NovelToon NovelToon

Tragicum

Live

Di sebuah rumah dipinggir jalan di malam hari. Seorang perempuan yang tinggal sendirian tanpa henti menatap layar hpnya.

“Sebentar lagi nih ya guys, kita akan bagi hadiahnya ya.” Ucapnya,dengan tersenyum.

Dia adalah Gina, seorang selebgram yang berparas cantik. Sudah 3 hari Gina live tengah malam di kamarnya sendiri, membagi-bagi uang bagi para followernya hanya untuk meningkatkan popularitasnya. Dia bahkan rela meninggalkan liburan bersama keluarganya, hanya untuk live di rumahnya sendirian.

“Jadi buat kalian yang ingin mendapatkan hadiahnaya silahkan mengikuti persyaratan giveawaynya ya, yang sudah aku kasih tau tadi yaa.” Gina merasa senang melihat ratusan orang melihatnya live.

Detak jam terus berbunyi, menunjukkan jam 23.48 hampir tengah malam. Tapi hal itu tidak menurunkan semangat Gina, untuk terus melanjutkan livenya.

Sesekali dia meminum kopinya diatas meja, sambil membaca komentar para penggemarnya. Sesekali juga dia melihat cermin, memperbaiki penampilannya, meskipun dia sudah tau bahwa dirinya cantik.

“Terima kasih Yuda atas ucapannya, Rian juga, Santi iya makasih atas dukungannya.” Kata Gina sambil membaca komentar salah seorang followernya.

“Terima kasih yaa guys buat yang sudah follow aku dan gabung dalam live ku kali ini.” Gina tersenyum.

Tiba-tiba Gina mendapatkan pesan pribadi dari seseorang bernama not_live dengan foto profil seseorang memakai masker, bertuliskan “Hey Gina”.

Gina lalu membalasnya, “Hey juga, jangan lupa follow aku yaa dan ikuti persyaratan agar bias mendapatkan hadiah dari aku”.

Lalu kembali meminum kembali kopi yang ada mejanya, setalah itu memperhatikan jam yang masih menunjukkan pukul 23.52 dan kemudian kembali melihat hpnya. Saat hendak menyapa kembali penggemarnya, tiba-tiba Gina kembali mendapatkan pesan kembali dari akun not_live.

Gina membukanya, pesan itu bertuliskan “Aku gak butuh hadiah, aku mau kamu”, Gina marasa heran.

“Psikopat nih orang.” Ucapnya sambil menutup pesan dari akun not_live.

Tiba-tiba pesan pop up muncul di layar Hpnya, bertuliskan “Kenapa kamu gak balas Gina??”. Gina kaget, dan merasa heran, “Ini kenapa bisa begini??”

“Sepertinya ini orang hacker.” Ucapnya.

Dengan cepat Gina lalu membuka profil dari not_live, akunnya terlihat tanpa ada satupun foto, kecuali foto profilnya. Pesan pop up kembali muncul di layar hp Gina.

“Tidak usah mencari ku, aku selalu di dekatmu, mengawasimu Gina”. Gina lalu membalasnya, “Ini siapa sih, tolong jangan ganggu saya.”

Gina mulai gelisah, dan takut. Dia memperhatikan sekliling kamarnya, melihat keluar jendela kamarnya, tetapi dia tidak melihat siapapun. Gina beranjak keluar kamarnya menuju ruang tamu, Gina melihat ke depan rumahnya melalui jendela, mencoba memperhatikan situasi sekitar rumahnya apakah ada orang yang mengawasinya.

Tanpa sengaja dia melihat seseorang berdiri dibawah lampu jalan, memakai masker. Gina terkejut, dia mundur perlahan, lalu melihat kembali dari jendela, orang yang dia lihat tidak ada. Gina Lalu menutup horden jendelanya, menarik napas, dan kemudian mencoba menenangkan dirinya.

“Tenang lah Gina” Ucapnya kepada diri sendiri.

Gina lalu mengunci pintu rumahnya, mematikan semua lampu dirumahnya, kecuali lampu kamarnya, lalu kemudian kembali ke kamarnya dan mengunci pintu kamarnya dari dalam. Gina kembali menghampiri hpnya yang berada diatas meja belajarnya. Gina lalu kembali menyapa penggemarnya.

“Mohon maaf ya guys, aku tadi ada urusan, hadiahnya sebentar aku umumkan yah guys.” Gina tersenyum, mencoba melupakan kejadian yang tadi dia alami.

Gina melihat jam dinding kamarnya, menunjukkan jam 12 malam lewat. Tiba-tiba hpnya berbunyi,

Gina melihat pesan baru dari akun not_live, bertuliskan “Boleh aku mampir??”

Gina kembali terkejut,dan mulai merasa gelisah. Gina lalu membalasnya “Berhenti mengganggu ku, aku akan melaporkanmu ke polisi jika kau tidak berhenti.”

“GUBRAK….” Tiba-tiba terdengar suara barang jatuh dari luar kamarnya. Gina kaget, jantungnya berdebar kencang, dia terdiam sejenak.

Tangannya mulai mengusap keringat yang mulai bercucuran, gina perlahan menuju pintu kamarnya, dia perlahan menarik napas, membuka pintunya perlahan tanpa ada suara.

Gina mengintip.

Ruangan begitu gelap, Gina tidak bisa melihat dengan jelas. Tiba-tiba terdengar lagi suara barang jatuh.

“GUBRAK.” Gina langsung menutup pintu kamarnya, lalu perlahan melangkah mundur.

Gina berhenti. Dia merasa ada seseorang yang sedang berdiri dibelakangnya. Jantungnya lagi-lagi berdegup kencang. Gina menangis, dia perlahan menoleh kebelakang.

Gina lalu terkejut, melihat seorang laki-laki tinggi yang memakai masker dengan kulit pucat sambil memegang pisau. Orang tersebut mamakai jaket hitam kotor yang penuh dengan tanah dan bekas darah. Tatapannya terlihat tajam melihat Gina yang ketakutan.

