NovelToon NovelToon

JERAT IBLIS

MIMPI BURUK

            Gimana caranya aku melepaskan diri?? Devina gemetar ketakutan melihat genangan darah di lantai. Di depannya saat ini, Tiwi-adiknya sedang tidak sadarkan diri dengan luka di pergelangan tangannya yang mengeluarkan darah segar berwarna merah kental. Sementara Devina sendiri saat ini sedang dalam keadaan duduk dengan tangan dan kaki yang terikat kuat hingga sedikit saja Devia bergerak, kulitnya akan terluka karena ikatannya.

            Tidak jauh dari tempat Tiwi terbaring tidak sadarkan diri, Devina melihat sosok ayahnya-Dadang yang justru tersenyum di saat anak bungsunya-Tiwi kini sedang sekarat dan hanya tinggal menunggu kematian jika terus dibiarkan seperti ini.

            “Ayah!! Teganya Ayah melakukan ini sama Tiwi!! Tiwi sayang banget sama Ayah!! Bahkan selama ini, hanya Tiwi yang selalu membela Ayah di depan Ibu!! Tiwi selalu percaya sama Ayah apapun yang terjadi!!” Devina yang masih tidak bisa bergerak karena ikatannya, hanya bisa mengatakan kata-kata itu dengan harapan Dadang akan berbelas kasih pada Tiwi yang kini sekarat dan tidak lama lagi akan meregang nyawa.

            “Ha ha ha!!!” Dadang tertawa dengan cukup kencang dan membuat harapan kecil Devina untuk menyelamatkan adik satu-satunya, hancur seketika. “Perjanjian, tetap perjanjian, Putriku!! Ayah nggak bisa berbuat apa-apa karena Iblis itu menginginkan kalian berdua!!”

            Sial!! Gimana caranya aku bisa menyelamatkan Tiwi??? Melihat harapannya yang sia-sia pada Dadang, Devina tidak lagi peduli dengan luka di tangan dan kakinya. Devina berusaha untuk melepaskan ikatan yang membelenggu kedua tangan dan kakinya agar bisa menyelematkan Tiw-adik satu-satunya.

            “Kalo kamu ingin menyelamatkan adikmu itu … “

            Sosok yang jadi sumber masalah dalam hidup Devina, kini mendekat ke arah Devina. Sosok itu menyentuh dagu Devina dan membuat Devina yang sejak lama enggan untuk melihatnya, kini menatap mata sosok itu secara langsung.

            “Cih!!” Devina berusaha untuk melepaskan wajahnya dari genggaman kecil sosok mengerikan yang berbentuk manusia setengah ular.

            “Kamu masih saja begini, Devina.” Mendapatkan penolakan dari Devina, bukannya merasa kesal, sosok manusia setengah ular itu justru tersenyum dan merasa semakin senang dengan Devina. Sosok itu semakin mendekatkan wajahnya ke arah Devina dengan lidahnya yang bercabang dua seperti ular pada umumnya. Lidah itu menjulur menyentuh bagian wajah Devina dan membuat Devina semakin bergidik ngeri. “Padahal aku sedang memberikanmu tawaran untuk menyelamatkan adik kesayangan yang bahkan terus menerus menyusahkanmu, Devina. Jika jadi kamu, aku akan biarkan adik menyusahkan itu mati, sayangku!”

            Huft!! Devina membuang mukanya karena wajahnya yang semakin dekat dengan wajah sosok manusia setengah ular itu. “Aku bukan kamu! Pilihanku, aku yang tentukan! Tiwi mungkin menyusahkan, tapi dia tetap adikku!”

            Tangan lain dari sosok manusia setengha ular itu, menarik wajah Devina yang menghindari tatapannya dan kembali membuat Devina melihat ke arahnya. “Aku nggak suka kamu memalingkan wajahmu dariku, Devina! Kamu ini cantik bahkan ketika semua orang mengatakan adikmu jauh lebih cantik darimu, di mataku hanya kamu yang tercantik!”

