Prolog
Artha berkumpul bersama sepuluh anak di pelataran rumah. sepuluh anak itu tak sabar ingin mendengarkan cerita tentang kaum Asura dan kaum Dewa. Artha mulai bercerita tentang awal mula pertempuran antara Asura dan Dewa.
Ribuan milyar tahun lalu, perang antara Asura dan Dewa tak bisa dihindarkan. Awalnya dua kaum ini hidup berdampingan. Asura tinggal di surga bersama para Dewa, tepatnya di Surga Tavatimsa di puncak Sumeru.
Suatu saat, Sakka menjadi Dewa Penguasa di alam tersebut. Para Asura merayakannya dengan meminum banyak sekali anggur Gandapana, sebuah minuman beralkohol yang sangat kuat hingga Sakka melarang semua Dewa untuk meminumnya. Kaum Asura mabuk berat.
Mereka tak bisa melawan saat Sakka mengusir mereka dari surga Tavatimsa ke bawah di kaki Gunung Sumeru.
Kaum Asura baru tersadar telah diusir dari Surga Tavatimsa saat melihat pohon Cittapatali. Mereka melihat pohon itu mekar.
Asura merasa kesal karena Sakka telah mengusir mereka dari surga sehingga pertempuran antara Asura dan Dewa tak dapat terelakan. Asura yang memiliki sifat iri, cemburu, dan juga serakah karena ingin menguasai surga, membuat mereka merasa lebih hebat dari pada para dewa.
Pertempuran terus berlangsung.
Namun, ada satu Panglima Perang Asura yang berada dipihak para dewa. Akhirnya Dewa Siwa memberikan dia kesempatan reinkarnasi ke alam manusia karena telah membantu para dewa untuk naik ke tingkat spiritual yang lebih tinggi.
Dewa Siwa hanya mengizinkan dia membunuh 3 kali kesempatan dengan menggunakan kesaktiannya. Jika lebih dari itu, maka ia akan bereinkarnasi lagi ke alam binatang.
"Gusti Artha, bentuk Asura itu bagaimana?"
tanya seorang anak perempuan yang dikenal dengan nama Nimas Ajeng.
"Pertanyaan bagus," puji Artha dengan senyum mengembang,
"Asura itu adalah sosok raksasa yang memiliki tiga kepala dan empat sampai enam lengan."
Artha mengambil buku dan pensil di dekatnya, lalu menggambar sosok Asura seperti yang ia jelaskan pada Nimas Ajeng. Kemudian ia memperlihatkan gambar itu pada anak-anak.
Mereka terlihat sangat berantusias. Namun, hanya ada satu anak laki-laki yang duduk paling belakang. Anak laki-laki itu menatap Artha dengan tajam.
...----------------...
Surabaya, Desember 2023
Lasmono terpaksa harus pergi ke kebun singkong malam hari untuk mencari dompetnya yang hilang. Ia menyusuri jalan setapak demi setapak dengan berbekal senter. Suara derit pohon diterpa angin membuat malam semakin mencekam. Bulu kuduk pria itu berdiri.
"Malam ini, kok, enggak kayak biasanya.” Lasmono berkata lirih sambil menyorotkan senter ke sekeliling jalan.
"Kenapa aku merinding, ya?"
Lasmono melanjutkan perjalanan dengan perasaan takut. Kalau bukan dompet yang hilang, ia tak akan memaksakan diri untuk mencarinya. Besok, ia harus membayar biaya sekolah anak sulungnya sedangkan uang itu ada di dompet.
Tiba di kebun singkong, Lasmono berjalan menuju tempatnya istirahat di bawah pohon rindang. Ia menyoroti dengan senter ke sekitar sana. Berharap barang yang dicari segera ditemukan.
"Nah, itu dompetku," ucap Lasmono kegirangan.
Ia mengambil dompet yang teronggok di dekat akar pohon yang timbul dan memasukkannya ke dalam saku celana.
Akhirnya Lasmono bisa pulang dengan cepat. Entah kenapa ia merasa, hawa malam ini sangat berbeda. Lebih gelap, sunyi dan seram. Baru dua langkah. Ia merasakan ada seperti air yang menetes ke pundak sebelah kiri. Namun, berbau amis. Ia menyentuh bahu kiri dengan tangan kanan. Merah. Ya, itu bukan air melainkan ...
"Apa ini?" tanya Lasmono melihat telapak tangan kanan berwarna merah. Ia lalu menciumnya,
" Ini- da-da-rah!"