“Tolong jangan ganggu saya.” Gina merasa ketakutan, dia mencoba mundur perlahan.

“Tolong saya, saya janji tidak akan melaporkan apapun, silahkan ambil apa yang kamu yang kamu mau.” Ucapnya Gina memelas.

Tiba-tiba orang tersebut menusuk perut Gina. Gina terjatuh, darah berceceran dimana-mana, Gina mencoba menahan dan menekan darah yang keluar dari perutnya.

“TOLOOONG…..” Gina berteriak sekuat mungkin. Darah perlahan keluar dari mulutnya.

Orang tersebut hanya berdiri menatap Gina, dengan pisau dan tangan yang penuh dengan darah. Tatapannya terlihat penuh dengan amarah. Dia kemudian menusuk perut Gina 2 kali.

Gina perlahan merangkak keluar dari kamarnya, mencoba untuk berteriak, namun darah banyak keluar dari mulutnya.

Tiba-tiba orang tersebut menancapkan pisaunya ke kepala Gina. Seketika Gina tidak bergerak.

Darah mengalir dari wajah Gina, membasahi lantai dan sekujur tubuhnya.

Pagi harinya, seseorang mengetuk pintu. “Assalamu alaikum Ginaa?!!” Dia adalah ayah, ibu dan adik Gina yang pulang setelah berlibur.

“Mungkin dia masih tidur ayah.” Ucap ibunya.

Ayah Gina lalu mengambil kunci cadangan yang ada disakunya, dan kemudian membuka pintu rumah. Ibu Gina lalu perlahan masuk dan mencari anaknya. “Ginaaa…..”

Ibu Gina bergegas ke kamar anaknya. Sesampainya di depan kamar, ibu Gina melihat kamar anaknya Gina yang tidak terkunci. “Ginaaa….” Ibunya perlahan membuka pintu kamar.

Terlihat Gina sedang duduk, dengan kepala menunduk, menghadap ke mejanya, hp Gina menyala, dan masih live.

Ibunya lalu perlahan menghampiri Gina dari belakang, “Ginaaa…..kamu itu kalau dipanggil jawab, ibu dari tadi panggil kamu.” Ucapnya.

Ibu Gina merasa heran, dia lalu memegang pundak Gina, dan mencoba membangunkannya. “Gina….”

Tiba-tiba tubuh Gina bersandar di kursi, dengan posisi menghadap ke atas dan pisau pisau yang masih tertancap di kepalanya. Darah dari matanya mengalir membasahi pipi, sekujur tubuh yang penuhi oleh bekas tusukan pisau.

Melihat itu, ibu Gina merasa tidak percaya dengan yang terjadi terhadap anaknya, jantungnya berdebar kencang dengan mata yang berkaca-kaca, dia terjatuh, menangisi anaknya yang terlihat mengenaskan, ibu Gina lalu berteriak sekencang-kencangnya.

“GINAAAAAA…….”

TAMAT

Kencan Buta

Malam yang buruk bagi Rian, setelah merencanakan untuk bertemu dengan seorang perempuan cantik, dia malah terjebak di kondisi yang tidak dia inginkan.

“Tolong…a..a…ampun, saya tidak akan mengatakan ke siapa-siapa, sa..ya….saya janji, tolonglah saya hanya ingin pulang.” Rian memohon dengan posisi tengkurap di lantai ruang makan.

Sesekali dia memuntahkan darah, menahan sakit dari bekas luka tusuk di pinggang dan perutnya. Bajunya penuh dengan warna merah dari darah, suaranya napas yang mulai sesak, Rian mencoba membalikkan badannya.

Terlihat seorang perempuan berdiri di hadapannya, menggenggam erat pisau yang penuh dengan darah, menatap tajam Rian dengan amarah, dendam, dan tanpa belas kasihan. Terlihat jelas dari matanya, perempuan tersebut seperti pernah merasakan sakit hati.

“Saya minta maaf.” Kata Rian sambil batuk mengeluarkan darah.

“TOLOOONG……” Rian berteriak, meskipun dia tahu bahwa tidak ada yang bias mendengarnya.

Perempuan tersebut meletakkan pisau di meja makan.

“Sssshhh……” Perempuan tersebut mengisyaratkan Rian untuk diam.

Dia lalu mengambil Garpu diatas meja makan. “Laki-laki seperti kamu tidak pantas untuk hidup.” Ucapnya.

Perempuan tersebut lalu menusuk bola mata Rian dengan cepat. Rian tak berkutik.

Jasad laki-laki tersebut hanya terbaring bersimbah darah.

Perempuan tersebut tidak peduli, dia kembali mengambil pisau diatas meja makan, lalu kembali menusuk jasad Rian tanpa henti, melampiaskan semua amarah, kekecewaan, dan sakit hatinya terhadap laki-laki tersebut.

“Sudah cukup.” Tiba-tiba seorang laki-laki datang merangkul perempuan tersebut dari belakang.

Perempuan itu terdiam.

“Sudah cukup, cukup kamu butuh istirahat.” Tangan laki-laki itu mengambil pisau dari genggaman perempuan tersebut, lalu membuangnya.

Hari-hari berlalu, suara mesin cuci dan minyak penggorengan terdengar dari salah satu rumah di pinggiran kota.

“Angga kamu mau kemana, ini masih siang?” Tanya ibunya.

“Saya ada janji sebentar bu.” Angga merapikan bajunya, didepan cermin kamarnya.

“Kamu tidak makan dulu??”

“Enggak bu, nanti aja.” Angga mengambil jaket dan kunci motor sambil melangkahkan kakinya menuju ruang tamu.

Di ruang tamu kakaknya, Andi sedang duduk di depan televisi menonton acara berita.

“Hati-hati kamu Angga, sekarang tuh banyak penculikan, itu di berita sudah ada lima orang laki-laki yang hilang, sampai sekarang belum di temukan.” Andi menasehati adiknya.

