NovelToon NovelToon

About His Key

Keynara

Sama seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada yang berubah dan justru semakin buruk bagi seorang gadis bernama Maureen Keynara Hadigantara yang kerap disapa Key. Dia anak bungsu dari enam bersaudara di keluarga itu, tetapi dia selalu diperlakukan layaknya seorang pembantu. Ketika sedang menata beberapa menu makanan di meja, tiba-tiba gadis itu dikejutkan oleh seseorang yang menyerukan namanya dengan keras.

"KEYNARA, SINI LO!" Gadis berpipi tirus itu menghampiri kakak perempuannya dan menatapnya takut. Ellena Cleonara Hadigantara, gadis berpipi chubby yang merupakan kakak keempatnya.

"A-ada apa, Kak?" cicit Keynara, ia memilih untuk menunduk.

"Pakai nanya lagi! Nih, lo liat baju kotor gue! Numpuk! Kenapa belum lo cuci? Gue nggak mau tau, lo cuci ini sekarang!" Ellen melempar keranjang bajunya ke arah Keynara dengan kasar hingga jatuh berserakan. Keynara buru-buru memunguti semua baju itu ke dalam keranjang.

"Maaf, Kak, tadi gue harus masak dulu dan baru aja selesai." Keynara menahan tangisnya, semakin menunduk tak lagi berani menatap wajah itu.

"Halah! Bilang aja lo malas!"

Keributan itu menimbulkan tanda tanya dari saudara-saudara mereka. Dari arah tangga, muncul empat pemuda tampan dan berjalan ke arah keduanya. Tiga orang berdiri di belakang Ellen, seorang lainnya di belakang Keynara.

"Ada apa, sih, ini? Kenapa kalian udah ribut pagi-pagi gini?" tanya seorang pemuda berkulit hitam kepada mereka.

"Keynara malas, Bang Rio. Masa, baju-baju gue belum dicuci?" adu Ellen dengan manja. Dario Revano Hadigantara, si sulung itu merangkul adiknya penuh sayang.

"Udah dulu marahnya, mendingan kita sarapan dulu biar nggak telat ke sekolah." Rio menggandeng Ellen ke ruang makan.

"Woy! Ngapain lo masih di sini? Buruan cuci bajunya!" bentak seorang pemuda dengan rambut harajukunya. Cakka Zefran Hadigantara.

"I-ya, Bang Cakka. Gue cuci sekarang," ujar Key berusaha menahan getaran suaranya.

"Ingat, cuci yang bersih. Kalau nggak, jangan harap lo bisa sentuh makanan itu, atau pergi dari sini. Paham?" imbuh pemuda bermata sipit. Dia Alvin, Calvin Stefan Hadigantara lengkapnya.

"Ayo, Alvin." Cakka dan Alvin pun bergegas menyusul Rio dan Ellen.

"Key ...." Pemuda gondrong yang sedari tadi bungkam, akhirnya bersuara. Raynaldo Zevandra Hadigantara namanya.

"Gue nyuci dulu," ucap Keynara. Gadis itu langsung pergi, tanpa memberi kesempatan Ray untuk berbicara.

Ray hanya bisa menghela napas panjang, lalu bergabung dengan saudara-saudaranya yang lain. Ia duduk di kursi paling ujung, mendengar percakapan ringan dan hangat mereka membuatnya kesal. Pemuda itu menatap mereka satu persatu.

"Kalian keterlaluan. Kenapa kalian bertindak seenaknya sama Key? Inget, Keynara itu adik kita! Nggak pantas kalian perlakuan dia kayak gitu!" ucapnya kesal. Keempat kakaknya pun langsung diam dan menatapnya jengah.

"Apa, Ray? Adik? Gue nggak salah denger, kan?" balas Alvin sarkas. Ia mengembuskan napas kasar, sebelum melanjutkan perkataannya.

"DIA ITU BUKAN ADIK KITA! DIA ITU PEMBUNUH! PEMBUNUH ORANG TUA KITA! DIA ITU CUMA ANAK PEMBAWA SIAL! LO NGGAK LUPA, KAN, SAMA KEJADIAN ITU?" Bentakan Alvin terdengar keras, membuat Ray tersentak. Namun, pemuda itu tak kenal takut, ia baru ingin membuka mulut, tetapi Cakka menyela terlebih dahulu.

