"Assalamu'alaikum. Hai, halo, annyeong, Teman-Teman. Cerita ini merupakan lanjutan dari novelku sebelumnya yang berjudul 'Jarak Antara Dua Hati', aku sarankan baiknya kalian baca novel tersebut sebelum lanjut baca yang ini. Supaya lebih paham dan feel-nya lebih terasa di hati kalian. Tapi kalau mau langsung baca cerita yang ini juga boleh. Tidak masalah! Jadi, selamat membaca!"
...🌼🌼🌼...
Hari yang suram untuk pria yang malang, Zoe Mafarulls. Ini adalah hari yang paling bersejarah untuknya, penolakan yang dilontarkan Shena beberapa saat lalu membuat Zoe sangat terpukul. Shena pergi bersama Harry menuju bandara, meninggalkan Zoe di kafe seorang diri, berbalut nyeri.
Akan tetapi, tanpa diduga-duga. Di tengah perjalanan Shena dan Harry mengalami kecelakaan tragis, hingga membuat semua korban meninggal seketika, kecuali Shena. Gadis cantik berusia 28 tahun itu dinyatakan koma karena mengalami cedera parah di otaknya.
Hari itu, tepat ketika Shena dan Harry meninggalkan kafe, Kota Jakarta tengah diguyur hujan yang sangat deras, jalanan yang licin, banjir di mana-mana, serta petir yang sesekali menyambar.
Niat hati ingin pergi jauh untuk melupakan sejuta kenangan bersama laki-laki yang selalu menggores luka di hatinya, malah berujung duka dan petaka yang tak pernah ia sangka-sangka.
Zoe Mafarulls berdiri di luar ruang ICU, menatap kosong ke arah pintu yang tertutup rapat. Sudah 3 tahun berlalu kecelakaan itu terjadi, tapi ia masih belum bisa mempercayai bahwa Shena, gadis yang ia cintai kini berada di dalam sana dalam kondisi koma. Berbagai alat bantu pernapasan pun turut menghiasi tubuh lemah sang gadis yang masih setia berbaring di sana.
Raungannya masih terngiang di telinga Zoe. Ia masih bisa merasakan sakit yang terpancar dari suaranya. Zoe teramat tahu bahwa dalam situasi seperti ini, ia harus siap kehilangan Shena untuk selamanya, kapan pun itu. Namun, di tengah rasa putus asa yang dirasakannya, jauh di dalam lubuk hatinya ia berharap suatu hari nanti, Shena akan bangun dari tidur panjangnya dan kembali sehat seperti sedia kala.
"Bertahanlah, Sayang! Aku selalu di sini nunggu kamu. Bangun, ya, cantikku," lirih Zoe dengan jemari yang mengusap kaca tebal di hadapannya. Berharap Shena bisa merasakan betapa ia sangat merindukan gadis itu. Lama ia berdiri memandang sang kekasih hati, setelah puas Zoe pun kembali duduk di kursi tunggu yang ada di sampingnya.
Tak lama berselang, seseorang datang dan menyentuh bahu Zoe, membuat pria itu tersentak sebab masih larut dalam lamunan. Ia menoleh dan mendapati sang ibu berdiri di sampingnya.
"Boleh Mama ikut duduk?" tanya mama Amelia, ibunda Zoe yang usianya sudah tak muda lagi, namun aura yang terpancar dari dalam dirinya membuat wanita berusia hampir menginjak angka 48 tahun itu tetap terlihat cantik natural, meski sudah dihiasi keriput-keriput halus di beberapa bagian.
Zoe mengangguk. Mama Amelia pun duduk di sampingnya dan menatap wajah lelah sang putra dengan penuh perhatian.
"Kamu udah makan?" tanya Mama Amelia lembut. Zoe tak menjawab, laki-laki yang penampilannya kini jauh lebih dewasa itu hanya menggelang pelan. Bulu-bulu halus yang menghiasi rahang tajamnya menambah kesan maskulin bagi sang pewaris tunggal dari Mafarulls Grup yang kini berganti jadi MZ Company.
Kharisma Zoe semakin kuat dengan kepribadiannya yang kini berubah total, Zoe yang dulu dikenal sebagai seorang playboy profesional dengan sikapnya yang ceria dan nyeleneh, kini berubah kaku nan dingin. Zoe menjelma menjadi pria angkuh dan tak mudah disentuh.