            “Aku nggak butuh pujianmu itu!” Devina membalas dengan nada dingin.

            “Ha ha ha!!” Manusia setengah ular itu tertawa senang mendengar jawaban Devina. “Padahal sebelum ini kamu sangat senang ketika aku mengatakan kalimat itu padamu! Kamu nggak bisa bohong di depanku, sayangku!!”

            Glup! Devina menelan ludahnya merasa kesal karena apa yang dikatakan oleh sosok manusia setengah ular di hadapannya itu memang benar.  Belum lama ini … Devina yang tidak tahu jika sosok di hadapannya adalah siluman ular mengerikan, sempat jatuh cinta padanya dan mengira keberuntungan akhirnya datang dalam hidupnya. Tapi Devina tidak akan pernah menyangka sosok yang dianggapnya keberuntung justru adalah kesialan paling besar dalam hidupnya.

            “Aku akan membiarkan Tiwi-adikmu hidup, asal kamu bersedia jadi pasanganku!!! Kamu hanya cukup bilang ya padaku dan aku akan memberikan segalanya padamu, Devina! Kemegahan dunia, kekayaan yang tidak ada habisnya, kekasih yang selama ini kamu dambakan dan kebahagiaan, aku akan berikan segalanya. Cukup katakan ya dan aku akan mewujudkan segala permintaanmu, Devinaku tersayang!!”

            Devina melihat sekelilingnya. Tiwi yang bersimbah darah tidak sadarkan diri. Ayah yang telah lama jadi budak dari siluman ular di hadapannya. Pria tua yang jadi dukun perantara antara ayahnya dan siluman ular serta terakhir siluman ular di hadapannya yang begitu menginginkan Devina hingga membuat Devina berada di situasi saat ini.            

            Apa yang harus aku lakukan? Devina berulang kali menanyakan kalimat itu di dalam benaknya. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku membiarkan Tiwi mati? Haruskah aku menerima tawaran itu untuk menyelamatkan Tiwi? Berapa kali pun Devina bertanya dalam benaknya, Devina tetap tidak dapat menemukan jawabannya. Satu-satunya yang muncul dalam benak Devina adalah hari-harinya sebelum ini yang membawa Devina ke situasi seperti ini.

            *

Tiga bulan yang lalu.

Ssss. Ssss!

Devina kembali ke tempat ini. Tempat di mana dirinya berlari dengan kencang dengan air keringat mengucur deras di keningnya.

            Lari!!! Suara dalam benak Devina terus mengatakan lari pada Devina. Lari secepat yang kamu mampu! Jangan sampai tertangkap oleh ular itu!!

            Seperti yang diperintahkan suara di dalam benaknya, Devina berlari sekuat tenaganya dan bahkan memaksa kakinya berlari lebih kencang dari pada biasanya. Tapi larinya yang kencang itu tak mampu memberikan jarak besar dari ular besar berwarna hitam yang terus mengejar Devina di belakangnya.

            Sial!! Aku lelah! Devina mengumpat di dalam benaknya sekaligus mengumpat pada suara dalam benaknya yang terus memberikan perintah padanya untuk berlari menjauh dari ular itu. Tapi sama seperti mimpi-mimpinya sebelum ini, ular itu berhasil mengejar Devina dan akhirnya menangkap Devina dengan melilitkan ekornya di tubuhnya Devina.

            Sss, sss!

            Sial!! Tolong!! Tolong aku!!

            Sama seperti mimpi-mimpi sebelumnya, Devina yang selalu berakhir dengan ditangkap oleh ular besar hitam yang bahkan lebih besar dari anaconda yang dilihat Devina di TV, hanya bisa berteriak dalam benaknya karena suaranya tidak bisa keluar.

            “Kamu tidak akan pernah bisa lari dariku, Devina!! Kamu milikku dan akan selalu begitu!! Itulah janjinya!!”

            Tidak seperti Devina yang tidak bisa mengeluarkan suaranya, ular itu selalu bisa bicara pada Devina layaknya manusia.