"Vin, udah! Biarin aja Ray bela anak sialan itu! Nanti juga dia kena batunya. Gini, daripada kita pusing ngurusin mereka berdua, mending sepulang sekolah kita liburan? Setahu gue, selama tiga hari kedepan kita libur, kan?" ucap Cakka sambil menepuk-nepuk pundak Alvin. Pemuda bermata sipit itu pun mengangguk setuju, begitu juga dengan Rio dan Ellen yang hanya diam mendengarkan perdebatan tadi.

"Berangkat sekarang, yuk? Keburu siang," ajak Rio kepada ketiga adiknya, tanpa menghiraukan keberadaan Ray di sana. Ray berdecak kesal, ia pun menyiapkan sarapan untuknya dan si bungsu, lalu menyantap makanannya terlebih dahulu.

Sementara di kamar mandi, Keynara mendengar semua perdebatan mereka berlima. Air mata yang sejak tadi ia tahan, pun meluruh saat mereka menyebut dirinya sebagai pembunuh kedua orang tua mereka. Ia menyandarkan tubuhnya yang bergetar hebat pada tembok, dan mengigit tangannya untuk meredam suara tangisnya, tak lupa kran air ia nyalakan dengan kencang.

'Sampai kapan gue disalahin? Apa gue memang salah? Andai dulu gue nggak minta jalan-jalan, pasti ayah sama bunda masih ada di sini. Semua kakak gue juga nggak akan benci sama gue, kan? Apa ... gue harus pergi juga supaya mereka seneng?' racau Key dalam hati. Tanpa disadari, ada seseorang yang memperhatikannya dengan pandangan sulit diartikan dari celah pintu yang tidak tertutup rapat.

'Maaf ... gue nggak bisa jaga dan lindungi lo. Sabar, Key, gue bakal pastiin, kita semua bisa kembali lagi kayak dulu.' Sosok itu pun segera pergi dari sana.

Beberapa saat kemudian, Key selesai mencuci pakaian kakaknya dan sudah menjemurnya. Kini, gadis itu berjalan perlahan menuju ruang makan. Suasana tampak sepi, sepertinya mereka sudah berangkat ke sekolah terlebih dahulu.

Dilihatnya jam yang menunjukkan pukul 06:30, masih ada waktu baginya untuk sarapan dan pergi ke sekolah. Di ruang makan, ia dikejutkan dengan keberadaan kembarannya. Pemuda itu tengah melamun.

"Kenapa lo belum berangkat?" tanya Key dengan nada datar. Ia duduk di samping pemuda itu, dan mulai menyantap makanannya. Pemuda itu tersentak, lalu menatap gadis di sampingnya.

"Gue nunggu lo, Key. Nggak mungkin gue biarin lo sendirian."

"Nggak usah sok peduli. Gue nggak butuh rasa kasihan lo. Lo juga pasti benci, kan sama gue? Cih ... nggak usah pura-pura nerima keberadaan gue di sini. Gue nggak nyaman." Ray menatap Key sendu. Sesakit itu kah hatinya, sehingga Key menolak kepeduliannya?

"Lo selalu bilang, kalau lo sayang sama gue, kan? Tapi kenapa lo nggak pernah belain gue secara langsung di depan mereka? Mereka maki-maki gue lo diem aja. Kenapa harus nunggu gue denger semua kata-kata itu, lo baru belain gue? Di sekolah juga, lo diem aja liat gue dibully. Malah guru-guru yang belain gue. Lo ngapain?" Setelah berkata demikian Key segera mencuci piring-piring kotor itu. Kemudian, dirinya mengambil tas dan jaketnya lalu berjalan keluar rumah.

Ray tak tinggal diam, pemuda itu segera menyusul Key dengan motornya. Ia menghentikan kuda besinya di samping Key yang tengah menunggu angkutan umum. Ia menyodorkan helm lain kepada adiknya.

"Pakai, kalau lo nggak mau telat ke sekolah." Key menghela napas panjang, dengan berat hati dirinya menerima helm tersebut dan naik ke boncengan Ray. Lalu, pemuda itu mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, membuat Key refleks memeluk erat tubuhnya. Kalian pasti bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga kecil ini?

