NovelToon NovelToon

PEMBALAS STELLARIANS

Stellarians (prolog)

" Kira-kira apa yang ada dibalik awan-awan kapas itu ya? ", begitulah sanubari ini ketika melihat birunya langit

Aku terbaring di halaman rumah menimpa runcingnya tanaman hijau kecil-kecil ini. kutatap langit penuh kagum padanya, maka bermekarlah kelima jariku keatas, mencoba menggenggamnya. Tinggi sekali, melampaui batas jarak pandangku, biru nan dalam warnanya, dihiasi oleh bentukan gumpalan kapas yang berkejar-kejaran.

Hampir setiap malam Ayahku bercerita bahwa dibaliknya terdapat kehidupan para makhluk agung yang disebut sebagai bintang. Ceritanya sangatlah panjang, namun sangat asik untuk didengarkan.

Ratusan tahun lalu, kehidupan berjalan sangatlah rusak. Kerajaan-kerajaan hidup dalam menjalin peperangan. Ratusan ribu prajurit berguguran, Sang pemenang akan mengambil alih kerajaan yang kalah dan memenggal raja, sementara rakyatnya dijadikan budak dan diperjual beli. Hal itu menjadi "pemandangan" dimanapun bumi dipijak.

Namun suatu ketika, muncullah makhluk yang belum pernah terlihat mata sebelumnya. berbentuk seperti malaikat, Berpostur besar dan tinggi dan mengenakan tudung. seluruh badannya dibaluti oleh pakaian serba putih mengilat bercorakkan emas, sementara sayap-sayap yang siap dikepakkan menjaga sekeliling mereka.

Kemunculan makhluk-makhluk ini menjadi awal dari dimulainya era perdamaian. Mereka menengahi peperangan dan konflik yang terjadi, menawarkan solusi dan kerjasama, meski sebagian besar kerajaan menolak. berkatnya peperangan mereda, kejahatan menurun sangat drastis, perbudakan terhapus, kerajaan-kerajaan mulai menjalin hubungan baik.

Setelah damainya dunia ini, makhluk-makhluk itu "naik" menembus langit, mengepakkan sayap lebarnya, sesekali bulunya berjatuhan. Meninggalkan manusia dengan urusan-urusannya. Hal itu membuat semua orang bertanya-tanya, kemana mereka pergi?.

seratus tahun telah berlalu, orang-orang mulai menganggap mereka hanyalah sebuah kisah dongeng yang diceritakan sebagai pengantar tidur, ataupun figure pahlawan bagi anak-anak.

Lalu seseorang di daratan luas nun jauh, saat semua orang asik dengan tidurnya, ia mengamati indahnya langit malam. bulan bersinar begitu terang ditaburi bintang-bintang yang tampak kecil namun tersebar banyak. Namun diantara itu semua, ia membidikkan pandangannya pada sebuah fenomena aneh. Sebuah pulau mengambang jauh diatas, melewati awan-awan dan atmosfer bumi. lantas ia menceritakan pada orang-orang tentang fenomena aneh tersebut pada keesokan paginya.

Tentu saja orang-orang tidak percaya dengan hal itu, ada yang tertawa, ada yang menganggapnya terlalu banyak minum dan lain-lain. mereka ingin pembuktian langsung, maka dia mengajak semuanya untuk melihat bersama-sama.

tengah malam telah berkunjung, semua orang ramai-ramai menunggu di sebuah lapangan luas untuk melihat fenomena tersebut. Yang ditunggu-tunggu terjadi, Semua orang terkesima. Mulut mereka ternganga, mata lebar takjub tak percaya, pulau itu benar-benar ada, dia mengambang jauh diatas langit, di jarak yang tak dapat digapai manusia. Nampaknya pulau tersebut membuat orang-orang mulai menarik benang merahnya, mereka mengaitkan bahwa pulau itu adalah tempat tinggal para makhluk mitos yang dulu pernah muncul.

