Seorang gadis berdiri dengan gelisah dan terus memperhatikan jam tangannya. Matanya liar mencari dua orang yang ditunggunya dari satu jam yang lalu. Hingga dua sosok sahabatnya itu muncul di tengah keramaian pasar malam dan datang menghampirinya.
Mereka berdua berlari kecil dengan nafas yang tak beraturan. Melihat keadaan mereka yang seperti telah dikejar anjing, membuat gadis yang tadinya ingin mengomel panjang lebar mau tak mau merasa kasihan dan bertanya dengan prihatin. "Ada apa dengan kalian berdua?" Tanya gadis tersebut, Putri.
Gina menatap Putri dengan tatapan menyedihkan dan menggelengkan kepala. "Ayahku melarang aku pergi, ya udah aku pergi diam-diam saja. Siapa yang sangka selama aku pergi menuju rumah Lila, Ayah terus mengikutiku. Jadi, aku dan Lila terus berjalan acak dan berusaha menghindar dari Ayah."
Putri menepuk punggung Gina dengan pelan untuk mengekspresikan kepeduliannya. Ayah Gina memang terlalu protektif terhadap Gina, hingga anaknya ini sering kali berbuat nakal dan melawan.
Melihat Putri yang sudah melupakan amarahnya, membuat Gina menghela nafas lega. Dalam hati dia meminta maaf atas nama ayahnya, 'Ayah, maaf karena meminjam namamu. Sesungguhnya ini demi kebaikan anakmu.'
Sebenarnya, alasan yang Gina katakan itu ialah sebuah kebohongan. Karena faktanya, mereka sedari tadi sudah sampai di pasar malam, hanya saja mereka tergoda oleh penjual baju dan lupa untuk menemui Putri. Demi kedamaian bersama, maka ayah Gina yang protektif harus dapat diandalkan saat ini.
"Aku tidak mampu hidup lagi." Ucap Lila yang terduduk di tanah. "Napasku habis rasanya." Lanjutnya dengan lelah.
Gina menatap datar Lila yang terlalu mendramatisir keadaan. Sepertinya Lila pantas menjadi pemain sinetron, dramanya tidak pernah setengah-setengah.
Putri tidak pernah berpikir jika dia telah berhasil tertipu oleh kebohongan dua sahabatnya itu. Dengan antusias, dia menarik tangan Gina dan Lila untuk jalan-jalan mengelilingi pasar malam. "Tadi, aku lihat ada cogan. Kyaa, tampan gila." Ucap Putri heboh.
Mata Lila segera berbintang mendengar kata cogan. "Cogan? Dimana?"
Sedangkan Gina hanya memutar mata malas, "Kamu tau Putri, kan? Semua cowok dia katain cogan, bahkan bang Jali pun dikatai ganteng. Gila."
Putri dengan cepat menggelengkan kepalanya, "Kali ini benar-benar cogan. Kalau gak salah, dia menuju ke sana." Ucapnya sambil menuju ke arah bagian wahana permainan.
Mereka berjalan ke bagian wahana permainan. Banyak wahana permainan yang mereka lewati begitu menggoda dan membuat mereka menatap antusias. Mereka ingin bermain setidaknya satu wahana permainan.
"Itu dia! Itu cogannya!" Ucap Putri antusias.
Gina dan Lila menatap arah yang ditunjuk Putri. Mata mereka melebar melihat lelaki tampan dengan kemeja hitam sedang berjalan sambil membawa dua minuman kaleng. Kemudian, mata mereka meredup ketika lelaki tampan itu memberikan satu minuman di tangannya kepada gadis yang sedang menunggunya.
"Mana ada coba cowok ganteng yang jomblo saat ini. Kalaupun ada, pasti gay." Gumam Lila kesal.
Buk
Dua orang pria yang sedang berjalan bergandengan tangan melewati mereka tersandung ketika mendengar ucapan Lila. Mereka bertiga sontak menoleh dan menatap datar kedua pria yang sedang menggunakan baju pasangan. Kedua pria itu melepas dengan cepat tangan mereka yang saling menggenggam.
