NovelToon NovelToon

THE RETURN INDIGO

PROLOG

Udara, hembusan angin yang dingin, mendominasi kegelapan di langit malam. Bulan purnama bersinar, tanpa ada seorang pun di luar rumah. Sepi, hanya ada burung hantu berkicauan untuk mengisi gelap malam.

Segala macam peristiwa mengerikan yang mengundang malapetaka, telah banyak dilewati oleh Angga dengan penuh berbau eksistensi ketegangan, kegelisahan, intinya yang sanggup menjadi ancaman nyawanya. Namun, tak hanya ia saja yang mengalami hal seperti itu, tetapi juga termasuk Freya, Jova, serta terakhir adalah Reyhan.

Dekapan amarah, tangisan, kesedihan, gelak tawa, begitupun kebahagiaan sudah mereka berempat gapai secara bersama untuk melengkapi hidup di dunia ini. Tak menyangka, kejadian yang membuat sekujur tubuh bergetar maut selalu terlintas di benaknya setiap waktu.

Bahkan, mereka telah menjadikan semua pengalaman menggentarkan itu, sebagai kenangan paling terburuk yang pernah ada.

Dan kini pun sekarang, sudah saatnya mereka menerima kehidupan yang baru di sebuah gedung kampus ternama di daerah kota Jakarta tempat tinggalnya masing-masing, Dhambaswa Akshara. Memang terlihat sederhana di papan yang terpampang jelas di bangunan tersebut, tapi kampus itu sangatlah berkualitas dan multifungsi bagi mahasiswa-mahasiswi yang berpendidikan tinggi di sana.

Tetapi... Jika peristiwa membahayakan jiwa itu kembali mengancam, apakah mereka akan bersama-sama untuk menghadapinya dengan lapang dada?

Bersiaplah, karena sebentar lagi rintangan yang akan datang kembali beraksi!

•••

Wipiy, siapa nih yang udah kangen banget sama mereka berempat? Hayo" siapaaaa?

Akhirnya setelah aku pikirkan secara mateng" tercipta juga Indigo season 2 nya, horeeeeee! Ternyata memang banyak banget yang minta dibuatin S2, karena aku author yang baik hati, ku kabulkan permintaan kalian! Hehehe, canda baik hati

Pokoknya yang udah mampir dan ninggalin jejak seperti berupa like, komen, hadiah dan vote, aku berterimakasih banget sama kalian, yaaaa! Tenang, aku juga gak maksa kalian buat meninggalkan jejak di novel ini, kok. Terserah hati aja

Bagi yang gak tahu ceritanya, bisa baca Indigo season 1 dulu, ya? Biar enggak bingung sama ceritanya. Soalnya ini ada sambungannya dari novel Indigo sebelah, xixi

Sebelum aku menutup omongan, aku harap kalian suka dan cinta novel ini, yaaaa? Aamiin !

See you next time, My Loyal Readers!

{Lope You All } 🖤

INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO INDIGO

Chapter 1 | Starting With Happiness

...(Comment tiap paragraf, ya...)...

...Harap hati“ karena typo bertebaran...

...-HAPPY READING-...

♫ Mari berlari meraih mimpi

Menggapai langit yang tinggi

Jalani hari dengan berani

Tegaskan suara hati ♫

♫ Kuatkan diri dan janganlah kau ragu

Tak kan ada yang hentikan langkahmu ♫

Suara dua lelaki yang terbilang famous di gedung kampus Dhambaswa Aksara, begitu mengundang sorakan pujian meriah dibawah panggung konser. Para mahasiswi di sana banyak berteriak dan kegirangan mendengar nada konvensional yang dimilikinya.

“MARI BERNYANYI, SEMUANYAAAAAA!!!” teriak salah satu lelaki yang menjadi vokalis di atas panggung sambil mengarahkan mic-nya ke para penonton yang menikmati suara dari nadanya.

♫ Kita 'kan terus berlari

(Ya ya) Takkan berhenti di sini

(Ya ya) Marilah meraih mimpi

(Ya ya) Hingga nafas tlah berhenti ♫

Musik Rock yang dipadukan suara para lelaki tampan tersebut begitu memenuhi sekitar gedung kampus, bahkan tak ada sedikitpun dari mereka yang bosan mendengarkan kedua mahasiswa itu bernyanyi. Jika setiap saat ada event seperti sekarang, mereka pasti akan meminta kedua vokalis tersebut membawakan lagu jenis POP.

Di sisi lain, yaitu kantin. Seorang kedua gadis yang mempunyai paras cantik di wajah putih nan mulusnya, tengah duduk di kursi dengan menikmati lagu tersebut di mana yang menyanyikan itu adalah pujaan hatinya mereka tersendiri.

“Angga sama Reyhan kelihatan bahagia banget bawakan lagu itu, jadi enak dipandang,” ujar Freya.

Jova yang mengenakan baju kodok dan rambut cokelat yang digulung menawan ke belakang kepala, menurunkan es krimnya yang telah dibeli. “Emang, sih. Tapi aku gak suka!”

Freya yang rambutnya selalu digerai, mengernyitkan dahi karena tak paham. “Loh, kenapa gak suka? Suaranya mereka berdua, kan konvensional banget.”

Gadis Tomboy itu mendengus lalu menoleh ke arah sahabatnya yang duduk di depannya, ia juga memasang muka masamnya. “Bukan masalah itu, tau! Gara-gara Reyhan populer di kampus, jadi banyak banget fans-nya! Mana penggemarnya itu cewek Fanatik, lagi! Cowok itu, kan pacarku. Entar kalau direbut hatinya, gimana?! Gak terima, dong!”

Freya membelalakkan matanya kaget lalu tertawa lumayan kencang, betapa posesifnya seorang Jovata Zea Felincia terhadap Reyhan. “Ya ampun, emangnya kenapa, sih kalau dia populer? Lagian itu juga untuk motivasi pacar kamu. Bukannya waktu SMA, si Reyhan udah terkenal duluan? Ya, gak?”

“Hm, iya!” ketus Jova.

“Hehehe, mendingan di makan, gih es krimnya. Keburu mencair.”

♫ Kita 'kan bertahan

Hadapi rintangan

Perlahan-lahan dan menang

Jalani hari dengan berani

Tegaskan suara hati ♫

Kedua gadis itu yang masih stay di tempat, kembali menoleh ke arah Angga dan Reyhan yang balik menyanyi dengan suara kompaknya. Mereka juga sesekali melemparkan tatapan hangatnya kepada para kaum perempuan yang dari tadi memujinya sambil berjingkrak-jingkrak, apalagi memegang selembar kertas karton yang bercantumkan nama antara mereka berdua.

Hahahaha, sudah seperti selebriti saja kedua lelaki itu.

“Haish, awas aja cinta. Gue geprek-geprek otak lo!” sungut Jova, memandang benci.

“Jiwa psikopatnya udah muncul, nih? Orang aku biasa saja, kenapa kamu yang posesif kayak gitu? Ingat, jangan terlalu posesif. Nanti kalau Reyhan minta putus darimu, gimana hayo?”

Iris hazel Jova langsung mencuat dengan tubuh tersentak kala mendengar suara lembutnya Freya. “Ih, jangan! Lagian, siapa juga yang bersikap posesif? Aku, tuh cuman gak suka!” ucap Jova, membela diri.

“Masaaaaa? Aku gak percaya,” respons sahabat lugunya dengan ekspresi tengil.

“Yasudah kalau gak percaya! Aku juga enggak nuntut kamu buat percaya sama aku, kok!”

“Buset, lagi kedatangan bulan, Yang? Perasaan ngamuk-ngamuk mulu, perlu sandal jepit buat nyabet?” Suara lelaki yang familier di pendengaran kedua gadis cantik itu, membuat mereka terjengit kaget atas kehadirannya yang mendadak.

“Lho?! Udah selesai nyanyinya, Rey?!” kejut Freya yang matanya masih melotot.

“Kalian terlalu sibuk ngobrol, kami udah kelar menghibur anak-anak kampus. Capek juga teriak-teriak karena pake jenis Rock.” Bukan Reyhan yang menjawab, melainkan Angga.

“Hm'em, buat nyabet mukamu yang suka ganteng di mata cewek kampus! Bisa gak, sih jangan keseringan famous di sini?! Menuh-menuhin kontak aja di WhatsApp! Lihat, noh! Fans-fans Fanatik kamu banyak yang pengen dapetin nomermu!”

Reyhan nyengir. “Tapi, Yang ... sebagian dari mereka, kan udah punya nomer WA-ku, hehehehe!”

“Bego, sih! Ngapain segala dikasih nomernya, kan pacarnya gak terima. Entar kalau ujung-ujungnya minta jadi doi, gimana?! Koprol seribu kali, aku!” cerca Jova dengan menghantamkan punggungnya di sandaran kursi lipat.

Freya menutup mulutnya pakai tangan kanan untuk menyembunyikan tawanya, sementara Angga mengusap tengkuknya dengan raut konyol bersama wajah yang ia sengaja palingkan ke kanan. “Cemburu, mah bilang ...”

“Ngomong yang keras, Ga!” bentak sahabat galaknya sambil menggebrak meja.

“E-eh, ampun!” Dengan gerakan cepatnya, Angga bangkit dari kursi. “Gue, pesan makanan dulu, ya?” Setelah itu, ia segera memutar tubuhnya ke belakang dan melangkah ke salah satu stan.

'Hih, tatapan maut !' batinnya Angga ngeri bila membayangkan kegarangannya Jova, sambil terus berjalan menuju ke tempat yang ia mau.

“Bang, ikut!”

Dengan wajah yang begitu semarak usai mengatakan hal itu, Reyhan turut beranjak dari duduknya lalu berlari menghampiri sahabat jangkungnya tak lupa merangkul kencang hingga sukses membuat Angga berdecak sebal pada kelakuannya.

“Astaga, ada-ada aja sikapnya, hihi!” ucap Freya dengan menggelengkan kepala.

Sampai tiba-tiba gadis Nirmala itu kembali tersentak kejut pada suara Jova yang bersendawa keras sebelum mengucapkan yang biasa ia uraikan untuk menyebut nama Tuhan. “Astaghfirullah, sopan dikit!”

“Udah kelepasan, masa diulang?” Pertanyaan konyol sahabat Tomboy-nya itu membuat Freya menghela napas panjang dengan memijit keningnya.

Tak lama menit menunggu, kedua lelaki tampan itu kembali dengan membawa isi di atas tangannya masing-masing, entah makanan apa yang mereka beli.

“Kalian udah makan sore?” tanya Angga dengan tersenyum ramah, seraya meletakkan piring berisi batagor yang komplit.

