NovelToon NovelToon

KULDESAK

Pengumuman

...Disclaimer...

...Ini adalah karya fiksi. Nama tokoh dan tempat di dalam karya ini adalah khayalan penulis belaka. Jika ada kesamaan nama, peristiwa dan tempat dalan karya ini pada kehidupan nyata maupun dunia pernovelan lain, itu hanya kebetulan semata. Semua yang terkandung dalam cerita adalah semata-mata untuk menciptakan alur pada cerita ini. Penulis berusaha agar cerita ini tidak jauh dari realitas kehidupan....

...Tidak ada maksud tertentu untuk menyudutkan, menyerang atau menyindir sosok, seseorang maupun suatu bidang....

...Update naskah bukan daily, mohon pengertian....

...Semoga terhibur....

1. Terjebak Situasi

...1. Terjebak Situasi...

Riuh rendah gemuruh suara para demonstran memenuhi jalan-jalan protokol. Di beberapa titik terlihat polisi berseragam lengkap dengan rompi anti peluru, helm keselamatan, pentungan juga tameng berwarna bening kaca. Namun juga terlihat sebagian polisi memakai tameng berwarna hitam yang jelas bertuliskan “polisi” di bagian depan. Mereka berbaris rapi dan rapat seperti shaf solat berjamaah.

Sementara massa yang melakukan longmarch entah ke mana terlihat antusias meski terik matahari masih menyengat. Bergandengan. Bersahutan. Kompak mengumandangkan narasi pembakar semangat.

Mereka sepertinya terdiri dari sebagian mahasiswa. Terbukti dari jaket almamater yang dikenakan. Tidak asing. Dan tentu sangat familier sekali, jika jaket almamater dari kampusnya juga berada di tengah-tengah kerumunan.

Lalu, ada sebagian iring-iringan motor yang juga berjalan melambat. Mereka memakai ikat kepala. Saling menggeber-geber kendaraannya satu dengan yang lain. Seperti parade. Bersorak-sorai, entah apa yang diucapkan. Terdengar seperti dengungan.

Ia memutar kepalanya. Melihat ke belakang. Tak jauh beda pemandangannya dari situasi di kanan-kiri dan sejauh mata memandang ke depan. Malahan makin riuh dan makin padat oleh massa yang berdatangan entah dari mana-mana. Sudah tak terhitung jumlahnya.

Makin maju laju motor yang ditumpanginya makin lambat kecepatannya. Masih kalah dengan iring-iringan pejalan kaki. Sebab jalanan yang dilalui makin sempit dan terhalang oleh orang-orang yang terus merangsek maju mengikuti mobil di depan sana. Mobil dengan bak terbuka. Di atasnya ada panggung berisi beberapa orang. Lantas sayup-sayup terdengar himbauan dari corong pengeras.

Demonstrasi seperti ini memang beberapa kali pernah dilihatnya. Tapi lebih sering ia melihat melalui siaran televisi. Seumur hidup hingga kini, ia tak pernah mengikuti acara-acara seperti ini. Meskipun pada saat menjadi mahasiswa baru, ia pernah dipaksa untuk memprotes kebijakan rektor yang dinilai menyimpang melalui jalur demonstrasi, namun itu tak bertahan hingga massa dibubarkan. Ia memilih kabur. Dan selalu menghindari setiap ajakan teman-teman aktivis untuk melakukan orasi protes terhadap suatu ketidakadilan atau penyimpangan.

Menurutnya ia punya alasan kuat untuk tak ikut berkegiatan seperti itu. Toh, satu suara dan sikapnya tidak akan berpengaruh banyak terhadap suatu perubahan. Dan tentu saja ia sudah disibukkan dengan kegiatan perkuliahan. Ditambah ia ingin segera menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Ya, meski pada akhirnya meleset. Sebab, ia terpaksa memundurkan targetnya demi merawat ibunya yang tengah sakit akhir-akhir ini.

“Mbak ….”