Pada malam hari,

Jauh diatas permukaan, bersama dengan bintang-bintang yang menemani langit, terdapat kehidupan para makhluk agung. Orang-orang kemudian menyebutnya sebagai STELLARIANS, atau para bintang Stellar....

Begitulah ceritanya. seperti tak berkesudahan, degup jantungku terus berirama begitu membayangkannya. Ntah itu benar atau tidak, aku tak terlalu peduli. Menurutku meredakan peperangan dan membuat perdamaian adalah hal yang luar biasa.

Maka seperti pada anak-anak umumnya, aku juga mengidolakan para Stellarians. Aku membeli banyak sekali benda yang berbau itu, seperti mainan, poster, buku tulis dan masih banyak lagi. Sampai pada akhirnya mereka memperlihatkan kenyataan tentang diri mereka sendiri, sebuah kenyataan baru yang membuatku ingin membalas mereka....

Keluargaku

Desa Bukit Bintang, November 755 Masehi, jam 11.10

Iseng saja, aku mendekat ke seekor katak dan menangkapnya dengan kedua telapak kosongku. Sensasi licin menjalari lengan dan badanku. sontak langsung terlempar katak tersebut masuk kedalam parit berlumut, plung. aghh menjijikkan. kuseretkan kedua telapak tangan kemana saja yang dapat menghilangkan sensasi berlendir ini. pohon, tanah, rumput, bahkan mencucinya di genangan air.

" Suryaa, sudah dulu mainnya!!. Masuk sini makan!!",

Alamak, gawat. Ratu kerajaan sudah mengeluarkan ultimatum.

"Iya buuu". Segera kuhentikan segala aktivitas dan berlari masuk kedalam rumah.

"Eee Kamu nih Sur, sukanya kelayapan aja", teriak ibu memarahiku sesekali menggelengkan kepalanya. Ia kemudian berlutut menyamai ukuran putranya yang masih kecil lalu mengelap ingus yang tanpa sadar sudah menggantung-gantung di bibirku

"Dah, mandi sana gih", katanya pelan

ibuku seorang perempuan berambut pirang panjang dan halus yang seringnya ia ikat kebelakang. Wajahnya seindah rambutnya, dengan sepasang mata biru laut yang dalam yang dinaungi alis tipis. Sehari-hari memakai baju kurung.

Segera kuturuti perkataannya, melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang tak jauh dari sini, tepatnya didekat dapur. Tapi sebelum itu, mata tak bisa kukendalikan, rasanya gatal untuk tidak celingak-celinguk kesana kemari mencari keberadaan seseorang.

" Ayah belum balik bu?", .

Sambil cekatan mencuci piring,

"Belum, masih di sawah kayaknya. Paling sebentar lagi pulang".

Anggukan adalah balasanku, aku menutup pintu kayu kamar mandi dan mulai membuka baju.

***

Aaahhh segarnya, habis main panas-panas kemudian disembuhkan oleh hempasan air gayung. Badan sudah bersih, disusul baju yang membebabatkan diri. tek, kugeser keatas kayu penahan pintu kamar mandi dan membukanya. Aku cukup terkejut mendapati Seseorang berdiri tegap tepat di depan pintu toilet. suaranya yang berat menyapa,

"Habis main bang?". Siapa lagi orang itu kalau bukan orang yang selalu mengajariku tuk menjadi lebih kuat.

Ayah adalah seorang petani yang bekerja tuk juragan di sawah luas. ia kembali dengan kulit yang sudah terpanggang matahari, baju dan celana yang ia kenakan seolah tanah yang ia garap telah menyatu dengan dirinya.

"Kenapa bengong? sana, Ayah mau mandi", katanya menggeser tubuhku. Aku hanya menggelengkan kepala, daripada ingin mandi sepertinya ayah lebih kearah sesak berak pikirku.

***

setengah jam berlalu, kami sekeluarga kini berkumpul diatas meja makan yang menghidangkan berbagai makanan lezat. Sebakul nasi terpampang mengeluarkan kabut tipis dari dalamnya.

