andai ibu tau dari mana aku mendapatkan uang itu." pikirnya miris.
Radit kembali kerumah Raya.
Ia mendapati rumah itu sepi, padahal hari itu hari Minggu.
Bik Suti datang tergopoh mendekatinya.
"Baru pulang, Mas?"
"Iya, Bik. Pada kemana kok sepi?"
"Non Raya tidak pulang dari semalam sampai sekarang. Sedangkan Oma sedang pergi, ada urusan katanya."
"Raya tidak pulang dari semalam?" ulang Radit tidak percaya.
Wanita itu mengangguk. Tapi dalam hati dia nyeletuk
"Pengantin baru kok tidak tau istrinya kemana, aneh..!"
"Mau saya siapkan makan siang?" tawarnya pada Radit.
"Tidak, Bik. Aku mau mencari Raya."
ucapnya sambil bergegas keluar.
Beberapa kali dia mencoba menghubungi Raya, tapi tidak aktif.
"Dimana dia? Aku khawatir terjadi sesuatu padanya."
Radit memutuskan mencarinya ketempat Arya. namun disana juga sepi. Raya dan Arya tidak ada.
Ia semakin bingung harus mencari Raya kemana.
Di Tengah kebingungannya, Radit menerima pesan dari sahabatnya bahwa dia .melihat Raya dan Arya sedang berduaan di sebuah club malam.
Tanpa pikir panjang lagi dia meluncur kesana.
Dia melangkah memasuki area remang-remang itu. Yang ada hanya kilatan lampu dan Irama musik yang menghentak.
Radit memutar pandangannya kesemua arah.
Benar saja, dia mendapati Raya sedang minum sambil di rangkul seorang pria. Yang jelas bukan Arya.
Dengan perasaan marah dia menghampiri gadis itu.
Raya yang merasa tangannya ditarik dengan kasar menoleh kearahnya.
"Apa yang kau lakukan, Ray? Ayo kita pulang..!"
Raya menghentak tangannya hingga lepas dari genggaman Radit.
"Siapa kau berani mengaturku? Siapa?" ucapnya lantang hingga menarik perhatian pengunjung lain.
"Ray, kau mabuk. Kau terlalu banyak minum." Radit menangkap tubuh Raya yang terhuyung.
Tapi Raya kembali menolaknya.
Pria yang bersamanya tadi berusaha memegang Raya. Dan gadis tidak menolak.
"Hey lepas. Dia istriku!" bentak Radit dengan amarah yang meluap.
"Kau lihat saja, Raya tidak mau kau sentuh. keluar saja dari tempat ini. Benar, kan sayang?" ucapannya seolah mengejek Radit.
"Benar, dia tidak pantas berada di sini. Hus, hus.. Pergi sana!" ucap Raya yang mulai kehilangan separoh kesadarannya.
Terjadi pergumulan di antara Radit dan pria yang semula bersamanya.
Tempat itu menjadi hingar bingar.
Arya datang dan langsung memeluk Raya.
"Ada apa sayang?
Raya langsung menunjuk kearah Radit.
"Aku mau membawa istriku pulang." ucapnya pada Arya.
"Hey gembel..! Ngapain kau kesini? Kurang jelas juga apa yang di katakan Raya? Kau bukan apa-apa nya. Kau cuma kacung baginya!"
Radit terpancing amarah. Dia langsung melayangkan sebuah pukulan kearah wajah' Arya.
Melihat Arya terjatuh membuat Raya menjerit.
refleks tangannya mengambil asbak di meja dan melemparnya ke wajah Radit. Akibatnya sudut matanya meneteskan darah segar.
"Dasar Babu..! Apa yang kau lakukan pada Arya? Apa kau pikir berhak melakukan ini?
Siapa yang memberimu hak?" teriak Raya dengan emosi.
Radit terdiam sambil menyeka darah yang terus mengalir.
"Kau hanya suami bayaran ku. Jadi jangan melewati batasanmu." ucap Raya dengan kejam. Dia malah menolong Arya. Luka Radit yang lebih parah dia tidak perduli.
Radit hanya terdiam. Sakit dan perih yang dia rasakan bukan karena luka di wajahnya, tapi karena kata-kata Raya yang begitu melukai hatinya.
"Kau pulang saja, aku masih mau disini.." ucapnya dengan kejam pada Radit.
Raya kembali mengambil minuman dan meneguknya, begitu pula dengan Arya dan teman-temannya. Mereka tidak perduli dengan perasaan Radit yang dengan setia menunggu Raya di luar.
Sampai tengah malam, Raya dan yang lainnya mulai benar-benar mabuk. Mereka bicara tidak keruan lagi. Jangankan untuk saling menolong satu sama lain. Berjalan saja mereka tidak sanggup.
Radit membawa Raya yang sedang mabuk pulang. Tanpa kata, tanpa bicara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!