"Dek, Mas buatin kopi ya?" pinta Banu kepada Laras istrinya. Banu baru saja pulang bekerja sebagai Manajer kantor di salah satu kotanya dan duduk di kursi rotan yang berada di ruang tengah dan menyenderkan badannya yang terasa lelah karena seharian bekerja dan menguras banyak pikiran.
"Kopinya habis, Mas," jawab Laras datar.
"Beli dong, Dek. Mas sudah kehausan nih. Di kantor tadi Mas tidak sempat minum kopi karena kerjaan menumpuk," timpal Banu kembali sambil duduk di kursi rotan yang terdapat di ruang tengah dan mengernyitkan dahi.
"Gak punya uang, Mas. Uang buat beli kopi habis," jawab Laras dengan enteng dan tanpa rasa bersalah.
"Kemarin 'kan Mas sudah memberi kamu uang lima puluh ribu, Dek. Beras dan listrik 'kan Mas yang beli."
Banu merasa istrinya sudah diberi uang sebesar lima puluh ribu sepekan yang lalu. Dia merasa uang lima puluh ribu cukup untuk membeli kebutuhan makan selama sepekan mulai dari sayur, lauk pauk, gula, bumbu dan lain-lainnya.
Laras sudah mempunyai anak berusia tiga tahun yang kadang meminta jajan. Kasihan, teman-temannya pada jajan dengan bermacam-macam jajanan sementara anaknya, Vano hanya diam sambil menelan ludah. Apalagi, sekarang harga kebutuhan pokok sedang naik.
"Sudah habis Mas. Uang segitu mana cukup buat seminggu. Vano juga butuh uang jajan Mas. Kasihan jika dia sedih hanya karena tidak bisa jajan. Lagian jajan Vano itu hanya sehari sekali sudah nurut," gerutu Laras sambil membersihkan meja yang berantakan akibat anaknya yang sedang bermain tapi tidak dibereskan.
"Ya kamu jangan ngeluh terus dong. Jika begitu kamu ya bantu-bantu Mas kerja apa gitu, uang Mas 'kan tidak banyak. Jadi, kamu ya harus tahu diri dan pengiritan. Jadi istri itu cerdas sedikit kenapa? Ngatur uang untuk menghidupi anak dan suami satu saja tidak becus!"
Banu malah tersulut emosi kala mendengar keluhan dari Laras. Padahal seharusnya dia yang harus marah. Laras malah disudutkan dan diaanggap istri tidak becus. Bohong jika uang Banu tidak banyak karena beberapa bulan ini diangkat menjadi Manajer di tempat kerjanya. Banu merahasiakan kepada istrinya bahwa dia sebenarnya sudah naik jabatan. Yang awalnya sebagai staf biasa kini karena keuletannya dalam bekerja dan prestasi yang dicapainya akhirnya dia menjadi Manajer.
Namun, setelah menjadi Manajer, Banu malah semakin perhitungan kepada istrinya. Dia lebih royal kepada ibu kandung dan ingin menikmati uang nya sendiri untuk menyenangkan hatinya. Istrinya hanya dia beri uang cuma-cuma agar tidak pemborosan.
"Mas, saya itu sudah bantu-bantu di rumah Mbak Rosa menggosok pakaian dan memasak. Tapi tetap saja tidak cukup. Acara kondangan juga ada di sana sini, jika Laras tidak ikut kondangan pasti digunjing tetangga."
Laras tidak mau kalah dengan suaminya yang kini selalu marah jika membahas tentang nafkah yang kurang. Padahal Laras sudah berusaha untuk melakukan pengiritan dan sudah bekerja di rumah tetangga.
"Kamu ngutang di warung bu Ijah sana! Nanti hutangnya biar Mas yang lunasin."
Banu menyuruh istrinya untuk hutang di warung bu Ijah kala istrinya membeberkan alasan kenapa uang lima puluh ribu itu tidak cukup untuk digunakan dalam sepekan.
"Hutang minggu yang lalu belum lunas, Mas. Tadi, Laras sudah berusaha hutang telor tapi malah dimarahin, jadi Laras tidak mau ke sana jika tidak bawa uang," jawab Laras dengan nada sendu.