“Yaa tidaklah.” Kata Angga sambil memakai sepatu.

“Memangnya kamu mau kemana lagi Angga? Kemarin kamu juga keluar, hampir setiap hari keluar janjian ketemu cewek yang berbeda setiap hari.” Andi melihat Angga.

“Yaa namanya juga nyari cewek yang pas.” Balasnya.

“Iya tapi kan…..”

“Saya keluar dulu, assalamu alaikum.” Tanpa mendengar perkataan kakaknya, Angga beranjak keluar, menaiki motor maticnya, dan pergi menemui seorang perempuan yang dia kenal dari sosial media.

Beberapa menit kemudian, Angga sampai di sebuah cafe, tempat di mana dia berjanji untuk bertemu dengan perempuan itu.

Angga masuk, duduk, lalu memesan makanan dan minuman untuk dua orang. Sesekali dia memperhatikan sekitar, mencoba melihat apakah perempuan tersebut sudah datang atau belum, dia lalu membuka hpnya, dan melihat pesan singkat dari perempuan bernama Sinta, bertuliskan; “Sebentar lagi aku sampai.”

Dari foto profilnya, perempuan bernama Sinta tersebut terlihat cantik. Rambut hitam pendeknya yang sebahu, senyumannya yang manis, Angga begitu yakin, kali ini pertemuannya akan berbeda dari biasanya. 

Angga menyimpan hp di sakunya, dan menunggu Sinta datang.

Beberapa menit berlalu. Seorang perempuan berjalan masuk ke cafe. Angga memperhatikan perempuan itu, dia memakai pakaian yang rapi, baju putih bersih, rambutnya pendek sebahu, dan wajahnya cantik, sama dengan foto profil yang Angga lihat di hpnya.

“Heyy…..” Angga memanggilnya.

Perempuan tersebut berbalik tersenyum. Dia berjalan ke tempat Angga.

“Kamu Angga ya??” Kata perempuan itu.

“Iya.” Balas Angga.

“Saya Sinta.” Tersenyum dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

“Iya, saya tahu, silahkan duduk.” Angga tersenyum sambil menggenggam tangan Sinta.

“Kamu dari tadi menunggu?”

“Engga’ ko’, cuman sebentar.”

“Hmmm…..sorry tadi saya ada urusan sebentar di rumah.” Sinta tersenyum.

“Hehehe…..gapapa, santai aja, munum dulu jus jeruknya.” Angga menyodorkan minuman ke Sinta.

“Iya makasih, oh iya kamu sudah sering blank date begini?”

“Tidak sih, ini baru juga. Oh iya, kamu katanya suka suka main game juga ya?” Angga mengalihkan pembicaraan.

“Iya kadang-kadang kalau ada malam ada waktu luang.” Sinta meminum jus jeruk dihadapannya.

“Wah bagus nih kapan-kapan kita mabar bareng.”

“Hahaha….iya bisa-bisa.” Sinta tertawa.

“Saya rela ko’ begadang demi temanin kamu mabar, hehe..” Kata Angga tersenyum.

“Hahaha….kamu lucu ya, baru pertama sudah menggombal.” Balas Sinta.

“Dari pada diam gak jelas kan.”

“Hehe….iya juga sih, diam…..diam tiba-tiba mati.” Sinta tersenyum.

“Hahaha….” Angga tertawa.

Beberapa jam berlalu, Angga dan Sinta menikmati obrolan mereka. Sesekali mereka bercanda dan tertawa satu sama lain. Tak terasa, waktu sudah menunjukkan sore hari.

“Wah tidak terasa ya, sudah sore.” Sinta melihat jam tangannya.

“Iya, ngobrolnya seru, hehehe..” Kata Angga tersenyum.

“Iya, jadi lupa waktu.”

“Kamu mau pulang??” Tanya Angga.

“Iyaa, soalnya masih ada kerjaan di rumah.” Ucap Sinta sambil meminum jus jeruknya.

“Owh, kalau begitu biar saya antar ya.”

“Aduh, gak enak, nanti merepotkan.”

“Ahh tidak ko’, biasa aja.” Kata Angga.

“Aduh, serius gapapa?”

“Iya gapapa, sudahlah santai aja.” Angga mencoba meyakinkan Sinta.

“Okelah, kalau kamu mau.” Balas Sinta.

Angga kemudian beranjak ke kasir, membayar makanan dan minuman yang mereka pesan. Setelah itu Angga menyusul Sinta yang sudah menunggu di tempat parkir.

Angga kemudian mengantar Sinta pulang ke rumahnya.

Beberapa menit berlalu, mereka berdua akhirnya sampai di rumah Sinta.

Terlihat rumah lantai dua yang dekorasi agak tua dan sedikit besar, cat dinding yang mulai pudar, bunga-bunga di pekarangan yang terlihat layu dan tidak terurus, di sebelahnyapun tidak terdapat satupun rumah, ataupun tetangga.

“Ini rumah kamu.” Tanya Angga.

“Iya.” Balas Sinta sambil beranjak turun dari motor.

“Kamu tinggal sendiri?”

“Tinggal sama bapak, tapi bapak jarang pulang, karena kerjaan diluar kota.”

“Oh gitu….”

“Eh iya, saya mau ganti uang kamu tadi, yang di bayar di cafe.” Sinta membuka tas, dan mencari uang di dompet.

“Gak usah Sinta, gapapa sekali-kali saya yang bayar.” Balas Angga.

“Janganlah, gak enak, kamu yang antar saya pulang, kamu juga yang bayar. Kamu masuk dulu yaa ke rumah, soalnya uangku ternyata gak ada di dompet, ada di dalam rumah.” Kata Sinta tersenyum.

“Aduuh… gak enak nanti di liat orang.”

“Ayooo sebentar saja.” Sinta memaksa Angga, dia menarik lengan baju Angga.

“Oke, tapi cuman sebentar ya, soalnya sudah mau maghrib ini.” Kata Angga sambil memarkirkan sepeda motornya.

