NovelToon NovelToon

Mengenal Cinta Indigo

Bab 1. Gadis Itu Akan Diculik

Dor, dor, dor.

Tiga kali suara tembakan terdengar begitu nyaring dari dalam sebuah kamar di rumah mewah berlantai dua.

Beberapa saat setelah itu, terdengar suara langkah kaki beberapa orang yang sedang lari keluar rumah, berusaha kabur setelah menghilangkan tiga nyawa di dalam rumah itu.

Seorang remaja laki-laki berusia sekitar 11 tahun segera keluar dari persembunyiannya setelah mengetahui para penjahat bertopeng sudah meninggalkan rumahnya.

Remaja laki-laki menangis ketika melihat tiga anggota keluarganya sudah terkapar tak berdaya di atas lantai yang dingin.

"Mama! Papa! Oma!" teriak remaja laki-laki dengan sangat histeris setelah berada di dekat keluarganya.

Dua dari tiga orang sudah tak bernyawa, sementara satu dari mereka masih bernyawa meski sudah terluka parah.

"To—tolong pergi Ardhan! Ayah nggak mau kamu menjadi korban juga!" Sang pria paruh baya yang masih bernyawa meminta putranya untuk pergi dari sana.

"Enggak! Ardhan mau disini sama kalian!" tolak Ardhan sang remaja laki-laki tadi.

"Kasihan Arandha, tolong bawa dia pergi, Nak. Tinggalkan kami, selamatkan dirimu dan adikmu!"

"No, Papa!" tolak Ardhan dengan tegas.

"Kasi—han adikmu, Ardhan! Dia masih bayi, jangan sampai dia diculik!" Mohon sang papa seraya menahan rasa sakit di perutnya yang telah terkena timah panas dari peluru tembakan.

Ketika sedang berbicara dengan sang papa, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki seseorang yang sedang menaiki anak tangga.

"Cepat pergi! Selamatkan adikmu Ardhan!"

Suara tangisan bayi yang terdengar secara tiba-tiba membuat Ardhan panik. "Ara, adikku!"

"Cepat ambil dia dan kabur lah! Ayo cepat, Nak!" Mohon sang papa dengan suara yang lemah sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir dan menutup kedua matanya untuk selama-lamanya meninggalkan putra dan putrinya yang masih membutuhkan bimbingan darinya.

***

Seorang pria terbangun dari tidurnya dengan nafas yang terengah-engah ketika mimpi buruk belasan tahun yang lalu kembali menghampiri dan menghantuinya.

"Sudah bertahun-tahun lamanya kucoba lupakan semua kenangan buruk ini, namun kenangan buruk ini nggak juga hilang dari ingatanku," ucap seorang pria tampan berusia sekitar 27 tahun sambil mengusap wajahnya dengan dua telapak tangannya sendiri.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan seorang gadis berusia sekitar 17 tahun masuk ke dalam kamarnya tanpa mengucap salam.

"Kakak!" panggil sang gadis seraya berjalan ke arah ranjang yang pria tampan itu tiduri.

"Em ... malam ini Ara tidur sama Kak Ardhan ya? Ada badai dan mati lampu nih, Ara takut," pinta sang gadis cantik berhati lembut itu pada sang pria bernama lengkap Ardhan Dhavara Pratama.

"Dasar penakut!" ejek Ardhan seraya mencubit hidung gadis yang baru saja naik ke ranjangnya.

"Sakit tahu!" Kesal Arandha Dhavara Pramita.

Ardhan tersenyum melihat tingkah menggemaskan adik yang telah dia rawat sedari bayi tersebut.

Kini Arandha merebahkan tubuhnya pada ranjang sementara kepala dia letakan ke atas bahu kakaknya.

"Kakak!"

"Hem?"

"Ara pengen ketemu mama dan papa, Kak?" pinta Arandha.

Ardhan terdiam setelah mendengar permintaan sang adik yang mustahil untuk dia kabulkan.