Tiga gadis jomblo, "..."
Dua pria yang berpegangan tangan, "..."
Gina menatap tajam kedua pria itu dan mengeram ganas, membuat kedua pria itu cepat-cepat melewati gadis-gadis tragis tersebut. Setelah kedua pria yang menggunakan baju pasangan itu pergi, keheningan yang tajam terjadi pada tiga gadis yang jomblo.
"Kita ke sana, yuk!" Ajak Lila sambil menunjuk sebuah tenda yang memiliki spanduk besar di depannya. Spanduk itu tertulis, 'Datang dan ramal nasibmu!'
Putri dan Gina serentak mengangguk setuju.
Mereka bertiga masuk ke tenda peramal dan melihat wanita tua yang menggunakan jubah hitam duduk terdiam. Di depan wanita tua itu, terdapat sebuah bola kaca di atas meja pendek.
Mata wanita itu tertuju pada mereka bertiga, "Siapa duluan?" Tanyanya dengan suara serak.
Sontak Gina dan Lila dengan ketakutan menunjuk ke arah Putri untuk mengorbankan sahabat terbaik mereka. Putri melotot dan menolak keras, namun tatapan wanita tua itu membuatnya menelan ludah kasar dan duduk dengan baik.
"Apa yang kamu ingin saya ramal?" Tanya wanita tua itu sambil mengusap-usap bola kacanya.
Gina yang duduk di belakang Putri berseru, "Ramal jodohnya! Dia dari lahir jomblo, Nek!"
Wanita tua itu menatap tajam Gina yang membuat Gina tersentak kaget. "Panggil saya Nona."
Tiga gadis, "..."
Wanita tua itu mengabaikan ekspresi tiga gadis di hadapannya dan fokus pada bola kacanya. Mulutnya bergerak-gerak seolah mengucapkan mantra, tangannya mengambil segenggam kelopak bunga yang sudah dia sediakan di bawah meja. Kelopak bunga itu dia lempar ke arah Putri, membuat tiga gadis itu merinding ketakutan.
Setelah beberapa detik, wanita tua itu akhirnya berhenti menggerakkan mulutnya dan menatap Putri lurus.
Putri menoleh ke belakang, menatap bertanya pada kedua temannya. Namun, kedua sahabat yang telah mengorbankannya itu menggelengkan kepala tidak tahu. Dengan ragu-ragu dia bertanya, "Um... Nona, ada apa dengan saya?"
Wanita tua itu tersenyum senang mendengar panggilan Putri dan menjawab dengan misterius. "Jodohmu selalu dekat denganmu, dia selalu ingin mengutarakan perasaannya padamu tapi..."
Ketiga gadis itu menajamkan telinga mereka dan menatap wanita tua itu dengan rasa penasaran. "Tapi?"
"Kamu disukai oleh temannya, jodohmu tidak ingin merusak persahabatannya dan menyerah padamu."
Mata Putri melebar, "Apa? Menyerah? Siapa jodohku? Siapa cowok brengsek itu?"
Wanita tua itu menjawab dengan tenang, "Jodohmu adalah seseorang yang kamu suka, saya tidak bisa mengatakan teman jodohmu ini. Yang pasti mereka sahabat dekat."
Ketiga gadis itu saling menatap penuh pengertian. Rasa senang Putri muncul ketika wanita tua itu mengatakan jika jodohnya adalah seseorang yang dia suka, namun rasa kesalnya tiba-tiba datang ketika dia mendengar jika sahabat orang yang dia sukai ternyata menghalangi kisah cintanya.
Lila menggenggam tangan Putri antusias. "Berarti selama ini Beni suka ama kamu, Put!"
Ya, seseorang yang Putri taksir selama ini adalah Beni. Ketua OSIS di sekolahnya.
Gina juga antusias, "Dan sahabat Beni yang suka kamu dan halangi Beni untuk mengutarakan perasaannya padamu adalah..."