Lasmono mengarahkan senter ke atas pohon. Matanya terbelalak. Di atas sana ada mayat manusia tergantung. Tak hanya satu, tapi dua. Mayat sepasang manusia. Entah mereka suami-istri atau bukan.
Saking terkejut, ia melangkah mundur sepuluh langkah ke belakang. Kakinya, seperti menginjak sesuatu. Ia mengalihkan senter ke bawah. Di dekat kakinya, ada satu mayat pria lagi. Ia mendengar suara samar-samar seperti minta tolong. Ya, ada yang masih hidup!
"To-to-long," ucap orang itu pelan hampir tak terdengar.
"Mas, apa-apa yang terjadi?" tanya Lasmono tanpa menyentuh pria itu,
" Mas sabar, ya. Saya cari bantuan dulu," ucapnya sambil berlari meninggalkan pria itu untuk mencari bantuan.
Saking terkejut, beberapa kali Lasmono tersandung batu. Jantungnya berdetak kencang. Keadaan pria itu sepertinya sangat parah. Ia harus segera mendapatkan pertolongan.
...----------------...
"Las! Kamu udah dari mana malam-malam gini?" panggil seorang pria yang muncul dari belokan jalan pintas menuju desa sebelah.
"Gus! alhamdulilah! Untung aku ketemu kamu!" Lasmono merasa senang dengan kehadiran Agus, sahabatnya.
"Ada apa? Kamu kayak yang ketakutan gitu?" tanya Agus terlihat khawatir.
Lasmono menceritakan penemuan tiga mayat di kebun singkong miliknya. Salah satunya masih hidup dan kondisinya sangat parah. Akhirnya mereka berdua langsung bergegas menuju rumah kepala desa untuk memberitahukan hal ini, sekaligus melaporkan kejadian itu ke polisi.
Malam itu Desa Mangunrejo, heboh dengan penemuan tiga mayat. Satu mayat pria dan wanita tergantung di pohon serta satu pria tergeletak di tanah dengan kondisi parah. Untungnya bantuan cepat datang. Pria itu segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Sedangkan dua mayat dibawa ke kantor polisi untuk di autopsi.
Lasmono, orang pertama yang menemukan mayat itu, dipanggil ke kantor polisi untuk dimintai keterangan sebagi saksi. Ia tak bisa
menolak karena keterangannya sangat dibutuhkan.
Pria yang masih remaja itu masih terbaring dengan selang memenuhi tubuhnya. Ia belum juga sadar sejak dua hari yang lalu. Tubuhnya penuh luka, bahkan sampai banyak mengeluarkan darah.
Sudah dua labu habis untuk ditransfusikan. Namun, tetap saja belum sadar. Mungkin benturan benda tumpul di kepala yang menyebabkan ada kerusakan di otak.
Kondisi dua mayat yang tergantung, lebih parah dari pria itu. Jantung dan hati mereka hilang. Tubuh mereka pun penuh dengan sayatan. Polisi berkesimpulan, kalau pelaku hendak melakukan hal yang sama pada pemuda itu.
Namun, karena kehadiran Lasmono. Pelaku tak bisa menyelesaikan aksinya, lalu membiarkannya tergeletak begitu saja.
Entah apa motif pelaku melakukan pembunuhan itu. Setelah ditelusuri, ternyata mereka bertiga, satu keluarga yang bernama Handoko Jagat (suami), Sri Tripitaka (istri) dan Rahwana Jagat (anak).
Polisi masih menyelidiki kejadian dua hari yang lalu. Lasmono harus rela kebun singkongnya diberi garis polisi. Selain polisi dan orang-orang yang diberi tugas untuk menyelidiki kasus pembunuhan, tidak ada yang boleh masuk ke area itu.
"Dok, gawat!" Teriak Anne--perawat yang menjaga--Jagat sambil membuka pintu ruangan dokter Gilbert.
"Ada apa?" tanya dokter Gilbert.
"Pasien bernama Rahwana Jagat kritis, Dok. Detak jantungnya melemah." Jelas Anne sambil mengatur napas karena ia berlari untuk bisa cepat sampai ke ruangan dokter yang menangani Jagat.
...****************...
Bersambung
Dokter Gilbert bergegas menuju ruang IGD. Sampai di sana ia langsung mengenakan pakaian khusus. Ada dua perawat di dalam.
Salah satu dari mereka berusaha menekan dada Jagat untuk memancing detak jantung agar kembali berdetak. Namun, hasilnya nihil.