"Enggak bisa!"

"Kenapa nggak bisa? Kata Kak Ardhan orangtua kita ada di luar negeri, jadi kita bisa—"

"Tidurlah! Ini sudah malam!" titah Ardhan seraya memotong ucapan Arandha.

"Ara pengen ketemu orangtua Ara, Kak!" Tegas Arandha kala lagi-lagi kakaknya menolak permintaannya, permintaan yang baginya sangat simpel dan mudah untuk dikabulkan.

"Jangan meminta hal atau sesuatu yang nggak bisa Kakak berikan Ara!" Bentakan Ardhan membuat Arandha terlonjak kaget dan takut. Arandha langsung menjauh dari pria itu dan Arandha langsung membelakanginya.

"Kenapa selama ini aku hanya hidup berdua dengan Kak Ardhan? Kenapa Kak Ardhan nggak pernah pertemukan aku dengan orangtuaku? Kenapa dia selalu marah jika aku memaksa untuk bertemu dengan orangtuaku?" tanya Arandha di dalam hatinya. Gadis cantik itu memang belum tahu bahwa kedua orangtuanya sudah meninggal karena dibunuh tujuh belas tahun yang lalu.

Keesokan harinya, Arandha menemui Ardhan yang sedang memakai sepatu di sofa ruang tamu.

Arandha berjalan ke arah sofa dan setelah tiba di sana, dia langsung duduk di samping pria berseragam polisi itu.

"Kak, hari ini 'kan hari Minggu, jadi biar Ara aja yang belanja bulanan ya?"

"Emang kamu bisa dan tahu apa aja yang harus di beli?" tanya Ardhan seraya mengernyitkan dahinya.

"Kan ada catatan Kakak, Ara bisa baca itu nanti."

"Baiklah, jika begitu. Ambilah catatan daftar belanja dan uang di laci ya!" titah Ardhan di akhir kalimatnya sambil mengukir senyum di wajahnya.

"Oke."

***

Siang harinya, Arandha pergi ke mall untuk membeli semua yang dia dan kakaknya butuhkan.

"Aku mulai dari toko sembako dulu deh, beli beras dan bahan pokok lainnya dulu," ucap Arandha sambil tersenyum dan melangkah pergi ke arah toko sembako.

Setengah jam kemudian, setelah memutari mall untuk membeli semua barang dan bahan yang dia perlukan, kini Arandha hendak pulang.

"Sepertinya udah semua nih, langsung pulang aja deh!" ucap Arandha yang kemudian hendak pergi namun ketika berbalik badan dan maju selangkah, dia tidak sengaja bertabrakan dengan seorang pria tampan bertubuh kekar. Arandha nyaris jatuh, namun beruntung sang pria dengan sigap memegangi tangannya hingga Arandha tak jadi jatuh.

"Mbak nggak apa-apa?" tanya sang pria.

"Iya, saya nggak apa-apa kok, Mas."

Pria asing itu tiba-tiba memejamkan kedua matanya dan merasa sedikit pusing hingga dia reflek memegangi kepalanya sendiri.

"Mas kenapa?" Pertanyaan Arandha membuat pria asing itu segera membuka kedua matanya kembali.

"Oh ... nggak apa-apa kok!" jawab sang pria dengan senyum yang aneh. Senyuman yang seperti dipaksakan dan dia seolah sedang menutupi sesuatu hal yang besar.

"Em ... kamu mau ke mana?" Pertanyaan pria asing itu membuat Arandha mengernyitkan dahinya.

"Ada apa ya kok tanya saya mau ke mana?" tanya balik Arandha pada sang pria.

"Oh, nggak ada apa-apa kok!" jawab sang pria sambil tersenyum.

"Baiklah kalau begitu, saya pergi ya?" ucap Arandha yang kemudian pergi dari sana.

"Aku harus mengikutinya!" batin sang pria yang kemudian segera mengikuti Arandha, entah apa yang dia mau dari Arandha sebenarnya.