“Udah, kok—”

“Indigo ngapain sok nanya kayak Dora Explora? Gak jelas!” potong Jova untuk memutuskan jawaban halusnya Freya.

“Heh, st! Kamu, kok keras-keras ngomongnya? Bagaimana nanti yang lainnya tahu kalau aku cowok Indigo, bakal berabe masalahnya!” tegas Angga dengan menekan nadanya, berusaha tak ikut mengeraskan volume suara meskipun matanya telah mencuat duluan.

“Biarin, apa urusannya sama aku?” jutek Jova, lalu memainkan ponsel.

“Gue salah apa, ya?” gumam lelaki pemilik indera keenam itu dengan menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.

“Pikir aja sendiri, gitu minta diajarin! Situ udah kuliah apa masih PAUD, hah?!”

Lagi-lagi Angga terperanjat kaget pada emosinya Jova yang merajalela. “Allahuakbar, iya-iya aku minta maaf kalau emang salah!” Pemuda itu dengan membuang napas, duduk di kursi yang berhadapan dengan kekasihnya.

“Ayang! Jangan marah-marah lagi, dong? Nih, aku udah beliin kamu cupcake rasa coklat. Kamu tahu, gak apa yang istimewa? Bentuknya love, loh! Cute banget, kan?!” Reyhan yang duduk di depan pujaan hati tercintanya, mendorong lembut kue berukuran kecil dengan bungkus plastik di bawahnya ke arah Jova.

Sementara kedua sahabatnya Reyhan menatap aksi adegan manis itu dengan tatapan mata yang fokus di satu pandang, lelaki berperawakan tinggi serta pemilik jiwa Friendly tersebut, menopang dagunya dengan tersenyum hangat pada Jova.

“Anggap aja cupcake coklat lezat itu seolah hatiku untuk cintamu saat kamu kunyah, aku yakin pasti mood-mu kembali membaik, ehe.”

Sahabat lelakinya Reyhan yang akan menyuapi mulut dengan adonan bakso ikan tenggiri pakai garpu, menurunkan cepat garpunya. “Pft, hahahaha! Jir, Bucinnya bukan main-main sih, ini. Gak ketolong!”

“Heleh, sok berlagak nguburin syirik, lo. Gak usah kayak gitu kalau elo sendiri juga bucin banget sama Freya!” calak Reyhan.

Angga yang mendengarkan itu langsung menghentikan tawanya lalu memasang wajah datarnya. “Enak aja! Gue bucin tapi nggak kayak lo yang udah stadium akhir!”

Tatapan tajam Reyhan seketika menghunus ke mata sahabat Indigo-nya. “Stres! Emangnya gue ditakdirkan punya kanker, apa stadium akhir? Dasar Sarap!”

“Elo kali, yang sarap!”

“Eh, aduh. Udah-udah, jangan berantem. Mendingan kalian makan saja, deh itu makanannya. Kayaknya masih mengepul, daripada jadi dingin, kan? Nanti malah gak enak.”

“Iya, Sayang.” Lembutnya Angga menjawab untuk pujaan hatinya dengan tersenyum romantis kepada Freya.

“Halah, Bucin!” cibir Reyhan, mendorong kencang kepalanya Angga.

Sahabatnya yang diperlakukan seperti itu mana ingin terima? Sudah pasti mengomel. “Apaan, sih?! Gue amputasi itu tangan lo, kalau perlu sebelahnya juga!”

“Sobat Semprul, lo jangan aniaya gue, Anjir!” sarkas Reyhan, sambil melindungi tangannya di belakang punggung kokoh.

'Udah gak waras, gue aniaya sahabatnya sendiri. Definisi balas dendam?'

Jova dengan tampang cueknya, menggigit setengah lebar kue berbau aroma cokelat itu. Begitu sudah menyapa lembut lidah, ada rasa lumer di dalamnya, membuat mata gadis itu mengerjap. “Beneran lezat, Yang! Ih, moodboster-ku jadi ilang terus tergantikan jadi goodmood, woaaaaah!”

“Nah, kan. Apa ku bilang? Udah dijamin bener kamu bakal suka cupcake yang aku beli untukmu. Kalau habis terus mau lagi, entar aku beliin, mumpung aku dikasih uang banyak sama papa, hehehehe.”

Angga memandang miris Jova yang nampak bahagia dengan makanan pencuci mulut tersebut, bahkan sisa kue cokelat itu menempel di bagian luar bibirnya. Makan, apa doyan?

“Itu, toh satu cara biar hatinya luluh? Disogok sama makanan baru kayak singa betina yang dijinakkan sama majikan. Wow, unik.”

“Anggara Veincent Kaivandra! Sekali lagi aku denger kamu ngatain aku singa betina, awas aja. Aku remek-remek organ jantungmu!” ultimatum Jova.

“Jangan, dong. Nanti kalau aku mati, kamu-nya yang bakal nyesel seumur hidup.” Inilah mengapa Angga masih bisa berani cengengesan di depan sahabatnya yang emosinya hampir tersulut karena ulah tengilnya.

Freya yang tidak suka pada kekasihnya yang berkata seperti itu, langsung mencubit lengan tangan Angga dengan perasaan gemas bercampur jengkel.

“Dududuh! Iya-iya, maaf!”

...‹‹---𝔗ℜ𝔒---››...

Usai memarkirkan motornya di depan teras rumah besar, Angga merapikan sedikit rambutnya yang agak berantakan lalu menggantungkan helm Honda-nya di atas salah satu kaca spion motor Vario.

Lelaki itu menyempatkan diri untuk menghirup udara sore hari yang tampak berangin hingga meniup dedaunan para pepohonan yang tertanam subur itu, setelahnya ia baru melangkah mendekati pintu hitam rumahnya.

Namun saat hendak meraih gagang pintu dengan tangan kiri menenteng tas ransel warna naturalnya, Angga mengerutkan kening seolah merasakan ada yang ganjal di dalam rumahnya. ‘Kayaknya ada yang gak beres, nih.’

Sampai akhirnya, terukir sempurna senyuman diagonal yang ada di bibirnya Angga. Ia akan mendahuluinya agar kejadian itu tak menimpa kepadanya, dengan cepat pemuda tersebut menarik tasnya yang bergelantungan di bawah pundaknya lalu mengeluarkan sesuatu tanpa memudarkan senyuman iblisnya.

Cklek...

Angga membuka perlahan pintu itu usai memantapkan rencana sambil memperhatikan situasi rumahnya yang terlihat sepi dirasa. Atensi lelaki itu langsung beralih ketika kedua kaki panjangnya telah menginjak lantai ruang utama, hingga selanjutnya...

“DEBUM!”

“Innalillahi, Ya Allah !” Agra tersungkur ke belakang waktu putranya mengagetkannya dari depan salah satu pintu yang telah dibuka dengan muka yang terpasang topeng menyeramkan.

“Hahahahaha!” Kali ini Angga benar-benar terhibur dan puas apa yang ia lakukan, dirinya melepaskan topeng lalu mengacungkan kedua jari tangan kepada Agra dengan ekspresi menyebalkan.

“Anak kurang ajar! Ayahnya sendiri dikagetin kayak gitu, siap punya ayah tiri?!” kesal Agra yang harusnya berhasil mengejutkan putranya, ini malah ia yang dikagetkan anak semata wayangnya.

“Enak, Yah dikerjain sama Angga? Suruh siapa mau berniat buruk ke anaknya,” kekeh lelaki itu dengan masih menonton kondisi Agra yang meringis kesakitan.

Ngeyel, sih dibilangin. Kan, sekarang jadi kena batunya

Terdengar tawa halus dari Andrana di ruang dapur sesudah melontarkan suara untuk suaminya yang gagal dan justru mendapatkan apesnya. Sedangkan Angga, mulai berjalan menghampiri sang ayah dan membantunya bangkit.

“Kamu, kok bisa-bisanya tahu kalau Ayah pengen ngagetin kamu dari balik pintu utama?” tanya Agra, sinis.

“Kasihan, jiwanya masih muda tapi otaknya udah tua. Angga gak akan mungkin tahu siasatnya Ayah kalau tidak dianugerahi kelebihan ini sama Tuhan,” jawabnya sambil menggiring Agra pelan ke dapur.

“Seketika ayahmu lupa kalau kamu anak Indigo, Nak. Ada-ada saja kelakuannya,” imbuh Andrana yang selesai menyiapkan masakannya di atas meja makan.

“Sudah, yuk kita makan. Mama juga udah masakin banyak untuk kamu,” ulas wanita itu yang masih awet muda dengan bola mata berotasi ke arah Angga, tak lupa menambahkan senyuman hangat.

“Makasih, Ma. Ini semua yang tersaji di meja, kesukaannya Angga,” ucap putra kesayangannya Andrana dengan menatap selera seluruh makanan hangat mulai dari yang goreng serta berkuah.

Pria paruh baya yang sebenarnya telah berkepala empat itu tapi wajah tampannya masih nampak terlihat seperti anak ABG; Anak Baru Gede, menepis tangan Angga dari tubuhnya. “Udah-udah, gak usah banyak drama! Cepet makan, Ayah udah laper banget! Nungguin kamu pulang, keburu dateng uban di rambutnya Ayah!”

Melihat tingkah Agra yang nampak begitu lapar apalagi nyaris ngiler melihat masakan lezat dari istrinya, membuat Andrana maupun Angga tertawa mendengar protes dari pria berahang tegas tersebut. Pada akhirnya mereka yang merupakan keluarga kecil di rumah besar nan luas itu, mulai menjalankan rutinitas sorenya dengan sesekali bercanda untuk menampik rasa kesunyian yang tercipta.

...‹‹---𝔗ℜ𝔒---››...

Malam itu, pukul 20.00 lelaki tampan yang berperawakan tinggi dengan kulit putih bersih, tengah sibuk mencatat segala poin-poin penting yang berkaitan dengan materi saat masih ada jam kuliahnya.

Kardiovaskular, itulah yang Angga pelajari serta pahami tentang materi tersebut yang pernah dijabarkan dan dijelaskan oleh sang dosen. Bola mata ia sesekali berotasi ke arah layar laptop yang di situ banyak sekali penjelasan-penjelasan detail, tepat sesuai pada jurusan kedokteran yang ia kuasai sampai semester ini.

Bukan hanya sekadar copy dari laptopnya, tapi juga buku tebal yang semuanya tentang segala macam kesehatan yang harus dimengerti. Meskipun tangannya sibuk bekerja, namun otaknya tenang dalam mencatat semua materi itu.

Dengan senyuman tipis yang merekah di wajah tampannya, Angga terhenti gerak saat mendengar notifikasi pesan grup dari ponselnya yang letaknya tak jauh darinya. Dengan menghela napas, lelaki itu menunda tugasnya lalu membuka layar kunci utama pada benda pipihnya.

