Khailendra Magma Sayaka, cowok bertinggi seratus delapan puluh dua senti meter itu menoleh begitu namanya terpanggil. Khai, begitulah sebutan akrabnya.
Rekan yang tengah tertawa bersama dengannya pun terdiam, juga seorang gadis berambut pirang yang segera disingkirkan dari pangkuan.
"Kenapa, Ma?" Khai membalas panggilan gadis bernama Najma yang berdiri lima meter darinya.
"Aku mau ngomong sebentar, kasih waktu kamu sedikit buat aku, ya. Setelah ini aku janji, aku nggak akan ngemis-ngemis kehadiran kamu lagi."
Khai terkekeh, beranjak dari duduk untuk menghampiri sang kekasih yang justru mundur begitu jarak mereka terkikis.
"Marah, hmm?" Khai membelai surai Najma, membungkukkan tubuhnya yang jenjang, "kan, udah biasa, masa masih cemburu."
"Cemburu pun, aku bisa apa. Kamu akan terus seperti ini, kan." Najma menepis pelan tangan Khai, mundur satu langkah.
"Khai nggak bakalan tobat, Ma. Yang ada makin jadi!!" teriak salah satu teman Khai, membuat gelak tawa dari mereka keluar lagi.
"Aku juga tau, makannya lebih baik aku mundur!" Teriakan Najma pada teman Khai, sukses membuat mereka bungkam dalam sekejap. Ini bukan pertama kalinya Khai main perempuan, bukan pertama kalinya Najma melihat kedekatan seperti pangkuan tadi, tapi ini pertama kalinya gadis berambut sebahu itu bereaksi.
"Ma, maksud kamu apa. Kamu, kan, tau, cinta aku cuma buat kamu. Mereka cuma mainan. Bahan untuk aku bersenang-senang." Khai tidak terima, menahan kedua lengan Najma untuk menghadapnya.
"Kita selesai, ya, Khai. Aku udah nggak kuat lagi."
"Kamu ngomong apa sih, Ma. Jangan kekanakan. Ini udah biasa terjadi, kenapa harus ada kata selesai. Kamu udah janji bakal terus sama aku. Kita, kita punya janji untuk menua bersama!"
"Aku nggak bisa, aku nggak sanggup. Apalagi setelah ini kamu akan masuk universitas, pasti tingkah kamu akan lebih-lebih dari ini. Aku kasihan sama diriku sendiri yang harus menahan cemburu terus-terusan."
"Aku akan berubah. Aku nggak akan selingkuh lagi. Kamupun tau, sekalipun aku duain kamu, kamu tetap jadi prioritas aku!"
Najma menepis kembali tangan Khai, menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya. "Percuma kamu berubah, akupun nggak akan bisa bersama kamu lagi. Kita selesai, Khai. Aku udah menikah."
"Ma?!" Mata Khai membulat, dia kaget tapi tak lama terkekeh, "kamu kalau mau bohongin aku nggak gini caranya. Oke ... oke ... aku bakal usir dia, sekarang kamu yang gabung di sana. Kita rayain hari ini. Kamu gini pasti karena efek sakit kepala. Ujian udah selesai, waktunya senang-senang. Tiga puluh menit lagi, kita jalan-jalan ke Braga."
Lagi-lagi tangannya ditepis, Najma benar menghindari rangkulan dari Khai. Pemandangan asing ini sampai membuat teman-teman cowok itu tak berani melihat. Terlalu canggung.
"Najma, sudah selesai pamitan sama temannya?" Laki-laki berkemeja coklat susu dengan lengan pendek datang, tampilanya formal, rambutnya seleher bergelombang.
"Khai, kenalin. Dia Mas Padma, suamiku." Najma merangkulkan tangannya pada lengan Padma.
Mata bertudung milik Khai menyipit, fokus pada cincin yang sama yang keduanya kenakan.
"Aku pamit, Khai." Dengan berat hati Najma melangkahkan kakinya yang lemas, menarik lengan Padma untuk pergi dari sana.
Sementara itu Khai masih terpaku, tidak bisa berkata-kata. Pembalasan Najma atas kebrengs*kannya benar-benar di luar dugaannya.
...***♡***...
"Aku tau aku brengs*k, tapi cara kamu pergi tidak akan aku terima seumur hidupku, Ma."