Dokter Gilbert maju menggantikan perawat itu. Ia mencoba menekan dada pasien. Hasilnya sama. Ia menyuruh Anne untuk membawa pacemaker jantung.
Anne dengan sigap mengambil alat itu, Dokter Gilbert menghitung satu sampai tiga, lalu meletakkan alat itu di dada bagian atas dalam ruang jantung.
Percobaan pertama tidak berhasil, begitupun kedua dan ketiga. Akhirnya Jagat dipastikan meninggal dunia.
Semua selang yang berada di tubuh Jagat dilepas. Kemudian Anne menutup seluruh badan pasien pria itu menggunakan kain putih.
Saat Dokter Gilbert keluar IGD, Ia langsung menghubungi pihak kepolisian untuk memberitahu jika pasien Jagat sudah meninggal dunia.
Saat Dokter Gilbert sedang menelpon kepolisian, dari dalam ruang IGD, terdengar suara keributan. Ia menyudahi pembicaraan, lalu bergegas masuk kembali ke dalam.
Di sana terlihat, wajah tiga perawat yang pucat pasi. Bagaimana tidak syok. Ketika melihat pasien Jagat yang dinyatakan meninggal, tiba-tiba terbangun dengan kondisi seperti orang yang sehat, bahkan ia sudah berdiri di depan mereka semua.
Dokter Gilbert berjalan ke arah Jagat. Ia memutari Jagat untuk memeriksa kondisinya. Memang ini cukup aneh.
Pertama kali dibawa ke rumah sakit kondisi Jagat sangat parah. Tidak mungkin, bisa langsung cepat sembuh. Apalagi Jagat sempat koma selama 2 hari.
Untuk meyakinkan, Dokter Gilbert menyuruh pasiennya itu untuk berbaring. Ia mulai memeriksamya lagi, dari mulai detak jantung, tensi, dan mengarahkan cahaya senter kecil kedua matanya.
Tak ada yang bermasalah, semua baik-baik saja. Bahkan sepertinya, Jagat tidak merasakan sakit bekas jahitan di tangan, perut, dan kepalanya. Ia terlihat sehat sekali.
"*Suster Anne, siapkan kamar* *rawat*." Dokter Gilbert menyuruh Anne untuk mempersiapkan ruangan untuk Jagat.
Anne dan dua perawat yang ada di sana masih terlihat syok. Namun, mereka semua langsung keluar dari ruang IGD untuk melakukan apa yang diperintahkan Dokter Gilbert.
"*Ayo, kita ke ruanganku*," ajak Dokter Gilbert. Ia melangkah terlebih dulu. Di belakang, Jagat mengikuti.
Beberapa orang yang ada di sekitar sana menatap heran ke arah Jagat. Mungkin mereka bertanya-tanya, kok ada pasien IGD keluar dalam kondisi yang sehat tanpa terbaring di brankar.
Selain kejadian pembunuhan itu, untuk kedua kalinya, Jagat membuat kehebohan di rumah sakit.
Dokter Gilbert membuka pintu ruangannya, "*Masuk*!"
Tanpa bicara apa pun, Jagat masuk. Ia melihat ke setiap sudut ruangan. Di sana ada meja, komputer, kursi, dan alat-alat kedokteran lainnya. Hingga ia melihat papan nama di atas meja. **Dr. Gilbert, Sp.S**.
Ia menyentuh papan nama itu. Sekelebat bayangan masuk ke memori ingatannya. Ia melihat Dokter Gilbert sedang mengendarai mobil.
Dalam memori, tiba-tiba ada motor dengan kecepatan tinggi dari arah depan.
Awalnya Dokter Gilbert akan menghindar. Namun, ternyata pengendara motor memilih menabrakkan motor ke trotoar.
Motor pun terguling dan pengendaranya tak sadarkan diri.
Tepukan tangan di pundak, membuat Jagat membuka mata dan kepalanya terasa berdenyut. Dokter Gilbert menyuruh pasiennya itu untuk duduk.
Meski terlihat baik-baik saja, tetap saja kesehatannya harus diperhatikan.
Namun, ada sesuatu yang ia tanyakan pada Jagat.
"*Sebelumnya, perkenalkan saya* *Gilbert*, *Dokter yang menanganimu. Jadi kalau* *ada keluhan*, *kamu bisa menghubungi saya*." Gilbert mengulurkan tangan.
Jagat membalasnya tanpa berkata apa-apa.
. "*Ngomong-ngomong, Apa kamu* *ingat kejadian yang menimpamu sampai* *dilarikan ke rumah sakit*?" Dokter Gilbert memulai pertanyaan.