Diatas petaknya meja makan kayu, Kami mengobrol banyak hal, seperti pertandingan sepak bolaku dengan kampung sebelah, Ibu yang mengomeliku dan ayah dengan cerita pupuk dan persawahannya yang tak terlalu kumengerti. Ditengah-tengah itu, kualihkan pembicaraan ini dengan keinginan yang sudah kupendam seminggu lalu, yaitu melihat pulau bintang yang tampak pada tengah malam. Kutatap wajah ibuku,

"Bu, besok kan hari Minggu. Juga abang sudah menunggu seminggu ini dengan sabar. Boleh ya, kalau malam ini abang begadang sampai tengah malam untuk melihat pulau langit?"

Ibu terdiam sebentar, mengalihkan pandangannya.

" Tidak boleh"

"Hah? kenapa?",

"Anak seumur abang tidak boleh begadang karena masih dalam masa pertumbuhan"

Alasan yang sama lagi, ini adalah minggu kedua aku mendengarnya.

"Tapi bu, abang sudah sabar menunggu seminggu ini tuk melihat pulau langit. Minggu kemarin ibu juga tidak memperbolehkanku" tangkisku sengit. Mukaku merah dan mata terasa panas.

"Abang lihat diri abang tuh kalau hari minggu, macam orang mati seharian karena begadang sampai tengah malam",

" Tapi kan abang hanya dapat kesempatan sekali seminggu. Itupun besoknya adalah hari libur, jadi seharusnya tidak masalah. Lagian juga kenapa tiba-tiba melarang abang seperti itu? Abang bukan anak kecil lagi, sudah 14 tahun"

Ibu hanya diam tak membalas, ia lanjut menyuapkan sesendok nasi. Hal itu membuat mukaku tambah merah padam, aku merasa kalau ibu hanya menganggap ini adalah permintaan remeh-temeh.

"Bu..."

"Buu... Buu... "

"BUUUU!!!", kekesalanku mencapai ujung tanduk, aku tanpa sengaja membentak ibuku diatas meja makan.

Braakkk, ibu menghempaskan tangannya di meja kayu. Piring sedikit terloncat dari kediamannya dan berdenting nyaring.

"KALAU IBU BILANG TIDAK BOLEH YA TIDAK BOLEH. BISA DIBILANGIN GAK?!!!!"

Aku sedikit tersentak kebelakang mendapati reaksi itu. Meski begitu, rasa tidak mau kalah ini menguasai tubuh. Aku bersikukuh hendak dituruti kemauannya. Kualihkan pandanganku ke ayah yang tampak hanya memerhatikan, tangannya meraih pundak ibu, sedikit dieluskannya untuk menenangkan.

"Ayah, bantu abang. Sudah dua minggu ini ibu tidak memperbolehkan tuk melihat pulau langit", pintaku dengan wajah memelas.

Ayah menjawab singkat,

"sudahlah, ikuti saja kata ibu, itu yang terbaik."

Aku tanpa pembela. Dengan muka menekur, kutinggalkan meja makan serta makanannya yang tinggal separuh. Sebelum mereka menyahut, aku pergi keluar rumah dan membanting pintu kuat-kuat....

Bamm... Bagai badai yang mengguncang pohon dengan keras, ku banting pintu itu dengan muka merah padam. Bersusul dengan aku melarikan diri dengan kilat, tidak terima keputusan dari ibu. Derap langkah kaki berdecak di tanah dan rerumputan, melewati batang demi batang bambu berjejer.

Aku jadi merasa bersalah berbuat seperti itu. apa sebaiknya aku kembali saja dan meminta maaf pada mereka?

Tidak, tidak. Ibu sudah menentang ini dua minggu, dan ayah sudah tidak pernah bercerita tentangnya semenjak ibu melarang. Kesempatan ini hanya sekali seminggu, dan lagi aku memilih waktu yang keesokannya libur agar tidak mengganggu sekolahku. Harusnya tidak masalah bukan?"