Keynara, seorang gadis yang ceria berubah menjadi sosok pendiam dan dingin. Namun, itu hanya berlaku jika ia sedang bersama saudara kembarnya. Perempuan itu hanya tak ingin pemuda itu turut dibenci oleh keempat saudaranya yang lain.

Sebaliknya, jika ia berhadapan dengan keempat kakaknya yang lain, sosok gadis rapuh dan penakut yang tampak dalam diri Key. Dari kecil, Key memang tidak pernah berani untuk membantah mereka. Dulu ia tumbuh dengan kasih sayang, tetapi sekarang dirinya tumbuh dalam kebencian.

Bahkan hingga peristiwa itu terjadi, ia semakin tidak berani melawan mereka meski dirinya harus menahan sakit. Ray, pemuda itu tidak pernah membenci Key. Dirinya percaya, jika kejadian itu sudah takdir dari Tuhan yang tidak bisa mereka hindari.

Maka dari itu, Ray selalu berusaha untuk tetap berada di sisi sang adik. Mencoba meyakinkan, bahwa gadis itu tidak sendirian. Meluluhkan kerasnya hati Key, yang mungkin terlanjur perih ketika tidak mendapatkan kepercayaan dari keempat kakaknya.

Sebuah Tragedi di Puncak

Di hari Sabtu pagi, tampak sebuah keluarga sedang berkumpul di ruang keluarga. Raut bosan terpancar di wajah mereka yang tengah bingung ingin melakukan apa di akhir pekan ini.

"Ayah, bunda Key mau jalan-jalan ...." Rengekan seorang gadis kecil memecahkan keheningan di ruangan itu.

"Hm? Anak ayah mau jalan-jalan? Emangnya, Key mau ke mana?" tanya seorang pria paruh baya sembari membawa gadis itu ke pangkuannya. Dia adalah Jovan Alexio Hadigantara. Di sampingnya, Jane Lauren Hadigantara, sang istri pun tersenyum mengusap kepala putri bungsunya.

"Endak tauu. Key pingin jalan-jalan liat gunung, terus habis itu mau makan stroberi banyak." ucapnya polos dengan merentangkan tangan kecilnya. Semua orang yang ada di sana tertawa gemas.

"Ayah, gimana kalau kita ke puncak?" tanya seorang pemuda berambut harajuku, Cakka.

"Setuju, Kka. Kan di sana bisa lihat gunung. Pemandangannya juga pasti bagus. Ada perkebunan buah juga, kan?" sahut pemuda yang tampak lebih tua darinya. Cakka menyetujui ucapan Rio.

"Oh iya, ke puncak aja kalau gitu. Nanti Key bisa berburu buah stroberi, Key mau?"

"Key mauu!!! Asyiikk!" sorak Key kecil dengan gembira.

Setelah itu, mereka pun mulai packing perlengkapan yang harus dibawa ke puncak. Beberapa menit kemudian mereka pun bergegas menuju puncak, karena cuaca tampak mendukung perjalanan hari itu. Key tampak menikmati perjalanan mereka, sesekali ia berceloteh atau bernyanyi, membuat seisi mobil tertawa geli menanggapinya.

Setibanya di puncak, mereka pun beristirahat sejenak di Vila milik Barra. Key, anak kecil itu mengikuti kelima kakaknya memasuki sebuah kamar yang akan mereka tempati. Yah, Key memang terbiasa tidur bersama kakak-kakaknya.

"Kaell," panggil Key kepada Ellen. Gadis itu tengah duduk setelah membereskan koper kecilnya.

"Iya, Key, kenapa?" tanya Ellen dengan lembut.

"Nanti temenin Key liat matahari tenggelem, ya?" Sontak kelima kakaknya tertawa mendengar ajakannya.

"Sayang, itu bukan matahari tenggelam. Tapi terbenam," ralat Ellen dengan kekehan kecilnya. Sang adik hanya menampilkan cengirannya dengan lugu.

Setelah beberapa saat beristirahat, kini mereka sedang menjelajahi kebun stroberi seperti keinginan si bungsu. Jovan dan Jane terlihat bahagia melihat putra-putrinya akur dan saling menjaga. Key dengan kaki mungilnya berlari-lari kecil, sesekali tangannya memetik buah stroberi dan memberikannya kepada Alvin yang bertugas membawa keranjang buah

"Koko, Key mau petik banyak-banyak boleh?" tanya anak kecil polos itu. Alvin tersenyum kecil.