Banu tidak pernah menepati janji jika akan melunasi hutang istrinya di warung. Jika nanti Laras menanyakan uang untuk membayar hutang jawabannya uang nya sudah untuk membeli listrik dan beras. Padahal dengar-dengar dari teman sekantor suami Laras, gaji suaminya sebulan itu lima juta rupiah dan lumayan. Laras sepekan hanya mendapat jatah lima puluh ribu rupiah selama sepekan. Lantas uang yang sekian juta itu ke mana?
Sebenarnya Laras memiliki beberapa uang tabungan yang tidak seberapa. Namun, mengetahui sifat suaminya yang pelit dan mledit Laras tidak akan begitu saja menghabiskan uangnya. Hal itu akan membuatnya kacau sendiri dan jika ada kebutuhan mendadak dia akan kerepotan.
Brak!
Banu malah mendobrak meja dengan keras karena istrinya terus mencari alasan. Saat itu, Banu berdiri dan melenggang pergi keluar dari rumah entah mau pergi ke mana.
Sepuluh menit kemudian, Vano anak dari Laras yang tadi sedang bermain mobil-mbilan di teras rumah berlari ke arah Laras dan berkata,
"Mak, Bapak jahat. Mainan mobil Vano di buang bapak di tong sampah."
Bocah kecil itu menangis dan mengadu kepada Laras bahwa mainan mobilnya dibuang oleh bapaknya sendiri di tong sampah. Vano menangis sambil mengadu kepada Laras.
"Kok bisa dibuang? Memangnya salah Vano apa?" tanya Laras mencoba menyelidiki sebab mainan mobil tersebut bisa dibuang oleh suaminya sendiri.
"Kata bapak, Emak munafik. Buat beli mobil Vano saja bisa, tapi buat beli kopi tidak bisa. Begitu Mak, kata bapak."
Vano menjelaskan secara polos tentang sebab mainan mobilnya yang dibuang oleh bapaknya sendiri. Vano sekecil itu, tidak tahu kesalahan apa yang menghinggapi dirinya hingga bapaknya tega membuang mainannya. Dia hanya bisa menangis dan mengadu kepada ibunya.
"Oh. Sekarang jangan sedih lagi ya, Dek. Nanti, Emak beli lagi. Sekarang kamu mandi yuk. Sudah sore nanti keburu dingin."
Mata Laras berkaca-kaca karena suaminya tega membuang mainan anaknya sendiri. Padahal, dari menggosok pakaian di rumah tetangga, dia bisa membelikan Vano mobil-mobilan di pasar yang harganya lebih terjangkau.
Suaminya tidak pernah memikirkan mainan anaknya yang seharusnya sang bapak yang harus membelikan mainan untuk anaknya. Anak satu-satunya yang sedang mengalami masa bermain yang seharusnya didukung oleh orang tuanya agar perkembangan motoriknya berkembang dengan baik.
Hati Laras bagai teriris melihat anaknya sedih seperti itu. Dia tidak akan membiarkan Vano menangis lagi gara-gara ulah suaminya.
Tidak lama, Vano menurut apa kata emaknya. Bergegas Laras memandikan anak laki-laki semata wayangnya yang sangat disayanginya. Setelah mandi, Laras menyuruh Vano untuk makan. Karena sejak siang tadi Vano hanya bermain dan belum makan.
"Vano, kamu sekarang makan dulu ya? Habis itu, kamu bisa belajar mewarnai atau bermain kembali," kata Laras sambil menyodorkan sepiring nasi dengan sayur asem dan lauk tahu goreng untuk anaknya.
"Iya, Mak. Vano makan tahu goreng lagi ya? Mak, Vano tadi lihat bapak makan ayam goreng. Kok Vano gak dikasih ya?"
Vano dengan polosnya mengatakan perihal bapaknya yang sedang memakan ayam goreng.
"Masa sih? Memangnya Vano lihat bapak di mana saat makan ayam goreng?" tanya Laras dengan penasaran. Setahu Laras, suaminya tadi belum makan masakan rumah yang dia masak. Saat meminta kopi karena tidak dibuatkan, dia langsung keluar entah ke mana.