Mereka berdua kemudian beranjak masuk ke rumah Sinta.

“Assalamu alaikum.” Sinta membuka pintu.

“Saya ke atas dulu ya ambil uang, silahkan duduk ya, anggap rumah sendiri.” Ucap Sinta tersenyum sambil beranjak ke lantai dua kamarnya.

Angga kemudian duduk di ruang tamu.

Beberapa saat kemudian Angga merasa ingin buang air kecil.

“Sinta….sinta wc nya di mana??” Angga berdiri dan mencoba memanggil Sinta. Namun, Sinta yang berada di lantai dua, tapi dia tidak merespon.

Angga merasa kebelet, dia kemudian melihat sebuah kamar. Angga membuka pintu, perlahan masuk, dan langsung ke kamar mandi, lalu buang air kecil di closet duduk.

Setelah selesai, Angga mencuci tangan, akan tetapi dia melihat bayangan seseorang di balik tirai bak mandi.

“Halo….” Angga mencoba memanggil.

“Mohon maaf jika saya tidak sopan langsung masuk.” Ucapnya.

Tetapi tetap tidak ada respon, karena penasaran Angga perlahan mendekat. Jantungnya berdegup kencang, dia mulai berkeringat. Angga perlahan membuka tirai.

Angga terdiam dan kaget, suara napasnya terdengar cepat. Dia merasa syok, tidak percaya dengan apa yang dia lihat.

Dia melihat jasad seorang laki-laki duduk di bak mandi, dengan pisau menancap di leher, tubuh penuh darah dan bekas tusukan benda tajam di sekujur tubuhnya.

Angga perlahan mundur, tanpa sadar dia menabrak seseorang di belakangnya.

Angga berbalik, tiba-tiba kepalanya di pukul dengan keras oleh seseorang dengan palu. Angga terjatuh dan pingsan dengan darah di kepala.

Beberapa menit kemudian, Angga tersadar dengan mulut terbekap kain, dia duduk dengan tangan dan kaki terikat di kursi. Kepalanya terasa sakit, pandangannya kabur, dia tidak bisa melihat dengan jelas dimana dia berada sekarang.

Dia hanya melihat dengan buram seorang perempuan berdiri membelakanginya.

Angga mencoba bergerak melepaskan ikatannya, namun tidak bisa.

Perempuan tersebut kemudian berbalik, mengambil ember di sampingnya, lalu menuangkan air berisi darah dan organ tubuh ke badan Angga.

Cairan darah seidkit masuk ke mulutnya. Angga menggeleng-gelengkan kepala, mencoba melihat dengan jelas ruangan tempat dia berada.

Penglihatannya mulai jelas, dia menoleh dan melihat sekitarnya terasa seperti berada diruangan operasi, terlihat juga beberapa jasad laki-laki terbaring didepan dan di sampingnya, semua organ tubuhnya sudah dikeluarkan.

Angga mencoba berteriak, namun sulit, karena mulutnya dibekap kain.

Perempuan tersebut melepaskan kain di mulut Angga dari belakang.

“TOLOOONG……TOLOOONG!!” Angga berteriak sekeras-kerasnya.

Perempuan tersebut tiba-tiba langsung muncul dihadapan Angga.

“Si..sinta?!!” Angga kaget dan tidak percaya yang dia lihat. Perempuan yang tadinya dia temui, cantik, manis, dan selalu tersenyum itu, berubah menjadi seorang psikopat gila.

“Hey Angga, atau saya panggil kamu fuckboy.” Kata Sinta sambil memegang pisau.

Muka’nya penuh dengan bercak darah, tatapan matanya yang dingin dan kejam, serta senyumannya yang hilang dari wajahnya, membuat Angga semakin takut.

“Tolong Sinta, lepaskan, saya tidak salah apa-apa.” Angga memohon.

“APAA?? Tidak bersalah, tidak bersalah kamu bilang?? Semua laki-laki selalu bilang seperti itu, setelah menyakiti hati seorang wanita. Kalian semua sama.” Sinta Menatap Angga.

“Tolong Sinta, hentikan semua ini, saya hanya ingin pulang. Sa…saya janji, saya tidak akan bilang ke siapa-siapa.” Angga mencoba meyakinkan Sinta.

“APAAA?? Pulang?” Sinta lalu memegang rahang Angga dengan keras.

“Kamu tidak akan bisa pulang.” Sinta berbisik ke telinga Angga, lalu melepaskannya kembali.

“TOLOOONG!!” Angga berteriak.

Sinta berbalik mengambil bor listrik di atas meja.

“Silahkan berteriak sepuas mungkin, kita sekarang berada dibawah tanah, tidak akan nada yang bisa mendengarkanmu.” Ucapnya.

“Please Sinta, saya minta maaf. Tolonglah, saya akan kasih kamu apapun yang kamu minta, uang dan semuanya. Tolonglah Sinta.” Angga menangis dan memohon.

“SHHHH.” Sinta mengisyaratkan Angga untuk diam, dan langsung mem-bor tangan kanan Angga yang terikat.

 Darah bercucuran ke mana-mana.

“AAAAAKKH.” Angga meringis kesakitan.

“Sepertinya ini kurang menarik.” Sinta meletakkan kembali bor listrik di atas meja.

“Saya paling benci dengan laki-laki yang selalu menyakiti seorang wanita. Asal kamu tahu Angga, sudah lama saya memperhatikan mu, di sosial media, dimanapun kamu berada, dan dengan perempuan siapa  kamu selalu menghabiskan waktu.” Kata Sinta. Dia lalu mengambil sebuah Pisau.

“Tolong Sinta ampuni saya, tolong tolong please Sinta, saya akan berhenti menyakiti seorang perempuan.” Angga menangis dan memohon, darah tanpa henti menetes dari tangan Angga.

“Sudahlah Angga, ini akan berakhir dengan cepat.” Sinta memperlihatkan pisaunya.