Lima tahun telah berlalu sejak kejadian di mana Najma menghampiri Khai berlangsung. Kepergian yang masih menimbulkan tanda tanya besar. Sejak saat itu, Khai tidak bisa menemukan jejak sang mantan kekasih yang menikah dengan pria lain. Pernikahan yang begitu mendadak dan aneh, sebab di hari sebelumnya Najma masih menunjukkan cintanya yang begitu besar pada Khai.
Najma, gadis paling pintar yang berpacaran dengan cowok terpopuler se-sekolah itu memang bisa dikatakan bodoh soal cinta. Dia tau betul tabiat Khai yang doyan selingkuh. Namun dirinya masih tetap bersama Khai, memaafkan segala kesalahan yang cowok itu perbuat. Bahkan keduanya berencana masuk di universitas yang sama. Tapi sejak hari itu, baik teman dekat maupun guru tidak ada satupun yang bertemu Najma lagi. Kedua orang tuanya pun pindah rumah. Hasil ujian kelulusannya pun tak diambil, menjadi tumpukan kertas tak berguna di lemari khusus dokumen sekolah.
Tiga hari lalu, setelah lima tahun lamanya mencari, Khai akhirnya menemukan jejak baru usai dia tak sengaja bertemu Ibu Najma di jalan. Gadis itu tak di Bandung lagi, melainkan diboyong ke Surabaya oleh suaminya. Ada kejanggangalan sebab Ibu Najma seolah menghindar. Kejanggalan itulah yang membuat Khai nekad.
Kini Khai juga berada di kota yang sama dengan Najma, dengan cinta yang sama, dan rasa penasaran yang masih begitu besar.
"Ma, kamu tau betul kalau cintaku sudah habis untuk kamu. Kamu harus tanggung jawab. Aku, aku nggak bisa jatuh cinta lagi. Aku nggak terima kamu menjadi milik orang lain!"
Di dalam sebuah kamar hotel, Khai berdiri menghadap jalanan luar yang padat. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana.
Mulai hari ini, dia akan mengurus cabang perusahaan Papanya di Surabaya. Dia akan memaksa menetap di sana demi bisa mencari Najma. Demi untuk menguras rasa penasarannya.
Khai brengs*k dan Najma menerima itu. Tapi kenapa berubahnya begitu mendadak? Kenapa dia nenerima perjodohan itu? Dan kenapa dia tidak menjelaskan sedetail-detailnya alasan agar Khai tak perlu bertanya-tanya dengan perginya yang mendadak.
"Aku pasti akan menemukanmu, Ma!"
Dering ponsel yang berbunyi membuat Khai beranjak dari posisinya untuk mengangkat panggilan yang rupanya dari Tora, sang Papa.
"Ada apa, Pa. Bukannya ini masih terlalu pagi untuk mendapat perintah?" Tanpa ekspresi, Khai menekan ponselnya kuat-kuat.
"Kamu terlalu banyak bicara. Lebih baik kamu kembali ke Bandung, urus perusahaan di cabang pusat!"
"Khai tidak mau. Berikan saja cabang pusat pada Danendra. Bukannya nanti dia yang akan mewarisinya. Atau Papa tau, kalau dia tidak akan becus mengurus jadi melimpahkan kepada Khai agar nantinya Danendra tinggal menikmati hasilnya."
"Diam kamu. Mau atau tidak, saya hanya butuh jawaban itu!"
"Tidak. Khai sudah bilang tidak sejak tadi. Tapi Papa terlalu banyak marah."
Panggilan mati begitu saja, Khai terkekeh sebelum akhirnya melempar ponsel itu ke tembok hingga pecah berantakan.
"Danendra, Danendra, Danendra ... Khai juga anak Papah!!" pekiknya.
***
masih episode satu
lanjut gak nih?
penasaran gak nih?
tunggu ya, besok up lagi🥰
"Ahhh," lenguhan puas seorang pria berusia empat puluhan dengan perut buncit terdengar nyaring seiring keluarnya cairan putih kental berbau anyir yang mengotori perut perempuan tanpa busana yang merebah lemas di bawahnya.
"Lain kali, aku akan meminta pada Nyonya Priska untuk memanggilmu kembali. Kau, masih sangat nikmat untuk dipakai. Coba saja wanita itu memembiarkanku membawamu, sudah kupastikan hidupmu akan bergelimang harta." Pria itu melempar segepok uang usai pakaiannya terpakai, sebelum akhirnya dia keluar dengan senyum sumringah.