...___________...

...BEST FOUR FOREVER...

[Jova]

Cara gunain make upnya susah!

[Reyhan]

Wkwkwk! Kamu cewek apa cowok, sih Yank? Masa dandan aja kagak bisa?

[Freya]

Lagian, kamu ngapain make up malem"? Jam segini tuh buat orang tidur, bukan malah uji dandan

^^^Mau cosplay jadi setan Valak, kali^^^

[Reyhan]

HAHAHAHAHA, anjir lo bisa aja, Bang! Ya kali pacar gue mau cosplay jadi setan Valak? Malem Halloween apa ini?

[Freya]

Hihi, kamu bisa aja, Ga. Awas, loh nanti kamu kena amuknya Jova lagi, aku gak mau nolongin, hehehehe

[Jova]

SERANGGA KUTUB UTARA!!! Mau aku kutuk jadi anaknya raja Iblis di kastilnya Cameron sama kak Monora??!!

[Freya]

Lah, bukannya udah jadi istana kayak semula ya, Va? Aku masih inget banget sama kejadian itu, loh meskipun udah 4 tahun yang lalu

[Reyhan]

Jangan bahas itu, ah! Rasa bersalahku makin besar ke Angga!

^^^Udah" gak usah membahas yang berlalu. Kamu tadi beli alat make upnya udah pasti belum pas di mal sama Freya? @Jova^^^

[Jova]

Udah, dong! Apalagi kan waktu tadi sore di mal, yang milihin alat make up itu si Freya. Perfect" semua kok, juga ori. Tapi percuma kalau pembelinya aja gak bisa pake

[Reyhan]

Hahahaha, perutku sakit banget ngerasain konyolnya kamu! Lagian kamu ngapain pake acara beli" berbagai alat itu segala? Kamu tuh, Tomboy parah, makanya dandan aja gak bisa

^^^Menghina dengan secara gak langsung, nih^^^

[Jova]

Kampret, udah ah! Salahku juga pake ikut jalurnya mamaku. Ambil jurusan Tata Busana aja aku udah bersyukur, meski terpaksa

[Freya]

Tapi pada akhirnya kamu menikmati kelas jurusan itu, kan? Apalagi juga prakteknya, barangkali dewasa nanti kamu jadi cewek feminim dan kalem, hayo

[Reyhan]

Nah bener, tuh! Entar aku ajarin Jova gimana spesifik jadi wanita kalem. Oh iya, Ga? Lo habis ngapain, sih?

^^^Tadinya belajar, tp krn ada notifikasi masuk gue langsung melipir ke ruang grup^^^

[Jova]

Belajar mulu, ini bocah! Padahal besok masih bebas karna ada event. Gak pengap itu otak?

^^^Enggak, kok biasa aja^^^

[Freya]

Belajar materi apa, Ga?

^^^Hmm, Kardiovaskular dari jurusan kedokteran yang pernah dijelasin sama pak Hamka dosen sebelum kampus kita mengadakan event. Ini baru habis 5 lembar aku catat seluruh keterangan dan beberapa contoh yang ada di dalam materi^^^

[Reyhan]

BJIR, 5 lembar?! Eh, gila itu tangan gak pegel nulis sebanyak itu?! Perasaan tangan lo bukan terbuat dari tulang dan daging, dah tapi eletronik robot! Gue mana kuat nyatet segitu

[Jova]

Kamu udah terlalu pinter sama rajin loh, Ga. Tapi bisa berhenti, nggak nulisnya? Mending bobok di kasur sono! Besok, tuh kampus kita masih bebas, jadi buat apaan nugas terus apalagi gak disuruh sama dosen?

[Freya]

Betul, Ga. Padahal nggak usah belajar, kamu udah ngerti. Kamu di materi itu bukan cuman memahami pengertiannya, tapi juga kesehatanmu, dan itu lebih penting! Ya kan, Guys?

[Jova]

Yaps

[Reyhan]

Yoi, apa yang diomongin Freya bener, Ga. Lo itu terlalu genius, cerdas. Gak usah belajar sampe sedetail itu! Gue nggak mau ya lo jadi sakit gara" kebanyakan memperdalam ilmu yang dari materi jurusan kedokteran itu!

^^^Hahaha, dasar kalian. Iya" ini gue stop^^^

[Reyhan]

Nah, itu baru sahabat gue!

[Jova]

Sobat penurut, nih. Sip, Bro!

[Freya]

Makachi, gih tidur. Jangan sampai aku denger kamu mainin gitar, ya!

^^^Hehe, siap laksanakan!^^^

...__________...

Angga mengakhiri tulisan itu melalui chat grup lalu mematikan layar ponsel dan meletakkannya di atas meja hitamnya. Dengan senyuman yang tetap terpajang tampan di wajah putihnya, ia kemudian merapikan tempat belajarnya mulai dari menutup laptop hingga buku tebal yang menjadi penambah wawasannya untuk menelaah ilmu kedokteran.

Membayangkan rentetan pesan yang telah mereka kirimkan di ruang grup tadi, membuat Angga menggelengkan kepala seraya terkekeh kecil. Tanda perintah itu, sukses tak habis ia pikir betapa posesifnya antara dua sahabatnya dan kekasihnya terhadap diri Angga, saking cemas bila ia kembali sakit seperti dulu.

Bug !

“Meong!”

Angga yang sibuk merapikan lembaran-lembaran note kertasnya dan akan melesakkan ke dalam laci, menoleh cepat ke arah kucing mistiknya yang tampak kesakitan usai salah satu buku tebal majikannya menimpa kepala Takeshi.

“Hm, sukurin. Suruh siapa lo tadi sore nyolong ikan pindang gue? Sekarang kena karma, kan? Emangnya cuman manusia doang yang sanggup ngerasain karma, hewan juga bisa.”

Usai menjilati bulu hitamnya yang lebat nan panjang itu, Takeshi dengan lekas melengos pergi meninggalkan sang tuan majikan yang seolah sedang ngambek.

“Eh, mau ke mana? Gak jadi makan whiskas, nih? Yaudah, malah beneran. Gue tinggal ke alam mimpi!” Walaupun Angga sebenarnya sedang tak mengancam kucing kesayangannya, tapi pada puncaknya si Takeshi balik tubuh dan berlari ke arah lelaki itu yang membungkuk untuk mengambil buku berukuran besar yang jatuh karena tak sengaja tersenggol binatang menggemaskan itu yang tadi hendak turun dari meja belajar.

“Hehe, eman juga lo sama gue. Sini dulu baru gue kasih makan malem!” ucap antusiasnya Angga usai menaruh buku tebalnya di tumbukan benda baca yang ada di pojok meja hitam, lalu memboyong Takeshi ke pangkuannya.

Sudah terlihat jelas raut muka jengahnya Takeshi terhadap majikannya yang suka hiperbola, semenjak pasca Koma 365 hari, binatang peliharaannya Angga menjadi bahan mainan guling untuk lelaki itu sendiri. Mungkin jika boleh menentukan, Takeshi akan memilih sikap tuannya yang dingin dan juga cuek, daripada ini.

Sementara Angga yang sekarang mengelus bulu sutra tubuh kucingnya, menjatuhkan kepalanya di atas sandaran kursi lalu netranya mulai menatap teduh pada langit-langit dinding kamarnya.

Ia di dunia ini tak mungkin lupa mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan, diberikan beberapa insan yang sangat peduli terhadapnya, itu sudah membuat Angga sangat bahagia. Maklum saja mereka seringkali posesif ke dirinya, karena Angga sendiri suka keras kepala dan kadang susah diperintah.

Ya, keras kepalanya tersebut mampu melukai dirinya jika tak segera dikurangi.

Senyuman pemuda Indigo itu kini memperlihatkan deretan gigi putih yang tersusun rapi di bagian atas dalam mulut. Ia akui memang keras kepala, tapi rasa perhatian mereka tak akan ia acuhkan begitu saja, mana mungkin Angga segampang itu untuk menyepelekan?

Benar, akibat berjaya menghempaskan masa lalu yang menggelapkan hatinya dengan dibantu oleh para sahabat dan seorang gadis yang amat ia cintai hingga sampai kapanpun, Angga dapat menggapai kebahagiaan dan kehidupan barunya yang lebih berwarna.

TRO–To Be Continued »

•••

Baru juga masih chap 1, udah habis 3000 an kata aja. Hadeh...

Tapi, kalian suka gak sama alur cerita yang masih awal ini? Gak terlalu menarik, ya? Maklum, masih pertama. Nggak tau kalau selanjutnya

Oh iya, aku tanya dong. Kalian tuh sebenernya jika jujur tim Angga atau Reyhan, nih? Komen, ya! Soalnya mereka berdua tokoh utama di novel ini, cuman aja yang lebih menguasai plot, si Angga

Makasih yang udah baca tanpa skip

{Lope You All } 🖤

Chapter 2 | Flirty Ghost

...(Comment tiap paragraf, ya...)...

...Harap hati" karena typo bertebaran...

...-HAPPY READING-...

Menuruni anak tangga dengan santai, iris abu autentiknya Angga menangkap Andrana dan Agra yang terlihat lesu di atas kursi meja makan. Lelaki tersebut yang menenteng tas ransel hitamnya mengerutkan keningnya sebentar lalu rada menyunggingkan senyuman miring. Pastinya ada sesuatu yang membuat ayahnya seperti itu.

Wanita berwajah cantik nan awet muda itu, menolehkan kepalanya ke putranya saat ia ingin menuangkan teko kaca ke dalam gelas yang berisi air putih. “Angga. Ayo sarapan dulu, ke kampus perutnya harus sudah terisi,” ucap Andrana menyuruh tanpa melunturkan senyum.

“Iya, Ma. Tapi, itu ayah kenapa? Masam banget mukanya kayak gak dapet gajian,” lontar Angga.

Agra yang mendengar suara anak semata wayangnya berbicara di dekat meja makan, tatkala langsung menatap Angga dengan tatapan sinis. “Siapa bilang Ayah gak dapet gajian?!”

“Hahahaha, terus? Itu muka kecut seperti lemon, kenapa? Ayah udah persis kayak kena 4L. Lemah, letih, lesu, dan lunglai,” celoteh putranya Agra sambil mengambil kursi sampingnya untuk dibuat duduk.

Kala mendengar ungkapannya Angga yang telah keluar dari mulut, pria itu menghempaskan napas kasar dengan menambahkan raut lesunya seraya menatap anaknya yang sedang menaruh tas di bawah sebelah kursi. “Disuruh mama kerja rodi lagi, udah ngerti Ayah capek!”