            Janji? Janji apa? Pertanyaan itu selalu Devina tanyakan setiap kali mendengarkan ucapan dari ular hitam besar dengan mata merahnya yang menyala. Tapi sebelum Devina sempat mendapatkan jawaban untuk pertanyaan itu, ular hitam besar itu membuka mulutnya dan hendak menelan Devina bulat-bulat.

            To-tolong aku!! Devina yang ketakutan karena melihat gigi taring ular hitam yang tajam dan siap mengoyak tubuhnya yang kecil hanya bisa gemetar ketakutan. Devina berusaha melepaskan dirinya tapi lilitan ekor ular itu semakin erat ketika Devina bergerak.

            Apa aku akan mati? Pertanyaan itu muncul di dalam benak Devina ketika ular itu memasukkan Devina ke dalam mulutnya.

            “Kamu tidak akan mati, sayangku.”

            Dalam sekejap Devina yang tadi ketakutan dan teringat sudah berada di dalam mulut ular hitam besar, kini berada di ruangan dengan nuansa merah. Tidak seperti sebelumnya ketika Devina berada di hutan asing yang sama sekali tak dikenalinya, kini Devina berada di ruangan serba dengan ranjang besar di mana dirinya berada.

            “Si-siapa kamu? Apa kamu yang selamatkan aku dari ular itu??” Devina mencoba bertanya dan anehnya suaranya keluar tidak seperti sebelumnya.

            “Kamu bisa bilang begitu, sayangku.”     

            Sosok itu berbaring tepat di samping Devina. Harusnya … Devina bisa melihat dengan jelas wajahnya. Tapi wajah sosok itu gelap, sama sekali tidak terlihat oleh Devina. Kenapa aku tidak bisa melihat wajahnya?

            “Kenapa aku tidak bisa melihat wajahmu?” tanya Devina.

            “Tidak sekarang, sayang. Kalo kita sudah bertemu, kamu akan bisa melihat wajahku.”

            “Lalu kapan kita akan bertemu?” tanya Devina lagi.

            “Tidak lama lagi, sayangku.”

            Sosok itu mendekat ke arah Devina dan menempelkan bibirnya di bibir Devina. Harusnya Devina menolak karena Devina tidak mengenal dan tidak bisa melihat wajahnya. Tapi Devina tidak bisa bergerak seolah terhipnotis oleh sosok yang tidak bisa dilihatnya. Ciuman itu semakin panas saja hingga beberapa kali Devina hanya bisa mendesah merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakannya.

            “Mbak!!! Mbak!!! Bangun!!!”

            Devina membuka matanya dan menemukan dirinya msih berbaring di kamarnya. Di sampingnya ada Tiwi-adiknya yang melihatnya dengan wajah cemas. Itu tadi cuma mimpi??

            “Mbak ini!! aku ketakutan setengah mati tadi. Kirain nggak bakal bangun loh!!”

            “Kenapa memangnya??” Devina mencoba bertanya meski dalam benaknya saat ini masih teringat dengan jelas malam panasnya dengan pria yang bahkanb wajahnya tak bisa dilihatnya.

            “Mbak mimpi teriak-teriak minta tolong!! Siapa yang nggak takut, Mbak??” Tiwi bicara sembari kembali ke ranjang dan bersiap untuk tidur lagi.

            Untung saja … Tiwi hanya mendengar bagian itu saja!  Devina merasa bersyukur karena adiknya hanya mendengar teriakan minta tolongnya dan bukan bagian dari ******* karena malam panas dalam mimpinya.

MIMPI-MIMPI DEVINA

            “Mimpi ular lagi, Mbak?”

            Devina tadinya mengira Tiwi sudah memejamkan matanya, tapi ternyata Tiwi belum tidur dan masih hanya berbaring bersiap untuk tidur.

            “Hu uh.” Devina bangkit dari ranjangnya setelah mengelap keringatnya yang mengcur di keningnya dan memeriksa kolong ranjangnya. Syukur aja nggak ada ular! Lama-lama aku beneran parno sama ular gegara mimpi ular mulu!!!