Perempuan yang masih terbaring itu membuang senyum balasannya begitu saja, menatap datar langit-langit kamar hotel.
"Sampai kapan, Tuhan ... sampai kapan." Dia menangis, menutup dirinya dengan selimut.
Najma Arunika Kanigara, lima tahun lalu dia adalah gadis baik-baik dengan otak cerdas. Seluruh teman angkatannya bahkan yakin dia akan diterima di perguruan tinggi pilihannya dan menjadi seorang wanita karir ketika dewasa. Tapi lima tahun lalu hanyalah menjadi angan. Najma yang dulu tidak ada lagi. Kini dia adalah gadis yang dikenal sebagai kupu-kupu malam, miliknya para pejabat.
Sungguh bukan keinginan Najma menjadi wanita panggilan, dia terpaksa dan dipaksa. Padma, sang suami yang mempersuntingnya di malam pada ujian akhir sekolah-lah yang menjadi dalangnya.
Padma memperkenalkan diri sebagai pria kaya raya, memberi pinjaman pada Ibunya untuk berobat sang Ayah yang terkena diabetes parah. Sayang seribu sayang, ibu Najma tak bisa membayar hutang, dia mengorbankan Najma untuk dinikahi Padma.
Memang Padma dikenal sebagai pria baik, pria santun. Najma juga tidak terlalu ambil pusing waktu itu, yang terpenting adalah kesembuhan Ayahnya. Namun rupanya pilihannya salah. Padma tidak sebaik itu, sehari usai dia diboyong ke Surabaya, Padma menunjukkan wajah aslinya.
Dia tak lebih dari seorang germ*o. Meminta balas budi pada Najma yang dulu pekerjaan pun tak punya. Usai di paksa melayaninya, Padma juga memaksa Najma untuk menandatangani surat perjanjian pelunasan hutang dengan bunga yang tidak masuk akal, yang setiap bulan terus bertambah, yang menjadikannya terkurung dalam posisi sekarang, menjadi seorang wanita panggilan.
Najma tak bisa kabur, wilayah yang dia tempati sekarang telah diisi orang-orang Priska, germonya para germo. Selagi hutangnya masih ada, maka dia tidak akan dibiarkan lepas begitu saja.
Najma menyeka air matanya, dia menyibak selimut, membersihkan diri. Dia bisa bertingkah selayaknya perempuan bin*l, tapi itu hanya untuk memuaskan pelanggan. Dia selalu menangis dan memohon ampun pada Tuhan setelahnya.
"Najma, Sayang ... sudah selesai!!" Suara Nyonya Priska sudah menggelegar, Najma memutar tuas keran, menyudahi bebersih dirinya yang juga diikuti air mata.
Pakaian yang dikenakan jauh berbeda dengan pakaian saat dia masuk. Kini baju serba panjang menjadi penutup tubuhnya. Kepalanya yang basah pun tak luput tertutup tudung hoodie.
"Mom, kira-kira berapa kali lagi aku harus seperti ini?" tanya Najma.
"Sorry, Sayang ... Mommy tidak bisa memastikan. Suami kamu, dia baru saja berhutang lagi, dua puluh juta, belum termasuk bunganya."
"Surat kontrak itu bisa diganti? Masa aku terus yang harus melunasi hutang Mas Padma."
"Sayangnya tidak bisa, Najma. Lagi pula kamu masih laris tanjung pinang, banyak yang antri ingin bermalam dengan kamu. Paling-paling satu tahun lagi lunas. Bayaran kamu selalu di atas yang lainnya."
"Sebanyaknya apapun bayaranku akan percuma kalau Mas Padma terus berhutang. Mommy harusnya jangan kasih."
"Sudahlah, kamu juga tidak setiap hari melayani mereka. Mommy masih kasih kamu keringanan, loh." Priska menengok ke arah kedua bodyguardnya yang tengah memunguti uang bonusan Najma yang sebelumnya di lempar ke atas ranjang, "berapa?" tanyanya.
"Lima juta." Uang itu diserahkan.
Priska menyerahkan sepuluh lembar pada Najma. "Pakai untuk merawat diri. Kamu harus tetap bersih dari penyakit. Jangan lupa minum obatnya."