Wajah Putri langsung menggelap saat satu nama terlintas di pikirannya. "Dion?" Ucap Putri datar.
Lila dan Gina mengangguk membenarkan tebakan Putri. Tiada murid di sekolah yang tidak tahu, jika Dion adalah sahabat terdekat Beni. Hingga hal seperti ini rasanya tidak perlu ditebak dengan susah payah.
Lila segera maju dan menyingkirkan Putri ke samping, "Ramal aku! Aku juga ingin tahu siapa jodohku!"
Wanita tua itu dengan malas kembali mengulangi ritualnya dan menjawab secara acak. "Lelaki yang terakhir kamu temui sebelum datang ke sini adalah jodohmu."
Bulu kuduk Lila merinding, tatapannya bergetar tak percaya. Sepasang pria yang menggunakan baju pasangan terlintas di pikirannya. Dia menggelengkan kepala tidak menerimanya. "Tidak mungkin." Ucapnya ketakutan.
Gina dan Putri memukul pelan bahu Lila dengan prihatin dan menarik mundur Lila. Kali ini giliran Gina yang maju dan wanita tua itu kembali mengulangi ritualnya. Wanita tua itu mengerutkan keningnya ketika tidak menemukan kelopak bunga di bawah meja. Persediaan kelopak bunganya telah habis.
Gina memperhatikan gerak gerik aneh wanita tua itu. "Ada apa?" Tanyanya dengan penasaran karena wanita tua itu tak kunjung melemparkannya kelopak bunga seperti yang dilakukannya pada Putri dan Lila.
Wanita tua itu berbatuk samar dan menjawab dengan suara rendah. "Kamu tidak bisa."
Ketiga gadis itu saling bertatapan tidak mengerti. "Kenapa tidak bisa?"
Dengan usaha keras, peramal itu mencari jawaban yang bagus dengan cepat. Dia melanjutkan ucapannya dengan suara serak yang mengerikan. "Jodohmu belum lahir."
"..."
Tiga gadis keluar dari tenda peramal dengan perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan. Mereka kembali berjalan-jalan mengelilingi pasar malam dengan perasaan yang hampa. Tiada di antara mereka yang mengeluarkan suara dan keheningan terus berlanjut hingga mereka pulang dari pasar malam.
Dalam pelajaran Sejarah, Putri menatap malas papan tulis dan menguap malas. Sebuah kertas yang telah diremukan, terlempar dan mendarat rapi di atas mejanya. Dengan lirikan, dia tahu yang melemparnya adalah Gina yang bangkunya ada di ujung paling belakang. Putri membuka kertas kusut tersebut dan membaca tulisan yang ada di atasnya. Tulisan tersebut hanyalah sebuah obrolan yang menggunakan nickname penulis di atasnya.
Lila Lagi Lapar :
Jangan percaya dengan ramalan semalam kawan-kawanku!
Gini-Gini Gina berGuna loh :
Benar, semua itu hanyalah kutukan! Kutukan.
Putri mengambil pena dan menulis di bawah catatan Gina dan Lila. Dia berpikir sejenak nickname gokil apa yang bagus dia gunakan.
Putriku bukan Putrimu :
Oh, aku percaya tuh.
Dia lebih memilih untuk percaya ramalan tersebut karena walaupun ada masalah dalam percintaannya, tapi kenyataan Beni menyukainya itu membuatnya tak bisa untuk tidak bahagia. Dia hanya perlu menyingkirkan Dion yang menghalangi kisah cintanya.
Putri meremas kembali kertas tersebut dan melemparnya ke Lila yang bangkunya berada diurutan ketiga dari depan dan dari samping kanan. Walau agak meleset sedikit, Lila mengambil kertas dan mengeluarkan penanya menulis sesuatu, lalu melemparkan kertas ke bangku paling belakang, bangku Gina
Setelah menulis balasan, Gina kembali melempar kertas ke meja Putri dengan tembakannya yang pas. Putri membuka kertas dan membaca pesan dengan seksama.