            “Tenang aja, Mbak.” Tiwi bicara sembari membalik badannya. “Aku udah periksa di sana, nggak ada ularnya kok.”

            “Ma-makasih.” Devina kembali ke ranjangnya, tapi teringat sesuatu dan langsung mengurungkan niatnya ketika melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Udah waktunya solat malam. Devina

            “Mbak??” Tiwi menghentikan langkah Devina yang hendak keluar dari kamarnya untuk ambil air wudhu.

            “Ehm, apa??”

            “Mbak mungkin kudu periksa deh! Mbak mimpi kayak gini udah lama loh!! Gara-gara mimpi buruk itu, Mbak kan sering nggak bisa tidur nyenyak di malam hari. Masak mau kayak gini terus, Mbak??”   

            Tiwi bener. Mungkin aku kudu periksa. Devina memasang senyumnya sebelum berjalan keluar dari kamarnya melihat Tiwi yang kini menatap ke arahnya. “Aku akan cari dokter konseling .”

            “Bagus deh kalo gitu.”

            Tiwi berbaring tidur sementara Devina keluar kamar untuk mengambil air wudhu untuk salat malam. Sebelum wudhu, Devina mampir ke kamar mandi untuk buang air kecil karena merasa tidak enak. Loh kok basah?? Devina merasa aneh karena tiba-tiba ****** ******** basah. Buru-buru, Devina mengganti ****** ******** sebelum melanjutkan niatnya untuk mengambil air wudhu.

            Setelah setengah jam solat dan berdoa, Devina kembali tidur lagi dan nggak lupa berdoa agar mimpi ular yang mengganggunya tidak mengganggunya lagi.

            Kukuruyuk!!!!

            Seperti biasa … pukul empat pagi, Devina bangun dari tidurnya untuk solat subuh dan membantu ibunya yang bekerja sebagai pembuat catering makanan.

            “Bu!” Devina menyapa ibunya yang sibuk memasak dengan tiga rekannya yang tidak lain adalah tetangga Devina.

            “Udah bangun. Dev??” balas Ibu Devina.

            “Udah.” Setelah menjawab pertanyaan ibunya, Devina menyapa tiga rekan ibunya. “Pagi Bu Reni, Bu Mila dan Bu Yuni.”

            “Pagi, Dev.” Bu Reni, Bu Mila dan Bu Yuni membalas sapaan Devina secara serentak.

            “Seperti biasa, kamu bangun pagi sekali, Dev!!” tambah Bu Mila[dsp1] [dsp2] [dsp3] . “Andai aku punya anak kayak kamu, Dev!!”

            Bu Mila adalah janda sama seperti Ibu Devina. Bedanya Bu Mila adalah janda ditinggal mati suaminya lima tahun yang lalu sementara Ibu Devina adalah janda karena bercerai dengan ayah Devina dua puluh tahun yang lalu.

            “Ibu bisa aja.” Devina menjawab dengan merendah. “Ini udah biasa, Bu.”

            “Aku yoh ngiri sama Ibukmu, Dev.” Kali ini giliran Bu Yuni yang bicara. “Aku ndak punya anak perempuan. Coba aja aku punya anak perempuan kayak kamu, dua anak laki-lakiku iku pasti nggak akan bikin aku kesel tiap hari.”

            Bu Yuni adalah ibu dari dua anak laki-laki yang terkenal dengan kenalakannya. Anak pertamanya masih kuliah dan harusnya sudah lulus dua tahun yang lalu. Sayangnya kuliahnya molor karena sibuk mengerjakan ini dan itu yang lebih mirip dengan bermain. Lalu anak kedua Bu Yuni yang karena melihat kakak laki-lakinya tidak bertanggung jawab, meniru kakaknya dan juga membuat masalah di sekolahnya. Berkat itu, Bu Yuni langganan dipanggil ke sekolah karena anak keduanya suka membolos sekolah atau kadang berkelahi di sekolah.