"Boleh, dong. Key petik aja sepuasnya, nanti biar Koko yang bawa."

"Yeayy!"

Key kembali berlari dan memetik buah-buah kecil berwarna merah itu. Alvin pun mengikuti dari belakang, dan berteriak agar adiknya tidak berlarian. Namun, belum sempat dirinya meraih tangan kecil itu, Keynara sudah terlebih dulu terjatuh.

"Huwaaaaaa!"

Seketika tangis anak itu pecah. Alvin yang sedari tadi mengikuti langkah kecil itu, pun lantas meletakkan keranjang yang ia bawa dan menggendong sang adik yang kini menangis dengan wajah memerah. Pemuda itu mencoba menenangkan adiknya.

"Key, jangan nangis. Key harus jadi anak perempuan yang kuat. Kalau Key jatuh, Key harus bangun lagi. Oke?" Gadis kecil itu menatap Alvin dengan mata berkaca-kaca, mencoba menghentikan tangisnya.

"Ja-jadi kalau Key jatuh, Key harus bangun sendiri? Key ndak boleh nangis, ya?" Alvin tersenyum dan mengangguk.

"Iya, sama kalau ada orang yang jahatin Key, Key harus lawan. Jangan bolehin orang jahat sama Key, oke?" Anak itu mengangguk kecil, seolah dia paham dengan yang dikatakan Alvin.

"Key mau turun, Ko. Mau jalan sendiri," pinta Key sembari menggerakkan badannya untuk turun dari gendongan Alvin. Pemuda itu pun menurunkannya.

"Kakinya ada yang luka nggak? Sini Koko liat dulu," tanya Alvin sembari memeriksa kaki kecil itu, si kecil hanya menggeleng lucu dengan mata berkedip polos. Helaan napas lega terdengar saat tak menemukan luka di kakinya.

"Ya udah. Yuk, jalan lagi dan jangan lari." Alvin kembali menggenggam tangan kecil itu dan berjalan bersama untuk memetik buah.

Selang beberapa menit kemudian, mereka kembali ke Vila setelah puas bermain di kebun. Saat ini, Key tampak sibuk menikmati buah stroberi hasil petikannya tadi. Ada Alvin, Ellen dan Ray yang menemaninya.

"Kaell, abang mana?" tanya Key dengan kepala yang celingukan mencari keberadaan kakak tertuanya.

"Abang lagi ngobrol sama ayah, nanti abang nyusul ke sini. Key di sini aja, ya, sama Kaell, Koko, sama Kak Ray," ujar Ellen. Key mengangguk lucu, dan kembali melahap buah berwarna merah itu. Tak lama Cakka turut bergabung dengan mereka.

"Aduuh, ini adik abang lagi makan apa, sih? Lahap banget. Abang boleh minta?" Key menoleh dan menyodorkan satu biji stroberi ke mulut Cakka. Pemuda itu menerima suapan sang adik.

"Hmm manis banget, kayak adik kecil ini," kata Cakka sembari mencolek hidung mancung Key, membuat gadis itu tertawa geli.

Akhirnya, hari itu mereka menghabiskan waktu bersama di puncak. Kehangatan dan keharmonisan sangat terasa di sana. Kebahagiaan Key pun terlihat jelas, ketika dirinya bisa bermain bersama keluarganya.

Keesokan harinya, mereka harus bersiap untuk pulang. Hal ini dikarenakan hari libur mereka sudah selesai, dan besok semuanya akan kembali menjalankan rutinitasnya. Namun, sepertinya cuaca sedang tidak mendukung akibat hujan deras disertai angin kencang yang membuat pandangan Jovan terganggu, tetapi dirinya berusaha untuk bisa melihat dengan baik.

"Ayah ini kenapa? Key takut ...." tanya Key dengan wajah ketakutan. Dia memeluk saudara kembarnya yang duduk di sampingnya. Posisinya saat ini diapit oleh Ellen dan Ray.

"Enggak kenapa-napa, Sayang ... Kamu tidur aja, ya?" ucap Jovan menenangkan. Gadis itu mengangguk pelan dan membenamkan wajahnya di dada Ray.