"Makanlah, Zoe! Mama tahu betul bagaimana perasaan kamu, semua orang khawatir dan mengharapkan kesembuhan Shena. Tapi, kamu juga harus pedulikan kesehatanmu juga."
"Aku tahu."
"Setidaknya demi Mama," sambung Mama Amelia penuh harap. Sebagai seorang ibu, ia tentu sangat sedih dengan kondisi putranya. Selain menemani Shena dengan cara memandangnya lekat-lekat seperti tadi, yang Zoe lakukan hanya menghabiskan waktunya untuk bekerja, mengurus dan memimpin perusahaan hingga lebih maju pesat dan berkembang dari waktu ke waktu.
Tak ada waktu bagi Zoe memperhatikan dirinya sendiri, terutama mengenai hatinya yang sampai saat ini kukuh terpaut pada sosok Shena yang entah akan kembali ataukah pergi. Tak ada lagi nuansa romansa di hidup Zoe, hasrat cinta itu sudah hilang digantikan oleh rasa duka yang mendalam.
"Mama tahu kamu laki-laki yang kuat, ini semua sudah menjadi takdirmu, Zoe. Jangan seperti ini terus! Berlapangdadalah, hem. Masa depanmu masih panjang. Mama juga tahu ini sangat sulit bagi kamu, begitupun Mama dan juga keluarga kita yang lainnya, terutama kakak-kakaknya Shena. Luka dan sedih itu bukan cuma milik kamu sendiri, Zoe." Mama Amelia terus memberi kalimat penyemangat bagi sang putra, ia tidak ingin putra satu-satunya itu memiliki predikat bujang lapuk dengan kesan memprihatinkan.
"Hemm, aku baik-baik aja," sahut Zoe singkat. Ia tahu betul ke mana arah pembicaraan sang ibu. Jika dahulu Mama Amelia begitu kukuh ingin sang putra dan Shena berjodoh, kali ini ia berharap Zoe bisa menemukan gadis lain yang bisa meluluhkan perasaannya; memberi rasa nyaman, serta perhatian dan merawat Zoe.
Akan tetapi, siapakah wanita yang mau dengan sukarela mengisi kekosongan yang sejatinya menolak diisi itu? Zoe benar-bebar menutup hatinya pada wanita mana pun. Hatinya hanya milik Shena Morghia seorang. Jika dulu laki-laki itu berhasil mengalahkan traumanya dari dikhianati sang kekasih, mungkinkah kali ini Zoe juga bisa lepas dari kesetiaan dan rindu yang membelenggu dirinya terhadap Shena?
"Ya udah, kalau gitu ayo kita pulang! Udah sore," ajak Mama Amelia seraya berdiri.
Seharian di rumah sakit nyatanya bisa sedikit memperbaiki perasaan Zoe yang selalu saja gundah. Ia dan sang ibu akhirnya memutuskan untuk pulang dan beristirahat. Sepanjang perjalanan, Zoe hanya terus diam, menikmati suasana sore menjelang petang ini dan membiarkan sopir kepercayaannya memacu kendaraan beroda empat itu.
Mobil yang ditumpangi Zoe dan sang ibu, kini telah sampai di area perumahan mewah yang didominasi oleh cat berwarna putih tulang, rumah-rumah besar tinggi menjulang bergaya eropa itu berjejer rapi dihiasi pelataran luas yang dipenuhi tanaman hias, juga air mancur. Salah satunya adalah rumah milik keluarga Mafarulls.
"Mama masuk duluan aja, aku harus kembali ke kantor," kata Zoe setelag ia membuka pintu mobil untuk sang ibu.
Mama Amelia sempat berdecak kesal dengan apa yang putranya ucapkan. Tak bisakah laki-laki yang sedang bucin pekerjaanya itu beristirahat sejenak di rumah? Bukan urusan kantor melulu yang dipedulikan.
"Sebelum jam 9 malam aku pasti udah pulang," kata Zoe lagi yang mengerti dengan diamnya sang ibu, Mama Amelia pasti tidak suka dengan keputusannya.
Mendengar hal itu, barulah Mama Amelia mau bergerak dan keluar dari dalam mobil. "Lewat jam 9 kamu belum pulang juga, mama bakar perusahaan kita!" berang Mama Amelia lantaran terlalu gemas pada kelakuan putranya.