***

Arandha sekarang sedang berada di samping mall, gadis cantik itu sedang menunggu taksi. Tanpa ia sadari, pria tak dikenal yang tadi tidak sengaja bertabrakan dengannya sedang mengawasinya dari kejauhan.

"Mana sih taksinya? Lama banget." Kesal Arandha ketika taksi online yang dipesannya beberapa waktu lalu tidak kunjung datang.

Ketika sedang menunggu, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapannya dan keluarlah tiga orang pria bertopeng dari dalam sana. Tanpa permisi tiga pria itu langsung menangkap Arandha dan memaksanya masuk ke dalam mobil.

"Woy!" teriak pria yang mengawasi Arandha sejak tadi ketika dia melihat Arandha diseret secara paksa ke dalam mobil.

Tanpa berpikir panjang, pria tampan berbadan kekar itu segera lari ke arah parkiran untuk mengambil motornya guna mengejar Arandha.

"Aku nggak boleh kehilangan jejak, aku harus menyelamatkan gadis itu, dia sedang dalam bahaya, ada yang berniat menghabisinya!"

Bab 2. Kamu Dalam Bahaya

Di dalam mobil, Arandha memberontak dan berteriak meminta dilepaskan.

"Lepasin saya! Lepasin!"

"Diam Lu!" bentak salah satu dari tiga pria bertopeng yang menculiknya.

"Apa mau kalian?" teriak Arandha sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman dua pria bertopeng yang duduk di kanan dan kirinya.

Tubuh Arandha dan semua orang yang ada di dalam mobil tiba-tiba terdorong ke depan ketika sang pengemudi mobil menginjak rem secara tiba-tiba.

"Ada apa, Bas?"

"Ada yang cegat kita ni, Her," ucap sang pengemudi yang kemudian segera membuka pintu mobil untuk menemui seorang pria yang sudah berani menghalangi jalannya.

"Her, Lu jaga cewe ini dulu, gue mau bantu Bas."

"Oke, Gan."

Saat ini, pria penghadang mobil sedang berkelahi dengan dua pria bertopeng.

"Bagaimana bisa dia ada di sini?" tanya Arandha di dalam hatinya setelah melihat wajah pria itu.

Beberapa saat kemudian, dua pria bertopeng kalah dan memilih untuk kabur. Sementara pria tidak dikenal berjalan ke arah mobil untuk menyelamatkan Arandha.

Setibanya di samping pintu mobil, pria tidak dikenal itu sedikit terkejut ketika pintu mobil dibuka secara tiba-tiba oleh pria bertopeng yang masih ada di dalam mobil tadi dan tanpa aba-aba pria bertopeng tersebut langsung menyerangnya.

Arandha segera keluar dari mobil setelah mengetahui bahwa para penjahat berhasil dikalahkan dan kabur dari sana.

"Makasih ya?" Arandha berterimakasih pada sang pria yang telah menyelamatkannya, gadis itu memasang tatapan sendu.

"Kamu nggak apa-apa?"

"Enggak, kok. Saya baik-baik aja, makasih banyak kamu udah nolong saya."

"Sama-sama."

"Em ... kok kamu bisa tahu saya ada di sini?" tanya Arandha sambil memasang ekspresi penasarannya.

Pria penyelamat itu hanya diam, dia enggan menjawab pertanyaan dari Arandha karena takut Arandha tidak mempercayainya.

"Mas?" Panggilan Arandha membuat pria penyelamat langsung mengukir senyum di wajahnya dan kemudian menjawab.

"Oh, nggak. Tadi hanya kebetulan aja kok, kebetulan saya lihat kamu diseret sama mereka."

"Oh, gitu."

"Em ... rumah kamu di mana? Mari saya antar!" Pria penyelamat menawarkan bantuan pada Arandha.