Tidak jadi, kulanjutkan pelarianku. Hamparan bambu berjejer bak pilar melingkupi kedua sisi kanan dan kiri. Pertarungan pilihan ini dimenangkan oleh sang ego, dan logika mengakui kekalahannya.

Akhirnya, tertegak aku di sebuah rumah.

Ini adalah rumah nek Aci. Kuangkat kedua tangan, melingkari mulut seperti corong bulat lalu berteriak.

"NEK AAACIIII". Tidak ada balasan, angin serasa berlewat cepat. Kupanggil sekali lagi,

"NEK AACIIIIII"

Braakkk... Pintu terbuka kuat sampai pada batasnya. Nek Aci keluar dari dalam rumah sembari memperbaiki kupluknya. Ia kemudian berteriak balik padaku dengan logatnya.

"Sur, Sur. mbok manggil orang tuh yang sopan to yo. Jangan teriak-teriak. Nek Aci barusan tertidur lho"

Langsung ku peluk erat nek Aci. beliau tampak sedikit terkejut dengan pelukanku lalu membalasnya.

"Ada apa sur? berantamkah kau sama bapakmu?", tanya nek Aci menepuk-nepuk punggungku.

Nek Aci mengajakku untuk duduk diterasnya, dan dengan senang hati kuterima. Setelah duduk lalu kuceritakan kejadian padanya dengan panjang lebar.

***

beberapa waktu berlalu, Nek Aci nampaknya terdiam selepas mendengar ceritaku. Ia kemudian memberikan komentarnya,

"Oalah, begitu. Seharusnya Surya diperbolehkan melihat pulau langitnya. Lagian kan Surya sudah besar, berapa umur kau?",

"14 tahun"

"14 tahun. sudah bisa mengawini anak orang tuh," Nek Aci kemudian tergelak dengan guyonannya sendiri, yang bagiku tak lucu sama sekali.

"Yah nenek paham kau ingin melihat pulau langit, apalagi cuman sekali seminggu sekali dan itupun di malam minggu. Harusnya orang tuamu mengerti perasaan anak bujangnya."

Yakan nek Aci, Nenek juga berpikir seperti itu. Seharusnya ibu mengerti kalau aku sudah sesak ingin melihat pulau langit itu. Nek Aci memang selalu menjadi pembelaku.

"Tapi...", Nek Aci tiba-tiba meraih ujung bahuku. Ia melanjutkan, " Mamak kau mungkin punya alasan tersendiri. Terkadang insting orang tua itu tidak boleh dianggap remeh, Sur. Jadi baliklah kau, jumpai mamak bapakmu. Minta maaf kepada mereka"

Aku mengalihkan pandanganku kesamping, menolak melihat nek Aci kemudian mengangguk pura-pura setuju. Disaat itu lewat seorang anak sepantaranku tak jauh dari rumah nek Aci.

"BUDIII!!!", teriakku memecah keheningan. Anak itu sontak menoleh. Wajahnya berubah menjadi gembira. " Surya", katanya berlari kearahku.

Tap tap tap. Sampailah dia ke hadapanku dan nek Aci. Disalaminya dulu nek Aci sebelum berbicara denganku,

"Makin panjang aja rambut kau Budi", kata nek Aci mengibaskan rambutnya

" Hehe, iya nek. Biar cewek-cewek kepelet samaku", Kata Budi nyengir. Ia kemudian menoleh kearahku

"Baru aku mau ke rumah kau Sur. Rupanya main ke rumah nek Aci," katanya

"Haha, iya, bosan di rumah". Saat Budi hendak membalas ucapanku, nek Aci beranjak dari dudukannya dengan gemetar dan susah payah memegang punggungnya.

" Aduduh. Ah, mainlah klen berdua ya. Tapi jangan ribut, nenek mau lanjut tidur dulu" katanya.

"Iya nek", Balasku dan Budi serentak.