Jagat hanya menggelengkan kepala.
"*Kamu tahu, siapa namamu*? *Ayah atau* *ibumu*?" tanya Dokter Gilbert lagi untuk memastikan.
"*Aku benar-benar tak ingat apapun*," ucap Jagat akhirnya mengeluarkan suara.
"*Mungkin, kamu tak ingat apa-apa* *karena benturan di kepalamu yang cukup* *keras*." Dokter Gilbert menyandarkan punggung di kursi, lalu ia mengeluarkan dua lembar foto dari saku jasnya, "*Kamu, kenal* *orang dalam foto ini*?" tanyanya sambil memperlihatkannya Jagat.
Jagat menyentuh foto itu. Bayangan berkelebat kembali hadir, ia memejamkan mata.
Ruangan itu sangat gelap, tak ada pencahayaan sedikitpun. Namun, ada pria masuk ke sana. Pria itu berjalan dengan bantuan cahaya senter.
Sayang, ia tak bisa melihat jelas wajah pria itu, seperti ada sesuatu yang menghalangi agar ia tak bisa mengenalinya.
"*Kamu*-," belum selesai orang itu berkata. Pria itu langsung menancapkan jarum suntik. Kesadaran orang itu pun kembali hilang.
Pria itu melepas ikatan mereka berdua. Ia mengangkat korban perempuan untuk di bawa ke ruangan khusus. Ruangan yang menjadi tempat paling favorit baginya.
Tak ada yang bisa ke sana selain dirinya. Ia berjalan pelan. Namun, di sudut lorong sana, terlihat pedar cahaya. Ia mematikan senter.
Ruangan itu seperti ruangan tempat operasi. Pria itu membaringkan perempuan yang dibawanya di kasur. Setelah itu, ia mengenakan jas putih dan menyiap alat-alat untuk operasi.
Ia mengambil sebilah pisau, lalu berdiri di samping wanita itu.
Dengan senyum misterius, ia mulai membuka baju perempuan itu. Kemudian pisau itu mulai bekerja membelah dada perempuan itu.
Napas Jagat naik-turun. Ia membuka mata. Keringat membasahi dahi. Kepala terasa sakit sekali. Ia memegang kepalanya.
"*Kamu, kenapa*?" tanya Dokter Gilbert sambil berdiri dari duduk, lalu menghampiri Jagat dan menyentuh pundak pria itu."*Sebaiknya, kamu istirahat saja*."
Dokter Gilbert mengambil ponsel di saku. Ia menghubungi Anne untuk menanyakan, apa ruangan untuk Jagat sudah siap atau belum. Ternyata semua sudah beres. Ia pun mengantarkan Jagat ke sana.
Sepuluh menit berlalu, Jagat tak kunjung memejamkan mata. Ia hanya menatap langit-langit ruang rawat dan kelebat bayangan itu kembali hadir.
Dokter Gilbert sudah pulang lima menit yang lalu. Karena bosan, ia pun memutuskan untuk keluar ruangan.
Baru saja, Jagat menutup pintu ruangan. Dua orang perawat dengan tergesa mendorong brankar menuju ruang operasi. Sekilas ia melihat wajah pasien itu dan terkejut. Pria itu persis seperti bayangan yang didapat saat menyentuh papan nama Dokter Gilbert.
Tak berselang lama, Dokter Gilbert muncul. Ia tak melihat ke arah Jagat sama sekali, karena pasien kecelakaan itu harus segera dioperasi.
Jagat memegang kepala yang berdenyut. "Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Kejadian ini kebetulan, kah? Atau ia memang bisa melihat masa depan seseorang hanya dengan menyentuh benda yang mereka miliki?"gumam Jagat dalam hati.
Niat Jagat untuk berjalan mengelilingi rumah sakit, terpaksa ia batalkan karena kepalanya terasa sakit.
Kemarin, Dokter Gilbert memberitahu kejadian yang menimpanya, ayah dan ibu. Hingga ia berada di rumah sakit ini. Sedangkan kedua orang tuanya meninggal di tempat dan saat ini masih di kantor polisi karena tak ada yang mengambil jenazah mereka berdua.
Jantung dan hati mereka berdua tak ada. Polisi belum bisa menemukan pelaku pembunuhan itu. Pelaku itu melakukannya sangat rapi.
Bisa dipastikan, pelaku memiliki otak yang cerdik sehingga tak ada barang atau apa pun yang bisa dijadikan barang bukti.