"Oh, nggak perlu. Nanti aku pesan taksi online aja." Arandha menolak. Arandha adalah seorang gadis yang sangat berhati-hati terhadap orang asing atau orang yang baru dia kenal, jadi tidak mungkin dia mau diantar pulang oleh pria itu, pria yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu.

"Ya udah kalau begitu saya temani kamu sampai taksi onlinenya datang ya?" tawar sang pria penyelamat dengan senyuman yang belum menghilang di wajahnya.

"Em ... baiklah."

"Nama kamu siapa?"

"Arandha Dhavara Pramita, panggil aja Ara," jawab Arandha sambil tersenyum manis.

"Nama yang bagus."

"Kalau kamu siapa?" tanya balik Arandha.

Pria penyelamat itu diam, dia sepertinya enggan berkenalan dengan Arandha, gadis yang telah dia selamatkan.

"Mas?"

"Oh, iya. Nama saya Damn," jawab pria itu sambil tersenyum.

"Damn?"

"Damian Bagaskara, panggil aja Damn." Damian meluruskan.

"Em ... gimana kalau kita duduk di sana aja?" ajak Arandha seraya menggunakan jari telunjuknya untuk menunjuk ke arah kursi taman yang terletak di bawah pohon mangga—tepi jalan.

"Boleh," jawab Damian yang kemudian pergi ke arah sana bersama dengan Arandha.

Setibanya di sana, mereka berdua duduk bersandingan di kursi taman menunggu taksi online tiba.

"Kamu anak gym ya?" tanya Arandha pada Damian.

"Oh, iya. Kok tahu?" tanya balik Damian di akhir kalimatnya.

"Iya, soalnya kamu sama seperti kak Ardhan," jawab Arandha sambil tersenyum.

"Ardhan?"

"Iya, kak Ardhan adalah kakak saya, dia yang sudah merawat saya dari bayi." Arandha menjawab sambil tersenyum tipis.

"Oh, lalu apa persamaannya dengan saya?" tanya Damian seraya menaikan sebelah alisnya.

"Tubuh kalian sama-sama kekar, jadi kalian pasti sama-sama anak gym," jawab Arandha sambil mengeluarkan ponselnya.

"Ini dia kakakku." Arandha langsung membuka layar dan menunjukkan foto Ardhan yang ada di wallpaper ponselnya.

Secara tiba-tiba, Damian menatap fokus foto rangkulan antara Ardhan dan Arandha. Tiba-tiba mata pria itu terpejam dengan sendirinya.

Dalam gelap dia menemukan gambaran masa lalu kelam yang dilalui oleh Ardhan. Damian mendengar suara tembakan yang sangat nyaring dan dia melihat ada darah yang berserakan di lantai rumah mewah berlantai dua.

Tidak hanya itu, Damian juga melihat ada seorang remaja laki-laki berlari ke arah kamar bayi dan ...

Gambaran hilang ketika Damian membuka kedua matanya setelah Arandha tiba-tiba memegang pundaknya dan memangil namanya, membuatnya tidak fokus.

"Kamu kenapa?"

"Oh, nggak apa-apa," jawab Damian dengan senyum yang dipaksakan.

"Beneran nggak apa-apa?"

"Ehh ... iya benar nggak apa-apa kok."

"Em ... kamu nggak sibuk hari ini?"

"Kalau sibuk, pergi aja. Kayaknya bakalan lama deh nunggunya." Arandha mempersilahkan Damian untuk meninggalkannya apabila ada kesibukan yang tidak bisa ditunda.

Damian tersenyum dan kemudian berkata, "Saya nggak sibuk kok."

"Ya udah kalau begitu," jawab Arandha yang kemudian fokus dengan ponselnya.

"Em ... Ara?"

"Iya, ada apa?"

"Aku saranin kamu untuk berhati-hati dan tetap waspada karena ada seseorang yang berniat buruk padamu dan dia nggak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang dia mau." Damian berkata dengan ragu, dirinya takut Arandha tidak percaya pada kata-katanya.