Lila Lebih Lucu :
Tidak! Semuanya bohong! Cowok gay itu bukan jodohku!
Gina Sang Kesatria :
Benar, Jodohku sudah lahir! Beni dan Dion tidak suka Putri!
Putri menatap tajam Gina yang menulis kata-kata terkutuk tersebut. Dia menulis di kertas tersebut dan melemparnya ke Lila. Lalu Lila menulis dan melemparnya ke Gina. Dan Gina kembali melemparkan kertas itu Putri.
Tuan Putri :
Bodo amat dengan Dion, yang penting Beni suka sama aku!
Lili Lala Lila :
Jangan terlalu banyak bermimpi, Put! Beni dan Dion itu tidak suka sama kamu. Mari kita bertiga melanjutkan kejombloan ini.
Ini Gina bukan Gila :
Hahaha Putri yang malang, lebih mending Dion lah daripada Beni. Lagi pula mereka berdua tidak mungkin suka sama kamu, berhenti bermimpi!
Sebelum Putri dapat menulis balasan untuk kedua sahabatnya itu, kertasnya sudah direbut oleh orang lain. Dengan kesal, Putri ingin mengambil kembali kertasnya dan hampir saja mengeluarkan kata-kata kasar. Namun, matanya segera melebar ketika dia melihat guru Sejarah menatapnya dengan sadis dibalik kacamatanya.
"Bu guru... Anu, itu... Bukan saya, Bu." Ucap Putri terbata-bata.
Guru Sejarah itu membaca kertas kusut itu dalam diam, membuat Putri, Gina, dan Lila menelan ludah kasar. "Oh, lalu siapa?"
Putri menunjuk ke arah Gina, "Gina Bu, yang lempar ke mejaku!"
Gina segera berdiri, "Bukan, Bu. Lila yang lempar duluan ke saya."
Lila juga ikut berdiri dan menggelengkan kepalanya. "Tidak, Bu. Ini ide Putri."
Gina mengangguk membenarkan ucapan Lila, "Iya, Bu. Ini ide Putri."
Dengan marah, Putri melotot pada Lila dan Gina. "Pembohong!"
Putri menatap takut-takut pada guru Sejarah yang menatapnya mencari penjelasan.
"Apa maksud tulisan ini?" Tanya guru Sejarah itu yang mungkin kebingungan dengan pesan mereka bertiga.
Putri dengan cepat menjawab, "Jodoh Lila gay, Bu!"
Lila, "... Bu-bukan, jodoh Gina belum lahir, Bu."
Gina tidak mau kalah dan berteriak, "Dion suka sama Putri, Bu"
"Beni! Bukan Dion!"
"Dion suka mati dengan Putri, Bu!"
"Iya, Bu. Katanya Dion tidak ingin berpisah selamanya dengan Putri."
"Omong kosong."
"Kalian bertiga berhenti!" Ucap guru Sejarah itu tegas. Dia menatap Gina, Putri, dan Lila dengan tajam. "Kalian bertiga benar-benar hebat! Setelah ini jangan pulang dan bersihkan perpustakaan."
Putri, Gina, dan Lila terduduk dengan perasaan tertekan. Perpustakaan baru saja dilakukan perbaikan, hingga sangat kotor di sana. Tiada seorang murid pun yang bersedia datang ke perpustakaan sekarang dengan cuma-cuma. Hingga ini hukuman yang sangat merepotkan.
Setelah bel pulang berbunyi, mereka bertiga dengan dorong-dorongan menuju ke perpustakaan. Saling menghina dan mengejek, hingga saling memukul kepala.
Setelah sampai ke perpustakaan, buku menumpuk di atas meja menyapa mereka. Rak-rak buku yang berdebu dan penuh sarang laba-laba sudah menjerit minta dibersihkan. Dengan enggan mereka mulai membersihkan perpustakaan.