Seperti biasa, bukan hanya uang booking, uang bonus yang nominalnya cukup besarpun juga diambil. Nota pembayaran hutang sudah berkali-kali dicek, berkurang dan tak lama bertambah lagi. Padma, lelaki itu benar-benar menyiksa Najma. Bahkan tanpa perlu waktu lima tahun, harusnya Najma sudah bebas dari lama. Dia selalu ditawar dengan harga fantastis, karena memang dia adalah wanita panggilang khusus, yang hanya melayani satu atau dua pria dalam kurun waktu seminggu. Tapi karena hutang itu, dia jadi tertahan hingga lima tahun lamanya.
Najma hanya bisa berharap, jika pelanggan berikutnya memberi harga tak kalah tingginya, agar minggu depannya dia bisa libur memberikan pelayanannya yang katanya memuaskan itu. Memang harus memusakan, jika tidak dirinya yang akan dihajar habis-habisan oleh Padma, seperti dulu saat pertama kali dia dijual. Dimana seluruh tubuhnya dipenuhi lebam akibat ketidakpuasan pelanggan yang mengadu pada Priska.
Najma menarik tudung *hoodi*enya semakin dalam, keluar dari kamar itu untuk pulang ke rumah kontrakan kecil yang kini dia dan Padma tempati.
Di sanalah kini dia berada, di rumah yang sejatinya tidak layak disebut rumah karena tidak ada kehangatan keluarga yang dulu pernah Najma rasakan.
"Uang bonusan, mana!" Baru juga membuka pintu, Padma yang berambut gondrong itu menghadangnya, menadahkan tangan.
"Dua puluh juta memang belum cukup untuk dibawa senang-senang!" Najma ketus, memilih sisi lain untuk menghindar.
Padma yang tempramental menarik lengan sang istri. "Gua butuh uang, bukan bacotan lo!"
Melirik sekilas, menepis kasar, Najma sayangnya tak semudah itu menghindar. Rambut wanita itu dijambak hingga kepalanya mendongak, sementara tangan Padma yang lain merogoh tas selempangnya, mengambil lima dari sepuluh lembar uang yang ada.
Padma tersenyum sendiri, menciumi selembaran uang itu.
"Aku udah nggak tahan, Mas. Mau sampai kapan kamu nyiksa aku. Harusnya sejak empat tahun lalu hutang ibu sudah lunas, kan. Kamu dan Nyonya Priska pasti sengaja membuatku terlilit hutang ini!!" Najma berteriak, membuat senyum Padma luntur begitu saja.
"Lo kerja tinggal ngangkang masih aja banyak protesnya. Lima tahun belum cukup buat lo terbiasa. Lo pelac*r pilihan, harusnya bersyukur!"
"Mau sampai kapan .... Aku jijik sama pekerjaan aku, aku jijik sama diri aku sendiri!!"
Padma mencengkeram pipi Najma. "Berisik. Jangan protes ke gua. Protes ke ibu lo yang berani ngutang itu. Inget baik-baik, Ma. Jangan sampai lo bikin pelanggan kecewa, atau gua bakal bikin ibu sama bapak kenapa-napa!"
Ancaman yang sama setiap kali Najma bersuara. Ancaman yang membuat wanita itu yakin, kalau sebenarnya dia tak lagi memiliki hutang. Dia murni dijual tanpa imbalan.
Padma pergi, malam ini dia pasti akan berfoya-foya, mabuk-mabukan di club milik Nyonya Priska sampai pagi. Seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya.
"Arghhhhh ...." Najma melempar tas, meremas kepala. Dari awal dia sudah tidak sanggup, untuk orang tuanya lah dia bertahan.
Kalau sudah dalam keadaan kalut seperti ini, Najma benar-benar tidak bisa berdiam di rumah. Dia melangkah keluar, tak peduli jika purnama sudah di atas kepala. Toh, di luar rumah kontrakannya masih banyak orang yang berada di luar. Mereka adalah perempuan panggilan kelas rendah, yang juga berada di bawah kendali Nyonya Priska.
Komplek di mana Najma tinggal memang sudah dikenal sebagai komplek tuna susila. Penjaganya ketat, preman-preman pilihan lah yang menjaga di depan gerbang.