"Hem, bakar aja."
Mama Amelia semakin kesal mendengar jawaban bernada tenang dari putranya itu, Zoe sepertinya tahu, mana mungkin ia benar-benar ingin membakar perusahaan yang sudah menjadi ladang penghasilan dan bekal hidup untuk keluarga mereka.
"Mama serius lho, Zoe!"
"Hemm, iyaaa."
Zoe langsung masuk kembali ke dalam mobilnya di bagian belakang, samar-sama telinga Zoe masih menangkap suara Mama Amelia yang terus mengoceh di luar sana. Mobil terus melaju, meninggalkan halaman rumah mewah itu.
Mentari mulai condong ke barat seolah ingin mengucapkan selamat tinggal pada hari yang telah berlalu. Burung-burung mulai pulang ke sarang seolah ingin beristirahat setelah seharian beraktivitas. Angin sepoi-sepoi pun berhembus mengusap wajah datar Zoe yang kini merenung di rooftop gedung kantor miliknya, seolah mengajak semua makhluk untuk bersantai dan kembali ke peraduan.
"Dulu dengan sekuat tenaga aku mendorongmu dari kehidupanku, Sayang. Menyakiti kamu dengan cara yang paling menyakitkan, sampai kamu memutuskan untuk ninggalin laki-laki bajingan sepertiku dan pergi dengan yang lain." Kepala Zoe menengadah, menatap kosong jauh ke sana.
"Andai benar kamu pergi dan hidup bahagia, mungkin aja bisa aku relakan. Tapi, kenapa semuanya jadi begini? Kembalilah, kumohon maafkan aku. Aku merindukanmu, putri tidurku."
Gelapnya malam menyelimuti kota metropolitan ini seperti kain sutra hitam yang lembut, jalan-jalan tampak lengang seolah sedang tertidur pulas. Dari kejauhan, seseorang berjalan sendirian di trotoar terlihat seperti sedang melamun. Seakan raga dan jiwanya tak berada di tempat yang sama.
Sayup-sayup suara kendaraan yang melintas terdengar di kejauhan sana, melewati area pertokoan dan restoran yang lampu-lampunya menyala, namun tampak redup dan temaram.
Zoe Mafarulls mengepulkan asap rokok terakhirnya, kemudian membuang puntung rokok tersebut ke sebuah selokan kecil yang berada di sampingnya. Setelah itu, ia masuk ke dalam mobil dan menjalankan kendaraan tersebut menuju rumah orang tuanya. Menikmati waktu sendirian seperti itu memang sudah menjadi kebiasaan baru bagi Zoe sejak 3 tahun ke belakang, janji pulang kantor sebelum jam 9 malam pada sang ibu nyatanya hanya di mulut saja. Zoe malah luntang-lantung di pinggir jalan menikmati udara malam di jam 1 dini hari.
Sebenarnya, apa alasan Zoe menjadi seperti ini? Hingga hidupnya terasa kosong meski sudah bergelimang harta sekalipun. Zoe Mafarulls sukses besar memimpin perusahaan yang bergerak di bidang properti, kuliner, teknologi, perhotelan dan juga pariwisata. Menggantikan posisi sang ayah yang kini sudah pensiun. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan MZ Company berhasil masuk ke jajaran perusahaan paling berpengaruh se-Indonesia. Zoe berhasil meraih berbagai penghargaan, termasuk penghargaan 'Presiden Direktur Terbaik' dari majalah Forbes.
Sesampainya di rumah, Zoe langsung merebahkan dirinya ke atas kasur tanpa berganti pakaian. Rasanya terlalu lelah walau hanya sekadar mengambil pakaian ganti saja. Matanya menerawang, menatap langit-langit kamar miliknya yang didominasi warna monokrom, sangat mewakili hatinya yang abu-abu gelap tanpa adanya warna lain yang menghiasinya.
"Aku gak punya perasaan apa-apa sama kamu, Na. Sampai kamu menangis darah sekalipun, gak tahu kenapa aku gak merasa iba sedikitpun."
"Cinta itu gak bisa dipaksain, Shena. Aku cuma bisa anggap kamu sebagai sahabat, gak lebih!"
"Kumohon ..., pikirkan sekali lagi, Zoe!"