             “Aku harap anakku kelak kayak kamu, Dev! Pengertian sekali sama orang tua!1 punya anak kayak kamu di jaman sekarang itu kayak langka banget. Kebanyakan masih sekolah aja udah bingung cari pacar, runtang-runtung sana sini kayak pasangan baru nikah aja. Padahal yang baru nikah aja nggak kayak gitu, ke mana-mana nggak kudu bareng.” Bu Reni juga nggak ingin kalah bicara.

            Beda dengan Bu Mila dan Bu Yuni, Bu Reni tidak memiliki anak bahkan setelah lebih dari sepuluh tahun pernikahannya. Karena merasa tidak bisa punya anak, Bu Reni mengangkat anak perempuan sebagai anaknya lima tahun yang lalu. Bu Reni mengangkat anaknya ketika masih berusia 7 tahun dan sekarang usia anak itu sudah 12 tahun di mana tahun depan anak itu akan masuk SMP dan mulai beranjak jadi gadis remaja.

            “Ibu-ibu ini bisa aja.” Sekali lagi Devina memberikan jawaban merendah sembari menyiapkan kotak makanan catering pagi ini.

            “Tiwi mana?” Kali ini pertanyaan itu keluar dari mulut Ibu Devina -Ainur.

            “Masih tidur, Bu.”

            “Setengah jam lagi bangunkan adikmu, Dev!!”

            “Ya, Bu.”

            “Ibu heran sama Tiwi udah umur 25 tahun, tapi masih aja susah buat bangun pagi, buat solat subuh sendiri.” Ibu Devina mengeluh lagi seperti hari-hari sebelumnya karena Tiwi yang selalu bangun kesiangan.

            “Tiwi tadi malam jagain aku, Bu.” Devina berusaha membela adiknya.

            “Kamu mimpi buruk lagi, Dev?” Ibu Devina bicara dengan nada dinginnya.

            “Ya, Bu.”

            “Sudah doa sebelum tidur?” tanya Ibu Devina masih dengan nada dinginnya.

            “Sudah kok, Bu.”

            “Ya udah kalo sudah. Yang penting jangan percaya apa yang muncul di mimpi kamu itu,. Dev.” Ibu Devina mengingatkan Devina.

            “Ya, Bu. Devina tahu kok.”

            “Kamu mimpi ular lagi, Dev?” tanya Bu Mila.

            “Y-ya, Bu. Udah lama Devina mimpi kayak gini. Cuma yah gitu kadang … sampe kebangun saking takutnya.” Devina menjelaskan.

            “Lah kok malah takut sih??” Bu Mila memasang wajah kagetnya. “Kalo di tempatku mimpi dikejar ular itu artinya bakal ketemu jodoh. Apalagi kalo sampe digigit, katanya jodohnya udah deket.”

            “Hush!! Kata sapa??” Ibu Devina memotong ucapan Bu Mila. “Jangan percaya kayak gittu, Dev!! Sudah bangunkan adikmu dulu sana!!”

            “Lah emang gitu loh.” Bu Mila masih terus bicara bahkan ketika Devina akhirnya pergi dari dapur dan berjalan menuju ke kamarnya di mana dirinya dan Tiwi tidur. “Mimpi dikejar ular itu loh artinya bagus. Bakalan ketemu jodoh. Semakin bagus ularnya semakin bagus juga jodohnya.”

            He he he. Devina terkekeh di dalam benaknya mendengarkan perdebatan ibu-ibu di dapurnya karena membahas mimpi-mimpi Devina yang selama ini selalu dikejar ular hitam yang besar dengan matanya yang berwarna merah menyala.

            “Wi!! Bangun, Wi! Solat Subuh!!”

            Untuk membangunkan Tiwi terutama saat jam solat subuh, satu kali panggilan tidak akan pernah cukup untuk membangunkan Tiwi dari tidurnya. Setidaknya Devina butuh lima kali panggilan untuk membangunkan Tiwi dari tidurnya yang nyenyak.

            “Ehm, iya Mbak!”

            Setelah lima kali panggilan, Tiwi akhirnya membalas panggilan Devina dan membuka matanya meski hanya sepertiga.