"Masih aja stress, Ma. Tinggal nikmatin apa yang ada. Kamu mana mungkin bisa lepas dari Nyonya Priska, kecuali kalau kamu mati," celetuk seorang preman berkepala botak. Dia sudah hapal betul kebiasaan Najma di malam hari ketika stress melanda.
"Celakanya jadi cantik ya gitu. Coba kamu jelek, Ma. Kaburpun Nyonya Priska nggak akan tau."
"Sudahlah jangan diledek. Hidupnya terlalu miris. Coba kalau Najma nggak sama Padma, dia sudah jadi seperti Mila yang punya rumah gedong. Mobilnya pun tiga dia."
Najma tak menggubris omongan para preman itu. Hidupnya memang miris. Dia juga tidak mau bunuh diri, apalagi dosanya sudah begitu banyak. Juga tidak bisa melukai diri agar menjadi buruk rupa, sebab ada orang tua yang ingin dia bahagiakan.
Berbicara tentang orang tua, Najma sendiri sangat merindukan mereka. Berkabar hanya satu bulan sekali, atau paling cepat dua minggu sekali jika Ibunya meminta uang, pun hanya melalui suara karena Ibu Najma tak bisa memainkan ponsel pintar. Katanya mereka juga pindah rumah, jauh dari tetangga, sinyal pun susah didapat. Ditambah sudah dari tiga tahun terakhir, Ayahnya sulit berbicara. Najma sejatinya telah sedikit lupa dengan suara lelaki itu.
Sebanyak apapun Najma meminta pulang, sekalipun tangisnya berubah menjadi tangis darah, Padma tidak akan memberinya ijin.
"Khai?!" Mata Najma melotot. Di dalam sebuah mobil dia melihat sang mantan kekasih yang sampai detik inipun masih dicintainya.
Najma mengucek mata, menepuk pipi, merutuk dirinya sendiri. "Mana mungkin Khai sampai ke Surabaya. Jangan bodoh, Najma. Dia pasti sudah melupakanmu."
Sudah sering Najma berhalusinasi tentang lelaki itu. Malam ini bukan pertama kalinya. Itu karena rindunya pada Khai yang begitu besar. Sebrengs*ek apapun cowok itu, dia tidak pernah main kasar padanya. Bicaranyapun lembut.
Khai selalu ada di setiap waktu Najma membutuhkan, makannya Najma tetap jatuh cinta padanya sekalipun dia diduakan. Kini Najma tak punya harapan lebih untuk dicintai lagi, dia hanya berharap semoga penderitaan ini segera berakhir. Dia ingin bebas, ingin kembali ke kampung halamannya, dan juga ingin bertemu Khai, setidaknya sekali lagi di sisa hidupnya.
Hujan turun begitu deras. Baru saja, bau khasnya masih tercium dengan jelas. Mengalahkan bau daging panggang yang baru disajikan seorang pramusaji. Khai menatap ke arah jendela, pada pemandangan di mana air dari langit membasahi seluruh kota. Jalanan melenggang, menyisakan kendaraan roda empat yang masih bisa menembus derasnya hujan.
Waktu terus berputar dan fokus Khai masih pada jalanan itu. Dia tengah berharap besar hujan ini akan membuatnya melihat Najma yang melintas. Siapa tau, gadis itu ada dalam sebuah mobil, atau di atas sebuah motor, membiarkan tubuhnya basah kuyup.
"Kamu dulu paling suka hujan-hujanan, Ma," gumam lelaki itu, akhirnya matanya menatap daging coklat yang terpanggang sempura di depannya.
"Semalam, itu kamu atau bukan?" Lagi-lagi bergumam, daging itupun diabaikan.
Khai menghela napas, sejak semalam dia terus kepikiran pada sosok wanita ber-hoodie hitam yang dia lihat dari kaca spion mobil saat melintas di suatu jalan. Sayangnya saat mobil yang dikendarai berputar balik, wanita itu telah menghilang.
Hidung mancung, mata double eyelid, dua bagian wajah itu persis sekali dengan milik Najma. Membuat rindunya Khai semakin memburu saja.
"Nanti aku cari kamu lagi ya, Ma. Aku makan dulu, harus bertemu klien juga." Khai memang harus mengisi perut, dari semalam, gundahnya membuatnya tidak lapar. Sementara sekarang sudah pukul tiga sore. Matahari saja seperempat bumi lagi akan tenggelam.