Isakan kecil lolos begitu saja dari mulut seorang Zoe Mafarulls saat ingatannya kembali ke masa lalu, saat ia menolak mentah-mentah ketulusan cinta dari sahabatnya sendiri, Shena Morghia. Namun, ketika ia menyadari perasaannya sendiri, Shena malah terlanjur memilih laki-laki lain.
Nasi sudah menjadi bubur, waktu yang telah berlalu penuh kepiluan serta penyesalan mendalam itu kini tak lagi bisa diubahnya. Zoe juga tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu.
"Maafin aku, Na. Kumohon ... bangun dan berhenti menghukumku dengan cara seperti ini!" Air mata Zoe mengalir dari sudut matanya yang ditutup oleh lengannya sendiri. Mulutnya sedikit menganga lantaran dadanya mulai merasa sesak. Ini sangat menyakitkan.
Banyak orang mengatakan bahwa waktu adalah obat. Akan tetapi, bagaimana dengan Zoe? Bahkan setelah 3 tahun lamanya, Zoe tidak mampu membiasakan diri tanpa adanya gadis itu menemani hari-harinya, merecoki kegiatannya dan mengomeli dirinya ketika Zoe melakukan kesalahan. Zoe benar-benar sangat merindukan semua itu dari Shena.
"Aku mencintaimu, Shena. Jika memang dengan membuatku tersiksa hingga sesakit ini membuatmu bahagia, maka lakukanlah, Sayang! Sepuas dirimu."
...*...
...*...
"Zoe, udah berapa kali Mama ingetin kamu. Pedulikan dulu dirimu sendiri, baru setelah itu orang lain. Kalau kamu begini terus lama-lama Mama jengah, Zoe!" sungut Mama Amelia ketika mendapati sang putra tengah bersiap di kamarnya. Saking sudah tidak tahannya, ibunda dari Zoe itu langsung menerobos masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia sudah sangat kesal lantaran perkataannya seperti dianggap angin lalu oleh sang putra.
Tak ada jawaban dari Zoe, Mama Amelia pun kembali bersuara, "Sekarang Mama tanya, mau sampai kapan kamu pulang larut malam gak jelas begitu, hem?"
Zoe tetaplah Zoe, ia masih tetap diam seraya memasang dasi yang berwarna senada dengan kemeja hitam yang ia kenakan. Bagi Zoe, omelan sang ibu sudah seperti musik penghantar ketika ia sedang bersiap. Situasi seperti ini hampir setiap pagi dialaminya, apa lagi kalau bukan karena ia selalu pulang malam tanpa alasan yang jelas. Tidak lembur bekerja, tidak ada tugas luar kota, atau hal-hal penting lainnya.
Zoe hanya keluar malam berjalan-jalan tidak jelas dengan alasan menghilangkan rasa penat setelah duduk berjam-jam di meja kerjanya. Padahal, pekerjaannya tidak sedang mengharuskan Zoe untuk lembur hingga larut malam, sekalipun begitu, ia memiliki kaki tangan yang dapat diandalkannya.
"Zoe laper, Ma. Ayo kita turun ke bawah!" ucap Zoe lembut ketika mendekati sang ibu yang masih berdiri menyilangkan tangannya di dada.
"Kamu tahu kan, Zoe. Mama begini karena sayang dan peduli sama kamu. Kamu itu anak satu-satunya Mama, kalau kamu sampai kenapa-napa bisa gak waras mamamu ini!"
Tak mempan dengan kata-kata, Zoe segera memeluk sang ibu berharap bisa menenangkannya. Kalau sudah mengomel panjang kali lebar seperti ini, sang ibu memang agak susah untuk dibuat berhenti.
"Hem, aku tahu." Zoe mengusap kedua bahu Mama Amelia, kemudian melepas pelukannya.
"Sebelum ke kantor, Mama mau minta tolong, bisa kan, Zoe?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, tanpa curiga Zoe pun tentu langsung mengiyakan.
"Mulai hari ini tolong kamu antar-jemput Erlita, ya! Kasihan dia, Zoe. Kalau pagi sering kesiangan karena harus nunggu angkutan umum ke rumah sakit, kalau naik taksi tiap hari ya dia pasti keberatan dengan biaya ongkosnya yang mahal, bisa berkurang nanti jatah bulanan buat dia kirim ke keluarganya di kampung. Belum lagi kalau pas pulang malam, anak gadis gak boleh dibiarin sendirian, Zoe."