"Iya, Mak. Vano tadi ngikutin bapak di warung tante Janet. Bapak makan Ayam goreng dan minum es jeruk di sana. Vano jadi pengen Mak. Vano tadi ngumpet di balik pohon mangga takut bapak Marah."
Degh!
Jantung Laras terasa berhenti berdetak. Dia tidak menyangka. Di luar sana suaminya malah makan enak dan seenaknya cuci mata dengan janda yang terkenal genit. Hatinya semakin bergemuruh dan tidak karuan.
Ternyata anaknya melihat suaminya sedang makan di warung Janet. Wanita janda yang mempunyai warung makan sederhana di pojok komplek perumahannya. Janda yang banyak disukai kaum pria di kompleknya karena kecantikannya dan juga suka berdandan secara berlebihan.
Untuk membeli skincare dan make up jelas Laras tidak mempunyai uang cukup untuk membelinya. Dia mengutamakan kebutuhan suami dan anak semata wayangnya yang kini dalam masa pertumbuhan yang harus dipenuhi asupan gizinya.
"Sayang, kapan-kapan jika Emak ada rezeki yang lebih, Mak akan membelikan mainan untuk Vano dan membelikan ayam goreng. Sekarang, makanan nya dihabiskan ya?"
Sambil mengusap-ngusap rambut sang anak, Laras memberikan harapan kepada Vano untuk membelikan mainan dan ayam goreng jika nanti diberi rezeki yang lebih. Kini mata Laras berkaca-kaca karena melihat anak nya sedang makan ala kadarnya yakni sayur asem dan tahu goreng.
Sementara bapak nya sendiri di luar sana sedang anak-anak makan ayam goreng di warung seorang janda. Hati Laras begitu sakit mendengar penjelasan anak nya tadi. Hatinya menjerit dan ingin membuktikan kepada suaminya bahwa dia bisa membahagiakan Vano dengan usaha dan jerih payahnya.
Saat sedang menemani Vano makan di waktu sore hari, terdengar suara nyaring dari mertuanya dan berjalan mendekatinya. Mertuanya seraya berkata,
"Laras. Suami kamu belum pulang? Saya lihat kemarin dia berada di warung janda centil yang nernama Janet. Kamu mbok ya dandan cantik agar tidak kalah sama Janet. Hati-hati saja, jika anak saya terpikat sama janda itu! Kamu jadi istri harus pintaran dikit kenapa? Jangan hanya mikir uang dan dapur saja! Urus tuh diri kamu yang kucel!"
Datanglah mertua laras yang bernama bu Wati untuk mampir. Bu wati mengomel kepada Laras supaya berdandan. Walau pun perkataan bu Wati pedas namun, ada benarnya juga. Untunglah, masih ada mertua yang mau mengkritik Laras walau pun omongannya ceplas ceplos dan menyakitkan.
"Baik, Bu. Terima kasih sarannya. Nanti jika ada uang, pasti Laras akan beli alat make up," jawab Laras dengan ramah kepada mertuanya yang duduk di kursi rotan.
"Gaji Banu 'kan lumayan? Masak tidak bisa beli make up? Ibu saja diberi dua juta setiap bulan," ucap bu Wati yang menyampaikan bahwa dia diberi uang oleh Banu dua juta perbulan.
Sungguh keterlaluan suami dari Laras. Bu Wati yang masih mempunyai suami yang seorang pensiunan tentara dan mempunyai beberapa petak sawah yang jika panen hasilnya lumayan masih diberi uang oleh Banu. Sementara kepada istrinya sepekan hanya diberi uang lima puluh ribu. Hati Laras semakin tidak karuan dan merasa geram kepada suaminya. Ternyata suaminya sangatlah dholim dalam memberi nafkah kepada keluarga kecilnya.
"I-iya, Bu. Kapan-kapan saya akan beli make up. Ibu tidak makan? Laras sudah masak sayur asem. Jika mau, Laras ambilkan," jawab Laras yang menyembunyikan aib suaminya. Belum saatnya dia menceritakan kelakuan buruk suaminya kepada bu Wati. Suatu saat, bu Wati akan tahu dengan sendirinya kelakuan anak kandungnya.
