hai reader termuach
authot balik lagi dengan cerita baru.
semoga kalian suka ya. jangan lupa like sebelum baca, dngn like, aq jd smangat.
______________________________________
Tia Mareta. Gadis berusia 18 tahun yang baru saja lulus SMA. Ayahnya, Tisna, sudah lama meninggal dunia. Sukaesih, ibunya, bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga Budi Harto.
Sukaesih sudah mulai sakit-sakitan. Dia jarang pergi bekerja. Tia, biasa dirinya dipanggil. Ia adalah anak tiri Sukaesih. Tisna menikah lagi dengan Sukaesih setelah ibunya Tia meninggal dunia.
Kasih sayang Esih pada Tia, membuat gadis itu tidak merasa kekurangan kasih sayang seorang ibu. Ketulusan Esih dalam menyayangi Tia sungguh membuat gadis itu terharu. Gadis itu rela memberikan apa pun yang dia miliki, jika itu adalah permintaan Esih.
Demi menyambung hidup, Tia menggantikan ibunya bekerja di rumah keluarga Budi Harto. Namun, Budi justru membawa Tia ke sebuah pulau pribadi yang tidak pernah diketahui orang lain. Pulau itu begitu rahasia. Orang yang tinggal di rumah itu juga dirahasiakan keberadaannya.
Tia diminta untuk merawat salah satu anak laki-laki Budi Harto. Erwin Budi Harto, pria berusia 25 tahun itu hanya bisa terbaring di tempat tidur. Dia-lah orang yang harus dirawat oleh Tia.
Bukan hanya mengurusi makan dan minumnya, tetapi Tia juga harus membantunya untuk mandi. Demi uang gaji yang lumayan besar, Tia rela menjadi perawat dadakan. Ya, dadakan, karena Tia tidak sekolah perawat dan sebagainya. Ia hanya lulusan SMA yang ijazahnya saja belum keluar.
***
Prang!
Erwin melemparkan gelas yang ada di nakas ke arah Tia. Dengan tatapan tajam begitu mengintimidasi. Mata hazel itu seakan menembus jantung Tia.
"Apa yang kamu tunggu? Cepat buka bajuku!" bentak Erwin.
Tia berjingkat kaget. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Namun, Tia sama sekali tidak menyangka kalau dia harus bekerja merawat orang sakit. Gadis itu hanya ingin menggantikan ibunya sebagai pembantu bukan sebagai perawat.
"Aku tidak mau! Mandi saja sendiri!" maki Tia. Suaranya tidak kalah lantang. Gadis itu tidak mau membukakan baju Erwin. Alasannya, tentu saja karena malu. Bagaimana bisa dia membuka baju seorang pria yang tidak memiliki hubungan keluarga sama sekali dengannya.
"Heh! Ayahku membayarmu untuk merawatku. Apa kau hanya ingin makan gaji buta, hah?!" Pria berperawakan tinggi itu mencoba bangun. Seandainya dia bisa bangun, entah apa yang akan dilakukan Erwin pada Tia.
Dasar Tuan muda pemarah. Aku tidak mau melayani dia, apalagi harus membantunya mandi. Aku harus kabur dari sini.
Tia menatap tajam ke arah Erwin. Mengibarkan bendera peperangan. Tia tidak mau kalah dengan seorang laki-laki yang berdiri saja tidak bisa. Gadis itu pun mengeluarkan semua sumpah-serapah yang tidak pernah ia katakan pada orang lain.
"Aku akan pergi dari sini. Mandi saja sana sendiri, kalau bisa tentunya," ejek Tia.
Gadis itu melepaskan baju perawat yang dipakainya lalu dilempar ke lantai. Ia memakai t-shirt putih dan celana jeans hitam pendek selutut di balik baju perawat yang dikenakannya. Tia membuka pintu untuk pergi dan pulang ke rumahnya. Namun, saat Tia membuka pintu, dua orang penjaga menghadang Tia.
"Anda tidak diperkenankan pulang, Nona! Tugas kami adalah memastikan Nona merawat Tuan muda sampai sembuh," ucap salah satu pengawal itu.
Tia ternganga. Ia baru sadar ternyata Tia disekap. Tidak mungkin Tia bisa melarikan diri. Pulau kecil itu dikelilingi lautan, tidak ada kapal yang melintas, tidak ada arah tepat yang menunjukkan lokasi pulau tersebut.
"Kenapa? Mau lari? Hahaha," cibir Erwin dengan tawa lebar mengumbar dari bibirnya.
Tia tidak dapat menjawab. Ia berdiri kaku, seolah kakinya dipaku ke lantai. Ia harus menerima kenyataan bahwa ia akan selamanya tinggal di pulau itu bersama Erwin. Tuan muda arogan yang menjengkelkan.
Oh, tidak. Aku bisa mati muda.
BERSAMBUNG
_____________________
mampir di ceritaku yg lain juga ya teman2.