...****************...
Bersambung
Otak Jagat terus memikirkan motif pembunuhan keluarganya.
Kenapa jantung dan hati saja yang tak ada. Apa ini ada kaitannya dengan penjualan organ tubuh dan mereka hanya membutuhkan kedua organ itu.
Meski ia belum ingat. Namun, bayangan kemarin di ruangan Dokter Gilbert masih melekat di ingatannya. Ia yakin pria itu, pelakunya. Anehnya, Ia tak bisa melihat wajah pelaku.
"Siapa pria itu? Dia pasti, dokter. Kenapa wajahnya tidak terlihat?" Jagat bicara sendiri.
Hingga ketukan pintu, membuat pikiran Jagat buyar. Pintu terbuka, tampaklah Dokter Gilbert dengan menggunakan kemeja biru, celana katun hitam, dan sepatu pantofel yang biasa ia kenakan.
Dokter itu sangat pandai memilih warna. Wajahnya yang putih, terlihat cerah dengan warna biru.
"Aku membawa pakaian ganti untukmu." Dokter Gilbert menyimpan paper bag yang berisi satu setel pakaian untuk Jagat.
"Cepat ganti baju! Kita akan memakamkan kedua orang tuamu," titahnya.
Jagat mengambil paper bag itu, lalu berjalan ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. Dokter Gilbert menunggunya dengan sabar. Tak sampai lima menit, Jagat sudah keluar dengan tampilan yang membuat para wanita memujanya.
Ternyata mereka berdua satu ukuran. Pakaian itu milik Dokter Gilbert.
"Ayo, kita berangkat sekarang," ajak Dokter Gilbert.
"Nanti setelah acara pemakaman. Kita akan pergi ke rumahmu. Setelah dari sana, mudah-mudahan ingatanmu perlahan pulih," jelasnya.
Mereka berdua pun meninggalkan ruang rawat.
Semua urusan pemakaman sudah diurus oleh pihak kepolisian dan Dokter Gilbert.
Jagat hanya diminta untuk hadir ke pemakaman kedua orang tuanya.
Mayat orang tua Jagat sudah dimakamkan. Tak ada raut wajah sedih sama sekali yang ditampakan.
Mungkin karena ingatannya yang belum kembali.
Sekuat apa pun ia mengingat. Kenangan tentang orang tuanya, tetap tak muncul.
Ia hanya mengingat kilasan bayangan yang berkelebat.
Bagaimana mereka berdua dihabisi oleh pria yang tidak bisa dilihat wajahnya.
Jagat tersadar dari lamunan ketika Dokter Gilbert memegang bahunya. Saking asyiknya, ia mengulang ingatan saat adegan pembunuhan itu terjadi. Ia juga tak menyadari orang-orang yang hadir dalam pemakaman itu sudah tidak ada. Kini hanya ada dirinya dan Dokter Gilbert.
"Apa yang kamu pikirkan, Jagat?" tanya Dokter Gilbert.
"Ah, tidak. Aku tidak memikirkan apa pun," elak Jagat.
"Sekarang kita ke rumahmu. Mungkin kamu bisa mengingat kejadian pembunuhan kedua orang tuamu dan tentang dirimu juga. "
Jagat menganggukkan kepala sambil berdiri dari jongkoknya.
Sekuat apa pun, ia berusaha mengingat. Hanya bayangan pria itu yang selalu muncul.
Cara pria itu merobek dada kedua orang tuanya dengan senyuman penuh kebahagiaan, lalu mengambil jantung.
Sampai darah pun pria itu masukkan ke dalam botol-botol kaca. Entah untuk apa, pria itu melakukan hal aneh seperti itu. Anehnya, Jagat tak bisa melihat wajahnya sama sekali. Sehingga ia tak bisa mengenali pelaku yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya
Mobil hitam milik Dokter Gilbert ada di hadapan. Suara mobil berbunyi, bertanda kunci otomatis sudah terbuka. Jagat masuk ke mobil dan duduk di depan bersebelahan dengan Dokter Gilbert yang duduk dibalik kemudi.
Dalam perjalanan tak ada perbincangan apa pun. Banyak sekali hal-hal yang bermunculan dalam pikiran Jagat. Tentang keluarga, masa lalu, dan juga kehidupannya sebelum kejadian itu terjadi.
Entah, kenapa ia tak mengingat semuanya sama sekali? Yang melekat diingatan, hanya ada pelaku pembunuhan itu. Wajah pembunuh itu, masih menjadi teka-teki.