Dia kemudian menusuk perut Angga dengan cepat, lalu menarik pisaunya kembali.

“AAAKKH.” Angga kembali berteriak.

Tiba-tiba seorang laki-laki berjalan masuk, menuruni tangga menuju ruangan tempat Sinta dan Angga berada. Dia berdiri dibelakang Angga.

“Sintaa??” Kata laki-laki tersebut.

“Sayang?? Kamu kenapa disini??” Sinta membalas.

“Saya cuman khawatir dengan kamu.” Jawab laki-laki itu.

Seketika Angga menyadari sesuatu, suara itu terdengar seperti suara kakaknya, Andi.

“Kak Andi??” Angga mencoba memanggil.

Laki-laki itu kemudian mendatangi Angga, dan berdiri dihadapannya. Dia kaget melihat adiknya terikat di kursi dengan tubuh penuh darah.

“Angga?? Kamu kenapa disini??” Ucapnya.

“Syukurlah itu kamu kak Andi, tolong saya kak.” Kata Angga, sambil menahan rasa sakit.

“Astaga, Angga.” Andi langsung melepaskan ikatan adiknya.

Sementara itu Sinta hanya terdiam dengan memegang pisau.

“Sayaang?? Ini adik kamu??” Tanya Sinta.

Andi tidak menghiraukan perkataan Sinta, dan tetap melepaskan tali yang mengikat adiknya.

“Sayaang?? Kamu jawab? Kamu lebih memilih adik kamu dibanding saya, kekasihmu??” Sinta menarik-narik baju Andi dari belakang.

Andi berbalik, dan menatap tajam Sinta.

“Cukup Sinta, harusnya kamu hentikan kegilaan kamu ini sejak dulu, kamu itu hanyalah perempuan lemah, cengeng, yang sakit hati karena disakiti oleh seorang laki-laki, dan kemudian melampiaskan semua kebencianmu terhadap semua laki-laki, kamu hanyalah perempuan gila.” Kata Andi dihadapan Sinta.

Sinta tertunduk diam, menangis.

Andi kemudian melanjutkan melepaskan ikatan adiknya. Dia perlahan mengangkat membopong Angga adiknya menuju tangga dan keluar dari ruangan.

Angga terlihat menekan luka diperutnya, dan meringis kesakitan.

“Ayo Angga, kakak akan bawa kamu ke rumah sakit.” Andi terus membopong adiknya.

Mereka berdua beranjak meninggalkan ruang bawah tanah rumah Sinta, dan menuju ruang tamu.

“Ayo Angga sedikit lagi.” Andi mencoba menenangkan adiknya.

Sementara itu darah terus mengalir dari luka diperut Angga.

Beberapa langkah menuju pintu keluar rumah, tiba-tiba Andi ditusuk pundaknya dari belakang oleh Sinta.

“Aakh.” Andi meringis.

Sinta lalu menarik pisaunya, dan kemudian menusuk kembali Andi tanpa henti dengan cepat.

Angga terjatuh dan tergeletak. “KAK ANDII!!” Teriaknya.

Andi terjatuh tengkurap, mulutnya mengeluarkan banyak darah.

“Ang..ga la…lariii.” Kata Andi dengan terbatah-batah.

Melihat Andi terjatuh, Sinta membalik tubuh Andi, dan kemudian kembali menusuknya berkali-kali.

“Saya tidak lemah.” Ucap Sinta tersenyum melihat wajah Andi dengan tatapan tajam, matanya meneteskan sedikit air mata, dan terus menusuk badan Andi.

Angga mencoba merangkak, dia tidak mampu berdiri, luka diperutnya terasa sangat sakit. Dia sudah merangkak melewati pintu dan sampai di teras rumah.

Terlihat gelap didepan rumah Sinta, tanpa adanya penerangan dari lampu jalan.

“TOLOOONG!!” Angga berteriak dan terus berusaha merangkak meninggalkan rumah Sinta.

Melihat Angga merangkak keluar, Sinta berdiri, meninggalkan Andi yang sudah tergeletak tak bernyawa, dia lalu datang menghampiri Angga dengan tangan berlumuran darah sambil menggenggam erat pisaunya.

 “TOLOOONG!!” Angga berteriak sekeras-kerasnya, namun tak ada seorangpun yang bisa mendengarnya.

“Saya sudah bilang, kamu tidak akan bisa pergi dari sini.” Kata Sinta.

Dia kemudian membalik tubuh Angga.

“Tolong lepaskan saya Sinta.” Angga menangis dan memohon.

“Shhh….laki-laki tidak pantas menangis.” Balas Sinta.

Sinta lalu menusuk leher Angga dengan cepat.

Angga memuntahkan banyak darah sambil memegang lehernya.

Sinta tersenyum, kemudian menarik tubuh Angga masuk ke dalam rumahnya, lalu menutup pintu dengan kencang.

TAMAT

Maukah kamu menjadi pacarku??

Nama saya adalah Ari, dan saya jomblo. Saat SMA, status merupakan hal yang penting, dan keramat, bahkan lebih keramat dari cerita mistis horror di manapun.

Yaa begitulah pemikiran dan pendapat beberapa temanku, dan entah mengapa diriku yang lugu dengan wajah sepolos Ariel Noah ini terpengaruh memiliki seorang pacar.

Hari itu adalah hari yang sangat penting bagiku, bukan hari kelulusan, bukan hari ujian penentuan, bukan juga hari diamana saya akan di sunat, tap hari dimana seorang cowok sejati yang **** harus melakukan hal ****** untuk seorang cewek. Yap itulah hari dimana saya akan menyatakan perasaan saya yang sudah terpendam lama terhadap seorang cewek cantik di kelasku, namanya Rini.

Saya berencana akan melakukannya di hari itu, mencari kesempatan yang tepat, waktu yang sepi, mengumpulkan keberanian saya, datang ke hadapannya, menatap matanya perlahan, dan kemudian mengatakan “Maukah kamu menjadi pacarku??”.