Tangan Angga yang terkepal, lelaki itu tempelkan sisinya di kulit atas bibirnya. Matanya memicing sempurna dengan tersenyum meledek. “Sebenernya dari awal pas turun tangga, Angga udah tahu tapi pura-pura nggak tahu.”

“Halah, itu Ayah saja yang malas! Udah ayo, Ga. Kamu cepat sarapan, nanti bisa terkena macet di jalan raya. Kamu, kan paling sungkan kalau lewat jalan pintas wilayah Jiaulingga Mawar, ya, kan?” cetus Andrana.

Angga mengangguk pelan. “Nyari aman, di sana sudah rawan banget kecelakaan sama banyak berandalan yang suka nongkrong.”

“Tuh, kan? Yang lainnya saja selain kamu juga takut atau waspada kalau lewat di jalan sana.” Andrana menjawab putra kesayangannya sembari tangannya meletakkan piring dengan berisi makanan yang cocok untuk sarapan.

Di sela-sela tersenyum pada sang ibu, mata Angga membulat terkejut waktu Agra sengaja mengangkat tangan kirinya lalu menggenggam erat, hal itu membuat dirinya menatap ayahnya. “Kamu jangan pergi ke kampus, ya? Temenin Ayah kerja rodi bersihin rumah! Masa tega ngebiarin orangtuanya capek-capek?”

“Gak bisa, lah! Angga harus kuliah, masa bolos?!” damprat putranya Agra dengan wajah masih terlihat terperangah akibat perilakunya yang tiba-tiba.

“Kampus kamu, kan masih ada event. Jadi, mahasiswa gak harus datang karena tidak di absensi! Selagi bebas, kenapa gak luangin waktu untuk bantu-bantu Ayah di rumah?! Udah, ambil cuti aja!” sentak Agra.

“Dih, ngatur ...” gumam Angga dengan ekspresi setengah geli pada tingkahnya sang ayah yang memohon-mohon.

“Lepasin tangan Angga, Yah! Atau anakmu gigit, nih!” ancamnya dengan berusaha melepaskan kungkungan dari kedua telapak tangan Agra.

“Lepasin! Udah lihat anaknya sampai seperti itu, masih aja ngeyel. Kalau Angga tetap kuliah, apa salahnya? Orang nanti Mama cuman nyuruh Ayah cabuti rumput liar doang, kok di pekarangan rumah,” bela Andrana, usai memukul tangan suaminya agar membebaskan tangan kiri anak tunggalnya.

Agra dengan menurut, melepaskan tangan putranya lalu mendengus pelan bersama menekuk mukanya sebal. Angga yang akhirnya dilepaskan berkat pembelaan dari Andrana, membuang napas lega seraya mengusap bagian telapaknya lalu mulai menyantap sarapannya sebelum berangkat ke gedung Dhambaswa Akshara kampusnya.

...‹‹---𝔗ℜ𝔒---››...

Klakson-klakson yang dibunyikan keras oleh para pengendara motor maupun mobil, begitu meramaikan situasi jalan raya di pagi yang sangat terik ini. Di dalam kaca helm, Angga hanya bisa menghembuskan napas pasrah karena mungkin di atas aspal akan dilengkapi kemacetan antara transportasi darat tersebut.

Tapi berselang menit kemudian, angin berhembus meniup epidermis lelaki tampan yang terbalut kemeja panjang. Di saat itu juga, Angga merasakan ada yang merengkuh badannya dari belakang. Sebuah pelukan mesra yang membuat sang empu tersentak kaget, sampai refleks membuka mulut dan melebarkan kedua mata.

Tidak mungkin jika adalah pujaan hatinya, gadis cantik yang mempunyai tubuh mungil itu saja telah melaju duluan ke kampus yang mungkin sekarang sudah tiba. Apalagi sekarang, Angga bisa merasakan ekstensi aura berbeda didekatnya.

“Sembarangan meluk manusia, pergi lo!” bentak Angga, mengusir makhluk gaib yang masih menempel di tubuhnya dengan tersenyum senang karena berhasil mendekap sosok manusia tampan itu.

“Enggak mau! Aku mau sama kamu,” rengeknya dengan semakin bergelayut manja pada Angga.

Inilah yang kini membuat pemuda itu berdecak sebal, tak bisa menambahkan kecepatan mesin motornya hingga ia terjebak di lampu merah, terlebih lagi hantu perempuan itu masih menjerat Angga di dekapan eratnya. Senyuman bahagia terukir sempurna di bibirnya apalagi dapat mencium aroma parfum maskulin yang melekat di tubuh manusia tampan tersebut.

“Ayo jadi pacarku! Pokoknya harus mau, jangan nolak. Soalnya aura dan wajahmu terlalu ganteng sampe buat aku gak bisa berpaling, aaaaaa!” heboh hantu itu sambil menggerakkan badannya, hingga membuat Angga makin gila karena badan dirinya juga ikut berguncang.

‘Hih, ogah! Gue udah punya pacar, lagian siapa yang setuju berkasih dengan setan? Sinting !’

Baru saja akan mengeluarkan tenaga dalamnya untuk menyingkirkan arwah genit itu darinya, bahu kiri Angga ditepuk lumayan keras oleh sang pengendara motor yang juga berhenti tepat di sampingnya.

“Oi, hahahaha! Gak nyangka gue bisa ketemu sama lo di jalan sini. Lo ngapain masang muka kesel gitu, Bang? Karena macet dan kena lampu merah? Biasa! Tapi gue udah terbiasa, sih.”

Angga melongo tak percaya, mendapatkan sosok lelaki berperawakan tinggi yang umurnya sepantaran dengannya. Aura ramah yang selalu terpancar setiap hari tersebut, membuat Angga membuka kaca helmnya bersama tatapan tak mau beralih ke arah lain.

“Sejak kapan lo ada di samping gue?” tanya Angga, memastikan kepada Reyhan yang masih tetap senyum.

Tawa Reyhan mengudara, tak peduli juga menjadi pusat perhatian semua orang yang terhalang pada lampu merah ini. “Geblek! Gue emang dari tadi di sini, lo-nya aja yang kagak sadar.”

“Y-ya, maaf. Habisnya ...”

Sahabatnya Angga mengerutkan kening pada lelaki itu yang menunda kalimatnya. Nampak belum terselesaikan, hingga bola mata Reyhan terpusat pada sesosok gadis berambut cantik dengan gaun putih yang kendatipun agak lusuh. Ia mendengus halus kala tak bisa melihat kondisi wajahnya yang posisi tubuhnya memunggunginya.

“Oalah, lo boncengin Freya?! Bilang, kek! Tapi, kok dia ngadep sana? Nengok sini dong, Cantik!” lontar Reyhan, percaya diri yang padahal suaranya itu keras.

Kedua alis hitam tebalnya Angga menaik ke atas dengan cepat. “Bukan Freya, Astaghfirullahaladzim ! Dia udah jalan duluan ke kampus!”

“Terus, itu siapa?” Secara langsung, netra Reyhan melotot kencang akibat tak menduganya. “Eh! Jangan bilang- oh, alamak! Lo selingkuh sama insan cewek lain?! Udah gendeng, lo duain hatinya Freya?! Gue laporin calon mertua lo, mampus!”

Mata Angga tak kalah melotot, hatinya begitu greget karena ucapan ngaconya Reyhan yang sebenarnya dia tak ada nekat setega itu. Dengan kepalan kuatnya di tangan, Angga sengaja lekas menggebrak atas kepala sahabatnya yang dibungkus helm Honda gabungan dari motor matic-nya.

“Sudah gak waras, gue tikung Freya dari belakang?! Lo baca saja auranya dia!” tekan nada suara Angga yang begitu geram terhadap Reyhan.

Alih-alih menggubris instruksi sahabatnya, Reyhan malah mengambil protes seraya mengusap-usap pucuk helm silver miliknya. “Lo pake tenaga dalem, ye? Padahal udah gunain helm, tapi tetep sakit kepala gue!”

Rasain, lo. Batin itulah yang Angga lontarkan melalui relung kalbu. Sementara lelaki Friendly tersebut mulai mengedarkan pandangan ke arah lain. Tapi bertepatan itu juga, si gadis berambut terurai panjang menolehkan kepala ke kiri, membuat tubuh Reyhan sedikit terlompat, bahkan motornya nyaris jatuh karena olehnya.

“Jatuhin cicak tembok pake karet, itu muka serem banget! Lo siapa, Demit? Dari segi penampilan, kok kayak persis Kuntilanak gini?” Untung saja walaupun terkejut, volume suara Reyhan tidak terlalu keras.

‘Udah tahu itu hantu, masih aja nanya.’ Angga kembali membatin dengan menahan rasa emosi dari makhluk estotis itu yang bandel dan juga menyebalkan, apalagi ia bertambah risih karena kedua tangannya tak segera melonggar dari pinggang lelaki Indigo.

Reyhan meneguk ludahnya untuk berusaha berani menatap gadis hantu itu yang syukurnya tidak berenergi negatif, melainkan positif. “Maaf, Mba Kun? Situ meluk sahabat saya kayak kekasih aja, hehehehe! Anu, dia udah punya pacar. Jadi, tolong jangan berharap lebih, ya? Mendingan bercinta sama Genderuwo, kan sama-sama setan.”

“Oh, udah punya pacar? Gampang, nanti aku kasih pelajaran sama kekasihnya cowok ganteng-ku ini. Dia pokoknya harus sah jadi milikku, hihihihihi!”

Reyhan tersenyum kikuk. ‘Anjir, muka sok yes mau sah jadi punyanya Angga! Mana omongannya gue enggak mempan, lagi. Keburu cepirit ini pasti sahabatnya gue.’

Boro-boro hanya diam, Angga justru menoleh kepalanya ke belakang lalu mengukir senyuman smirk. “Lo mau nyakitin pacar gue? Mau gue bikin lo kebakar karena ayat kursi? Dengan senang hati gue bacain detik ini juga.”

“Huh!” Usai memperlihatkan raut ketakutannya pada ancaman manusia Indigo itu, hantu perempuan tersebut melesat pergi tanpa meninggalkan jejak alias menghilang.

Di sisi lain, sopir truk yang 3 menit lalu menyembulkan kepala dan badannya, menatap kedua lelaki yang lebih muda darinya dengan tatapan ngeri. “Bicara sama yang gak ada wujudnya, kalian berdua udah sakit jiwa, ya?!”

Angga dan Reyhan saling tersentak ketika mendengar suara nada tinggi dan kalimat pedasnya, hingga membuat mereka dengan spontan menoleh ke arah belakang lalu menancapkan wajah malu serta cengiran bibirnya ke arah sopir yang rupanya sedari tadi mengamatinya.