"Dari mana kamu tahu saya sedang dalam bahaya?" tanya Arandha seraya meletakan ponselnya dan menatap Damian dengan raut wajah penasarannya.

"Mereka nggak akan berhenti meski sudah membuat orangtuamu pergi, saat ini mereka sedang mengincarmu," ucap Damian.

"Apa maksudnya? Orangtuaku pergi itu karena bisnis, mereka ada di luar negeri?"

Damian mengernyitkan dahinya dan kemudian bertanya secara pelan-pelan, "Em ... orangtua kamu sudah meninggal, kan?"

"Apa?" Arandha sangat terkejut setelah mendengar bahwa orangtuanya sudah meninggal.

"Iya, mereka korban pembunuhan beren—"

"Cukup! Jangan membohongi atau menakut-nakuti saya, tahu apa kamu tentang keluarga saya? Emangnya kamu kenal sama orangtua saya?" Arandha tiba-tiba marah.

Gadis itu berdiri dengan wajah yang memerah ketika orang asing yang tak tahu apa-apa soal keluarganya berani mengatakan bahwa orangtuanya sudah meninggal, baginya itu hanya bullshit, omong kosong.

"Em ... maksud saya—"

"Jangan sok tahu tentang keluarga saya, papa dan mama saya masih hidup, mereka ada di luar negeri!" Arandha menyangkal.

Di saat yang bersamaan, taksi online yang telah dipesan oleh Arandha tiba, tanpa sepatah kata apapun Arandha segera membuka pintu taksi dan kemudian masuk ke dalamnya.

"Harusnya aku nggak bicara begitu, semua orang nggak akan ada yang percaya padaku, aku memang bodoh!" Damian marah pada dirinya sendiri.

***

Malam harinya, seorang pria tampan baru saja merebahkan tubuhnya di atas ranjang hendak beristirahat setelah melewati hari yang panjang.

"Mian! Damian!" Panggilan seorang wanita paruh baya dari luar pintu membuat pria yang tak lain adalah Damian itu beranjak turun dari ranjangnya.

Damian melangkah ke arah pintu kamar dan setelah tiba, dia langsung membuka pintu untuk melihat siapa yang datang.

"Ada apa, Ma?" tanya Damian pada sang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu kandungnya.

"Ada orang datang, katanya mau nemuin kamu," jawab Lestari sang mama Damian.

"Siapa yang mau bertemu dengan Mian malam-malam begini?" tanya Damian.

"Entahlah, temui saja dia. Dia ada di ruang tamu."

"Baiklah, Ma."

Damian segera turun ke lantai satu untuk menemui tamunya. Setibanya di lantai satu, dia segera pergi ke arah sofa dan duduk di hadapan tamunya.

"Maaf, kalian siapa?" tanya Damian dengan sopan pada pria dan wanita yang sudah menunggunya.

"Saya Agra dan ini istri saya, Rani."

"Hm, ada keperluan apa ya?"

"Em ... dengar-dengar kamu indigo ya?" tanya Agra pada Damian.

"Bukan, saya hanya manusia biasa," jawab Damian sambil tersenyum tipis.

"Jangan menyangkal, Mas!"

"Kalau iya kenapa? Kalian mau apa? Minta diterawang?" tanya Damian. "Enggak akan ada yang percaya pada kelebihan yang saya miliki, jadi percuma aja kalian ke sini," lanjut Damian.

"Tolonglah, Mas. Kami sedang ada masalah nih!" mohon Rani dengan tatapan sendunya.

"Yakin? Emangnya kalian mau percaya dengan apa yang akan saya katakan nantinya?" tanya Damian pada pasangan suami-isteri itu.

"Iya, saya berjanji akan percaya dan saya bersedia membayar biaya konsul—"

"Saya nggak membuka jasa konsultasi, maaf! Kelebihan yang diberikan oleh Tuhan bukan untuk diperjualbelikan."

"Oh, kalau begitu, tolong bantu kami, Mas. Kami bingung harus ke mana lagi?" mohon Rani.