            “Cepet solat sana!! Kalo kamu nggak cepet bangun, Ibu bakalan ke sini dan bawa air satu ember!!”

            Apa yang Devina katakan bukanlah sekedar ancaman. Tiwi sering kali mandi pagi dua kali: pertama disiram ibunya di jam pagi karena tidak bangun-bangun untuk solat subuh dan kedua adalah saat hendak berangkat sekolah atau kuliah.

            “Ah iya!!” Meski setengah mengantuk, Tiwi bangun dari tidurnya, berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudu dan solat.

            Mimpi semalam …  Sementara Devina menunggu Tiwi yang sedang di kamar mandi, Devina mengambil baju kerjanya dan menyetrikanya. Mimpi semalam beda dari mimpi-mimpi sebelumnya.

            “Kalo di tempatku mimpi dikejar ular itu artinya bakal ketemu jodoh. Apalagi kalo sampe digigit, katanya jodohnya udah deket.”

            Devina teringat ucapan dari Bu Mila yang baru saja didengarnya. Mungkinkah mimpi semalam benar-benar mimpi pertanda aku akan ketemu jodohku?? Kalo emang iya, sayang banget karena semalam aku nggak bisa lihat wajah pria itu.

            “Mbak??” Tiwi yang hendak solat mampir ke arah Devina yang masih menyetrika seragam kerjanya. “Kenapa pipimu merah, Mbak??”

            Eh??  Devina kaget karena secara tidak sadar dirinya teringat mimpi terakhirnya di mana dirinya berciuman dengan pria tak dikenal dengan sangat intens bahkan terasa begitu nyata. “Ah i-ini pasti karena setrikanya. Panas aja.”

            “Ohhh, aku kira kenapa!!”

 [dsp1]Catatan 1.  Rekan-rekan ibu Devina.

 [dsp2]

 [dsp3]

DOKTER KONSELING

            Pukul 7.15, Devina berangkat bekerja dengan sepeda motornya. Setelah berpanitan dengan ibunya lengkap dengan mencium tangan ibunya yang masih bau masakan pagi kateriungnya, Devina mulai menarik gas di motornya dan melaju pergi menuju ke kantornya. Devina tahun ini umur 27 tahun. Tahun ini juga sudah tepat lima tahun lamanya, Devina bekerja di kantornya sekarang tepat setelah wisuda. Pekerjaan Devina adalah sebagai pegawai administrasi.

            Pekerjaannya sekarang, menurut Devina adalah pekerjaan yang cukup menyenangkan. Lingkungan kerjanya baik dan orang-orang yang bekerja di sana secara kebetulan semuanya adalah orang yang baik bukan tipikal orang yang suka menjilat atasannya sana sini atau bermuka dua. Jadi … meski sudah lima tahun lamanya bekerja, Devina cukup puas dengan pekerjaannya.

            Tidak seperti Tiwi-adiknya yang sekarang menganggur untuk ketiga kalinya. Tiwi adalah lulusan akuntansi yang harusnya mudah mendapatkan pekerjaan karena seluruh perusahaan pasti membutuhkan yang namanya akuntan. Menurut Devina, Tiwi sebenarnya cukup mudah menemukan pekerjaan mengingat biasanya Tiwi tidak akan menganggur lebih dari tiga bulan lamanya. Hanya saja tiga kantor di mana Tiwi bekerja sebelumnya adalah kantor yang bermasalah. Di kantor pertama, Tiwi berulang kakli bertengkar dengan rekan kerjanya hingga Tiwi yang sudah sangat kesal akhirnya memutuskan untuk keluar. Di kantor keduanya, Tiwi menemukan atasannya yang menggelapkan dana perusahaan. Tidak lama setelah mengungkap hal itu, Tiwi memilih untuk mengundurkan diri. Lalu kantor terakhirnya, Tiwi kembali berurusan dengan rekan kerjanya hingga berulang kali bertengkar di kantornya. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, Tiwi yang akhirnya tidak betah, akhirnya memutuskan untuk keluar dan mencari pekerjaan baru.