Semuanya sudah ku persiapkan dengan matang, saya pangkas rambut di salon waria biar rapi, bulu hidung ku cabut 3 kali biar bersih, malamnya pakaian seragam sekolah ku setrika 3 kali biar mulus kayak wajah Syahrini, bahkan sebelum tidur saya luluran dan maskeran punya ibu saya, hanya untuk terlihat perfect dihadapan Rini besok.

Sebelum tidur, saya sudah tersenyum membayangkan dan memperkirakan hal terindah yang akan terjadi jika saya diterima di esok hari.

Namun, kesalahan saya adalah Karena tidak memperkirakan, bahwa akhirnya yang terjadi adalah sesuatu yang paling mengerikan.

Sesuatu yang bahkan sampai sekarang tidak bisa saya lupakan, seperti kata-kata manis yang menempel di mulut para koruptor, ingatan itu menempel di otak saya.

Pagi di hari itu telah tiba.

“ARII BANGUUUN!!” Teriak ibuku sambil menggedor-gedor pintu kamarku.

“Iyaa…ini juga sudah bangun.” Jawabku, terbaring di ranjang.

“Bangun cepat, ini sudah jam setengah 7.”

“Iyaaa….sebentar.”

“Bangun sendiri atau saya yang masuk bangunkan kau??” Ucapnya sambil menggedor-gedor pintuku lagi.

Mendengar itu, saya langsung bangun duduk. “Iya iya ini saya bangun sendiri.” Balasku.

Ibuku adalah orang paling horror dibandingkan boneka annabelle dalam membangunkan orang, pernah dia membangunkan ku dengan mendobrak pintu kamar dan menyiramku dengan air es, saya sampai demam selama 3 hari.

Terakhir dia membuatku trauma, dengan berpakaian ala suku Indian, kemudian membangunkanku secara tiba-tiba sambil terus memukul pinggangku sampai encok, padahal saat itu hari minggu.

Meskipun begitu, dia tetap seorang ibu yang hebat dan paling cantik bagiku.

“Oke, setelah itu kau mandi dan turun sarapan.” kata ibuku.

“Iya bu.”

Saya kemudian mengambil handuk, mandi dengan bersih dan cepat, memakai seragam sekolah, memakai gel rambut, menghadap ke cermin, menyisir rambut, dan berlatih mengungkapkan perasaanku di hadapan cermin, menganggap bahwa bayangan ku adalah Rini.

“Rini, maukah kamu menjadi pacarku??” Ucapku dengan berlagak sok ganteng.

“Aku ingin mengungkapkan perasaan ku kepadamu bidadariku??” Ku ulangi dengan mencoba mengikuti gaya Afghan, namun terlihat seperti zombie kena tipes.

“Maukah kamu jadi ayah bunda dengan ku??” Ku bergaya seperti Lee Min Ho, tapi malah mirip kena stroke.

“Kayaknya bakalan gampang nantinya, mudah-mudahan dia menerimaku.” Ucapku terhadap diri sendiri.

Perlahan ku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. “Aku siap.” Kataku dengan penuh keyakinan.

Kemudia saya ambil tas di atas meja belajar, mencium poster luna maya di belakang pintu kamarku, lalu turun sarapan di meja makan.

“Sini cepat makan.” Kata ibuku sambil menyiapkan makanan, sedangkan ayahku sudah duduk, dan terlihat sedang sibuk dengan hpnya sambil meminum kopi hangat dihadapannya.

Saya adalah anak tunggal, jadi ruang makan dipagi hari adalah tempat favoritku, karena merupakan satu-satunya tempat yang ramai di rumah kami.

“Kamu cepat makan, setelah itu biar ayah yang antar, kamu gak usah pake mobil dulu hari ini.” Ucapnya sambil menatapku.

“Kenapa??” Tanyaku.

“Kamu tidak ingat, 3 hari yang lalu kamu tabrak mobil orang??”

“Siapa suruh itu orang parkir mobilnya sembarangan.”

“Orang itu parkir mobil di halaman rumahnya sendiri, kamu yang tabrak sembarangan. Untung dia cuman minta sedikit ganti rugi.” Balasnya.

“Hehe iya iya.” Kata ku tersenyum, sambil memakan roti.

Setelah sarapan, ayah mengantar ku ke sekolah.

Beberapa menit kemudian kami sampai di gerbang sekolah, saya mencium tangan ayah, pamit dan kemudian keluar dari mobil.

Terlihat begitu ramai meskipun bell masuk akan berbunyi 15 menit lagi, beberapa anak sekolah ada yang berjalan masuk ke halaman sekolah, ada yang menaiki mobil, ada yang naik motor, tapi tidak ada yang menaiki naga seperti di televisi.

Agak menyebalkan sebenarnya, karena ini merupakan tahun terakhir ku di sekolah, meninggalkan masa-masa yang paling menyenangkan dalam hidup, karena itulah saya memutuskan akan mengungkapkan perasaanku hari ini kepada Rini.

Saya berjalan memasuki sekolah, dan kemudian segera masuk kelas untuk melihat Rini.

Sesampainya di ruang kelas, terlihat bebearapa orang sudah duduk di tempatnya masing-masing, Rini seperti biasa, dia terlihat duduk dibelakang.

Berbeda dari kebanyakan cewek-cewek pintar yang selalu ingin duduk didepan, seperti seolah-olah menonton konser Ariel Noah dan berteriak tidak jelas layaknya orang kesurupan anjing alay, Rini lebih suka memojokkan diri, dan duduk dibelakang.

Saya perlahan berjalan menuju tempat dudukku sendiri, dan langsung duduk pas di depan Rini.

“Selamat pagi Rini.” Ke berbalik sejenak menyapa.

“Pagi juga.” Balasnya dengan wajah murung tanpa ekspresi.