Kedua tangan Zoe yang semula berada di bahu sang ibu perlahan turun dan mengepal tanpa Zoe sadari.
"Kenapa harus aku?" Hanya itu yang bisa Zoe lontarkan setelah beberapa saat sempat terdiam.
"Kamu lupa, Erlita itu tanggung jawab kita, Zoe. Kalau ada apa-apa sama dia kan kita juga yang repot. Dia juga udah banyak berjasa sama kita, terutama sama keluarga Shena."
Mendengar penuturan sang ibu, akhirnya Zoe pun hanya bisa mengangguk menyetujuinya. Ia masih belum bisa berkata-kata. Tentu Zoe juga peduli terhadap Erlita, sebab dia sendirilah yang mempekerjakan wanita itu untuk merawat gadis yang dicintainya. Akan tetapi, selama ini ia dan Erlita belum pernah berurusan secara langsung. Namun, sepertinya hubungan gadis itu telah cukup dekat dengan sang ibu tanpa sepengetahuan dirinya.
Beberapa kali Zoe dan Erlita berpapasan ketika ia menjenguk Shena di rumah sakit, dan Zoe hanya menjawab singkat saja saat gadis itu coba menyapanya. Bukan apa-apa, Zoe melakukan itu karena tidak ingin disalahpahami oleh sang ibu. Sebab dalam beberapa kesempatan, Mama Amelia cukup sering membahas gadis berlesung pipi itu di hadapannya. Tanpa diperjelas pun Zoe mengerti ke mana arah pembicaraan ibunya tersebut.
"Untuk hari ini aja, aku akan turuti keinginan Mama jemput gadis itu. Tapi tidak dengan setiap hari! Aku mampu mempekerjakan seseorang untuk jadi sopir gadis kesayangan Mama yang baru," ujar Zoe tak ingin dibantah.
Kata-kata Zoe barusan sebetulnya cukup menyindir sang ibu yang dulu selalu membanggakan sosok Shena, seolah tak ada satu pun gadis di dunia ini yang pantas mendampingi sang putra, selain Shena. Namun kini Zoe sadar ibundanya itu sudah berubah pikiran. Entah karena lelah dengan keadaan Shena yang tidak ada perubahan, ataukah memang hatinya sudah lain haluan.
Meski begitu, sungguh tak mudah bagi Zoe untuk menggantikan posisi Shena di hatinya oleh siapa pun. Hanya membayangkannya saja, Zoe sama sekali tidak sanggup.
Cinta yang kumiliki untuknya seperti lautan yang luas dan tanpa batas, aku tenggelam di dalamnya tanpa bisa menemukan tepi. Berjuta kali aku mencoba berenang untuk menepikan diri, namun lagi-lagi tubuhku terseret lalu terbawa arus.
"Gak bisa gitu dong, Zoe. Mama udah terlanjur bilang sama Erlita kalau mulai hari ini kamu yang akan antar-jemput dia ke rumah sakit. Lagian apa susahnya, sih?" Mama Amelia masih belum selesai dengan ketidakpuasannya akan jawaban sang putra. Bukan itu yang ia inginkan. Wanita paruh baya itu jelas melakukan itu semua agar Erlita bisa memiliki kesempatan lebih untuk mendekati Zoe.
Rencana ini bahkan sudah jauh-jauh hari Mama Amelia atur, maka dari itu ia tak terima kalau semuanya jadi berantakan hanya karena Zoe masih belum ingin memberi kesempatan pada wanita mana pun. Mau sampai kapan ia menunggu memiliki menantu? Usianya sudah tak lagi muda, saudara-sadarnya yang lain bahkan sudah memiliki cucu. Dan Mama Amelia juga ingin seperti mereka.
Jika dulu Zoe mudah terpancing emosi ketika tengah berdebat dengan sang ibu, berbeda dengan sekarang, laki-laki berusia 34 tahun itu lebih memilih untuk banyak-banyak mengalah. Sekalipun menjawab, ia akan berusaha tetap menjaga nada bicaranya selembut mungkin agar tidak menyinggung perasaan ibunya.