Bagaimanapun itu semua pilihan bagi teman-temannya. Ia tak pernah membela diri ataupun menafikan teman-teman aktivisnya yang memilih jalan itu. Sebab semua menjadi pilihan masing-masing yang harus saling dihormati. Ia memilih pada jalannya. Netral. Meski ya, satu, dua, tiga temannya pernah mencibir keputusannya untuk tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan tersebut.

“Mbak … Mbaknya yakin tetap mau ke Juanda?” tanya pak pengemudi ojek yang sore ini mengantarnya untuk menemui dosen pembimbing skripsinya.

Ia mengelap peluh yang telah membanjiri raut wajahnya. Disertai embusan napas berat membayangkan rencana hari ini sepertinya tidak akan berjalan mulus. Bisa jadi malah gagal. “Iya, Pak. Terus saja,” putusnya. Terdengar nada ragu akibat laju pergerakan motor tersendat-sendat. Situasi makin hiruk.

Tetapi kapan lagi. Kesempatan bertemu dengan dosen pembimbingnya amat sangat langka. Sudah langka, terkenal killer pula. Predikat sebagai anak dosen di kampus yang sama tak mengubah statusnya menjadi “anak emas”. Atau paling tidak mendapatkan privilege. Tidak. Sama sekali ia tak mendapatkannya. Justru menjadi seorang anak pengajar di kampus makin terbebani. Nama besar ayahnya selalu menjadi bayang-bayang.

Napasnya kembali terasa berat. Ia menggaruk pinggiran kepalanya yang sebagian tertutup helm, saat pengemudi benar-benar menghentikan laju motornya. Cukup lama. Mereka tertahan.

“Mbak, kayaknya saya gak bisa ngantar sampai Juanda. Arah istana semua ditutup Mbak. Macet parah ini. Kagak bakalan bisa lewat ini mah ….”

“Tapi, Pak …,” sempat termangu sejenak. Namun pada akhirnya ia terpaksa turun dari motor. Meski berat ia merogoh uangnya dalam kantong celana jeans hitam yang dikenakan. Menyerahkan selembar uang bernilai dua puluh ribu rupiah. Pengemudi ojeg itu menerimanya.

“Terus saya ke sananya naik apa, Pak?” Pertanyaan polos itu keluar saja dari pikirannya. Sambil kepalanya celingak-celinguk melihat situasi di sekitarnya yang semakin padat, pengap polusi dan macet parah. Lambat laun kekhawatiran itu sempurna menyelimutinya. Dahinya mengerut. Membayangkan wajah Profesor Gunadi yang tidak bersahabat. Yang sangat terkenal disiplin tanpa ampun.

Perawakan kumis tebal dan panjang melengkung ke atas seperti stang sepeda tua itu pasti akan makin menukik tajam. Bulu alis mata bersambung di antara kedua matanya pasti ikut mengerucut akibat dahi mengerut. Belum lagi kata-kata yang keluar dari mulut profesor yang datar namun tajam seperti belati. Penuh intimidasi. Mengena langsung ke hati.

Bulu kuduknya langsung berdiri. Cukup sekali ia mendapat konsekuensi akibat terlambat mengikuti perkuliahan dosen pembimbingnya ini.

Ia melihat arloji di lengan kirinya. Lima menit lagi jadwal pertemuannya dengan Prof Gunadi. Telat 1 menit saja, ia sangat yakin tidak diterima untuk bimbingan.

Pengemudi ojeg yang telah menerima uangnya, lantas meminta helm yang berada di atas kepalanya dengan menunjuk. Ia tersenyum kecut, terpaksa mengembalikannya.

Sang pengemudi mengangkat bahunya yang tertutupi jaket kulit tebal berwarna hitam kusam, “Tunda saja Mbak besok,” sahutnya sebelum memutar balik motornya. Pengemudi itu memaksa meminta jalan membelah kepadatan di antara kerumunan.

“Lho …Pa, Pak.” Bibirnya mengerucut kesal. Tapi ia tidak bisa menahan pengemudi itu yang berlalu melawan arah di antara kerumunan yang terus mendesak maju. Gagal. Dengan terpaksa ia harus memutuskan untuk mengurungkan niatnya. Menerima saran dari pengemudi ojeg tadi.