"Sayur asem? Sekali-kali beli daging dong? Pantesan Banu makan di luar. Lha kamu cuma masak sayur asem. Tapi Ibu suka sih. Boleh juga. Saya ambil sendiri saja."
"Iya, Bu. Maaf. Laras belum sempat beli daging. Kapan-kapan saja. Silakan Bu. Di sana Vano juga sedang makan."
Laras mempersilakan mertuanya untuk makan di ruang makan sederhana miliknya. Seketika, bu Wati bergabung dengan Vano yang baru saja selesai makan. Bu Wati mengambil secentong nasi dan sayur asem. Ada sambalnya juga. Lalu dia makan dengan lahap beserta tahu gorengnya.
Seketika, apa yang dimakan bu Wati habis tak tersisa. Bu Wati memang sangat suka masakan dari Laras yang sederhana namun rasanya sangat istimewa. Maka dari itu, bu Wati sangat mempertahankan Laras dan sayang kepadanya walau perkataannya sangat ceplas ceplos.
"Laras, sayur asem kamu seger banget! Banu itu bego! Masakan istrinya enak seperti ini malah makan di warung seorang janda. Yasudah. Ibu mau pulang dulu. Jika Banu macam-macam sama kamu, laporin saja ke Ibu."
Laras hanya mengangguk dengan perkataan ibu mertuanya. Setelah kenyang, bu Wati akan pulang kembali ke rumahnya. Saat akan pulang, Banu masuk ke dalam rumah dan berpapasan dengan ibunya.
"Dari mana kamu Banu?" tanya bu Wati dengan nada menyelidik. Hari ini bu Wati belum tahu jika Banu sedang di warung Janet.
"Eh, Ibu. Banu habis dari rumah Ramlan. Tadi Ramlan bilang, bahwa besok saya disuruh kerja bakti dalam rangka lomba kebersihan antar desa. Besok kebetulan hari Minggu jadi besok libur," jawab Banu dengan tenang.
Setelah pulang dari warung Janet, kebetulan dia tadi beremu dengan Ramlan dan membahas tentang perlombaan antar desa. Jadi, bisa dijadikan alasan agar ibunya tidak memarahinya.
"Oh. Baguslah. Kamu sudah makan? Kok sayur asemnya masih banyak banget. Masakan istri kamu saja enak. Malah kemarin makan di warung janda. Awas ya jika hari ini, kamu ketahuan lagi! Ibu tidak akan beri ampun untuk kamu."
Bu Wati akan murka jika Banu makan di warung seorang janda di komplek mereka. Bu Wati lebih suka jika Banu makan masakan istrinya yang sederhana namun tidak kalah enak dengan masakan yang dijual di warung.
"Ampun. Bu. Banu tidak akan mengulanginya lagi. Tadi Banu hanya di rumah Ramlan kok," jawab Banu berbohong agar ibunya tidak murka kepadnya.
Lantas, dengan segera bu Wati segera pergi untuk pulang ke rumahnya.
"Laras, tadi kamu sama Ibu bicara tentang apa saja?" tanya Banu tiba-tiba keapada Laras istrinya yang sedang membereskan piring yang berserakan di meja makabxizn.
"Seharusnya, Laras yang bertanya. Mas tadi ke mana saja saat keluar? Kenapa Mas tidak makan di rumah? Lauk di rumah hanya sayur asem dan tahu goreng. Mas bosen ya?"
Sebelum suaminya menginterogasi tentang mamanya yang datang, Laras balik bertanya kepada suaminya untuk mengetahui bagaimana ekspresi suaminya saat ketahuan makan di warung janda yang bernama Janet.
Banu tak berkutik saat mendengar ucapan balik istrinya yang membuatnya tidak bisa berkata-kata. Diam-diam Banu sangat bosan dengan istrinya yang sudah lusuh dan tidak pernah merawat dirinya. Dia mencari angin segar di luar sana dengan janda kembang bernama Janet. Sudah mandiri cantik dan bisa merawat dirinya.