Nek Aci perlahan memasuki rumah dan menutup pintu kayunya. Budi kemudian mencolekku

"biasanya kau kalau ke rumah nek Aci berarti ada yang kau kadukan. Emangnya ada masalah apa?", tanya Budi dengan muka menyelidiki. Aku terdiam sebentar, sedikit berfikir apakah bocah jamet ini perlu kuceritakan. Akhirnya aku malah menceritakan semuanya.

Budi memegangi dagunya seolah memberikan kesan berfikir yang mendalam.

"Begitu ya. Hmm.... melihat pulau langit. Aku sih tidak terlalu tertarik, tapi sepertinya akan seru kalau bisa bangun sampai tengah malam. Bagaimana kalau kita melihatnya bareng-bareng?"

"Boleh boleh aja", jawabku. Budi menjentikkan jarinya, " Ah.. biar lebih seru kuajak juga yang lainnya. Si Ardi sama Irfan pasti mau mereka"

"Oke".

Dan begitulah rencana kami untuk melihat pulau langit bersama-sama malam ini yang menjadi awal kehancuran.....

melihat pulau langit

Rumah Budi, Jam 23.45

Rencana tiba-tiba kami terjalan juga. Rasa risau dan cemas beradu di pikiranku. Bagaimana tidak, aku sekarang tegak sejajar bersama ketiga temanku didepan pintu rumah Budi, menunggu bapaknya tuk keluar.

sehabis dari rumah nek aci tadi aku balik ke rumah. tapi mogok bicara dan memeram diri di kamar, Kuharap ibu berubah pikiran melihat anak bujangnya jadi layu begini. Setiap ada ketukan kubalas dengan jawaban singkat, "sedang tidur". Beberapa kali ibu mencoba mengajakku berbicara dari balik pintu dan beberapa kali pula kudiamkan saja.

Ibu mencoba membujukku seperti akan membelikan makanan kesukaanku, atau membelikan mainan baru. Namun dari itu semua tidak ada tanda-tanda pencabutan penolakan. malam hari tiba, ibu membawakan makan malamku kedepan pintu kamar, tapi kusuruh saja untuk meletaknya di lantai. Lalu disaat sudah mulai larut, aku kabur diam-diam dari rumah melalui jendela kamar yang tanpa teralis.

"Mikirin apa sur? kau sudah izin pada mamakmu kan?",

Aku sedikit tersentak, Budi bertanya tiba-tiba, memecah lamunanku. apa yang harus kujawab? sudah? belum? ah, entahlah, yang jelas sudah sejauh ini, tidak ada kata mundur. Aku tidak akan menyesalinya.

"Sudah".

Budi menatapku skeptis, seolah tak percaya,

" Hmmm.... baguslah kalau begitu. Jangan sampai kau tak izin sama mamakmu, nanti bisa kena karma lho"

Temanku yang bernama Ardi mengalihkan pembicaraan kami,

"Budi, bapakmu makin terlihat garang saja, dengan kumis ijuk begitu",

"Haha, iya, kelihatan kayak mau marah-marah saja" temanku Irfan ikut menambahkan

"Eh? iyakah? menurutku tidak. bapakku mungkin terlihat garang, tapi dia baik padaku dan pengertian"

"Oh iya Budi, kita mau lihat pulau langit dimana? apa disini saja?", tanyaku

" Aku tidak terlalu tau tempatnya tapi yang jelas bukan di dekat rumahku"

Bukan di halaman rumah Budi? lalu dimana.

Pembicaraan kami terhenti begitu Pak Herman, bapaknya Budi keluar dari dalam rumah dan "menyogokkan" lampu minyak tanah. Masing-masing kami segera menyerobot satu.

Budi benar, meski terlihat garang begitu tapi Pak Herman adalah orang baik.

Dialah juragan yang telah memperkerjakan ayahku di sawahnya. Tanpa dia mungkin kami sekeluarga akan kesusahan bahkan untuk makan. Ibu dulu pernah bercerita kalau disaat hendak melahirkanku, pak Hermanlah yang paling pertama datang untuk membantu, beliau memanggilkan seorang dokter dari kerajaan. Kami sekeluarga berhutang banyak padanya, dan berharap suatu hari nanti dapat membalas setidaknya setitik dari kebaikannya.