Rini tidak terlihat seperti biasanya, ada yang aneh. Biasanya dia melihat ku dengan matanya yang indah, layaknya melihat sunrise terkadang membuatku semangat, dan kemudian membalasku sambil tesenyum. Tapi, hari ini senyuman manis tak terlihat dari wajahnya yang glowing.

“Kenapa?? Kenapa senyuman manis itu mulai pudar dari wajah mu wahai calon pemilik hatiku??” Tanyaku dalam hati.

Meskipun sejak kelas satu kami sekelas, dan dia selalu duduk dibelakangku, kami tidak pernah punya waktu untuk berbincang banyak, kebanyakan hanya basa-basi anak sekolahan, seperti saling meminjam pulpen, meminjam buku, sayangnya dia belum pernah meminjamkan ku hatinya untuk ku jaga.

Seseorang datang menghampiri Rini.

“Rini?!!”

Dia adalah Ajeng, sahabat Rini dari kelas sebelah, mereka berdua sudah bersahabat sejak SMP.

Sesekali saya berbalik melihat percakapan mereka.

“Rini, kamu putus dengan Erick??” Ajeng bertanya.

“Iya.” Jawab Rini.

“Apaa? Putus?!!” Ucapku dalam hati.

Semangat ku membara mendengar berita tersebut, sejak kelas 2 Rini dan Erick memang berpacaran, namun baru kali saya mendengar mereka benar-benar putus, mungkin itu yang menyebabkan Rini murung hari ini, pikirku.

“Ini adalah kesempatan bagus untuk menyatakan perasaanku terhadap Rini.” Ucap ku dalam hati.

“Sudahlah Rini, lupakan aja dia, gak usah dipikirkan, pulang sekolah nanti kita karaoke yuk, biar kamu bisa lampiaskan.” Ajeng mencoba menghibur Rini.

Rini tersenyum melihat Ajeng.

“Nah gitu dong, senyum, biar Luna Maya iri liat kamu tersenyum.”

“Apaan sih.” Kata Rini sambil tersenyum.

Tiba-tiba terdengar bunyi bel masuk kelas.

“Oke saya masuk ke kelas dulu ya.” Ajeng beranjak ke ruang kelasnya.

“Iyaa…” Rini membalas.

Saya adalah orang paling **** dalam membaca perasaan seorang cewek, tapi dari wajahnya, Rini sudah mulai terlihat baik-baik saja, dia mulai mengangkat wajah indahnya yang sejak tadi di sembunyikan, dan mulai percaya diri.

Beberapa saat kemudian guru masuk, semua siswa-siswi duduk di tempatnya masing, dan pelajaran di mulai.

Baru satu jam pelajaran, terlihat seorang cewek dari belakang berjalan maju dan meminta izin kepada guru, dia adalah Rini.

“Wah ini bisa jadi kesempatan.” Ucapku dalam hati.

Dengan memberanikan diri, saya maju dan meminta izin di guru agar bisa ke WC.

Saya beranjak keluar dari kelas, lalu berjalan di lorong sekolah dan mencari Rini yang pergi ke WC.

Sesaat kemudian, dari jauh saya melihat Rini berbicara dengan seorang cewek dan cowok yang saling berpegangan tangan. Saya mencoba menyembunyikan diri, dan melihat dari kejauhan. Mereka terlihat seperti berdebat.

Saya mencoba memperhatikan dan sepertinya cewek tersebut adalah Ajeng, lalu cowok ganteng yang memegang erat tangan Ajeng merupakan Erick, mantan Rini.

“Wah seru nih, udah kayak acara Rumah Uya di televise.” Ucapku pelan.

Erick memang terlihat ganteng, dia juga merupakan pemain basket di sekolah, badannya yang besar atletis seperti tukang smackdown, membuat banyak cewek tertarik terhadapnya.

Terlihat Rini marah dan kesal, Ajeng terdiam, Erick mencoba menjelaskan, namun tiba-tiba Rini mengayunkan tangan kanannya dengan cepat layaknya atlit badminton, dia menampar Erick dengan keras.

Rini lalu berlari sambil menangis. Sementara itu Ajeng melepaskan genggaman tangan Erick, dan kemudian berjalan masuk ke kelasnya meninggalkan Erick sendirian.

Melihat Rini menangis, membuatku juga kesal dengan Erick. “Dasar anjing.” Ucap ku.

Saya berjalan cepat menemui Erick.

“Kenapa bro?” Katanya terheran melihatku.

“Ini untuk Rini.” Balasku. Saya lalu meninju pipi kanan Erick dengan menggunakan tangan kanan.

“Aduh sakit, itu pipi atau tiang listrik, keras amat.” Ucapku dalam hati sambil mengelus-mengelus tangan ku yang merah.

Erick terjatuh. “Woy apaan sih, datang langsung mukul.” Erick memegang pipi kanannya.

Tanpa menghiraukan perkataan Erick, saya berlari meninggalkannya dan mencari Rini.

Rini mungkin akan berlari menuju WC, karena WC merupakan tempat yang paling tepat untuk melepaskan kesedihan bagi hati yang tersakiti, pikir ku.

Saya kemudian sampai di depan WC perempuan, terdengar dari dalam Rini menangis. Saya mencoba mengetuk.

“JANGAN MASUUK!!” Teriaknya.

Tiba-tiba terdengar suara barang jatuh dari dalam. Saya kembali mengetuk, namun tak ada jawaban dari Rini.

Saya tetap tidak ingin masuk, karena ini adalah WC cewek, dan kemudian secantik apapun cewek kalau menangis ataupun marah, mereka akan terlihat seperti singa lapar, yang siap memakan apapaun dihadapannya, akan tetapi mungkin Rini sudah merasa tenang, karena suara tangisannya terhenti.

Karena penasaran, saya kembali mengetuk dengan keras, namun kembali tidak ada respon dari Rini.

Saya memutuskan untuk menunggunya keluar.

Beberapa menit berlalu, Rini tak kunjung keluar, akhirnya saya bertekad masuk dan melihat keadaan Rini di dalam.