Siapa yang tidak terlena dengan janda yang bernama Janet. Uang berapa pun dia keluarkan untuk membeli berbagai makanan di warung Janet untuk mencari perhatiannya kepada janda tersebut.
"Mas tadi ngopi di luar. Kamu itu jadi istri munafik dan pelit. Mainannya Vano saja bagus tapi untuk memberi segelas kopi suami saja pelit. Pasti kamu punya banyak uang 'kan? Giliran Mas meminta kopi saja pelitnya minta ampun. Jangan salahkan Mas jika saya minum di luar."
Banu masih merasa tidak bersalah dan ingin menang sendiri. Istrinya yang sudah kesusahan malah masih saja disalahkan. Jika istrinya ketahuan mempunyai uang sedikit, Banu semakin malas memnerikan uang kepada istrinya. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri.
"Ouh. Jadi Mas Banu selama ini tidak ikhlas menafkahi istri sendiri? Mainan Vano itu bagus karena sepekan yang lalu saya mendapat rezeki hasil dari kerja di rumah Mbak Rosa Mas. Oh. Ya, Mas tega dengan Vano ya? mainan Vano yang baru saja Laras belikan dibuang di tong sampah 'kan? Dia itu masih anak-anak, Mas. Wajar jika dia mempunyai mainan."
Laras menjelaskan secara tegas dan tidak mau diinjak-injak oleh suaminya sendiri karena dia berhak mengatakan kebenaran dan suaminya sudah keterlaluan. Selama dua tahun ini diam saat suaminya menghina maupun memberikan nafkah yang kurang dan sampai hutang di warung bu Ijah sampai saat ini belum juga lunas.
"Apa? Tidak ikhlas? Mas hanya ingin kamu melayani suami dengan baik. Mas tidak mau, hanya gara-gara uang, kamu perhitungan dalam melayani Mas. Dek, lihat tuh Janet, walau pun dia janda, tetapi dia bisa membagi waktu. Dia cantik dan berduit."
Dengan spontan, Banu malah membanding-bandingkan istrinya dengan janda kembang bernama Janet. Dia tidak mempunyai perasaan, bahwa dengan ucapannya tersebut, hati Laras terasa sakit bagai tersayat-sayat sembilu. Bukan masalah melayani dengan baik, jika Laras mendapatkan nafkah yang selayaknya tak mungkin Laras akan membosankan di mata Banu.
Bab 3
Menjelang maghrib, terjadi percekcokan antara Banu dan Laras. Suami dan istri tersebut saling bertengkar gara-gara masalah keluarga. Vano yang sedang duduk termangu di meja makan merasa pusing melihat kedua orang tuanya sedang bertengkar. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke kamarnya untuk belajar. Walau Vano belum sekolah, Laras sudah membelikan perlengkapan sekolah setingkat PAUD agar kelak saat sudah memasuki sekolah Vano bisa beradaptasi dan tidak kesulitan menghadapi pelajaran di sekolah.
Banu memang pelit dan keras kepala kepada istrinya. Namun, kesalahannya, dia tidak pernah sadar dan malah menyalahkan istrinya. Istrinya dibandingkan dengan janda kembang di desanya yang lebih segala-galanya. Laras yang mendengar ucapan menyakitkan itu tentu saja merasa sakit. Bagaimana tidak. Hidup sudah susah, masih di hina dan dibanding-bandingkan dengan wanita lain.
"Mas, Janet itu 'kan tidak punya anak. Jadi ya wajar dong, terlihat cantik. Saya setiap hari mengurus rumah, berkutat dengan dapur dan melakukan pekerjaan tiada habisnya. Mana bisa saya dandan Mas? Mas saja juga gak pernah modalin untuk membeli make up istri sendiri, iya 'kan?"
Laras terpancing emosi dan menjelaskan kesehariannya yang super sibuk kepada suaminya agar suaminya paham akan kondisi dan situasinya saat ini. Saat itu, Banu diam dan tidak berbicara lagi. Dia berjalan menuju ke belakang mengambil handuk untuk mandi.
"Loh, kok, air panasnya belum ada. Sudah gerah pengen mandi tetapi tidak ada air panas. Dasar istri tidak becus."