Daging di depannya tak menyelerakan, tapi harus dihabiskan. Najma tidak pernah suka jika Khai membuang-buang makanan. Wanita itu selalu bersyukur atas apapun itu. Kelegowoannya pada hidup itulah yang membuat Khai tergila-gila.
Najma bukan seperti Khai yang datang dari keluarga berada. Tapi bagi Khai, Najma adalah tempatnya pulang sebab rumah tempatnya berteduh tak pernah hangat. Begitu juga sebaliknya. Khai-pun selalu ada saat Najma meminta bantuan. Jadi jangan salahkan jika mereka terikat terlalu kencang. Dunia membuat keduanya bergantung satu sama lain.
Dua puluh menit berlalu, Khai selesai, menyilangkan pisau dan garpu di atas piring, juga membersihkan bibirnya dengan sebuah sapu tangan. Dia harus berpindah tempat menuju ruang vip restaurant itu untuk bertemu klien. Dia harus menjadi pemimpin yang baik untuk membuktikan kepada Papanya bahwa dia jauh lebih hebat dari Kakanya.
Entahlah, hanya karena dia sulit diatur untuk beberapa hal, dia langsung dicap sebagai anak tidak berguna. Hanya karena nilai ujian yang selalu pas-pasan, dia dianggap bodoh. Hanya Mamanya lah yang selalu setia mendukung, apapun kondisinya.
Baru juga duduk, klien yang dimaksud datang. Pria paruh baya dengan rambut memutih disapa dengan baik, diberi senyum dan jabat tangan yang hangat. Khai mempersilahkan lelaki itu duduk lebih dulu.
"Masih sangat muda sekali. Hebat." Kata-kata lelaki itu membuat Khai tersipu malu, dia tidak pernah dipuji oleh Papanya seperti ini. Padahal terhitung dia sudah pernah memenangkan dua kali tender, proyek pemerintah pula.
"Terima kasih, Tuan. Kita langsung bahas saja proyek cluster ini, bagaimana?" tanya Khai, sopan. Pria itu mengangguk, memberi senyum.
Langkah pertama berhasil, Khai yakin yang paling selanjutnya akan mudah. Dia segera menjelaskan bagaimana rincian pembangunan. Dari mulai menarik konsumen, rentang waktu proses pendirian hingga perawatan, dia menghabiskan tiga puluh menit untuk berbicara garis besarnya.
Klien Khai bernama Hartanto itu tersenyum. "Pantas Tuan Bimo Sayaka mengirim kamu. Kamu ini pandai dan lugas sekali saat menjelaskan proyek ini. Baiklah, saya akan menyetujui kerja sama ini. Lokasinya pun strategis. Nanti saya akan berbicara pada tim saya untuk mulai menyiapkan iklannya. Bagaimana?"
Khai mengangguk, matanya berbinar menyodorkan sebuah file dan pena. "Ini surat kerja samanya."
Tanda tangan dengan cepat, Hartanto beranjak dari kursinya, menepuk bahu Khai yang segera ikut berdiri. "Besok, mari dinner bersama. Saya ajak ke restaurant terbaik di Surabaya," ucapnya.
"Dengan senang hati, Tuan. Terima kasih atas tawarannya."
Tersenyum, mengangguk lantas hilang dari pandang, kepergian Hartanto membuat jati diri Khai kembali. Lelaki itu segera melonggarkan jasnya dan berseru semangat, satu kali lagi dia berhasil menaklukan proyek besar. Dua tanah yang digabungkan menjadi satu, letaknya strategis, huniannya pun berkelas atas, untung dari kerja sama ini pasti akan membuat Sayaka Group berlipat-lipat kekayaannya.
Tapi dia juga tau, jika nanti buah dari hasil kerjanya tidak akan sepenuhnya menjadi miliknya. Jadi Khai punya trik khusus, untuk menyimpan sendiri keuntungan itu. Karena sampai kapanpun, Bimo tidak akan memandangnya lebih baik dari Danendra.
"Saatnya mencari kamu lagi, Ma."
Dengan luas tiga ratus lima puluh koma lima kilo meter persegi, Surabaya yang dihuni tiga juta seratus lima puluh tujuh ribu seratus dua puluh enam jiwa itu merupakan kota metropolitan terluas ke dua se-Indonesia. Khai yang sendirian lebih banyak pesimisnya. Bisa jadi ibu Najma juga asal dalam menjawab. Nyatanya usai hari itu, dia juga tidak bisa menemukannya lagi.