Ia berusaha berjalan ke samping keluar dari barisan kerumunan. Sayangnya, justru ia semakin didorong dari belakang. Meski berusaha lagi untuk menepi, arus desakan terus merangsek dan memaksanya berjalan terus maju ke depan.

“Permisi, permisi. Permisi saya—“

“Maju Mbak. Maju! Jangan berhenti!” sergah seseorang. Lalu diikuti suara laki-laki lain yang berkata “Ayo maju…terus maju! Jangan berhenti kasihan yang di belakang.”

Sementara corong pengeras dari mobil komando menggemakan yel-yel:

“Mahasiswa bersatu-tak bisa dikalahkan.”

“Satu komando-satu perjuangan.”

Disambut massa dengan semangat berkobar dan kekompakan. Kemudian dilanjutkan dengan nyanyian Indonesia Raya dan lagu Totalitas Perjuangan. Nyanyian yang selalu digaungkan mahasiswa saat memperjuangkan keadilan.

Peluh tak lagi dibendung. Pakaiannya basah. Ia mulai kewalahan untuk terus berjalan di antara massa. Napasnya mulai terasa sesak. Bahkan berkali-kali ia membasahi bibir dan kerongkongannya yang kering.

Entah apa yang terjadi di depan sana. Sesaat terdengar letusan. Mendadak massa dari depan berbalik arah. Ada yang merangsek keluar jalan protokol. Berlari Kocar-kacir.

“Berlindung!” seru seseorang.

Ia melihat suasana makin tidak kondusif. Semua orang berlari menjauh dan mencari perlindungan.

Suara letusan kembali terdengar beberapa kali. Ia mencoba ikut mencari tempat yang aman. Berlari. Berusaha menepi. Malangnya, karena tak tahu apa yang terjadi, ia justru terus berlari mendekat pada sumber letusan.

Pengap. Napasnya terengah-engah. Matanya terasa perih, berair dan memerah.

Ia mulai terbatuk-batuk. Sambil memegangi perutnya yang terasa mual. Pandangannya mulai kabur. Disertai limbung. Namun ia masih bisa merasakan lengannya ditarik seseorang.

“Na, cita-cintamu berubah lagi gak?”

Ia menggeleng, “Aku mau jadi guru TK, Mas.”

Laki-laki berusia 22 tahun itu tertawa. “Waktu kamu TK katanya mau jadi dokter gigi. Terus kelas satu SD katanya mau jadi dokter hewan. Kelas dua mau jadi koki. Dua bulan lalu katanya mau jadi dosen kayak abah. Minggu lalu berubah lagi mau jadi guru SD. Sekarang malah guru TK. Alamak …,” tukasnya sambil menepuk jidatnya.

“Emangnya kenapa kalau guru TK?” protesnya.

Membuat laki-laki itu kembali tertawa. Namun kali ini sengaja tawanya ditutupi dengan telapak tangannya.

“Issh … Mas Panca,” dengusnya kesal. “Kata Mbak Sapta karena gaji guru itu kecil makanya guru TK saja, biar gak repot.”

“Hahaha ….” Tawa Panca meledak seketika.

Itulah percakapan terakhir kalinya dengan Panca di suatu sore di halaman depan rumah mereka. Dua hari kemudian ia melihat Panca berdiri di atas mobil komando menyuarakan orasi lewat pesawat televisi.

“Na, belajar yang rajin ya, jangan kayak Mas!”

“Kenapa Mas Panca berpesan begitu? Apa karena nilai Mas Panca jelek?” sergahnya. Sebab menurut cerita Mbak Sapta, kakaknya itu hampir di DO—drop out— karena nilainya jelek.

Panca tersenyum sambil mengusap kepalanya.

“Issh ….” elaknya dengan kepala menghindar.

“Pokoknya belajar yang rajin biar kayak abah,” sahut Panca sambil berlalu. Membuka pagar. Tapi tak lama ia berbalik sambil berseru, “Jangan kayak Mas, Na!”