Penjaga perpustakaan melihat mereka dan mengangguk penuh pujian. Dia meletakan buku-buku ke atas meja hingga menambah tumpukan. "Setelah raknya dibersihkan, simpan buku-buku ini kembali ke rak sesuai dengan nomornya."
Putri, Gina, dan Lila bergumam malas dan tinggalah mereka bertiga di perpustakaan. Putri duduk di atas meja dengan malas. "Cuma lihat tumpukan buku-buku sudah buat aku capek. Kalian aja deh yang lanjutin."
Gina melemparkan kemoceng ke kepala Putri, "Enak aja, bersihkan sana!"
Putri melempar kemoceng ke arah Lila, "Kamu kan anak rumahan, pasti sering membersihkan. Kamu saja!"
Lila menolak dan melempar kemoceng ke Gina. Tetapi Gina malah mengangkat ponselnya dan tidak menangkap kemoceng itu hingga mendarat di kepalanya. Dia segera melotot marah kepada Lila. "Ayahku nelpon, diam dulu!"
Putri dan Lila serentak mengangguk mengerti. Gina mendengar suara Ayahnya dari ponsel dengan penuh perhatian dan menjawab seadanya.
"Apa? ... Agak lambat ... Dihukum ... Karena Putri dan Lila ... Tidak, tidak, mereka tidak sengaja merobek buku tugasku ... Cuma masalah kecil doang ... Iya, iya ... Oke ... Iyaaa ... Iyaaa Ayah! ... Um." Lalu Gina dengan kejam mematikan sambungan telepon dari ayahnya yang protektif itu.
Di hadapannya, Putri dan Lila menatap tajam dengan senjata buku di tangan mereka.
Putri dengan marah memukul buku ke kepala Gina hingga membuat Gina berseru kesakitan. "Enak ya jual nama kami?"
Lila juga memukul buku ke tangan Gina, "Sekarang bagaimana saya punya muka datang ke rumahmu?"
Gina tertawa garing dan berusaha menenangkan amarah sahabatnya. Dia berkata dengan menyedihkan, "Kalau tidak begini, aku bakal dimarah. Sekali-kali berkorbanlah demi sahabat."
Putri memukul Gina berturut-turut, "Sudah berapa banyak aku berkorban untuk kalian."
Gina dengan cekatan menghindar dan menjauh dari Lila dan Putri. "Kali ini kalian berkorban lagi, ya! Ayah sudah menunggu di depan gerbang. Semangat sahabatku!"
Dengan cepat, Gina lari keluar perpustakaan meninggalkan Lila dan Putri dengan amarah. Hingga mau tak mau Lila dan Putri kembali bekerja dengan malas.
"Woi, jodohnya gay! Kamu bersihin di sana!" Teriak Putri kesal.
Lila menatap Putri dengan tajam, "Iya, jodohnya Dion."
"..."
"..."
Akhirnya Putri dan Lila membersihkan perpustakaan dengan pasrah dan terus mengutuk Gina yang sedang bersantai-santai di kamar sambil memakan cemilan dan membaca novel. Sambil membaca novel, Gina tertawa geli memikirkan tentang Putri dan Lila yang sedang membersihkan perpustakaan. Kenyataannya, ayahnya belum menelpon hari ini karena sibuk dengan pekerjaannya.
Dion baru saja duduk di bangkunya dan meletakkan tasnya ke atas meja. Beni yang duduk di depannya langsung berbalik dan menatapnya dengan penuh selidik.
"Sekarang gitu ya, main rahasia-rahasiaan." Ucap Beni dengan sedikit nada asam.
Dion mengangkat alisnya tidak mengerti, "Rahasia apaan?"
"Semua orang juga sudah tahu kali, kamu suka Putri anak kelas IPA 2 itu." Ucap Beni menyampaikan gosip yang baru saja didengarnya saat baru saja tiba ke sekolah. Sebagai Ketua OSIS yang berperan penting di sekolah, membuat Beni menjadi orang tercepat dalam menerima dan menyebarkan gosip.