Saat melewati jalan yang rawan terjadi kecelakaan, Jovan lebih menajamkan matanya dan berhati-hati. Tiba-tiba, dari arah berlawanan ada sebuah truck pengangkut berukuran besar melaju dengan cepat karena rem blong. Jovan yang menyadari hal itu berusaha untuk menghindar, tetapi semuanya terlambat.

"AAAAARRGGHH!" teriak mereka. Ray mendekap erat Ellen dan Key yang semakin menangis.

Truk itu menghantam mobil yang mereka tumpangi, sehingga mobil mereka terlempar keras ke arah jurang. Posisi mobil saat itu terbalik di tepi sungai. Jovan masih setengah sadar, dirinya melirik ke arah sang istri yang sudah tidak sadarkan diri dengan darah mengalir dari kepalanya.

"Anak-anak ... saya harus selamatkan mereka." Jovan membuka perlahan pintu di sampingnya. Sembari menahan sakit di tubuhnya, ia merangkak keluar dan membuka paksa pintu tengah mobil.

"Ellen bangun, sayang. Ray, Keynara," panggil Jovan pelan.

Dirinya mencoba menggendong Ellen dan membawanya jauh dari mobil. Kemudian dia kembali ke mobil untuk menggendong Key dan merebahkannya di samping Ellen, berlanjut ke putra-putranya. Beruntung Cakka dan Rio saat itu sadar, sehingga dapat membantu memindahkan Ray dan Alvin.

Tak lama dari itu, Key tersadar dan menangis mencari sang bunda. Rio berusaha menenangkan adiknya yang terus memberontak untuk berlari menuju mobil menyusul Jovan yang sedang membantu Jane. Namun usahanya sia-sia, Key berhasil lepas dari gendongan Rio dan berlari tertatih menuju mobil.

"KEYNARA, JANGAN KE SINI!" teriak Jovan saat menyadari keberadaan asap dan sedikit percikan api dari mobil.

Hatinya merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Kaki kecil Keynara terus berlari menuju mobil orang tuanya. Tak memedulikan teriakan sang ayah yang melarangnya mendekat. Hingga akhirnya ....

'DUAARRR!'

Mobil itu meledak, membuat Jovan dan Jane terlempar ke sungai. Sedangkan Keynara, gadis kecil itu terlempar jauh ke sisi lain jurang. Rio dan keempat adiknya melihat kejadian itu, lantas mereka bergegas menolong Keynara yang kini tak sadarkan diri dengan beberapa luka di kepala dan sekujur tubuhnya.

"Bang, ayah sama bunda ...." Ellen menatap nanar ke arah sungai yang arusnya sangat deras. Sangat mustahil bagi Jovan dan Jane selamat dari maut.

"Kita ke rumah sakit dulu, setelah itu abang akan minta tolong orang untuk cari ayah sama bunda. Apa pun yang terjadi, kita harus terima, ya?" Rio memeluk tubuh rapuh adiknya.

Beberapa saat kemudian, ada beberapa warga setempat yang datang ke lokasi dan membantu membawa Rio dan adik-adiknya ke rumah sakit. Saat itu, kondisi Keynara yang bisa terbilang sangat parah. Dia koma akibat benturan keras di bagian kepalanya.

Sejak saat itu, Rio, Cakka, Alvin dan Ellen sangat membenci gadis itu. Mereka berpikir, bahwa Key yang menyebabkan kedua orang tua mereka meninggal. Ray, hanya dia yang tetap bersikap baik dan menyayangi Keynara.

Selama kurang lebih 5 bulan gadis itu koma, Ray tidak pernah meninggalkannya. Tanpa mereka sadari, ternyata ada seseorang yang selalu mengawasi keadaan mereka. Namun, Ray tidak peduli dan fokus untuk menjaga sang adik, berbeda dengan keempat kakaknya yang tidak pernah sekalipun menjenguk Key.

Hingga akhirnya Key sadar dari komanya, yang gadis itu lihat pertama kali hanya wajah Ray. Dia sangat sedih mengetahui keempat saudaranya membencinya, orang-orang yang ia percaya tidak akan pernah menyakitinya. Sejak saat itu, Key mulai menutup hatinya untuk percaya kepada orang lain.