"Cukup, Ma. Kita bahas lain kali aja, ya," kata Zoe seraya menghentikan langkahnya sebentar sebelum benar-benar sampai ke ruang makan kemudian dilanjutkan. Laki-laki itu sudah siap dengan jas dan juga tas kerjanya yang ia jinjing di sebelah kanan. Ia pun menyimpan di kursi kosong kemudian duduk di kursi lain di sampingnya.
"Kapan? Kayak kamu sering ada di rumah aja. Kamu tuh kalau nggak di kantor, ya di rumah sakit nemenin Shena!" Mama Amelia menyusul sang putra dan ikut duduk juga, tepatnya di samping sang suami.
Sejujurnya, Zoe tidak nyaman tinggal kembali di rumah orang tuanya. Ia lebih senang tinggal sendirian di apartemennya yang dulu, menikmati kesendirian dan kekosongannya. Akan tetapi, setelah kejadian nahas yang menimpa Shena kala itu, Zoe tak lagi diizinkan tinggal sendiri oleh orang tuanya. Semua orang khawatir jika laki-laki itu akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan jika dibiarkan begitu saja dalam keadaan hatinya yang kacau.
"Mama kok gak ada capek-capeknya, sih. Putra kita itu udah bukan anak kecil lagi, Zoe udah dewasa, Ma. Udah tua malah," timpal papa Zoe, Ruly Mafarulls. Rupanya pria baya yang kondisinya sudah tidak sebugar dulu itu sudah gemas dengan perdebatan ibu dan anak yang tak kunjung selesai sejak tadi.
"Harusnya Papa itu dukung Mama, biar kita cepet punya menantu. Mbak Denna malah udah punya cucu, Elios aja anaknya udah berusia 4 tahunan, bentar lagi juga mau punya adek."
Dalam kehidupan Zoe tidak banyak yang berubah memang. Selain perasaannya yang semakin kuat terhadap Shena, hari-harinya bisa dikatakan monoton dan membosankan. Jauh berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Seperti yang dikatakan ibundanya, Elios sedang menanti buah hatinya yang kedua, Kriss telah menikah dengan kekasihnya yang dulu sempat berpisah. Kemudian Adam yang telah memiliki 2 istri. Zeo merasa ditinggalkan dunia dan hanya dirinya sendiri yang selalu ditemani sepi. Waktunya ia dedikasikan semata-mata untuk mencintai Shena seorang, juga bekerja di perusahaan.
"Udahlah, Ma. Gak baik ngomel-ngomel di meja makan!" tegur Papa Ruly pada istrinya.
"Aku jalan sekarang, Ma, Pa!" pamit Zoe beranjak dari kursi setelah ia menghabiskan sarapannya. Setelah pamitan ia pun pergi dari sana.
"Ingat, ya, Zoe. Jemput Erlita dulu! Kamu udah ada nomornya dia, kan? Kalau ada apa-apa kamu bisa langsung menghubunginya, takutnya Erli udah nunggu lama." Mama Amelia setengah berteriak, sebab sang putra sudah berjalan jauh meninggalkan ruang makan.
...*...
...*...
Seperti yang sebelumnya sang ibu minta, Zoe akhirnya melajukan kendaraannya ke sebuah halte bus sesuai yang Erlita katakan melalui pesan singkat beberapa saat sebelum Zoe berangkat tadi. Erlita minta dijemput di pinggir jalan lantaran untuk menuju rumah kontrakannya harus melalu gang sempit.
Ketika Zoe tengah fokus berkendara, tiba-tiba saja sudut bibirnya tertarik ke atas, kalau saja Shena tahu ia akan menjemput gadis lain, ia pasti akan marah-marah tidak jelas dan berujung ngambek seperti biasa.
Kalau sudah begitu, biasanya Zoe akan membujuk gadisnya itu dengan berbagai makanan enak yang ia beli kemudian dinikmati bersama di apartemen Shena, atau mengajaknya jalan-jalan keluar seperti nonton bioskop, makan di luar, atau hanya sekadar berkeliling saja. Maka dengan cepat moodnya Shena akan kembali membaik, dan akhirnya mereka berbaikan. Kini Zoe sadar, sungguh hal sesederhana itu saja ternyata bisa memberi gadis itu kebahagiaan.
Memikirkan hal itu, seketika wajah Zoe berubah muram, senyum getir kini mulai menghiasi bibirnya yang semula sempat tersenyum cerah.