Dion menatap Beni datar, "Putri mana?" Dia bertanya dengan heran.
Beni menatap Dion takjub, "Kamu bahkan tidak kenal sama cewek yang kamu sukai? Gila!"
Dion mengangkat tangannya untuk menghentikan sifat agresif Beni, "Dan siapa yang mengatakan aku suka sama si Putri ini?"
Dengan tampang keren, Beni menegakkan tubuhnya dan cahaya melintas di matanya. "Menurutmu, gosip apa yang bisa lepas dariku? Jangan mengelak, anak XI IPA 2 sudah menyebarkan berita ini ke seluruh pejuru sekolah."
Dion menatap Beni dengan serius, dia sungguh tidak mengenal murid yang bernama Putri ini. Bahkan dia sendiri tidak tahu siapa yang dia sukai saat ini, kenapa bisa orang lain menebak isi hatinya? Lelucon macam apa ini!
"Aku tidak mengerti apa-apa. Berhenti bicara!" Ucap Dion dan mengabaikan sahabatnya itu. Dia selalu merasa Beni memiliki sedikit gangguan jiwa yang membuatnya tergila-gila dengan gosip.
Di kelas lain, tiga murid perempuan menulikan telinga dari suara-suara di sekitar. Gosip murahan terus saja menghantui mereka sejak masuk ke pintu gerbang. Mulai dari gosip Dion menyukai Putri, pacar Lila direbut lelaki lain, sampai Gina seorang pedofil terus saja menyebar.
Mereka bertiga berkumpul di pojok kelas dan menatap tajam satu sama lain. Ingin menyalahkan mulut ember masing-masing tapi akhirnya menghela nafas panjang dan pasrah. Lila yang paling merasa kesal, gosip tentang pacarnya direbut lelaki lain membuatnya merasa gagal sebagai wanita. Lagi pula di antara mereka bertiga, tiada satupun yang pernah berpacaran.
"Sejak kapan kalimat jodohku yang belum lahir berubah menjadi gosip bahwa aku seorang pedofil?" Tanya Gina dengan takjub pada perkembangan gosip dari sebuah kalimat yang begitu hebat.
Lila terlihat cemberut. "Lalu kenapa aku harus terkait dengan gay? Kenapa harus gay? Apakah lelaki gay lebih cantik dari aku?" Tanyanya frustrasi.
Putri dan Gina saling memandang lalu mengangguk bersamaan.
"Kalian!" Geram Lila.
Setelah perbincangan mengenai gosip mereka, bel masuk dengan cepat berdering dan membubarkan beberapa kelompok gosip. Pelajaran Matematika yang penuh lika liku berlangsung begitu damai dan penuh tekanan. Hingga bel istirahat membuat para murid menghela nafas lega.
Putri, Gina, dan Lila berjalan menuju ke kantin. Mereka makan bersama dan terus membahas seribu topik tanpa henti. Mulai dari topik kecelakaan lalu lintas sampai ke topik bang Jali akan menikah minggu depan. Setelah makan nasi kuning, Putri membeli empat permen kaki dan memberikan satu-satu kepada Lila dan Gina, menyimpan satu di sakunya dan membuka yang lain untuk dihisap.
Melewati kelas XI IPA 5, Mata Putri melirik ke pintu untuk mencari sosok Beni. Sebuah tepukan keras di bahunya membuatnya berdecih kesal dan menatap Gina marah. "Sakit tau!"
"Cowokmu tuh!" Ujar Gina yang membuat Putri menoleh ke depan. Dia melihat Dion sedang duduk di bangku panjang sambil memainkan ponsel genggamnya. Matanya langsung menatap tajam ke arah sosok itu.
Dia menarik Gina dan Lila untuk berjalan cepat melewati Dion, berharap Dion tidak melihatnya. Namun sebuah suara menghentikan langkahnya. "Eh, tunggu!"
Putri menoleh ke belakang dan mendapati Dion sedang berdiri menatap lurus ke arahnya. Putri dengan cepat berpaling dan menambah kecepatan kakinya.