Perhatian Kecil

Sesampainya di sekolah, Key jalan terlebih dahulu ke kelasnya. Ray hanya bisa menghela napas panjang, sembari berjalan di belakang gadis itu. Ya, mereka memang berada di satu kelas yang sama, yaitu kelas X IPS 2..

Rio, Cakka, Alvin dan Ellen sudah berada di kelas masing-masing. Rio dan Cakka di kelas XII IPA 1, sedangkan Ellen dan Alvin di kelas XI IPA 1. Kelas mereka memang berbeda-beda, tetapi setiap istirahat mereka selalu bersama, tanpa mengajak Keynara.

Hal itu membuat Keynara menjadi bahan omongan anak-anak di sekolahnya. Mereka berpikir, apakah Keynara bukan adik kandung mereka? Kenapa Keynara seolah tidak dipedulikan oleh keluarganya?

Key selalu menulikan telinganya, karena dirinya sudah lelah dengan semuanya. Perundungan yang dia alami sejak kecil, serta perlakuan kasar dari keempat kakaknya membuat ia semakin mengeraskan hatinya. Dia tak ingin orang lain melihat kehancurannya, dan memilih untuk menikmati sendiri rasa sakitnya.

"Key ...." Ray menatap sang adik yang asyik membaca novel favoritnya.

Pemuda itu merebahkan diri di bangku, dengan menjadikan paha gadis itu sebagai bantalannya. Ia mengamati wajah adiknya lama. Saat ini mereka hanya berdua di kelas, semua murid sedang berpencar di luar karena jam kosong.

"Hm," gumam Key dengan mata tetap fokus pada novelnya.

"Jangan cuekin gue ...." Ray memainkan ujung dasi yang dikenakan gadis itu.

"Gue biasa aja." Tanpa pemuda itu sadari, sebuah senyuman tipis terukir di paras cantik Key.

"Lo cuekin gue. Gue nggak suka," ucap Ray merajuk. Mode manja pemuda itu sedang aktif. Key menyimpan novelnya, dan menatap Ray yang saat itu juga menatapnya.

"Gue kangen main bareng lo, kangen bercanda bareng sama lo kayak dulu. Sekarang gue nggak ngerasain itu, Key. Gue ngerasa lo jauh, padahal kita deket."

Key masih diam. Apakah sikapnya keterlaluan? Bisakah dirinya bersikap seperti Key kecil, ketika keadaan yang saat ini sangat berbanding terbalik dengan kondisi beberapa tahun yang lalu?

"Maaf." Hanya kata itu yang bisa keluar dari bibir mungilnya.

"Key ... bisa nggak kita kayak dulu lagi?" Keynara hanya diam, matanya menatap sekeliling ruangan itu.

"Jawab, Key. Bisa, kan?"

"Gue nggak tau!" Key menatap tajam ke arah Ray. Pemuda itu tersentak saat gadis itu membentaknya. Ray bangkit dari posisinya dan membiarkan adiknya keluar dari kelas

"Gue bakal berusaha balikin keadaan kayak dulu, Key. Gue janji sama lo," tekad Ray. Ia memilih untuk meninggalkan kelas dan mencari saudari kembarnya.

Di sisi lain, tepatnya di toilet perempuan. Keynara tengah menangis seorang diri. Sakit, saat dirinya harus berpura-pura membenci Ray, satu-satunya orang yang tetap memperlakukannya dengan baik.

Setelah puas menangis, Key segera keluar dari bilik tersebut dan membasuh wajahnya. Kemudian dia melangkah keluar, bukan untuk kembali ke kelas, melainkan ke rooftop. Biarlah dia membolos, gadis itu tak peduli jika nanti dia akan dimarahi.

Siapa sangka, jika dirinya akan bertemu dengan salah satu kakaknya di sana. Dengan menahan rasa takut, gadis itu melangkah menuju titik favoritnya, yaitu bangku yang terletak di dekat tembok pembatas. Pemuda berkulit putih itu hanya diam, tetapi ekor matanya mengikuti gerak-gerik Key.

"Lo ngapain liatin gue?" tanya Key risih.

"Ngapain lo di sini? Bagus, ya, bukannya belajar yang bener malah bolos." Bukannya menjawab, pemuda itu malah mencercanya dengan sinis. Key tertawa pelan, kepalanya menggeleng tak percaya.