            Sekarang baru dua bulan lamanya, Tiwi menganggur dan Devina sedikit mulai mengkhawatirkan Tiwi karena dalam dua bulan ini, Tiwi belum mendapatkan panggilan kerja sekalipun.

            Ckittt!!

            Devina menarik tuas remnya ketika melihat traffic light menyala merah.

            “Mbak mungkin kudu periksa deh! Mbak mimpi kayak gini udah lama loh!! Gara-gara mimpi buruk itu, Mbak kan sering nggak bisa tidur nyenyak di malam hari. Masak mau kayak gini terus, Mbak??”  

            Ketika tengah menunggu lampu merah berubah menjadi hijau, Devina teringat akan ucapan adiknya tadi malam mengenai dokter konseling . Di mana kira-kira aku bisa menemukan dokter konseling  yang sesuai?? Apa kira-kira mereka akan percaya dengan cerita mimpi-mimpiku selama ini?

            Membahas soal mimpi-mimpi buruknya selama ini, Devina berusaha mengingat lagi kapan mimpi-mimpi buruk itu dulu datang dalam hidupnya.            

            “Apa ini, Ayah?”

            “Ular.”

            “Kenapa Ayah memelihara ular di rumah? Bukankah ular itu hewan yang berbahaya??”

            “Nggak. Ular ini nggak berbahaya, Devina. Coba saja kamu sentuh dan pegang!! Ular ini … tidak akan menyerangmu!”

            “Ayah nggak bohong??”

            “Nggak, Ayah nggak bohong!”

            Ingatan lama Devina tentang masa kecilnya bersama dengan ayahnya tiba-tiba muncul di dalam benaknya. Dalam ingatan yang sudah tertumpuk dengan ingatan lain dan menjadi lumutan, Devina bisa mengingat dengan jelas bahwa di masa kecilnya Devina sering bermain dengan ular peliharaan milik ayahnya.

            Apa ular itu pernah menyerangku? Pertanyaan itu muncul di kepala Devina ketika berusaha menghubungkan mimpinya dengan apa yang terekam dalam ingatan kecilnya. Mungkinkah aku lupa jika ular itu pernah menyerangku dan ingatanku membuatku terus bermimpi buruk karena apa yang aku lupakan??

            Tinnnnn!!

            Suara klakson beberapa kendaraan belakang Devina berbunyi di waktu yang nyaris bersamaan dan membuat Devina tersentak kaget. Devina melirik lampu traffic light yang kini sudah berwarna hijau. Ahh, sudah hijau rupanya! Devina yang terlalu asyik dengan pikirannya tidak menyadari jika 45 detik waktu menunggunya telah habis.

            Br-

            Devina tadinya ingin menarik gas di setirnya. Tapi melihat ada seorang kakek tua yang masih menyeberang, Devina mengurungkan niatnya dan tetap di posisinya menunggu kakek itu menyeberang melewati Devina.

            Tinnnnnnn!!!

            Suara klakson banyak kendaraan di belakang Devina berbunyi lagi dan kali ini lebih memekakkan telinag Devina. Sialan!! Apa kalian nggak lihat masih ada yang nyebrang??? Devina berteriak di dalam benaknya karena merasa semua orang sudah buta karena tidak bisa melihat kakek tua yang sedang menyeberang jalan.

            Tinnnn!!!!

            Bunyi klakson terdengar lagi dan kali ini kesabaran Devina sudah hampir habis. Devina nyaris saja menoleh ke belakangnya untuk berteriak, tapi Devina menghentikan niatnya ketika ada seorang pria muda yang membantu kakek tua menyeberang.

            Pria itu tersenyum ke arah Devina seolah ingin berterima kasih kepada Devina yang telah berusaha membantu kakek tua itu. Devina membalas senyuman pria muda itu dengan senyuman kecilnya. Masih ada orang baik rupanya.