Pesan itu selalu diingatnya. Dan selalu terngiang di antara waktu-waktu pertumbuhannya menginjak dewasa.

“Bangun! Hei …! Kamu dengar aku?”

Pipinya terasa ditepuk-tepuk.

“Apa kamu mau mati di sini?”

Pelan-pelan ia berusaha membuka matanya. Tepat saat pandangannya belum terbuka sempurna ia merasa melihat Panca di depannya. Senyum tipis muncul ketika sebuah tangan melepas tabung oksigen portabel di mulutnya.

“Mas Panca.”

2. Ceramah Intimidasi

...2. Ceramah Intimidasi...

“Ini!” Laki-laki yang menolongnya itu menyodorkan sebuah handuk dan sabun ke arahnya. “Kamu harus mandi. Bersihkan tubuhmu. Karena mungkin kulitmu sudah terkontaminasi racun.”

“Racun?” tanyanya tak mengerti.

“Ya. Racun. Kamu pingsan. Kamu menghirup gas air mata tadi.”

Beberapa saat ia masih terdiam.

“Kamu mandi. Aku akan membersihkan bekas jok yang kamu duduki.”

Ia belum sempat mengumpulkan memori kejadian hari ini secara utuh. Yang ia ingat hanya terjebak di situasi demo besar. Setelah itu tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba ia di sebuah tempat. Tergeletak di bawah pohon. Di kelilingi beberapa orang yang tidak dikenalnya. Lalu dibawa masuk ke mobil ini. Lalu sekarang mereka berhenti di sebuah pom bensin. Kemudian ia sekarang disuruh mandi.

“Ayo! Atau kamu masih mau terus di situ,” seru laki-laki itu. Membuyarkan lamunannya.

Walau banyak pertanyaan masih berkecamuk di kepalanya. Ia akhirnya menuruti perintah laki-laki di sebelahnya ini.

“Tunggu!” cegah laki-laki itu. “Kamu juga harus ganti baju.” Memberikan dua buah pakaian atasan dan celana pendek kepadanya. Yang diambil dari jok belakang. “Masukkan pakaianmu ke dalam plastik. Pasti racun itu juga menempel di bajumu.”

Ia mengambil pakaian di tangan laki-laki itu. Lantas bergegas menuju toilet yang tak jauh dari mobil yang terparkir.

...***...

“Aku, Saba.” Laki-laki itu menyebutkan namanya setelah hampir 10 menit mobil melaju meninggalkan stasiun pengisian bahan bakar umum.

“Nawa,” sahutnya membalas.

“Nama yang bagus,” puji Saba.

“Namamu juga bagus,” sahutnya tak kalah memuji.

“Kamu dari kampus mana? Kenapa gak memakai almamater sebagai identitas diri?”

“Aku—“

“Kamu tahu, kan safety tools yang wajib kamu bawa saat demonstrasi?” pangkas Saba tanpa melihatnya. “Kamu keluar rombongan, gak pakai almamater, gak pakai masker, gak sedia air minum, bahkan teman-temanmu gak mengenalimu,” lanjutnya. Ia sempat bertanya kepada beberapa orang mahasiswa tadi yang membantunya. Dan tak ada satupun dari mereka mengenal perempuan ini. Bahkan isi tasnya cuma terdapat berkas-berkas. “Bagaimana bisa seorang mahasiswa … koreksi, seorang mahasiswi berangkat demo tanpa persiapan apapun? Ajaib. Hanya modal dengkul,” tambah Saba sinis.

Ia membetulkan kemeja kedodoran milik Saba. Mengeratkan ujung kemeja yang ditali melingkari pinggang. Bermaksud untuk mengikat celana pendek yang juga milik Saba yang dipinjamkannya itu tetap berada di tempatnya.

“Ketua rombonganmu siapa?” tanya Saba lagi.

“Aku. Aku gak tahu,” jawabnya. Ia jelas-jelas bukan peserta aksi. Tapi laki-laki ini malah mengintimidasi.