"Lo sendiri ngapain di sini? Harusnya lo kasih contoh yang baik buat adik-adik lo." Pemuda itu tersentak, ketika gadis itu berani menjawabnya. Ia terkekeh pelan dengan tatapan meremehkan.

Sepersekian detik, tidak ada pembicaraan di antara mereka. Alvin tetap diam dengan mata tak lepas dari gadis di hadapannya. Sedangkan Keynara, gadis itu tetap diam dengan hati dan pikiran yang berkecamuk, dirinya sangat lelah saat ini.

"Ada saatnya gue capek menerima perlakuan kalian, Kak." Key menatap Alvin tenang. Menahan diri untuk tidak meledak.

"Lebay." Key berdiri dan mendekat ke arah Alvin. Tak ada raut takut, hanya wajah tanpa ekspresi yang Alvin dapati.

"Lo bilang gue lebay?" Key tersenyum sinis.

"Mana ada orang yang tahan di salahin, padahal itu bukan kesalahannya? Gue berkali-kali ngomong sama kalian, ayah dan bunda pergi itu udah takdir dari Tuhan!" bentak gadis itu. Pemuda itu mengepalkan tangannya di dalam sakunya.

"Lo pikir gue mau peristiwa itu terjadi? Nggak! Gue nggak tau kalau kejadiannya bakal kayak gitu. Mau sampai kapan kalian nyalahin gue atas kematian ayah dan bunda?"

"Kalau dulu lo nggak minta jalan-jalan, semuanya nggak akan kayak gini!" Bukan Alvin yang menjawab, melainkan Ellen. Di sana juga ada ketiga kakaknya yang lain. Lagi dan lagi Key tertawa, tertawa miris tepatnya.

"Yang usul buat pergi ke puncak, itu Kak Cakka kalau lo lupa." Key mengusap kasar air matanya yang tiba-tiba menetes. Kesabarannya sudah habis.

"Lihat gunung, makan buah stroberi, gue rasa nggak perlu sampai puncak juga bisa. Anak kecil, lihat gunung dari tanah lapang udah seneng. Dibeliin buah stroberi satu kantong juga dia anggap banyak, kan?"

Keynara mengatur napasnya yang memburu, ia menatap tajam satu persatu saudaranya yang hanya diam. Tiba-tiba cairan berwarna merah kental menetes dari hidungnya. Key segera menghapusnya, dan berlari meninggalkan rooftop.

"KEY, TUNGGU!" Ray mengejar gadis itu

Sesampainya di toilet, Key membasuh darah dari hidungnya. Di luar sana, ia mendengar suara Ray memanggil namanya. Setelah semuanya bersih, Key mengambil beberapa botol obat-obatan yang dari kantung seragamnya dan menelannya satu persatu tanpa air.

"Baru nyoba ngelawan aja lo udah kayak gini, Key. Gimana kedepannya? Mungkin aja lo bakal mati," lirih gadis itu sendu sebelum melangkah keluar menemui Ray.

"Lo lagi sakit, ya?" Key tersenyum sinis mendengar pertanyaan dari mulut Ray.

"Nggak salah lo tanya itu sekarang? Bukannya emang dari dulu gue sakit, ya? Sakit karena perlakuan kalian."

"Key, gue minta maaf ...."

"Stop untuk minta maaf, gue muak dengernya. Gue mau ke kelas," ujar gadis itu.

Ia berjalan perlahan meninggalkan Ray. Tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit dan pusing, lalu pandangannya seketika menjadi gelap. Ray yang masih berada di situ segera menahan tubuh Key dan membawanya ke UKS.

"Maafin gue, Key," tutur seseorang yang sedari tadi memperhatikan keduanya.

Di UKS, Ray masih menunggu Keynara yang sedang diperiksa oleh dokter. Berbagai pertanyaan bersarang di kepalanya tentang adiknya. Hatinya terasa sakit melihat wajah pucat gadis itu.

"Dokter, bagaimana keadaan adik saya? Dia baik-baik aja, kan?" Ray menatap seorang dokter yang baru saja selesai menangani Keynara.

"Dia hanya kelelahan saja."

"Apa saya diperbolehkan masuk?"