            *

            “Tumben kok baru dateng, Dev??”  Rilian rekan kerja satu departemen Devina yang sudah menjadi bekerja bersamanya selama empat tahun menyapa Devina dengan kerutan alisnya ketika melihat Devina datang telat dari biasanya.

            “Ketahan lampu merah di perempatan tadi.” Devina membalas sembari meletakkan tas kerjanya dan duduk di kursi kerjanya. Seperti kegiatannya sehari-hari, Devina yang duduk di meja kerjanya langsung menyalakan komputernya untuk memeriksa email yang masuk.

            Rilian harusnya sudah kembali ke meja kerjanya. Tapi Rilian masih berdiri di dekat meja kerja Devina dan memperhatikan Devina dengan saksama.

            “Kenapa kamu liat aku gitu?” tanya Devina.

            “Itu … “ Rilian menunjuk ke arah mata Devina dan lingkaran hitam di bawahnya. “Kamu kurang tidur lagi, Dev?? Apa masih mimpi buruk soal ular itu??”

            Selain keluarganya, Rilian lah satu-satunya teman kerja Devina yang tahu masalah tidur Devina dan mimpi-mimpi buruknya selama ini.      

            “Ya.” Devina menganggukkan kepalanya. “Semalam mimpinya lebih parah dari sebelumnya. Biasanya aku cuma dikejar-kejar, tapi tadi malam aku berhasil ditangkap ular itu dan dimakan.”

            Eh??” Rilian bergidik ngeri seperti sedang membayangkan apa yang baru saja Devina ceritakan padanya. “Di tempatku … arti mimpi dikejar ular itu artinya mau ketemu jodoh. Tapi sepertinya mimpi kamu itu agak lain yah, Dev!!”

            Devina melirik tajam ke arah Rilian karena merasa tersindir. “Apa kamu bilang gitu karena dari dulu sampe sekarang aku nggak pernah punya pacar??”

            “Ha ha ha!! Aku cuma bercanda, Dev.” Rilian langsung memasang wajah tertawanya di depan Devina.

            “Yah … tapi omonganmu emang benar juga. Beberapa tetanggaku juga mengatakan hal yang sama.” Devina langsung mengubah lirikan tajamnya dengan senyuman di wajahnya.

            “Mau dibiarin kayak gitu aja? Kamu kayak gini bukannya udah lama?” Rilian kini melihat Devina dengan wajah khawatir dan cemas.

            “Rencananya aku mau cari dokter psikolog buat konseling . Kamu punya saran nggak? Kamu kan punya banyak kenalan soalnya mantan pacar kamu banyak.” Devina membalas sindiran Rilian tadi.

            “Kamu nyindir aku??” Rilian yang kembali ke tempat duduknya langsung melirik tajam ke arah Devina.

            “Balas yang tadi.” Devina mengerlingkan satu matanya sebagai tanda dirinya sedang bercanda.

            “Ha ha ha!! Kita impas kalo gitu. Tapi kebetulan banget kamu cari dokter psikolg, Dev.”

            “Emang ada??” Devina langsung melihat Rilian dengan wajah penuh harap.

            “Kebetulan di dekat sini ada dokter psikolog yang baru buka prktik, kira-kira baru semingguan buka. Mau coba ke sana??” Rilian menawarkan seolah dirinya adalah tim marketing dari dokter psikolog yang dimaksudnya. “Kata temenku lumayan bagus loh di sana.”

            “Kalo kamu anterin, aku mau ke sana. Gimana? Mau anterin aku??”

            “Ya karena kamu yang minta, aku kudu ikut lah.”

            Rilian bicara dengan nada senangnya, tapi Devina yang sudah sangat mengenal Rilian tahu betul arti dari nada senang dan raut wajahnya sekarang ini.

            “Jangan bilang kalo dokternya ganteng makanya kamu mau ikut!!” Devina mencoba menerka.

            “He he he!” Rilian tertawa kecil karena Devina menebak dengan baik niat di dalam kepalanya. “Kamu bener, Dev! Kata temenku, dokternya ganteng kayak oppa korea.”

            Eh?? Ternyata …

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!