"Setidaknya mencoba, Khai. Nggak ada yang nggak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak." Khai kembali bersemangat, dia abaikan pesimisnya dan segera beranjak dari ruangan tiga kali tiga meter itu.
Hujan di luar sana masih lebat. Bagus bukan ... Khai bisa melajukan mobilnya pelan sembari melihat kanan kirinya dengan seksama. Di sore seperti ini, jika memang Najma hanya menjadi seorang istri, kemungkinan besar dia akan berada di rumah, tapi jika dia juga ber-title sebagai wanita karir, dia pasti sama sepertinya, berada di jalanan yang terguyur hujan.
Dulu saat melihat Padma untuk pertama kalinya, Khai yakin, dengan penampilan yang rapi, lelaki itu pasti bukan orang biasa. Paling tidak dia adalah seorang pegawai negri sipil, atau pemilik usaha yang tengah merintis. Dia juga membawa Najma pergi dengan mobil, meski bukan mobil mewah seperti miliknya.
Khai melihat sekeliling, dengan sebuah payung, dia akhirnya masuk ke dalam mobil, mulai melaju pergi dengan kecepatan sedang. Sementara itu, dibalik pintu masuk Resto, ada seorang perempuan yang berdiri, menahan mati-matian kakinya untuk tidak melangkah.
Najma ada di restaurant yang sama. Resto daging yang dikunjungi Khai adalah restaurant tempatnya bekerja. Demi uang halal untuk dikirimkan pada orang tuanya, wanita itu tak kenal kata lelah. Untungnya Padma mengijinkan, karena dia pun hanya menginginkan uang, masa bodo dengan apa yang Najma lakukan.
Dari jam sepuluh pagi sampai empat sore Najma bekerja menjadi pramusaji, atau terkadang membantu bagian dapur, atau malah menjadi asisten koki gadungan ketika tamu tiba-tiba membludak, dia juga terkadang mengambil bagian menjadi pencuci piring demi uang lemburan. Seperti hari ini, dia akan bekerja sampai malam sebab Nyonya Priska tidak menghubunginya untuk menemani pelanggan.
Najma yang sejatinya tengah rehat empat puluh lima menit tidak mengira jika akan melihat Khai di sana. Jadi semalam saat melihat lelaki itu melintas dia memang tidak salah.
Wanita itu kembali ke mess, duduk melamun. "Kamu terlihat sangat berwibawa dengan pakaian itu, Khai. Rasanya malu sekali untuk sekedar menyapa. Padahal ... tidak apa kan?"
Dengan pamit seadanya, dengan putus sepihak dan juga kabar perubahan statusnya yang mendadak, apakah Najma dimaafkan oleh Khai? Pertanyaan itulah yang membuat wanita itu segera menahan tangannya untuk membuka pintu, padahal dia sempat berlari demi bisa mengejar Khai.
"Aku kotor banget, Khai, pasti kamu jijik." Meremas jari yang terjatuhi tetesan bening air mata, Najma memang harus sadar diri dengan kondisinya sekarang. Dulu mungkin perbedaan mereka sebatas strata sosial yang mana Najma masih bisa usahakan dengan bekerja keras untuk bisa setara, tapi sekarang, dia hanyalah pelayan resto yang ketika malam datang menjajakan dirinya sendiri kepada pria hidung belang. Sungguh pilu, pertemuan ini malam membuat lukanya semakin dalam.
"Khai, jika kemarin aku meminta untuk dipertemukan dengan kamu lagi, hari ini aku berharap bahwa pertemuan ini akan menjadi pertemuan terakhir kita."
"Hidup dengan bahagia ya, Khai. Aku masih dan akan terus mencintai kamu."
Semakin deras air mata yang keluar, semakin deras pula hujan di luar sana. Rasanya lebih menyakitkan saat ini dibanding saat dia terpaksa pergi dulu. Tidak ada yang bisa dirubah, Najma merasa dirinya terlalu buruk untuk berharap bisa kembali dengan Khai. Sangat buruk, sampai dia saja tidak bisa menerima dirinya sendiri, apalagi dengan lelaki itu.
***
segini dulu, buat mereka saling merindukan
tapi ... Khai bakal menerima kondisi Najma gak ya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!