...‹‹---𝔗ℜ𝔒---››...

Di lobby kampus, dua lelaki itu yang akhirnya telah tiba meskipun hari ini masih dinyatakan bebas karena event di gedung besar tersebut, melangkah seiringan dengan tanpa melontarkan obrolan yang membuat suasananya menjadi hening cipta.

Tapi, seorang Reyhan Ivander Elvano tak mungkin membiarkan kecanggungan ini semakin kentara, hingga pada akhirnya ialah yang memulai percakapan. Menatap Angga yang pandangannya fokus ke depan, tanpa menyunggingkan senyuman seperti biasa.

“Bang, marah? Perasaan itu muka judes amat, masih malu pas di kejadian lampu lalu lintas tadi, kah?” tanya Reyhan, mencondongkan kepalanya ke depan untuk memperhatikan wajah sahabatnya lebih detail.

Angga menghembuskan napas. “Enggak juga, sih. Gue-nya bodoh, udah tahu orang-orang di sana nggak bisa lihat hantu itu. Eh, gue malah kebablasan. Apes!”

“Hahahaha, tenang! Gak cuman elo doang, kok yang ngerasain apes itu. Gue juga kayak lo! Sumpah, Jir gue tadi bener-bener malu pas diteriakin supir truk. Nih, lo lihat! Telinga gue sampe jadi panas gara-gara insiden memalukan itu, gila!” Habis itu, Reyhan menghela napas. “Lagian tuh, setan genit amat! Main nempel-nempel orang yang udah bukan single. Ya gak, Bro?”

Cukup menarik kedua sudut bibirnya ke atas, sudah membuat hati Reyhan lega karena dapat melihat Angga tersenyum. Biasanya kalau sudah tidak lagi, kemungkinan besar sahabatnya sedang dilanda masalah.

Hingga satu bayangan terbesit dibenak Reyhan, hal yang membuat ia menciptakan kesalahpahaman tadi kini menjadikan lelaki tersebut mempunyai rasa bersalah terhadap Angga yang kembali diam tanpa menghentikan langkah jenjangnya. Segera ia mendekati sahabatnya itu lalu merangkul tangannya dengan memasang wajah melas.

Angga yang melihat perilaku Reyhan yang terlihat sudah kurang normal itu, membelalak dengan mata tajamnya. “Lo ngapain, Sialan?!”

“Hehehe, Abang gue yang paling gue cintai ... gue minta maaf karena udah nuduh elo sembarangan, ya?! Kirain, lo selingkuh ternyata dikungkung sama Kuntilanak burik itu, hehehehehe! Mau, kan maafin sahabat lo ini?”

Dengan risih, Angga menarik kencang tangan kirinya sampai membuat pegangannya Reyhan terlepas. “Najis! Gak usah sampe pegang-pegangan gitu, kan bisa! Yang wajar sajalah, lagian gue udah lupain itu. Ngapain masih dibahas, dah?”

“Eh, beneran?! Ini gue dimaafin sungguhan? Cielah, tapi biasanya mulut doang yang bicara, bukan hatinya. Percuma, Bray!” sembur Reyhan.

Angga tersenyum miris, hatinya kembali greget pada celotehannya Reyhan yang malah tidak mempercayainya. “Lo, kan bisa baca pikiran orang. Ngapain masih nanya?!”

Pemuda Friendly itu, mengerucutkan bibir. “Tapi, kan kekuatan gue yang gaib cuman pas-pasan, gak kayak elo yang udah tingkat level atas.”

“Dasar,” kemamnya Angga dengan menatap Reyhan lalu menggelengkan kepala, tapi ada benarnya juga ucapannya sang sahabat humorisnya.

Waktu sedang berjalan santai menuju kelas mata kuliahnya masing-masing yang berada di atas lantai dasar, langkah kaki Angga terhenti seketika saat bola basket melayang dan mengenai betisnya. Sahabatnya yang menyetop langkah itu, membuat Reyhan juga ikutan berhenti.

Dengan inisiatifnya, Angga memungut bola basket itu yang telah jatuh di lantai usai mengenai kakinya. Hingga mata ia terbentur pada salah satu senior lelaki yang gaya style pakaiannya begitu keren dengan aksesoris kalung titaniumnya, seorang itu yang telah melemparkan bola ke arah Angga rupanya tak sendiri, tapi bersama sekelompok temannya.

“Bawa sini bolanya,” titah dinginnya.

Reyhan yang mengenakan sweater abu-abu dengan kerah hitamnya, mengernyitkan kening hingga para alis cokelat tebal punyanya saling bertautan. Tatapannya mendadak jadi tajam kala memperhatikan gestur tubuh seniornya yang gaya raut wajahnya terlihat lumayan angkuh.

Angga membungkamkan mulutnya saat disuruh maju mendekati pemuda yang lebih tua darinya untuk menyerahkan bola berwarna oranye itu, ia menatap Reyhan sekilas lalu melangkah perlahan dan menghampiri atasannya yang tengah menunggu dirinya.

Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, Angga mengulurkan kedua tangannya ke hadapan lelaki itu yang sedang bersedekap di dada. Kakak seniornya dengan dengusan serta senyum miring, merebut kasar bola basket tersebut. Di rasa telah selesai, Angga memutar tubuhnya untuk mendatangi sahabatnya.

“Mau ke mana, hah? Gue belum kelar ngomong sama lo,” ucapnya dengan menarik kencang kerah kemeja bagian belakangnya Angga, lalu merengkuh leher dengan agak sedikit menekannya.

Pemuda itu kemudian mendekatkan mulutnya di telinga Angga untuk membisikinya sesuatu, yang pastinya Angga telah tahu duluan. “Gak usah sok terkenal di kampus ini, ngerti? Elo itu bukan kebanggaan apapun yang bisa menurunkan derajat level gue. Sekali lagi lo berlagak famous karena pujiannya mahasiswa di sini, habis, lo !”

Dengan tanpa perasaannya, pemuda yang merupakan senioritas di kampus Dhambaswa Akshara, mendorong tubuh Angga dengan kuat pakai kakinya. Hal tersebut, membuat Reyhan tak terima dan maju cepat mendekatinya tanpa ada rasa takut sama sekali.

“Maksud Kakak apa, ya? Mentang-mentang sahabat saya junior, Kakak seenak jidat melakukan semaunya?!” sentak Reyhan dengan mata mendelik.

Saat akan melawan pemuda itu yang masih angkuh di hadapannya Reyhan, Angga telah menahannya agar tidak menciptakan masalah baru. “Jangan, dia senior.”

Angga lalu menatapnya dengan tatapan dingin. “Maafkan saya jika Kakak merasa terganggu karena keberadaan saya yang mengenyam ilmu di sini, mungkin yang diduga Kakak, saya sedang berusaha mencari ketenaran dan mencari sesuatu agar menjatuhkan pangkat harga diri Kakak sebagai kating. Tapi, itu bukanlah dari tujuan saya.”

“Kok, jadi elo yang minta maaf segala sih, Ga?! Orang yang kentara salahnya, dia! Lu jangan sampai mau diperlakuin seenaknya. Mentang-mentang kating, dia bebas menindas lo dengan tuduhan yang tidak menyenangkan itu!” sarkas Reyhan, menimpali.

Angga memegang bahu Reyhan untuk hendak ia ajak pergi dari tempat itu. “Ga, lo harusnya—” Ucapan bentakan lelaki tersebut terputus waktu sahabatnya menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan untuk menghindari masalah yang ingin datang.

“Saya permisi,” tandas Angga, lalu melengos pergi meninggalkan sekelompok pemuda itu yang dari kelas atasannya bersama Reyhan.

Tak terpikirkan olehnya, lelaki berambut yang di semir sedikit warna merah melongo dengan salah satu sudut bibir menyungging ke atas. Bagaimana bisa Angga mampu membaca isi pikirannya? Apalagi teman-temannya juga terperangah pada ucapan mahasiswa junior tersebut, dari ungkapannya saja telah membuat mereka tutup mulut.

“Waktu itu berlagak sok paling sosialita, sekarang berlagak sok keren di hadapan gue? Cih, lo lihat saja nanti.”

...‹‹---𝔗ℜ𝔒---››...

Di jam pukul 16.00, langit senja mulai terlihat di atas gedung kampus Dhambaswa Akshara. Namun para mahasiswa dan mahasiswi belum ada yang beranjak pergi ke parkiran untuk pulang ke rumah, malah sibuk menonton konser musik yang ada di atas panggung. Gelak tawa meriah dan sorakan gembira itu sangat meramaikan situasi supaya tetap kondusif tanpa adanya bencana.

Reyhan yang meneguk minuman kopi susu dingin yang ada di dalam kemasan botol, menancapkan benturan matanya ke tatapan sayu Angga yang sahabatnya duduk di depannya. Meletakkan botol lalu memanggilnya.

“Lo kenapa, sih semudah itu mengalah sama senior itu? Lo tahu, kan kalau lo gak salah?! Ngapain minta maaf?”

Angga yang mendengar omelan sahabatnya, menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan keluar dari mulut yang sejak tadi bungkam. Ia arahkan pandangannya ke mata hazel Reyhan, lalu siap menjawabnya. “Gue mengalah, bukan berarti gue takut.”

“Tetap bagaimanapun, dia adalah senior kita. Jadi, ada hak apa untuk melawan? Itu akan sangat berpengaruh pada prinsip etika, kan?”

Reyhan membuka mulutnya dengan lebar, lalu menyentil dahi sahabatnya yang tertutupi rambut hitam itu. “Bego, jangan terlalu cupu jadi orang, Bang! Kalau gue jadi lo, nggak ada kata nurutin perintah-perintahnya senior yang dipajang di mading lobby kampus! Kecuali, kalau itu ada logisnya. Lah, yang mereka pasang poster di sono aja sok iya-iya, suruh nurutin ini-itu. Dih, gak banget!”

“By the way, lo cerewet. Panjang-lebar gitu, sampe air liur lo muncrat ke muka gue, dasar Gesrek!” sela Angga, mengelap bagian wajahnya untuk membersihkan percikan air suci dari Reyhan, ralat maksudnya air kotor.

Reyhan mendengus sebal dengan seraya menyipitkan kedua matanya, bukannya digagas ini malah komplain karena penyebab dirinya yang tak disengaja. “Ye, gue kasih ngerti, juga! Malah bahas topik lainnya, emang gak ada Sopan sama Akhlak, lo!”

“Heh! Gue cuma ngasih tahu ya, Setan!”

“Lu pikir gue udah mati, apa sampe disebut 'setan'?! Stres lo, Bangsat!” tak terima Reyhan, dengan tidak kalah mengeluarkan oktaf nada tinggi dari sahabatnya.