Pak Herman kemudian menatap Budi lurus-lurus,

mereka seperti membincangkan berbagai hal. Setelahnya, Budi menghampiri kami yang sedaritadi menunggu dibelakang.

"Apa kata bapakmu?", tanyaku langsung

" Dia bilang kita boleh pergi kalau Pak Sutrisno datang"

"Pak Sutrisno?"

"Iya, Bapakku menyuruh Pak Sutrisno untuk menemani kita"

Menyuruh? memang kekuatan seorang juragan!!. Tinggal beri perintah, dan orang akan menuruti, menjadi pak Herman sepertinya terasa enak juga.

"Sur, menurutmu ini akan baik-baik saja?", temanku Irfan bertanya dengan wajah sedikit risau

" Hmm? apa maksudmu? kita kan hanya melihat pulau langit"

"Tidak, perasaanku sedikit tidak enak"

Aku tidak membalas perkataannya, mungkin dia baru pertama kali terjaga selarut ini. Kamipun lanjut mengobrol, menunggu datangnya Pak Sutrisno

***

setelah beberapa menit, kami mendengar suara orang tersenggal-senggal menghampiri. Akhirnya datang juga yang ditunggu-tunggu

"Nah, itu dia. baiklah, kalian boleh pergi" ujar pak Herman sembari menunjuk.

Pak Sutrisno mendatangi pak Herman sembari mencoba mengatur nafasnya, mereka berjabat tangan. "Sutrisno, jaga mereka ya. Pulang paling lama jam satu"

"Baik Juragan"

Baiklah, semua pasukan sudah berkumpul. Sekarang tinggal meluncur menuju medan peperangan.

***

Gelap gulita malam menyergap kami semua. Siluet-siluet pepohonan membentuk sebuah rupa, dan saat menatapnya tampak seolah-olah ada seseorang yang memperhatikan. Bunyi jangkrik berpadu dengan kodok bersahut-sahutan, seolah menyanyikan sebuah lagu. Cahaya sinar rembulan tampak indah, dengan sabit bentuknya. Tapi lebih dari itu, perhatianku terfokus pada arah tujuan perjalanan ini. Katanya mau melihat pulau langit, tapi kok malah ntah kemana.

"Pak Sutrisno, kita mau kemana?", kataku menarik celana kainnya.

" Eh? nak Surya bukannya sudah sering kemari? bapak masih ingat dulu kamu jingkrak-jingkrak karena diajak ayahmu kemari"

"Itukan saat aku masih kecil. Aku sudah tidak ingat jalannya"

"Hahaha, jangan khawatir nak Surya. Bapak tidak akan macam-macam kok. Pak Herman berpesan bahwa ada tempat yang paling cocok untuk melihat pulau langit"

Jadi jalan ini menuju ke tempat itu. Aku ingat, saat aku kecil ayah mengajakku kesana. Namun itu semua saat aku masih kecil, sekarang aku sampai panas dingin merasakan suasana gelap disekitar sini, membayangkan seandainya pak Sutrisno menjebak kami lalu mengambil organ-organ kami.

"Hahaha, kau ketakutan sekali Sur. Huuu cupu" ejek Budi, belum sampai disitu, temanku Ardi ikut nimbrung, "Aiiih, cemananya, Anak kampung tapi takut kali sama gelap-gelap. Keluar saja kau dari sini".

Terakhir Irfan ikutan,

" Haha Sur, sur. Sudahlah tukang ngambek, pengadu, takut gelap lagi".