Saba tersenyum tipis bertepatan melihat ke arahnya. Sepersekian detik tatapan keduanya bertemu. Lalu sama-sama dengan cepat mengalihkan ke arah yang lain.

“Pantas. Mahasiswa seperti kamu ikut aksi hanya karena ikut-ikutan. Biar dikata hebat. Biar dikata hero. Padahal makna aksi sendiri itu menyampaikan pendapat dan pikiran dari seseorang. Baik secara lisan maupun tulisan. Yang selama ini menjadi keresahan. Karena sudah semestinya mahasiswa itu punya DNA revolusi, DNA agen perubahan dan moral force. Kalau hanya ikut-ikutan ya … gak ada beda dengan anak TK,” cibir Saba. Ia menjeda sesaat. “Kamu juga jangan-jangan gak tahu perihal apa yang sedang diperjuangkan teman-temanmu dan teman-teman buruh?”

Ia tetap termangu.

“Sayang sekali. Satu suaramu bisa membuka dan mendorong suara lain untuk sadar, bahwa suara kalian itu berharga. Dan tentu pada akhirnya bisa menentukan nasib bangsa ini mau diarahkan ke mana.” Saba melirik perempuan di sampingnya yang bergeming. “Jangan jadi mahasiswa yang pesimistis,” tutupnya.

“Aku bukan peserta demo?” tangkasnya.

Saba menatapnya sesaat karena terkejut. Lalu kembali fokus menatap lalu lintas di depannya. Dalam kepalanya timbul pertanyaan. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa bukan peserta demo tapi berada dalam aksi demonstrasi mahasiswa?

“Aku gak mungkin pulang ke rumah dengan pakaian ini,” ucapnya. “Aku bukan peserta aksi. Kebetulan tujuanku tadi mau ke Juanda. Tapi aku terjebak. Aku gak bisa keluar. Dan aku gak tahu harus berlari ke mana,” sambil menelan ludah ia menceritakan kronologi mengapa ia bisa berada di sana. Setelah itu ia melanjutkan kalimatnya, “aku gak pernah ikut demo begituan.”

Laki-laki yang memegang kemudi itu tertawa kecil. Nyaris tak terdengar. Setelahnya geleng-geleng kepala. Aneh menurutnya. Kata terjebak sepertinya sulit dipahami. Biasanya orang-orang akan menghindari jalan-jalan yang dipakai untuk demonstrasi. Sebab biasanya pihak polisi akan mengatur lalu lintas bahkan memberitahukan sehari sebelumnya. Bukan malah masuk tanpa tujuan yang jelas.

Helaan napas Saba panjang. Meski ingin lebih tahu lagi alasan Nawa, namun ia mengurungkannya. Ia kemudian menyalakan lampu senja. Sebab hari sudah mulai gelap. “Kalau begitu kamu ikut aku.”

Selama perjalanan keduanya lebih banyak terdiam. Saba lebih banyak menerima telepon dari seseorang. Entah dari orang yang berbeda atau orang yang sama. Sementara ia mengirimkan pesan pada sang ibu karena akan pulang terlambat.

Tiba di sebuah tempat ia melihat seseorang membukakan pintu pagar. Saba memberikan klakson setelah itu membuka kaca jendela, “Makasih, Rif,” ucapnya.

Sementara Arif hanya mengacungkan jempol. Lalu kembali menutup pagar.

“Ini rumahku. Kamu bisa pinjam dulu baju Bu Ning.” Saba membuka pintu dan keluar.

Terdengar Arif menyapa, “Bang Saba sama siapa?” sambil melongok ke dalam mobil yang pintunya masih terbuka.

Saba melihat ke arah Nawa sejenak. Lalu menjawab, “Dia mahasiswi yang tadi pingsan saat demo.”

Arif lekas memutari mobil membantu membukakan pintu untuk Nawa. “Silahkan, Mbak.” Dengan senyum Arif menyambut ramah. “Butuh bantuan, Mbak?” menawarkan pertolongan.