“Ributin apa, sih?”

Angga berjengit kaget sampai matanya melotot pada suara seorang gadis yang mengutarakan kata dengan berbarengan. Lelaki itu memutar tubuhnya lalu menyengir kikuk saat yang ia dapatkan adalah Freya dan Jova.

“Sini, duduk dulu. Jangan kelamaan berdiri di belakangku, nanti kalian bisa pegel,” suruh Angga dengan nada lembut untuk kepada kedua gadis tersebut yang menyempurnakan senyuman bibir yang merekah di wajah cantiknya.

Kekasihnya Reyhan yang telah mengambil duduk di tepat sebelah pemuda Friendly itu, menatap Angga. “Tadi pas lagi mau menuju ke kantin, aku sama Freya lihat kalian kayak cekcok. Masalah, apaan?”

“Iya. Kalian, tuh ributin apa, sih?” imbuh Freya, saat gadis itu juga sudah mengambil tempat duduk. Di sampingnya Angga.

Reyhan mendengus, lalu bola matanya berotasi ke arah sahabat perempuan polosnya. “Itu, lho! Tadi—” Bibirnya mengatup kuat dengan netra sedikit mendelik, ada rasa sakit yang menjalar ke tubuhnya waktu Angga berhasil menendang kencang tulang keringnya.

‘Lo apa-apaan, sih? Sakit, tau! Emangnya gue ngasih tau ke mereka, kagak boleh?!’ batin Reyhan yang langsung tersalurkan ke pendengarannya Angga, di sembari mengusap kakinya di bagian yang telah didepak.

Angga menekan giginya dalam mulut tertutup dengan menatap tajam sahabatnya, mulailah kedua lelaki itu melakukan telepati khusus yang tak bisa dilakukan semua insan. ‘Jangan gamblang, Bego! Lagian itu masalah kecil, hal yang kayak gitu gak perlu lo ceritain.’

Kelopak mata Freya mengerjap pelan. “Tadi apa, Rey? Kok, matamu kelihatan sadis banget ke Angga? Lagi ngomong secara telepati, ya?”

‘Elah, peka banget,’ seru Reyhan dan Angga yang masih menggunakan relung hati.

Jova yang memperhatikan mereka bertiga, hanya diam walau ia ingin tertawa karena melihat ekspresi cengo dari Freya. Hingga akhirnya, Angga menyuarakan nadanya untuk menjelaskan para gadis itu. “Tadi, pas motor aku sama Reyhan berhenti di depan lampu lalu lintas, kami lihat nenek-nenek yang salto di tapak jalan! Kece, parah. Pengguna jalan raya itu aja sampe tercengang, hehehe.”

“Hah? Nenek-nenek salto? Emangnya ada, jalan lampu lalu lintas arah barat atau timur?” tanya Freya, memastikan.

“Eeee, timur! Iya, arah daerah ufuk sana tadi kami ngeliat nenek-nenek salto! Kalau kalian tadi berangkat ke kampusnya bareng kami, pasti udah lihat aksi itu, kok.” Angga menjawab cepat untuk meyakinkan kekasih dan sahabatnya, membuat Jova menoleh ke arah Reyhan.

“Emangnya beneran ada nenek salto di pinggir jalan raya, Ay?” Jujur saja, Jova merasa kurang percaya pada ucapannya Angga. Mana ada seorang nenek bisa olahraga salto? Memangnya tidak berpengaruh pada tulang rawannya akibat faktor dari usianya yang telah berumur?

‘Jawab, Anjir! Malah bengong aja lo kayak sapi ompong,’ sarkas Angga, memaksa Reyhan untuk merespons.

Reyhan mengerjap cepat, lalu menatap mata pujaan hati Tomboy yang ia sangat cintai itu. “Hm'em, bener omongannya Angga! Tadi sebelum nyampe ke kampus, kami disuguhi pemandangan yang agak non logis. Iya, kan? Mustahil banget ada nenek-nenek bisa salto walau aksi itu berhasil mengunci mataku sama matanya Angga.”

Freya yang mengerti, membulatkan mulut bersama menganggukkan kepalanya. Kemudian gadis berpipi chubby itu, tersenyum lebar kepada para lelaki tampan yang ada di sekitarnya.

“Terus, soal cekcok tadi? Masa cuman liat nenek-nenek ngelakuin gerakan tubuh ekstrim itu aja, bisa langsung debat gak jelas? Mana suara kalian gemericik banget, lagi! Kan, aku sama Freya sampe gak kedengeran kalian ngomong apa. Tuh, tambah lagi suara musik di luar kantin.”

“Ah, kamu mau tahu aja. Kepo, ye? Obrolan cowok, jadi kamu nggak perlu ngerti, oke?” tandas Angga.

“Dih, nyebelin!” Jova yang tak mendapatkan jawaban yang pasti, kini hanya melipatkan kedua tangan di dada sambil memasang tekukan wajah putih mulusnya.

APA KABAR KAMU? KEKASIH MASA LALUKU BARU KUSADARI TAK ADA SEHEBAT KAMU !!!

APA KABAR KAMU? KAU MANTAN TERBAIK AKU TERIMALAH INI LAGUKU MENGENANG KAMU PENYESALANKU !!!

Pengunjung kantin yang sedang ingin berleha-leha tenang di ruangan luas terbuka itu, lekas membentengi sepasang telinganya akibat suara nyanyian keras yang mahasiswa itu bawakan dari lagu Govinda.

“Innalillahi Wa Innailaihi Raji'un, Allahuakbar ! Udah bendeng, keras banget lagi suaranya. Itu mau ngehibur orang, apa mau bawa kita ke Sakaratulmaut, sih?!” pekik Reyhan dengan memejamkan matanya rapat, sementara kedua telapak tangannya masih setia menutup telinga.

“Heh! Udah gila, lo? Mana ngucapin orang yang untuk meninggal, lagi! Masih hidup itu orangnya. Lain kali, bukan cuman otaknya doang yang disekolahin, tapi juga mulutnya!” sembur Angga, kesal.

Alih-alih mendengarkan dari nada lirik lagu jenis Pop tahun 2000-an itu, Freya malah justru sakit hati karena diingatkan kembali tentang mantannya yang sekarang sudah beda alam darinya. Rasa emosi dan menyesal karena pernah mencintainya, bercampur aduk menyongsong ke pikirannya gadis cantik itu.

Kenapa harus lagu itu, sih? Padahal ia sudah berusaha melupakan semuanya semaksimal mungkin.

Angga yang ada di sisi pacarnya, menurunkan kedua tangan dari sepasang telinga lalu tatapan matanya fokus memperhatikan kondisi Freya, bukan hanya wajah saja yang ia tinjau, tapi perasaannya.

Gadis yang masih bergelut dengan emosinya, terkejut kala merasakan ada yang mengelus puncak kepalanya. Ia toleh bola matanya ke atensi, hingga ia terbungkam karena yang melakukan itu adalah pujaan hatinya.

“Jangan diingat lagi, ya? Gak baik.”

Terhenyak. Entah mengapa setelah Angga mencetuskan nada super lembut itu bagaikan malaikat yang berbicara, perasaan emosi di hatinya Freya mereda, pujaan kalbunya seolah-olah menyalurkan energi hangat untuknya agar dada yang bergemuruh cepat hilang, terutama amarahnya.

Seusai itu, Angga menoleh ke arah dua sahabatnya yang terdiam bisu memperhatikan dirinya juga Freya. “Kalian laper gak, sih?“

“Laper, sih. Tapi ... duit gue tinggal ceban, niat nanti mau gue tabung biar gak minta sangu mulu sama bokap,” ujar Reyhan, lesu.

Angga beralih pandangan ke Jova saat gadis berambut cokelat terang itu membuka suara. “Aku juga ...” ucapnya, lalu mengeluarkan selembar uang warna kuning dari saku kantong celana kodoknya dan memperlihatkan ke sahabat lelaki Indigo-nya. “Tinggal goceng, sisanya lagi di kantong cuman gopek, huhuhuhu.”

“Rakus, sih. Makanya cepet habis,” gumam Angga, meledek kebiasaannya Jova.

“Biarin, lah!”

Pemuda tampan berambut hitam itu cengengesan, lalu menegakkan badannya di atas kursi. Menatap ke semua atensinya yang sama-sama berwajah lunglai. “Sudah, no problem. Ayo kita makan ayam KFC. Soal bayar, gue yang traktir kalian bertiga, gimana? Mau?”

Seolah obat, wajah Reyhan kembali berseri. “Traktir?!”

“Bertiga?!” kejut Jova, senang dengan kedua mata saling berbinar-binar sempurna.

Tersenyum, Angga mengangguk. “Gue kasihan banget sama lo berdua, jadi apa salahnya gue traktir? Hal pertama kalinya juga gue mau belanjakan kalian bertiga sekaligus, biasanya mah elo, Rey.”

“Kamu yakin, Ga? Nanti kalau uangmu habis karena traktir kami bertiga, gimana? Apalagi harga makanan itu gak hanya cuma-cuma, mahal.”

Angga yang mendengar suara cicit dari mulut Freya, lagi-lagi tersenyum dengan lebar. Ia raih pundak sebelah kiri kekasih gadisnya. “Aku gak peduli seberapa harganya, yang penting kalian seneng. Cuaca sore-sore gini, kan enaknya makan yang anget-anget.”

“Korban nih, Ga?” tanya Reyhan dengan senyum miris.

Dengan muka santai, Angga terkekeh. “Emangnya kenapa? Baru juga uang, gak sampai nyawa lagi.”

Meskipun ungkapan itu terdengar biasa dan sederhana, Angga berjaya membuat mereka bertiga tertawa oleh ulahnya. Ia pun yang melihat pemandangan kondusif antara para insan terbaiknya, ikut tertawa seolah gelak mereka menulari Angga.

“Daripada harus duduk di kantin sambil dengerin lagu yang kayak sekarang, kan? Teriak-teriak seperti tarzan, mending langsung pulang cari makan enak, habis itu lanjut pergi ke rumah. Ya, gak?”

Jova mengangguk setuju pada ungkapannya sang sahabat dari kekasihnya Freya. “Lagian ngapain di sini lama-lama sampe larut? Di kampus kita gak ada, tuh kegiatan kuliah malem.”

Kesemua orang tersayangnya gadis Tomboy itu, tertawa dengan kecil pada celotehan yang tidak memungkinkan tersebut. Benar, di gedung Dhambaswa Akshara tidak menyelenggarakan kuliah malam seperti di kampus lain. Usai menyudahi percakapan obrolan ringan, mereka berempat mulai meninggalkan kantin seraya menenteng ranselnya masing-masing dan bergegas keluar dari dalam lingkungan kampus.