"Wanita itu harusnya disayang, Zoe. Bukan dijadikan objek yang bisa seenaknya kamu mainkan! Itu namanya brengsek!" gerutu Shena kala itu.
Zoe tertawa hambar, semua kenangan di masa lalu tentang Shena rasanya cukup untuk menyadarkan seberapa buruknya ia kala itu memperlakukan sang gadis. Ah, ini benar-benar menyiksa.
Mobil terus melaju. Dari kejauhan, Zoe melihat sosok seorang gadis mengenakan seragam perawat rumah sakit berwarna hijau tosca, rambutnya diikat rapi ke atas dan menenteng sebuah totebag berwarna coklat terang tengah berdiri di pinggir jalan seraya sesekali melihat ke arah layar ponsel yang digenggamnya.
Erlita Bramaswara, gadis kelahiran Manado berusia 24 tahun, bekerja di Rumah Sakit Merah Putih sebagai perawat. Bukan tanpa alasan Zoe mempekerjakan gadis itu khusus merawat Shena selama 3 tahun ini, dari teman sang ibu-lah ia mendapat rekomendasi lantaran Erlita berpengalaman merawat salah satu kerabat dari teman ibunya hingga benar-benar pulih. Gadis itu juga memiliki pendidikan dan juga latar belakang yang bagus meski terlahir dari keluarga sederhana.
Suara bunyi klakson membuat kepala Erlita seketika menoleh ke arah mobil, Zoe sebetulnya ingin menurunkan kaca jendela mobil supaya Erlita tahu bahwa dirinyalah yang datang kemudian mempersilakannya masuk. Namun, niat itu Zoe urungkan karena sang gadis sudah lebih dulu berjalan mengitari mobil dan membuka pintu.
"Selamat pagi, Pak Zoe. Maaf udah ngerepotin," sapa Erlita dengan ramah setelah ia mencari duduk yang nyaman di jok samping Zoe. Gadis itu terlihat kurang nyaman mungkin karena merasa tidak enak hati.
"Hem, pagi." Zoe menjawab pelan seraya kembali melajukan mobilnya.
Untuk menuju rumah sakit, dibutuhkan waktu sekitar 30 menit saja. Dan selama itu pula, keadan di dalam mobil begitu hening tanpa ada suara. Baik Zoe mau pun Erlita sama-sama diam, meski berulang kali gadis itu berdeham entah karena saking sesaknya satu ruangan dengan laki-laki dingin itu. Entah Zoe sadar atau tidak, sesekali ekor mata Erlita mencuri pandang pada sang pewaris tunggal keluarga Mafarulls tersebut.
Bibir merah sensualnya sudah berkali-kali gadis itu basahi dengan lidahnya sendiri saking gugupnya, Erlita juga sepertinya tidak nyaman dengan duduknya lantaran kedapatan bergerak ke sana kemari berulang kali. Seperti cacing kepanasan.
Meski Zoe sudah insyaf dari kebiasaan buruknya, namun naluri dan insting playboy dari dalam dirinya belum sepenuhnya hilang. Gadis-gadis semacam Erlita ini begitu mudah ditebaknya.
"Sudah sampai." Zoe memberhentikan kendaraannya tepat di depan lobi rumah sakit.
"Pak Zoe gak turun buat nemuin Mbak Shena dulu?" tawar Erlita setelah ia membuka sabuk pengaman yang hampir 5 menit lamanya hingga terlepas. Sebetulnya ia sudah sejak tadi memberi isyarat pada Zoe, mengira laki-laki itu sudah pasti akan membantunya. Namun, nyatanya harapan tinggalah harapan. Zoe tetap cuek dan dengan sabar menunggu kepura-puraan sang gadis selesai.
"Untuk menemui kekasih sendiri, saya gak perlu nunggu ditawari. Dan kamu boleh turun sekarang, saya harus segera pergi ke kantor," kata Zoe tanpa mempedulikan raut wajah Erlita yang berubah masam meski gadis itu tetap memaksakan senyum.
Setelah Erlita keluar dari mobil, Zoe pun segera melajukan mobilnya keluar dari area rumah sakit. Meninggalkan Erlita yang masih setia berdiri hingga kendaraan Zoe benar-benar tak terlihat lagi.
"Cih! Sial sekali aku malah menyukai sikap dinginnya, akan kulakukan yang terbaik untuk menjeratmu, Tuan Mafarulls!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!