Hai reader, kasih LIKE, BINTANG, KOMENTARNYA YA! vote seikhlasnya🤭
Bantu author biar semangat😘😘😘
terima kasih♥️
Tubuh Tia menggelusur turun dan ia pun terduduk di lantai. Ia baru sadar kalau upah yang ditawarkan memang tidak masuk akal. Jika hanya menjadi seorang perawat, gaji tiga puluh juta sebulan itu memang terlalu besar. Tidak masuk akal. Sekarang terjawab sudah rahasia di balik gaji yang fantastis itu.
Tia bukan dipekerjakan menjadi perawat, tetapi disekap untuk menjadi perawat. Jika keadaan sang tuan muda itu tidak parah, mungkin hanya sebulan Tia merawatnya. Tapi, bagaimana jika tuan muda yang menyebalkan itu tidak kunjung sembuh? Tia harus tersekap di pulau itu selamanya. Membayangkan hal itu, Tia menjadi lemas tak bertenaga.
"Bawa dia kemari!" perintah Erwin dengan tatapan tajam.
Kedua pengawal itu membantu Tia bangun dan menariknya sampai berdiri di samping ranjang. Tubuh Tia gemetar. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulit putihnya.
"Kamu pikir … kamu bisa lari dari sini? Di pulau ini, tidak ada tempat lain yang bisa kau gunakan untuk berlindung dari para binatang liar di hutan sana. Itu poin pertama. Poin kedua, kau … sudah menandatangani surat kontrak. Apa kau tidak membacanya dengan teliti?" Erwin menatap Tia dari atas sampai ke bawah.
"Apa yang ka-kau lihat?" tanya Tia dengan bibir bergetar.
"Tubuhmu itu lumayan bagus. Rasanya, sayang sekali jika kau kembali ke rumah dalam keadaan menjadi mayat," ucap Erwin tanpa berkedip.
"Apa maksudmu?"
"Poin ke delapan bagian kesatu, jika kau melarikan diri dari sini, maka kau akan diburu seperti kelinci, dan …. Fiww. Mati. Keberadaanku tidak boleh diketahui siapapun. Jadi, siapapun yang sudah bertemu denganku, tidak akan pernah bisa melarikan diri." Erwin mengancam Tia dengan kesepakatan kontrak antara dirinya dan ayah dari Erwin, Budi Harto.
"Kalian! Aku baru tahu kalau ternyata kalian seperti sekawanan serigala. Kau dan ayahmu sudah menipuku. Ayahmu berkata aku hanya harus menyiapkan makan dan minum selama satu bulan, tapi kenyataannya kalian menyekapku di pulau ini. Kalian jahat!" cerca Tia. Ia menangis memikirkan nasib sang ibu, jika ia tidak pernah kembali ke rumah.
"Kalian tinggalkan dia di sini!"
"Baik, Tuan muda!" jawab mereka bersamaan. Mereka keluar dan kembali berjaga di depan pintu.
"Siapkan air mandi dan kau harus membantu memandikanku!" perintah Erwin.
Namun, Tia masih terpaku di tempatnya. Pikirannya menerawang, pandangan matanya kosong. Seakan jiwanya telah pergi meninggalkan raganya di sana.
"Masih tidak mau pergi? Atau kau harus kulempar ke tengah hutan dulu baru akan bergerak?" tanya Erwin sambil mengancam.
"Ba-Baik, Tuan muda," jawab Tia dengan tergagap. Ia segera berlari ke kamar mandi dan mengisi air hangat di bak mandi.
Ya Tuhan, apa salahku? Kenapa aku mengalami hal seburuk ini? Bagaimana jika dia tidak bisa sembuh? Aku harus tinggal bersama orang ini, di sini, selamanya. Tolonglah aku Tuhan. Segera sembuhkan dia. Aku ingin pulang. Berbaring di pangkuan Mama, makan masakan Mama, memeluk Mama saat tidur.
"Hei! Kenapa lama sekali?" teriak Erwin.
Dia pantas mengalami kelumpuhan seperti ini. Dengan sikapnya yang pemarah, mungkin saja dia stroke karena darah tinggi.
Tia segera berlari menghampiri Erwin.
"Airnya sudah siap, Tuan," ucap Tia melapor. Ia harus bisa membuat Erwin segera sembuh, agar ia bisa segera pulang kepada Sukaesih, sang ibu, yang mungkin sedang mencarinya saat ini.
"Kau tidak akan membantuku bangun?" tanyanya dengan ketus.
"Maaf, Tuan." Tia segera menghampiri dan membantu Erwin untuk bangun pelan-pelan. Ia mengambil kursi roda dan membantu Erwin duduk di sana. Setelah Erwin duduk, Tia mendorongnya menuju kamar mandi.
_________________
Hai readers,
Dukung author dengan cara klik LIKE, KOMEN, RATE, dan vote seikhlasnya.
Terima Kasih
Tia berdiri kebingungan setelah sampai di kamar mandi.