"Baiklah, apa masalah kalian?"

"Saya dan istri saya sering merasakan sakit di perut kami, Mas."

"Apa kalian sudah periksa ke dokter?" tanya Damian.

"Sudah dan kata dokter kami sehat, nggak ada penyakit apa-apa." Agra yang menjawab pertanyaan Damian.

Damian berdiri dari duduknya dan dia segera pergi ke arah dapur untuk mengambil sesuatu.

Tak beberapa lama kemudian, Damian kembali dengan membawa gelas berisi air putih. Damian meletakkan gelas berisi air putih itu ke atas meja ruang tamu usai dia tiba di ruang tamu.

Damian kemudian mencoba menerawang dengan metode air putih yang suci belum tercemari apapun. Setelah beberapa saat diam dan mencoba melihat, akhirnya Damian menemukan sebuah gambaran yang sangat mengerikan.

Bab 3. Suka Duka Anak Indigo

Damian segera mengatakan secara gamblang apa yang telah dia lihat tadi. "Kamu pernah membunuh orang dan keluarganya yang nggak terima, mengirimkan guna-guna untukmu dan istrimu." Damian berdiri dari duduknya.

"Kamu kalau ngomong jangan sembarangan dong!" murka Agra setelah Damian berani menyebutnya pembunuh.

"Tadi katanya suruh terawang tapi kok malah marah?" tanya Damian pada Agra.

"Ya kamu udah kurang ajar ngatain saya pembunuh, kamu pikir kamu siapa, hah?!" bentak Agra tepat di depan wajah Damian.

"Kamu emang pernah bunuh orang, kan?" Pertanyaan Damian membuat Agra terdiam sejenak, memang benar dia pernah membunuh orang di masa lalu.

"Mana buktinya kalau saya membunuh orang? Mana?" teriak Agra.

"Kami ke sini itu untuk diterawang dan mendapatkan solusi dari permasalahan kami, bukan untuk mendapat penghinaan semacam ini!" Rani juga ikut murka usai suami tercintanya dituduh pembunuh oleh Damian.

"Pak Agra, Anda sudah menghabisi seseorang lima tahun yang lalu, menghabisinya dengan sangat sadis, sekarang Anda masih mau ngelak?"

"Mana buktinya?" Agra masih terus mengelak, dirinya tidak mau mengakui perbuatan kejinya terhadap seseorang.

"Guna-guna ini berbahaya untuk kalian dan kalian bisa tiada jika ini nggak dihentikan, jadi jujurlah Pak!" Damian mendesak Agra untuk jujur.

"Jujur apa? Hah! Dasar orang gila!" Tak hanya menyangkal, Agra juga menghina Damian, menghina seseorang yang ingin menolongnya dengan tulus tanpa mengharap balasan apapun.

"Sudah Sayang. Kita pergi aja dari sini, buat apa meminta bantuan pada orang nggak waras, punya gangguan jiwa, pembohong, sok tahu!" Agra terus memaki-maki Damian.

Tangan kanan Agra kemudian mengandeng tangan sang istri, kedua orang itu kemudian pergi dari sana tanpa mengucapkan salam.

Damian kembali duduk ke kursi sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya.

"Sudah kuduga, aku hanya akan mendapat hinaan dan makian saja, terkadang jadi indigo itu serba salah."

Damian segera merogoh saku celananya ketika merasakan ada sesuatu yang berdering dari dalam sana, pria itu meraih ponselnya yang ada di dalam saku celana dan kemudian segera mengangkat panggilan masuk yang ada di ponselnya.

"Halo?"

"Damn, besok ada reuni nih. Kamu datang ya?" Undang seseorang dari seberang teleponnya.

"Hm, aku akan datang. Kirim aja alamatnya nanti."

"Oke," jawab si penelpon yang kemudian segera memutus sambungan teleponnya.

***

Di lain tempat, seorang gadis hendak tidur namun tiba-tiba telinganya berdengung.