"Sial, dia melihatku!" Gerutu Putri dan mengabaikan suara seruan dari belakang.
Di belakang mereka, Dion menatap heran ke tiga siswi yang berjalan cepat seolah ingin menghindar darinya. "Mereka kenapa?" Tanya Dion bingung.
Beni baru saja keluar dari kelas dan menghampiri Dion. Dia mendengar ucapan Dion dan menoleh ke arah depan untuk melihat tiga murid yang sedang berjalan setengah berlari. Dia memukul pundak Dion dengan semangat. "Dia Putri, On! Oon, dia Putri yang aku cerita tadi!"
Dion melangkah ke samping menghindar dari pukulan Beni. "Jangan memanggilku begitu!" Tegasnya lalu menoleh ke tiga siswi itu. "Yang mana Putri?"
Beni menunjuk ke siswi yang menarik dua siswi lainnya. "Yang di tengah!" Ucapnya antusias.
Dion mengerutkan keningnya heran, "Lalu kenapa dia menghindar waktu aku panggil?" Matanya menuju ke permen kaki yang ada di tangannya. Padahal dia hanya berniat baik untuk mengembalikan permen kaki yang jatuh ke lantai.
Di kelas XI IPA 2, Putri, Lila, dan Gina terengah-engah kelelahan di pojok kelas. Mereka terduduk tak berdaya sambil menetralkan kembali nafas mereka.
Putri menatap kedua temannya dengan serius. "Kalian berdua lihat, kan! Dia memanggilku! Dia pasti ingin mendekatiku atau tidak..." Mata Putri melebar. "Jangan-jangan dia mau menembakku!"
Gina menutup mulut Putri, "Seberapa banyak rasa percaya diri yang kamu punya? Mungkin saja dia memanggilmu karena sesuatu yang penting."
Lila mengangguk, "Seperti nagih utang."
Dengan kesal, Putri memukul kepala Lila. "Yang sering ngutang itu kamu! Jangan samain aku sama kamu!"
Kemudian, Putri kembali berpikir keras dan penuh pertimbangan. "Ini bahaya." Gumamnya.
Gina dan Lila memajukan tubuhnya dengan rasa penasaran. "Apanya yang berbahaya?"
Mata Putri menatap Gina dan Lila bergantian. "Jika Dion benar-benar mengatakan cintanya padaku, maka kesempatan Beni untuk mengutarakan perasaannya padaku menjadi sangat kecil. Ini tidak boleh terjadi! Aku hanya punya dua pilihan."
"Pilihan apa?" Tanya Gina.
"Pilihan pertama, aku harus membunuh Dion dan membuatnya lenyap dari dunia. Dengan begitu, tiada lagi yang akan menghalangiku dan Beni bersatu. Tapi ini memiliki resiko yang besar, aku bukan hanya bisa masuk penjara, aku juga akan masuk neraka."
Lila dan Gina menatap Putri dengan tatapan orang-ini-bodoh-ya. Jelas saja, Putri hanya bercanda saat mengatakan itu. Jangankan membunuh orang, dia bahkan akan menjerit keras ketika melihat kecowa mati. Hingga mereka hanya fokus pada pilihan yang kedua.
"Lalu apa pilihan keduamu?" Tanya Lila dengan penasaran.
Tatapan Putri penuh misterius, senyum kejam muncul di bibirnya. Dia berkata dengan nada seorang antagonis dari sebuah cerita. "Jika aku tidak bisa untuk membunuh tubuhnya, maka aku akan membunuh perasaannya. HAHAHAHAHAHA—"
Plak
Gina dan Lila memukul kepala Putri menyadarkannya. "Kerasukan nih orang."
Putri menatap kesal kedua sahabatnya dan melanjutkan ucapannya. "Maksudku, aku akan membuat Dion untuk tidak suka lagi padaku."
Lila mengerutkan keningnya, "Bagaimana caranya?"
Putri menatap Lila datar, "... Aku belum memikirkannya."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!