Banu menggerutu dan berbicara sendiri sambil mengambil teko dan mengisinya dengan air. Saat air sudah terisi, dia mulai menyalakan kompor.
Rumah banu memang sederhana karena dia membeli rumah di dekat rumah orang tuanya dengan ukuran minimalis. Dia tidak mau membeli rumah yang mewah karena akan menguras kantongnya. Walau dia seorang Manajer di suatu perusahaan ternama di kotanya, namun dia termasuk tipe laki-laki yang menghemat uang. Namun, saat dia menyukai sesuatu dia tidak akan tanggung-tanggung mengeluarkan uang.
Ceklek ceklek ceklek!
"Kok, apinya tidak hidup sih?"
Banu mulai menyalakan kompor itu dan menekan tombol 'On' sampai tiga kali namun, kompornya tetap tidak menyala. Lalu dia melongok di regulasi tabung gas.
"Sialan! Gasnya habis."
Banu menyugar rambutnya karena gasnya habis.
"Dek, gas nya habis kamu tidak bilang-bilang. Ini Mas kasih uang, kamu beli sana!"
Banu lalu berjalan mendekati istrinya yang berada di kamar yang sedang melipat baju yang menggunung tinggi. Banu menyuruh istrinya membelikan gas dan menyodorkan uang senilai dua puluh lima ribu rupiah.
"Beli saja sendiri Mas. Katanya saya tidak becus dan pelit. Mas belanja sana sendiri," jawab Laras dengan menahan tawa karena dia ingin memberi pelajaran kepada suaminya agar dia tidak disalahkan terus.
Tanpa bicara Banu langsung membawa tabung gas yang telah kosong itu menuju warung bu Ijah. Tujuh menit kemudian, Banu sampai di warung bu Ijah. Warung kelontong yang terkenal komplit menjual barang-barang sembako dan kebutuhan sehari-hari.
"Eh, Mas Banu. Tumben Mas nya yang beli. Biasanya Laras yang ke sini," sapa bu Ijah yang sedang menata dagangan yang berantakan sambil tersenyum ramah.
"Iya, Bu. Soalnya Laras lagi sibuk. Ini Bu, saya mau isi ulang tabung gas. Gas nya sudah habis."
Dengan senyum ramah, Banu menyodorkan tabung gas yang telah kosong kepada bu Ijah. Setelahnya bu Ijah ke dalam dan mengambil yang tabung gas yang masih baru. Tidak lama, tabung gas tersebut diberikannya kepada Banu.
"Berapa Bu harga tabung gas tersbut?" tanya Banu sambil mengeluarkan dompet hitam mengkilatnya dan mengambil lembaran uang merah berjumlah satu lembar.
"Mas Banu bayarnya sekalian hutang satu pekan yang lalu ya? Jadi totalnya lima ratus ribu rupiah. Ini notanya."
Bu Ijah memberikan nota total belanjaan pekan lalu beserta harga isi ulang satu tabung gas.
Sontak, Banu terkejut, ternyata hutang istrinya lumayan juga padahal hanya buat beli telor dan kopi. Untuk mengurangi rasa malu, dia segera melunasi hutang tersebut. Setelahnya dia pulang ke rumahnya kembali sambil bermuka suntuk, karena istrinya ternyata berhutang banyak kepada bu Ijah.
Saat sampai rumah, hanya terlihat Vano yang sedang belajar. Tak dijumpai istrinya yang tadi sedang melipat pakaian. Kini pakaian tersebut sudah tersusun rapi di tempatnya. Lalu dia segera memasang tabung gas dan mulai memanaskan air.
Beberapa menit kemudian, air telah panas dan dia mulai mandi. Badan dan rambutnya terasa gatal dia memutuskan untuk keramas. Lalu dia mulai mengambil botol shampo yag berada di rak yang digantungkan di dinding kamar mandi.
"Hah? Shampo nya habis. Sabun nya juga tinggal dikit lagi. Memang istri kurang ajar!"
Lalu dengan perasaan dongkol dia mandi dengan sabun yang tersisa sedikit dan tanpa menggunakan shampo.