"Ah, sakit!" rintihnya seraya beranjak duduk dan menutup kedua telinganya.

"Ayo keluar!" Gadis cantik berbaju tidur merah muda itu spontan membulatkan kedua matanya ketika mendengar suara bisikan dari seorang wanita.

"Siapa kamu? Siapa yang memanggilku tadi?" teriak gadis cantik yang tak lain adalah Arandha seraya melihat sekeliling kamarnya, namun tidak ada siapa-siapa di sana.

"Keluar rumah!"

"Siapa kamu? Pergi!!!" teriak Arandha dengan sangat keras.

Suara teriakan Arandha membuat Ardhan terbangun dari tidurnya dan bergegas pergi ke kamar adiknya dengan tergesa-gesa.

Namun setibanya di kamar, Ardhan tidak menemukan keberadaan sang adik, kamar bernuansa pink putih itu kosong.

"Ara!" panggil Ardhan seraya menghidupkan lampu utama kamar Arandha.

"Aaaaa!" Teriakan Arandha membuat Ardhan bergegas lari ke arah pintu balkon lantai dua yang kebetulan ada di kamar adiknya itu.

"Ara! Di mana kamu?" teriak Ardhan sambil melihat sekeliling balkon.

"Kakak tolong!" teriak Arandha.

Ardhan segera lari ke arah pagar balkon dan segera menangkap tangan sang adik, dirinya benar-benar sangat terkejut usai melihat adiknya bergelantungan di atas balkon.

"Kenapa bisa begini?" tanya Ardhan seraya memasang raut wajah paniknya.

Ardhan berusaha menyelamatkan adiknya, namun dia tak dapat menarik tubuh sang adik dengan mudah. Entah mengapa tubuh Arandha yang ringan menjadi berat sehingga Ardhan kesulitan menariknya.

"Kenapa seperti ada yang menahan Ara? Kenapa Ara berat sekali, aku nggak kuat narik tubuhnya?" tanya Ardhan pada dirinya sendiri.

"Aaaaa, lepas!" teriak Arandha kala kedua kakinya dipegang dengan sangat kuat oleh tangan yang sangat hitam dan dingin, sedingin es.

"Kakak nggak akan lepasin kamu, Ara!"

"Bukan, maksud Ara bukan Kakak."

"Akh!" rintih Ardhan ketika punggung tangannya terasa sakit seperti ada yang sedang menggigitnya, padahal saat ini hanya ada dia dan Arandha saja, tidak ada orang lain di sana.

Ardhan menahan rasa sakit di telapak tangannya, dia enggan melepaskan pergelangan tangan adiknya, dan dia justru semakin berusaha menarik adiknya dengan sekuat tenaga.

"Kakak cepat tolong Ara! Ara takut!" Histeris Arandha kala tangan hitam itu masih mencengkram kuat kakinya, mungkin itu alasan mengapa Ardhan tidak dapat menariknya.

***

Di lain tempat, Damian hendak tidur namun dia urung ketika perasaannya tidak enak.

"Aaaaa!" Teriakan seorang gadis membuatnya terdiam dan langsung memejamkan kedua matanya.

Di sana dia melihat bahwa Arandha sedang dalam bahaya, dia melihat Arandha bergelantungan di balkon.

"Hahahaha." Terdengar suara tawa jahat dari sosok hitam yang menganggu Arandha.

Damian segera membuka kedua matanya dan diam sejenak, memikirkan cara untuk membantu Arandha.

"Dia ada dalam bahaya, ada sosok jahat yang menginginkannya dan sosok jahat itu memberi sinyal bunuh diri," ucap Damian.

"Tapi bagaimana caraku menolongnya? Aku nggak tahu di mana rumahnya dan jika aku mencari alamatnya, apakah masih keburu? Pasti akan terlambat menolong." Damian berpikir keras di dalam hatinya. Pria baik itu sangat mengkhawatirkan Arandha dan ingin sekali menolongnya.