"Silakan, kalau begitu saya permisi dulu." Ray masuk ke dalam UKS dan mendekati Keynara yang masih belum sadar.

"Key, lo kenapa sebenernya?" Ray menatap sendu ke arah adiknya.

Wajah itu tampak semakin tirus, dan terlihat pucat. Lingkar hitam menghiasi mata cantik itu, menunjukkan jika adiknya sangat kelelahan. Perlakuan saudara mereka memang keterlaluan, dan tak kenal waktu.

Ray menghela napas panjang, tangannya mengusap lembut kepala gadis itu. Ia merasa bersalah, karena tidak bisa menjaga adiknya dengan baik. Memang benar yang dikatakan Keynara, dia hanya diam saat orang-orang melontarkan kata-kata jahat kepadanya.

Namun, hari ini dia melihat sisi lain gadis kecil itu. Perempuan itu sudah berani melakukan perlawanan, dan ia harap akan selalu seperti itu. Ia Ray selalu berdoa, agar keluarganya bisa kembali seperti dulu lagi.

"Maaf, Key, gue harus balik ke kelas karena ada kuis yang nggak bisa ditinggal. Semoga, waktu gue balik nanti lo udah bangun." Ray memasukkan ponselnya, setelah membaca pesan yang dikirimkan temannya. Ia membungkukkan badannya untuk mencium kening sang adik sebelum melangkah keluar menuju kelas.

Tak lama setelahnya, ada seorang pemuda yang masuk ke UKS dan menghampiri Keynara. Pemuda itu meletakkan kantung plastik ke meja yang ada di situ. Ia menarik sebuah kursi, dan duduk sembari menatap Keynara dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Cepet sembuh, Key ...." Lelaki itu mengambil sebuah kertas dari saku kemejanya, dan meletakkannya di tangan gadis itu. Kemudian, tanpa sepatah kata dia pergi dari sana.

Mata itu perlahan terbuka, mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Helaan napas lelah keluar dari bibir mungil itu, saat dia menyadari keberadaannya sekarang. Keynara mengubah posisinya menjadi duduk, keningnya berkerut melihat ada secarik kertas di genggamannya.

'Hai, Key, gue Ricky. Gue cuma mau bilang, kalau ada dua malaikat baik yang akan menjaga lo sekarang. Mereka emang terlihat nggak menyukai lo, tapi jauh di lubuk hatinya, mereka sayang banget sama lo. Oh iya, itu ada nasi goreng dan camilan. Katanya, sih, itu makanan favorit lo, jangan lupa dimakan, ya! Get well soon, Key.' Keynara menoleh ke arah meja di sampingnya, dan meraih kantung tersebut. Sebuah senyum manis terukir di wajah cantiknya.

"Kira-kira, mereka siapa, ya?" tanya Key kepada dirinya sendiri. Setelahnya, dia menyantap habis nasi goreng tersebut dan meminum obatnya. Selesai makan, dirinya memilih untuk diam hingga tanpa sadar tertidur.

3 jam kemudian, bel istirahat kedua berbunyi. Key sudah terbangun dari tidurnya, tetapi dirinya masih memejamkan matanya. Tiba-tiba, ia merasa ada seseorang yang masuk ke dalam UKS dan melangkah menuju biliknya.

"Maafin gue, ya." Key mendengar suara itu, hatinya bergetar saat tangan yang biasa menamparnya, kini mengusap lembut kepalanya.

"Maaf, gue udah benci sama lo," ucap orang itu lagi. Suaranya bergetar, apakah dirinya menangis?

"Kak Ellen ...." Key memanggil pelan nama itu. Perlahan ia membuka matanya dan menatap sayu mata sendu itu.

"Sorry, gue bangunin lo, ya?" Key menggeleng pelan, ia mengubah posisinya menjadi duduk, dan langsung memeluk tubuh kakak perempuannya erat.

"Kak Ellen hiks ...." Gadis itu terisak pelan. Ellen membalas pelukannya, dan mengusap lembut kepala adiknya.

"Gue di sini, Key. Gue akan jaga lo mulai sekarang," tekadnya penuh keyakinan. Keynara mengangguk kecil, meski rasa takut masih terasa dalam hatinya, tetapi ia mencoba untuk percaya. Satu malaikat sudah menampakkan dirinya, lantas siapakah selanjutnya?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!