Saat sudah mandi dan berganti pakaian, istrinya sudah berada di dapur dan memotong ikan segar.
"Dari mana saja kamu, Dek? Pergi tidak pamit dengan suami!" tanya Banu sambil melihat istrinya yang sedang memotong ikan segar dengan perasaan gusar.
"Dari rumah Mbak Rosa bantuin panen ikan lele Mas. Tadi siang 'kan Mbak Rosa sama suaminya sedang sibuk panen lele dan dijual ke warung-warung lesehan tadi saya bantu bungkus-bungkus," jawab Laras sambil melakukan kesibukan di dapur.
"Oh. Nanti Mas minta ya, kalau sudah matang," kata Banu ingin meminta ikan lele tersebut kerana kebetulan dia merasa lapar.
"Itu sayur asem dan tahu goreng nya masih Mas. Ikan lelenya buat stok hari besok mau dibuat gulai saja Mas."
Laras menyembunyikan minyak goreng yang dia beli dengan uang hasil jerih payahnya sendiri. Dia ingin memberi pelajaran kepada suaminya bagaimana memasak tanpa minyak itu. Salah sendiri, enak-enak makan ayam goreng di luar sampai lupa anak dan istri.
"Kok tidak di goreng sih, Dek? Mas gorengin satu sekarang ya?"
Kebetulan Banu sudah merasa lapar kembali. Saat melihat ikan lele segar, perut Banu menjadi keroncongan.
"Minyak goreng nya tinggal sedikit, Mas. Ini lihat saja jika tidak percaya. Terpaksa saya masak gulai karena minyaknya hanya sisa sedikit."
Laras memberikan botol berisi minyak goreng yang hanya tersisa sedikit di depan suaminya yang sedang melihat dia memotong ikan lele.
"Sudahlah. Mas mau tidur saja. Pusing berdebat sama kamu."
Bukannya memberikan uang kepada istri nya tetapi malah beranjak mau tidur. Dasar suami pelit dan mledit.
**** *** ***
Pagi pun tiba. Hari ini adalah hari Minggu di mana Banu sedang libur bekerja. Dia menghabiskan untuk memanjakan tidur sampai menjelang pukul 09.00 pagi. Dia mulai membuka matanya. Perlahan-lahan dia mulai memulihkan tenaganya. Di sampingnya, sudah tidak ada istri yang dianggapnya lusuh. Di luar jendela sorot silau matahari memancar menembus dinding kamar milik Banu sehingga dia mulai beranjak dari tidurnya.
Kriet!
Dia mulai membuka pintu kamarnya. Dia melihat lantai keramik yang berwarna putih kini berubah menjadi kehitam-hitaman karena Vano sedang bermain pasir yang diberi air dan Hingga lantai keramik tersebut menjadi kotor dan licin.
"Vano! Emak kamu ke mana? Lantai nya kok kotor sekali? Dasar pemalas Emak kamu itu."
Banu merasa pusing melihat ruangan yang licin serta mainan Vano yang berserakan.
"Pergi, Pak. Tapi tidak tahu ke mana," jawab Vano yang tertunduk. Takut dia akan dimarahi oleh bapaknya.
"Ini 'kan hari Minggu biasanya dia tidak bekerja. Tapi sekarang, pagi-pagi sudah keluyuran dan tidak pamit. Bikin tidak betah di rumah saja," gerutu Banu yang berjalan ke arah dapur. Perutnya sangat keroncongan.
Akhirnya Banu membuka tudung saji dan terhidang satu mangkok gulai lele yang menggugah selera. Dia mulai mengambil piring dan sendok di rak.
"Apa? Semua peralatan makan masih kotor dan banyak begini. Ngapain saja sih Laras ini. Mau ngerjain ya?"
Banu masih kesal dengan kelakuan istrinya yang tidak biasa seperti sebelumnya. Yang biasanya rumah sangat rapi dan bersih. Makanan pun sudah tersaji walau pun hanya masakan sederhana. Namun, masakan istrinya tergolong enak dan lezat. Dia kelimpungan sendiri melihat keadaan ini. Hari itu, dia merasa sangat sial dan terpaksa mencuci peralatan makan sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!