Saya memegang gagang pintu, kemudian membuka pintu perlahan.

Tiba-tiba Rini berjalan menunduk keluar, auranya terasa berbeda, tapi saya mencoba menghiraukannya.

“Rini!!” Ucapku.

Rini diam dan tidak merespon.

“Rini?? Kamu baik-baik saja??”

Dia tidak menjawab, Rini kemudian berjalan cepat ke arah kantin.

“Rini kenapa ya, apa jangan-jangan dia sudah move on.” Kataku dalam hati.

Tanpa melihat ke dalam WC, saya lalu menutup pintunya, dan berjalan menghampiri Rini di kantin.

Rini terlihat duduk sendirian, dia tertunduk dan menyembunyikan wajahnya.

Saya kemudian memberanikan diri untuk menghampirinya.

“Rini kamu tidak apa-apa??” Ucapku sambil duduk disampingnya.

“Iya.” Jawabnya dengan suara pelan.

Terasa aneh saat duduk disampinya, rasanya bulu kuduk ku berdiri.

“Mungkin ini hanya perasaan ku saja, sepertinya Rini baik-baik saja, ini waktu yang tepat untuk menyatakan perasaanku kepada Rini.” Kata ku dalam hati.

Saya menarik napas perlahan.

“Rini, saya ingin mengatakan sesuatu.”

Dia tidak menjawab apapun, saya lalu mencoba mendekat ke sampingnya. Namun, semakin saya mendekat, rasanya semakin aneh. Rini pun juga terus menunduk dan tidak menunjukkan wajahnya.

“Rini, saya ingin menyatakan perasaanku, sebenarnya dari dulu saya suka kamu.” Ucap sambil melihatnya.

Rini tetap tidak menjawab apapun.

“Hemm….Rini, maukah kamu menjadi pacarku??”

“iya.” Rini menjawabnya pelan, sambil mengangguk.

“YEEEES!! AKHIRNYAA..” Teriakku dalam hati. Saya merasa sangat senang, akan tetapi, rasa itu ku coba sembunyikan, dan tetap terlihat sok kalem layaknya buaya berjemur di pinggir pantai.

Saya lalu mencoba menggenggam tangannya diatas meja, tapi tangan Rini terasa sangat dingin.

“Rini?? Kamu sakit tipes, atau kamu demam??” tanyaku kepadanya.

“iya.” Balasnya.

Tanpa sadar saya lalu melihat garis merah membiru melingkar dileher Rini, terlihat seperti bekas lilitan erat sebuah tali.

“AAAAKKH!!”

Tiba-tiba terdengar suara seorang cewek teriak dari arah kamar mandi. Saya berbalik sejenak.

Beberapa orang lalu berhamburan menghampiri cewek tersebut.

Sementara itu Rini menyandarkan kepalanya dipundakku, saya tersenyum gembira.

Saya kemudian perlahan berbalik mencoba kembali melihat wajah Rini.

Begitu saya melihatnya, saya kaget, shock melihat wajahnya yang mengerikan.

Rini terlihat pucat, matanya merah, darah mengalir keluar dari bola mata dan hidungnya. Hal yang paling mengerikan, dia menatapku sambil tersenyum.

Saya langsung menghindar dan terjatuh. Kepala Rini terlihat longgar dan fleksibel, lehernya patah.

“Apa yang terjadi denganmu Rini??” Kata ku pelan.

“Sekarang kamu terlihat seperti bidadari bangkit dari kubur.” Ucapku dalam hati.

Saya langsung berlari ke arah kerumunan di WC, tanpa berpikir panjang saya masuk dan betapa kagetnya saya melihat jasad Rini tergantung di dalam, wajah cantiknya bercampur darah, lehernya terlilit tali yang selalu di pakai dalam olahraga tarik tambang.

Wajah Rini terlihat persis dengan apa yang ku lihat di kantin tadi, beberapa orang lalu menurunkan jasadnya.

Saya tidak bisa berkata apa-apa. Perasaanku tercampur aduk, marah karena ada yang menyakitinya, sedih karena saya tidak bisa melindunginya dan sekarang dia telah tiada.

Kini yang bisa ku lakukan hanya diam, melihat cewek yang ku kagumi itu, sudah tak berdaya. Yang tersisa hanyalah kata-kata penyesalan.

Seminggu akhirnya berlalu, keluarga Rini sudah memakamkan jasad Rini beberapa jam setelah Rini meninggal, sahabatnya Ajeng katanya sampai sekarang stress dan mengurung diri dikamarnya.

Erick bunuh diri dengan cara yang sama dengan Rini, dia gantung diri di kamarnya, dua hari setelah jasad Rini di makamkan.

Sekolah kini di liburkan selama 15 hari untuk menenangkan suasana.

Sementara itu saya hanya bisa duduk dan berdiam diri di kamar, bersama arwah Rini yang terus mengikuti kemanapun saya pergi.

Awalnya saya takut, tapi karena saya sudah terbiasa, saya tidak peduli.

Saat saya tidur, dia selalu berbaring di sampingku, menatapku sampai pagi. Kadang saya bertanya, “Apakah setan tidak tidur??” Akan tetapi, Rini hanya selalu menjawabnya dengan tersenyum.

Bebrbagai macam saya lakukan, agar arwahnya pergi dan tenang, semua paranormal sudah ku panggil sampai Limbad pun. Namun, Rini selalu kembali dengan senyumannya, dulu senyumannya sangat manis, sekarang membuat hatiku meringis ingin dia pergi.

Saya juga pernah mencoba memutar lagu Sherina yang berjudul pergilah kau, agar dia pergi, tapi bukannya pergi, arwah Rini malah nyanyi.

Sekarang, dia hobi menggantungkan dirinya di kamarku. Entahlah, mungkin ini pelajaran, atau memang saya orang yang tidak beruntung.

“Yaa setidaknya saya punya pacar, meskipun dia makhluk gaib.” Ucapku dalam hati.

END

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!