Ugghhh, aku merasa ditusuk tiga pedang sekaligus tepat di dada. Sial, jangan menghinaku

"Di-diam kalian. a-a aku bukannya takut. Hanya saja malam ini terasa dingin sekali, jadinya menggigil", tangkisku mencoba melawan serangan pedang ini

" Halah, alasan" kata Budi tidak ingin kalah. Pak Sutrisno tertawa kecil melihat interaksi kami. Perdebatan kami terus berlanjut

Sampai pada akhirnya terhenti sesaat sebelum pak Sutrisno membelah sebuah semak belukar dengan tangannya. Wah, Aku tidak tau kalau ada tempat seperti ini di desa kami. Dari balik semak belukar itu terdapat Sebuah padang rumput luas. Setiap helaiannya seolah-olah menari-nari saling menggoda karena angin malam bersiut-siutan.

kami semua menapaki rerumputannya. Pak Sutrisno meletakkan perlahan lampu minyaknya di sebuah batu besar.

"Apa kalian tau kenapa nama desa ini adalah Bukit Bintang?",

"eh? bukannya karena desa ini diapit oleh dua bukit yang sangat tinggi?",

" hmm... itu tidak salah nak Surya, tapi kurang tepat... ", ia berhenti sejenak mengambil nafas. Perlahan-lahan, lengannya naik keatas. Mata kami berempat tampak mengikuti aliran lengannya.

"Dibalik dua bukit yang membatasi, terdapat sebuah tempat dimana cahaya bintang seolah bersinar terang menembus masuk kedalam tanah. Diantara bintang-bintang itu terdapat kehidupan bersamanya, para makhluk bintang", telunjuknya sampai keatas,

" Dan disitulah nama Desa Bukit Bintang terlahir"

Wooaaaaahhhhh, takjub rasanya. bibir kami terukir senyuman dengan gigi menyelinap. mata kami terbuka lebar, berbinar-binar.

Tampak seperti lukisan, Langit terlihat sangat cerah. ratusan, tidak, ribuan bintang-bintang yang tampak kecil bertaburan seperti pasir, rasanya bukan seperti malam. Tidak ada awan-awan yang menghalangi pandangan. secercah cahaya asing ikut meramaikan suasana, hijau, mungkin aurora?.

Tapi dari itu semua, memang tampaklah sebuah pulau di atas langit. Mengambang, tidak terpengaruh gravitasi bumi. Mataku menyipit, mencoba melihat lebih baik. pulau langit itu terlihat seperti sebuah kerajaan megah dengan jarum runcing di ujungnya.

Namun kejadian tak terduga muncul,

Bammm..... Sebuah dentuman besar menghantam tanah seperti palu godam membuat kami terkejut. Kami kembali ke alam kenyataan. Pak Sutrisno segera "mentamengi" kami.

"Pak Sutrisno, Suara apa itu?", tanya temanku Irfan dengan wajah antara terkejut dan panik.

Akupun segera berlindungi dari balik tangan pak Sutrisno.

Kami semua menatap lurus-lurus kearah suara yang menghantam tanah tadi. berasap, tidak terlihat apapun dari sana. kemudian bayangan seseorang perlahan nampak, beberapa orang keluar, sangat tinggi dan besar. mereka semua memakai tudung putih bercorakkan emas.

"SIAPA KALIAN?!!!!" bentak tegas pak Sutrisno.

Orang-orang itu tidak membalas, mereka hanya berdiri, celingak-celinguk seperti orang tersesat.

Aku memerhatikan penampilannya yang tidak asing dipikiranku. tidak salah lagi, mereka adalah makhluk bintang, Stellarians yang diceritakan ayah. Memiliki perawakan yang tinggi dan besar, badan mereka terbaluti baju serba putih dengan tudung. Untuk pertama kalinya, aku melihat para makhluk bintang dengan mata telanjang bahwa mereka nyata.

Kekagumanku berubah sesaat setelah mereka memperlihatkan aksi yang tak terduga, sebuah aksi brutal.

Pak Sutrisno mengulangi perkataan yang sama, tapi kali ini dengan nada yang lebih kasar.

"CEPAT JAWAB. SIAPA KALIAN?!!!!"

Swuisshh~

"Eh? pak Sutrisno?"

Aku melihat jelas air berwarna merah hampir kehitaman melayang bebas di udara....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!