“Gak, makasih, Mas.” Ia menolak tawaran itu.

“Aku masih bisa jalan,” tambahnya.

“Panggil saja Arif, Mbak. Aku juga tinggal di sini sama Bang Saba.”

“Aku, Nawa.”

“Rif!” teriak Saba di bawah. Diterangi lampu remang akibat terhalang dedaunan.

Arif menoleh. Ia juga ikut melihat Saba yang berdiri menatap ke arah mereka.

“Aman Bang,” tangkas Arif kembali mengacungkan jempol lagi.

“Kamu adiknya,” tanyanya pada Arif. Setelah Saba meninggalkan mereka. Keduanya berjalan tak jauh di belakang laki-laki yang meminjamkan pakaian yang dikenakannya.

Arif menggeleng. “Tapi aku seperti adiknya.”

Mereka melewati jalan setapak menurun berundak. Rumah ini seperti berada di tepi tebing. Remang. Sedikit licin. Tetapi berhawa lumayan dingin. Yang membuatnya tak sadar mengusap lengan atas. Lalu kedua tangannya menahan ikatan kemeja. Berharap celananya tidak melorot jatuh.

Arif menahan tawa.

“Ada yang lucu?” tanyanya menatap Arif yang berhenti sejenak melihatnya.

“Mbak Nawa pakai baju Bang Saba?” tebak Arif. Pakaian yang sudah sangat dihafalnya.

Ia memperhatikan tubuhnya yang berbalut pakaian Saba. Lantas mengangguk, “Bajuku tadi kena racun. Eh, maksudku kena gas air mata. Jadi aku—“

“Rif!” teriak Saba lagi. Yang telah berdiri di depan pintu yang terbuka lebar.

“Ayo Mbak!” Arif mengajaknya lekas menyusul Saba.

“Pinjamkan baju Bu Ning, Rif. Dia gak mungkin pulang ke rumah seperti itu,” ucap Saba. Melepas sepatunya lalu menyimpan pada rak sepatu yang berada di balik pintu.

Arif mengangguk lalu meninggalkan keduanya.

Ia berdiri tak jauh dari pintu masuk. Melihat sekeliling interior rumah.

“Duduklah,” Saba mengambil dua gelas di atas meja. Mengisinya dengan air dari teko kaca. Kemudian menaruhnya di atas meja bulat yang tak jauh dari tempat duduk Nawa. Ia meneguk bagiannya. Sambil melepas dua kancing kemejanya di bagian atas. Saba berkata, “Tunggulah, sebentar lagi Arif ke sini membawakan baju untukmu.”

Ia mengangguk. Meraih gelas dan meminumnya. Ia melihat Saba menghilang dari balik pintu. Entah menuju ke mana. Setelah menyimpan kembali gelas di atas meja, ia bangkit dari duduk. Mendekati lukisan-lukisan yang menempel di dinding batu bata merah.

Ada lukisan terkenal Mahatma Gandhi di ujung bawah tertulis tahun 1869-1948. Ada juga Nelson Mandela ujung tengah tertulis tahun 1918-2013. Dan ada lukisan seorang tokoh yang tidak ditulis nama serta tahunnya. Entah siapa namanya ia sendiri lupa. Tokoh Indonesia. Hanya pernah melihat wajahnya di … ah, di suatu tempat percisnya lupa. Lalu dari tempatnya berdiri sekarang ia bisa melihat tumpukan buku di atas meja makan.

Baru saja hendak menuju meja makan, Arif datang. Membuatnya mengurungkan niatnya.

“Sorry Mbak, lama,” ucap Arif. Menyodorkan sebuah kantong dari plastik putih kepadanya. “Bajunya Bu Ning,” lanjutnya sambil tersenyum.

“Makasih, Rif.” Ia menerima kantong tersebut.

“Di sini kamar mandinya,” Arif mengajaknya ke sebuah ruangan lain. Keluar dari rumah utama. “Di situ, Mbak!” tunjuknya pada pintu berwarna biru.

Ia mengangguk. Lalu masuk ke dalamnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!