"Kakak! Kak Damian!" Panggilan anak perempuan membuat Damian menengok ke arah boneka cantik berambut panjang yang terletak di atas nakas.

"Iya, Sherri. Ada apa?" tanya Damian seraya turun dari ranjang untuk mengambil boneka miliknya.

Boneka perempuan yang cantik itu bukan boneka sembarangan, di dalamnya ada sosok anak perempuan yang memiliki energi gaib yang sangat besar, sosok itu berenergi positif.

"Kak Damian lupa kalau Sherri bisa membantu orang?" tanya Sherri pada Damian sang pengasuhnya.

"Oh, iya. Kamu 'kan bisa keluar dari boneka ini dan bisa masuk kembali juga, kalau gitu ... boleh nggak Kak Damian minta tolong kamu buat ke rumah Arandha, kasihan dia?" tanya Damian dengan lembut di akhir kalimat.

"Enggak mau ah, males!" tolak Sherri.

Damian tersenyum kala melihat sosok bocah perempuan itu memanyunkan bibirnya, terlihat sangat menggemaskan.

"Sherri nggak boleh nakal, ayo dong bantu! Energi Sherri 'kan kuat?" bujuk Damian seraya membelai rambut panjang boneka Sherri.

"No! Di sana ada sosok hitam jahat, bau lagi, nggak pernah mandi, si jorok!" jawab Sherri sambil buang muka.

Damian menggelengkan kepalanya, Sherri ini memang berbeda dari dua bonekanya yang lain, Sherri adalah sosok anak kecil yang lucu dan jahil, dia sering mengejek hantu. Tak ada rasa takut sedikitpun, semua hantu jahat dia ejek.

"Dasar bocah nakal." Kesal Damian. "Tolong dong bantu, kasihan manusia baiknya, dia kan nggak salah apa-apa, masa nggak mau bantu." Damian terus berusaha membujuk Sherri.

"Okelah, tapi nanti kasih Sherri susu ya Kakak?" pinta Sherri.

"Iya, Kak Damian janji ngasih Sherri susu nanti!" jawab Damian sambil tersenyum.

"Susu kuda," canda Sherri sambil tertawa khas anak kecil.

"Mana ada susu kuda, aneh-aneh aja kamu. Dah sono bantu! Jangan bawel!"

"Oke."

Sherri segera keluar meninggalkan boneka yang menjadi wadahnya agar bisa pergi ke rumah Arandha guna menolong gadis baik itu.

"Cie Kak Damian punya teman cantik." Boneka yang lain kini menggoda Damian.

"Apaan sih nggak jelas kamu Catty, dah sana tidur!" Kesal Damian seraya kembali naik ke atas ranjang.

"Kak Damian sedang jatuh cinta, hatinya berbunga-bunga."

"Kamu juga ikut-ikutan, dasar hantu julid!" Kesal Damian pada Albela bonekanya yang lain.

Damian memang suka mengadopsi boneka arwah, namun dia hanya mau berteman dengan arwah atau sosok dengan energi positif saja. Damian tidak mau berteman dengan sosok jahat yang memiliki energi negatif dan yang bisa menyesatkan umat manusia.

***

Kembali ke Arandha, gadis itu masih bergantungan di balkon. Sementara Ardhan hanya bisa menahan rasa sakit di kedua telapak tangannya yang digigit oleh sosok tak terlihat.

"Kenapa sakit banget sih?" tanya Ardhan di dalam hatinya.

"Aaaaa!" Arandha kembali berteriak kala sosok jahat itu secara tiba-tiba menarik kakinya.

Ardhan memperkuat pegangannya pada kedua pergelangan tangan adiknya, menahan sang adik agar tak jatuh dari ketinggian.

Di bawah Arandha terdapat patung yang terbuat dari batu, jika sampai dia jatuh maka tubuhnya akan menghantam ke patung batu yang sangat keras itu. Arandha bisa celaka jika dia tidak segera diselamatkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!