"Kenapa berdiri saja? Kau mau membuatku tidur di kamar mandi," cibir Erwin.
Dengan badan gemetar, Tia terpaksa membantu Erwin membuka baju. Ia tidak mau membuat Erwin marah seperti tadi. Satu persatu kancing baju Erwin terbuka. Tia melakukannya sambil menutup mata dan tangannya menyentuh otot perut Erwin tanpa sengaja.
"Maaf, Tuan."
"Sudahlah, pergi sana! Aku lakukan sendiri. Aku akan mati kedinginan sementara kamu membuka pakaianku," ucap Erwin dengan nada sinis.
Tia segera berlari keluar dan menutup pintu kamar mandi. Helaan napas frustasi acapkali ia embuskan. Baru setengah hari ia berada di rumah itu, tapi rasanya bagai sudah setahun.
Mama, baik-baik di sana. Tia janji akan segera pulang. Tia akan melakukan segala macam agar laki-laki itu sembuh.
Tia duduk di tepi ranjang. Tidak berapa lama, para pengawal itu membuka pintu kamar Erwin. Mereka mengangkat sebuah tempat tidur tanpa ranjang dan menaruhnya di samping ranjang Erwin.
"Itu, untuk apa?"
"Ini tempat tidur Anda, Nona." Salah satu pengawal itu menjawab.
"Apa? Aku harus tidur di sini?"
"Benar, Nona," jawab pengawal.
Hah ... mati aku! Aku tidak akan punya waktu bebas kalau begini.
"Nona, tas pakaian Anda sudah kami bawa, mau ditaruh di mana?"
Tia hanya menunjuk ke atas kasur lantai yang tadi mereka letakkan. Mereka pergi begitu saja dan menutup kembali pintu kamar. Tia menjejakkan kaki berkali-kali karena sangat frustasi.
Ceklek!
Pintu kamar mandi terbuka. Erwin selesai mandi dan memakai handuk kimono. Tia mengerjapkan mata dua kali. Erwin keluar memakai handuk kimono dan duduk di kursi roda dengan sempurna. Hal yang ganjil untuk dilakukan oleh pria lumpuh.
"Pilihkan baju untukku!" perintah Erwin.
Tia masih menganga melihat Erwin. Mereka saling melempar pandangan. Dengan isi pikiran yang berbeda tentunya.
"Hei! Aku tahu wajahku ini sangat tampan, tapi kau tidak aku izinkan menatapku lama-lama. Cepat ambilkan baju!" bentaknya.
Ya, ampun, narsis sekali. Siapa juga yang sudi menatap wajah menyebalkannya itu. Ada yang aneh, tapi apa?
Tia bertanya sendiri dalam hati. Ia masih sibuk dengan pikirannya, hingga ia lupa sedang memilih baju. Ia hanya membolak-balik pakaian dalam lemari.
Erwin merasa kesal dan menghampiri Tia. Gadis itu tidak mendengar suara kursi roda saat berjalan ke arahnya. Hingga akhirnya ia mundur dan menabrak Erwin. Tia terjatuh di pangkuan Erwin. Wajah mereka sangat dekat, membuat jantung kedua insan berlainan jenis itu berpacu cepat. Tia merasakan sesuatu yang mengeras dan bergerak di bawah sana. Wajah Erwin menjadi merah. Sementara Tia segera bangun karena melihat wajah Erwin yang berubah merah.
Gawat! Pasti dia marah lagi. Tapi, tadi itu, apa ya? Kedua tngan Erwin di gagang kursi. Lalu yang bergerak di pangkuannya itu apa?
"Sedang berpikir apa, kamu? Cepat berikan bajunya!" Erwin menadahkan tangan.
"Ini, Tuan. Saya akan pergi menyiapkan makanan," pamit Tia.
Tia pergi meninggalkan kamar Erwin. Setelah kepergian Tia, Erwin mengembuskan napas lega. Pada dasarnya, Erwin memang lelaki yang penuh hasrat pada wanita. Sebelum ia mengalami kecelakaan dan lumpuh, hampir setiap malam Erwin bersenang-senang dengan para gadis di klub malam. Ia sering bermesraan, tetapi ia tidak mau berhubungan intim. Erwin masih perjaka, meskipun ia seorang playboy.
Ini pertama kalinya, hasrat Erwin naik padahal ia dan Tia tidak melakukan apapun. Erwin menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan kuat. Ia harus meredakan hasratnya yang sedang bergejolak.
"Dia terlihat biasa-biasa saja. Apa dia tidak merasakannya? Atau dia terlalu polos? Tidak mungkin! Gadis jaman sekarang mana ada yang benar-benar polos," gumam Erwin. Ia memakai bajunya dengan mudah. Sama sekali tidak kelihatan kesusahan. Sepertinya, ia sudah terbiasa melakukannya sendiri lalu kenapa sedari tadi meminta tolong pada Tia?
******
**Bersambung
Jangan lupa like♥️
terima kasih reader ♥️♥️**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!