...‹‹---𝔗ℜ𝔒---››...

Angga melemparkan senyuman ramahnya pada karyawan yang selalu menerima pesanan dari pengunjung restoran cepat saji, lalu segera membalikkan tubuh dengan kedua tangan membawa nampan berisi beberapa makanan lezat dan minuman yang jenisnya sama.

Tapi alangkah terkejutnya, lelaki itu dikagetkan oleh sosok menyeramkan yang ada di tepat hadapannya. Menatap lekat manusia Indigo tersebut, membuat Angga bisu dan matanya tak bisa lepas dari makhluk yang merupakan arwah berwujud pria paruh baya dengan blazer bercak darah anyir.

“Maaf karena telah sudah menghalangi jalanmu, saya hanya ingin lewat. Tidak berniat mengusik kamu,” ucap arwah tersebut yang membuat Angga paham.

“Tidak apa-apa, lewat saja. Di restoran tidak ada larangan untuk manusia menjelajahi tempat, termasuk hantu ...” jawab sopannya Angga, sangat amat lirih.

Arwah pria itu tersenyum tipis, lalu mengangguk dan melangkah lambat melewati Angga yang masih berdiri tegap. Setelah makhluk gaib tersebut menghilang, pemuda itu kembali melanjutkan langkah untuk menghampiri atensinya.

“Habis diajak ngomong sama setan lagi, Ga?” tanya Jova, ingin memastikan jika tebakannya benar.

Angga mengerjap singkat, lalu tersenyum seraya menaruh nampan putih di atas meja. “Jangan takut, ya kalian? Dia baik, kok. Cuman hantu itu emang suka bergentayangan di sekitar restoran KFC ini.”

Freya yang mendengar logat penuturan pujaan hatinya, mendesis lalu merapatkan tubuhnya dengan kedua tangan saking merindingnya. Sedangkan, Angga langsung duduk di kursi yang masih kosong, tapi ia merasa ada yang kurang. Hingga dirinya menolehkan kepalanya ke kanan-kiri untuk mencari keberadaan.

“Reyhan mana?”

Jova mengangkat wajahnya yang kedua tangannya sibuk mengosongkan nampan dengan mengangkat makanan beserta minuman satu persatu. “Toilet, Cuy.”

Setelah 1 menit di toilet khusus lelaki, Reyhan keluar dengan wajah sumringahnya. Ia tarik atas resleting celana jeansnya sambil berkata, “Akhirnya lega juga ini kandung kemih, di perjalanan tadi udah nahan banget, mana waktu itu udah sampe ujung, beh.”

Namun berselang detik kemudian, hawa dingin masuk ke dalam sekitar Reyhan berdiri hingga menusuk kulitnya. Ia raih segera tengkuknya dengan perasaan setengah takut, tubuhnya meremang, layaknya ada sesosok makhluk astral yang mengawasinya entah dari mana.

“Apa di restoran ayam ini, ada penghuninya? Kok, gue jadi merinding gini?” kemamnya, menelisik atas dinding hingga ke sudut-sudutnya.

Mas? Nikah, yuk ...

“H-hah?! S-siapa?!” Detak jantung Reyhan langsung berdebar kencang, walau hanya masih dapat mendengar suara lengang itu.

“Ya, aku dong, Mas!”

DEG

Rongga mata Reyhan melebar, seakan-akan bola netranya hampir copot dari tempat. Rengkuhan dua tangan yang telah melingkar di pinggangnya, membuat tubuh pemuda tampan itu tak bisa berkutik. Aroma darah anyir yang semerbak, membuat Reyhan hendak muntah.

Dengan nyali yang setengah terkumpul, Reyhan beranikan diri untuk melongok ke belakang. Menatap sosok yang telah lancang memeluknya dengan mesra. Begitu menangkap kontak matanya, suara rengekan lelaki remaja itu menyembul.

“Huaaaa, lepasin gueeeeeee!”

Makhluk halus dengan gender wanita itu, menggeleng dengan menekuk mulut. “Enggak mau sebelum Mas jadi suamiku. Yuk, kita persiapkan resepsi pernikahan kita!”

“Hik, enteng bener congor lo ngomong gitu?! Gak, lepasin gue! Gue gak mau nikah sama setan jelek kayak elo!” tolak Reyhan dengan berusaha meronta-ronta dari tangkapan wanita hantu itu yang mengenakan dress krem.

“Ih, kok tega banget, sih nolak permintaanku? Atau perlu diberikan rasa kasih cinta dulu baru Mas mau saya ajak nikah di hutan sana? Tempatnya bagus, kok. Nanti kita berdua bangun rumah pohon, kayak di film-film Korea! Mau, gak?”

Mata Reyhan mencuat. ‘Bahagia, enggak. Mati, iya !’

Lihat dari sorot aura matanya memang bukanlah suatu yang membahayakan jiwanya Reyhan, tapi tetap saja kalau paras wajahnya mengerikan ditambah rayuan yang membuat lelaki itu enek, dirinya bersusah-payah untuk melepaskan diri dari pitingan wanita hantu tersebut.

“Huhu, anjir! Ini cewek setan tua bangka kapan bakal bebasin gue, sih?! Mana rapet gini, lagi meluknya!” umpat Reyhan, mulai jengkel. Dan saat ingin meneriaki sahabat lelakinya yang mungkin tengah duduk bersama lainnya di arah barat, ia terbungkam dengan perasaan lega.

“Bro Anggara?!”

Bukan hanya Reyhan saja yang terdiam dari gerak, namun juga arwah wanita berumur kepala tiga itu. Menatap sosok manusia tampan dengan perawakan jangkung di depan ia dan seorang yang dirinya dekap, membuat sang makhluk esotik, melonggarkan tak sengaja pelukannya dari tubuh Reyhan.

“Ih, ada si ganteng lagi! Aaaa, tampan banget kayak oppa Korea selatan!” heboh arwah itu dengan kesengsem pada sosok yang menatapnya tajam menusuk.

Angga mengernyitkan keningnya tanpa ada rasa takut sama sekali terhadap sesosok hantu wanita yang padahal wujudnya teramat menyeramkan. Dirinya lalu menunjuk untuk memerintah makhluk tersebut yang berada di tepat belakang sahabatnya. “Lepasin dia, atau gue iket leher lo pake rantai bawang!”

Wanita gaib itu mendelik dengan sekaligus meneguk liur yang sebenarnya sudah tidak ada salivanya, sementara si Reyhan berlari kencang dan bersembunyi dibalik punggung Angga untuk berlindung diri dari kecentilan hantu yang ingin menggaet raganya buat diajak menikah.

“Kok, kamu galak, sih? Sayang banget, loh sama gantengnya. Entar susah dapetin jodoh.”

‘Padahal udah nemu jodohnya,’ kata lelaki berkekuatan Indigo itu sambil menghela napas dengan menatap jengah pada muka makhluk halus di hadapannya.

“Usir dong, Ga! Malah dilihatin aja. Cinta, lo sama dia?!” Kini emosinya Reyhan tersulut, meskipun ada di antara rasa takut terhadap seramnya wajah dari wanita hantu. Bahkan saking takutnya, Reyhan sampai refleks melingkari leher sahabatnya dengan tangan kanannya.

Angga yang diperlakukan itu, hanya mendengus bersama mengumpat 'sialan' di relung kalbu. Tak ingin berlama-lama berkontak mata dengan lelembut di depannya, ia segera mengeluarkan sesuatu yang ampuh menyingkirkan sosok hantu wanita yang masih saja tersenyum manis alias genit.

“Lo tahu benda ini fungsinya untuk apa?” tanya Angga, seolah-olah seperti guru yang memberi pertanyaan kepada muridnya.

Hantu itu kicep seketika dengan nyali menciut saat bola netranya membentur langsai pada sesuatu yang berbentuk persegi dengan sudut-sudut lancip. Sedangkan Angga yang memperhatikan ketakutan dari wanita itu, memperjelas senyuman bibir diagonalnya yang ia ukir.

“Cermin yang lo lihat ini akan sukses melempar jiwa lo ke alam baka dalam hitungan detik. Lo pengen ngerasain?”

Arwah itu dengan cepat, menggelengkan kepala kuat nyaris menangis mendengar tawarannya manusia itu yang seakan tengah mengancamnya. “Jangan, dong! Tempat sana tuh, Jahannamnya kebangetan! Padahal lagi pengen jadiin kalian berdua suamiku, eh malah diusir.”

‘Jir, poliandri, dong?!’ batin Reyhan, kaget.

“Kalau gak mau, yasudah pergi! Jangan pernah lo nyoba gangguin sahabat gue lagi, ngerti?!”

Hantu wanita itu dengan patuh, menganggukkan kepalanya lalu berbalik badan dan melayang menembus jendela samping kiri dan menghilang setelah melintasi langit oranye. Angga menghempaskan napas sembari memasukkan cermin bagaikan senjatanya. “Setan kurang kerjaan.”

Kemudian pemuda itu menolehkan kepala ke belakang dan melirik Reyhan yang masih setia merengkuh lehernya. “Heh, lepasin. Mau gue gantung lo di pohon beringin, apa?”

“J-janganlah, Bang! Yang ada gue diculik terus dijadiin anaknya bu Kunti. Cukup gue jadi anaknya dari rahim mama Jihan, aja!”

Angga lagi-lagi mendengus. “Yaudah, lepaskan leher gue kalau lo kagak mau! Gerah banget, Anjir!”

“Iye-iye, maaf!” Reyhan dengan cepat, melepaskan tangannya dari milik sahabatnya lalu mulai menegakkan badan sambil membuka mulutnya gembira.

“Sohib gue emang Hero, bet! Dibawa juga, tuh cermin buat ngusir setan gak jelas tadi itu. Hahahaha, kerenlah!”

Angga yang mendapatkan pujian dari sahabat humorisnya, hanya mengambil senyuman tipis. “Udah beres, kan? Sono ke Jova sama Freya, ditunggu mereka. Gue mau ke toilet dulu bentar.”

“Siap, my Abang tamvan! Loping sekebon hanya untuk Anggara tercayang seorang, hehe!” pekik Reyhan, hiperbola.

“Hih, amit-amit. Najis, gue!”

Di sisi lain, Freya maupun Jova tengah asyik mengobrol seru dengan sesekali mengeluarkan senda gurau yang menepiskan rasa kebisuan. Hingga gadis Tomboy itu, mengudarakan pertanyaan kepada sahabat lugunya yang saat ini duduk di sebelah dirinya.

“Frey, sekarang aku mau nanya, deh. Agak penting, sih buat kamu jawab pertanyaanku.”