Dokter Gilbert melirik ke arah Jagat. Ia merasa kasihan pada anak itu. Entah memiliki keluarga lain atau tidak, sepertinya tak ada.
Sekarang anak itu hidup sebatang kara.
Jika itu benar, ia akan mengadopsi anak itu menjadi bagian dari keluarganya. Lagi pula ia dan sang istri belum dikaruniai anak selama hampir 12 tahun usia pernikahan mereka. Mungkin kehadiran Jagat akan menghangatkan rumah yang dingin.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, Jagat?" tanya Dokter Gilbert penasaran dengan raut wajah Jagat seperti memikirkan sesuatu.
"Aku melihat bayangan pelaku pembunuhan itu, tapi wajahnya tak terlihat," jawab Jagat.
"Kamu tahu pelakunya?" Dokter Gilbert meminggirkan dan menghentikan laju mobil.
Jagat menceritakan bayangan-bayangan yang ia lihat saat menyentuh foto kedua orang tuanya secara detail.
Ia juga menceritakan tentang kejadian yang dialami oleh pengendara motor yang hampir saja mencelakai Dokter Gilbert.
Dokter Gilbert mendengarkan dengan seksama dan berpikir tentang apa yang dialami oleh Jagat.
Sebesar inikah efek dari benturan di kepala anak itu hingga ia bisa melihat sesuatu dari masa lalu bahkan masa depan.
Anehnya, sebesar apa pun usahanya, Jagat tak bisa mengenali wajah pelaku itu sebab ada yang menghalangi.
Ponsel Dokter Gilbert berbunyi. Ada telepon masuk dari pihak kepolisian. Ia meminta izin untuk mengangkat telepon dan berdiri meninggalkan Jagat.
Jagat penasaran dengan jati diri dan keluarganya. Ia berdiri dan berjalan mengitari rumah itu.
Ia tak ingat di mana posisi kamarnya berada. Kamar demi kamar dibuka.
Namun, tak ia temukan. Ia mencoba mencari ke lantai atas. Mungkin kamarnya ada di sana. Ternyata benar ada 2 kamar. Salah satunya adalah kamarnya.
Jagat membuka pintu. Kamar dengan nuansa warna putih dengan wallpaper biru muda di sebagian dinding membuat suasana nyaman. Meja belajar, laptop, dan beberapa buku berantakan.
Ia menata kembali buku-buku itu di rak sebelah kiri meja. Matanya melihat jadwal yang tertempel di sana. Jadwal Ujian Nasional, hari Senin depan.
Ternyata ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Melihat buku pelajaran yang ada, ia masuk jurusan IPA.
Jagat tidak menyadari di balik pintu Dokter Gilbert memperhatikannya. Pria itu masuk ke dalam sambil melihat isi kamar, lalu mengambil satu buku yang tertera namanya dan duduk di sampingnya.
"Rahwana Jagat." Dokter Gilbert membaca nama itu.
Jagat menoleh ke samping.
"Saya jadi penasaran. Kenapa orang tuamu memberi nama ini?" Dokter Gilbert melirik Jagat.
"Dalam mitologi Hindu, Rahwana adalah tokoh antagonis dalam cerita Ramayana. Tubuhnya besar bak raksasa dan ia juga diibaratkan iblis."
"Aku tidak tahu. Mungkin kedua orang tuaku berasal dari Bali sehingga memberi nama Rahwana Jagat," jawab Jagat asal-asalan.
"Ya, mungkin. Senin depan, kamu sudah mulai Ujian Nasional. Apa kamu sudah siap masuk sekolah?" Dokter Gilbert menanyakan kesiapan Jagat.
Karena Jagat pasti sudah banyak ketinggalan pelajaran. Dengan kondisi Jagat sekarang, entah anak itu bisa mengikuti pelajaran atau tidak?
"Besok. Aku akan sekolah, tapi aku tak tahu di mana sekolahku?"
"Saya yang akan mengantarmu," ucap Dokter Gilbert sambil memegang pundak Jagat.
"Jagat, kamu sekarang hidup sendiri. Apa kamu bersedia saya angkat menjadi anak?" Dokter Gilbert menatap Jagat menunggu reaksinya.
Jagat menoleh ke arah Dokter Gilbert.
Ya, ia memang benar-benar tak punya saudara. Buktinya, ketika peristiwa itu terjadi.
Tak ada satu orang pun yang menengok atau mengurusi jenazah orang tuanya.
Semua diurus oleh Dokter Gilbert.
...****************...
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!