Freya tatkala menciptakan kerutan halus di keningnya lalu mematikan layar ponselnya dengan tombol panjang. Menatap Jova serius sambil menyipitkan mata. “Mau tanya apa, emangnya?”

“Tadi pas di kantin kampus, mukamu kenapa layu gitu pas denger suara cowok yang karaoke di atas panggung? Aku, tuh ngeliat kondisi ekspresi kamu detail-detail banget, loh! Pasti ada sesuatu, ya?”

“Em, itu—”

“Gak suka sama suaranya mah, ini pasti! Pas nyanyi aja enggak pake nada, asal nyanyi doang tanpa malu kalau suaranya dia bikin sekarat gendang kuping.”

Dua gadis itu terlompat kaget pada kedatangannya Reyhan yang secara mendadak, bahkan tanpa memiliki dosa segelintir pun lelaki tampan tersebut duduk di kursi yang masih kosong, tepatnya adalah di depannya Jova.

“Lah, kok malah pada diem? Lanjutin dong, obrolannya.”

Mata Freya berkedip sebentar. “Kamu bikin kaget, tau. Dateng tiba-tiba dengan suara, dasar sahabat ...”

“Ehe.” Sahabat lelakinya Freya menggaruk kepala tak lupa dengan suara cengengesan andalannya. “Maaf, lain kali aku ngucapin salam aja deh, biar gak dikira setan mampir.”

“Kan, emang kamu setan, Ay. Jadi gak perlu pake acara salam segala, aku sama Freya udah ngerti,” timpal Jova dengan sepasang tangan saling melipat di dada.

Reyhan melotot. “Jahat kamu, Yang! Muka ganteng masih kayak manusia gini, masa dikatain setan? Katanya sayang sama aku, mana??” Lelaki itu memberikan senyuman di wajah manjanya, membuat Freya mengalihkan muka dengan nyengir.

“Duh, mulai bucinnya ...” gumam gadis berambut hitam legam sepunggung itu.

Jova yang ditatap lembut oleh kekasih humorisnya, hanya mendengus walau ia lemparkan senyuman yang ceria. “Kalau aku gak sayang nih, ya. Udah mestinya aku buang kamu ke ujung dunia. Oh iya, emmm ... Angga ke toilet ngapain?”

“Masa kayak gitu kamu tanya di toilet kenapa?” tanya Freya, setengah bingung usai mengubah posisi kepalanya.

Jova kembali menyenderkan punggungnya di kursi. “Ya, barangkali si Angga diajak komunikasi secara hidden sama arwah. Kamu gak tau aja, itu cowok bawaannya bikin penasaran orang apalagi kita bertiga.”

Freya menipiskan bibir manisnya lalu bola matanya merotasi ke arah Reyhan yang sedang mengangkat-angkat sebagian kaki kursi, di mana lelaki itu menduduki bangku. “Rey, jangan main angkat-angkat gitu. Nanti takutnya kamu jatuh, lagi ke belakang. Kan, sakit banget badanmu.”

Bukannya menuruti atas titah lemah-lembutnya gadis cantik bertubuh mungil itu, Reyhan hanya mengangkat dua jari tangannya lalu beringsut menatap Jova. “Paling juga tuh, bocah lagi buang feses.”

Brak !

“Sembarangan, lo kalau ngomong!”

Karena saking terkejutnya pada gebrakan meja tambah suara nada Bariton yang menyentak jantungnya, kursi Reyhan tergelimpang kencang ke belakang membuat sang empu spontan jungkir balik hingga mendarat di lantai.

GUBRAK !!!

Semua yang ada di dalam restoran cepat saji, terkejut bukan main hingga ada sebagian insan menahan tawa pada rengekan Reyhan karena harus merasakan ngilu di punggung dan pantatnya. Sedangkan, Freya memicingkan netranya dengan mendesis.

“Tuh, kan? Sudah aku peringati, juga malah ngeyel.”

Angga nyengir tatkala, karena kedatangan suaranya yang mengeluarkan nada tinggi itu sukses membuat sahabat Friendly-nya terperosok sempurna di lantai. “Lah, gitu aja masa langsung jatuh?!”

“Semprul lo, Ga! Emang bener kata orang banyak, cara lo ngagetin kayak demit Jailangkung. Datang gak diundang, pulang gak dianter! Sakit semua, nih badan gue. Tanggung jawab pokoknya, lo!” dongkol Reyhan, menatap sinis Angga yang menunggu ia selesai protes.

“Iya-iya, sorry ! Sini, gue bantu.” Dengan gegas, Angga menghampiri sahabatnya untuk ia tolong. “Sakit banget, ya? Rasanya pasti kayak lagi jatuh di Surga.”

“Neraka, Tolol!”

Angga tertawa renyah pada bentakan Reyhan yang masih merasakan rasa sakit di sekujur badannya, lalu ia perlahan menduduki sahabatnya di kursi. “Hehe, gue minta maaf sekali lagi, ye? Habisnya lo cowok tapi mudah kagetan kayak aki-aki.”

“Lu ngatain gue yang tua kepek lagi, mampus, lu! Gue sumpelin mulut lu pake selang mesin cuci!” ultimatum Reyhan dengan menuding Angga.

Sahabatnya lelaki humoris itu, cengengesan seraya mengambil duduk di sebelahnya. “Psycho amat.”

Jova menyerongkan ponselnya yang menghalangi mukanya dari Reyhan. “Masih sakit bokongnya, Ay?”

“Pake nanya kamu, ah! Bukan cuman bokong yang sakit, tapi juga hati!” sembur Reyhan.

Angga yang membenarkan kemeja panjangnya, menyusutkan dahi sembari melirikkan bola mata ke arah sahabatnya. “Patah hati mulu, lo perasaan. Padahal udah bukan Jomblo akut lagi.”

“Diem lo, Ga! Semuanya gara-gara elo, ya! Kalau bukan karena lo yang ngagetin gue, gue gak mungkin sampe koprol ke belakang, Nying!”

Lelaki Indigo itu, mendengus dengan memasang mata tajamnya. “Sudah bagus, gue mau nolongin lo. Untung lagi itu gak sampe kena cedera tulang belakang!”

“Emangnya kenapa kalau cedera tulang belakang?!” tanya Reyhan, sewot.

“Lumpuh, lah!”

Freya yang mendengarkan kedua pemuda itu yang mengudarakan nada tinggi secara bergantian dengan raut sengit, tertawa halus. “Makan, yuk? Nanti malah keburu malem.”

Angga maupun Reyhan yang sedang asyik berdebat, menyetop kegiatan itu lalu menolehkan kepala ke Freya dan mengangguk. Setelahnya, mereka mulai mengambil makanannya masing-masing, membuat Jova melongo.

“Langsung nurut, dong- eh?” ungkapannya gadis Tomboy itu tersita olehnya sendiri saat tak sengaja melihat kondisi wajah Reyhan yang lumayan pucat, juga pula sepasang daun telinga yang agak memerah. “Kamu oke-oke aja nih, Ay?”

Reyhan yang akan menyuapi ayam bercampur nasi itu ke mulutnya, tertunda lalu mengerutkan jidat. “Emangnya aku kenapa?”

“Ituu? Mukamu keliatan rada pucet, terus dua kuping-mu juga merah gitu, habis kenapa?” penasaran kekasihnya, menunjuk kecil arah wajah Reyhan.

Angga menaikkan satu alis usai menyedot minuman hitam yang mengandung air soda, lalu menoleh ke arah Reyhan sebelum ke sahabat perempuannya. “Oh, itu tadi pacarmu mau diajak nik- emmmp!!”

“J-jangan kasih tau, Ga! Jangan kasih tau!” kalut Reyhan, dengan tangan membekap mulut sekaligus hidungnya Angga.

Freya tersentak pada perilaku Reyhan yang langsung cepat menutup rapat alat bicara dan pernapasan pujaan hatinya, bahkan lelaki Friendly itu tidak tahu jika Angga tak mungkin bisa menerima celah ventilasi udara untuk menghirup oksigen.

“R-rey, itu si Angga ...” lirihnya Freya dengan tancapan muka yang gusar, dengan menunjuk pelan kekasihnya.

Reyhan yang sibuk dengan kepanikan akibat sahabatnya yang cepu secara terang-terangan, menghadapkan kepalanya ke Angga. Di lihat pemuda itu berusaha menepis telapak tangan Reyhan di mana wajahnya telah memerah.

“Eh, maap!” Dengan gerakan yang kilat, Reyhan pada puncaknya langsung melepaskan tangan kirinya.

Begitu sudah dibebaskan, Angga dengan serakah dirinya meraup udara sebanyak-banyaknya untuk mengumpulkan pasokan oksigennya ke dalam tubuh. Jova dan Freya yang memperhatikan gelagatnya, meringis bersama menggunakan ekspresi miris.

Lantas, Angga menghempaskan napasnya sebelum menyumbangkan komentar pedas ke Reyhan. “Pikirnya itu tangan lo ada oksigennya apa, ya?! Nyaris gue dipanggil Tuhan!”

Reyhan yang dilempari komplain sarkas itu, cengengesan sambil mengangkat kedua tangannya bersimbol ampun. “Jangan marah, lah. Hehehehe! Abisnya lo cepu bener. Lo tau, kan kalau gue masih punya malu?”

“Oh, belum putus, toh urat malunya?” tanggap Angga, kendatipun pakai nada dingin dengan wajah yang ia buat sedatar-datarnya mungkin.

Reyhan memudarkan sunggingan bibirnya kemudian menggaruk tengkuk yang tidak gatal itu, sementara Freya kembali mengomando semuanya untuk makan. Hal tersebut tak ada lagi perdebatan atau percekcokan di antara kedua pemuda berparas tampan itu, namun entah esoknya.

Mereka berempat sekarang mulai menjalankan rutinitasnya di dalam restoran ayam cepat saji yang kerap disebut dengan KFC, menandaskan makanan-minuman tak lupa membaurkan senda gurau untuk membasmi rasa canggung. Benar, para remaja yang kini berusia 20 tahun ini, tidak luput dari tawa dan juga bahagia.

TRO–To Be Continued »

•••

Makin ngelunjak ae aku ngetiknya habis sampe 6000 an kata, ini mah dasar authornya aja yang terlalu semangat, wkwkwk

Di chapter ini masih santai" dulu ya, jadi yang tanya konfliknya mana dan kapan dimunculkan sabar! Bakal dateng, kok eh tapi aku kalau bikin komplikasi di novel ini nggak main" loh.. Jadi siapkan mental kalian bila ingin membacanya, ehehehe

Makasih yang udah read tanpa skip

{Lope You All } 🖤

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!