NovelToon NovelToon

Pernikahan Impian

Permintaan Terakhir?

"Apa? Menikah? Apa Mamah sama Papah sudah gila? Meminta anak yang masih sekolah untuk menikah? Tidak! Tidak! Aku tidak mau melakukannya," tolak seorang gadis berseragam SMA secara terang-terangan di hadapan kedua paruh baya yang tengah duduk di sofa ruang tengah rumah mereka.

Sepasang suami istri itu saling menatap satu sama lain, kebingungan serta kecemasan jelas terpancar di kedua mata mereka. Bagaimana tidak? Itu merupakan syarat yang diajukan seseorang kepada mereka sebagai imbalan atas bantuan yang diberikannya.

"Tapi, Nak, itu yang mereka inginkan. Mereka sudah membantu kita sangat banyak, mereka tidak meminta kita mengembalikan semua yang sudah mereka beri. Yang mereka minta hanyalah sebuah pernikahan." Suara sang mamah terdengar memelas, ada nada putus asa di dalamnya yang jelas terdengar.

Gadis itu berbalik sambil berkacak pinggang, menatap berang kedua paruh baya yang tak lagi bisa berpikir.

"Aku tetap tidak mau. Siapa yang sudi menikah dengan laki-laki pesakitan sepertinya? Aku masih sangat muda, cantik, sempurna, tidak kekurangan apapun. Aku juga memiliki kriteria sendiri laki-laki seperti apa yang ingin aku nikahi. Bagaimana kata orang di saat aku harus menikah dengan laki-laki penyakitan? Itu akan sangat memalukan!" sentak gadis itu dengan angkuh dan tegas.

Seperti sebelumnya, mereka saling menatap satu sama lain. Menggeleng putus asa, tak tahu lagi bagaimana caranya membuat sang anak mau menerima permintaan mereka.

Di saat itu, gadis lain masuk ke dalam rumah. Seperti biasanya, ia terus berlalu tanpa menyapa mereka karena semua percuma. Tak satu pun dari mereka akan peduli padanya. Bahkan, bertegur sapa saja mereka tidak pernah melakukan.

Ketika itu juga, mata gadis angkuh itu berbinar. Ia tersenyum jahat, kemudian mengejar gadis yang baru saja memasuki rumah.

"Tunggu, Wulan! Kemarilah dulu!" Tanpa persetujuannya, gadis itu menarik tangan Wulan dan menyeretnya ke hadapan kedua orang tua mereka.

"Ada apa? Kali ini apa lagi kesalahan yang aku buat?" tanya Wulan dengan nada dingin dan beku. Ia menatap ketiga orang di hadapannya tanpa eskpresi.

"Jangan salah paham dulu, kali ini tidak ada kesalahan yang kamu lakukan. Duduk dulu!" perintah gadis itu sembari memaksa tubuh Wulan untuk duduk di sofa hadapan mereka.

Lalu, ia beralih duduk di antara kedua paruh baya dengan senyum yang mengembang sempurna. Otak kecilnya berpikir licik, melimpahkan beban tanggung jawab kepada gadis polos itu.

"Kali ini apa?" tanya Wulan menatap sang papah dengan sedih. Dia tahu jika sudah seperti ini, pastilah ada hal yang harus dia lakukan. Jika menolak, maka siksa yang akan dia terima dan kurungan di dalam gudang tanpa makan dan minum.

Seperti itulah kehidupan Wulan, dia ingin terbebas dari keluarganya sendiri. Sempat Wulan bertekad untuk pergi dari rumah, tapi berkali-kali melarikan diri mereka tetap saja tahu. Wulan seperti terjebak di dunia penyihir jahat.

Sang papah menatap dalam wajah putri sulung yang tanpa sadar ia perlakukan secara tak adil itu. Dia merasa bersalah, sudah ribuan permintaan dilakukannya dan itu semua selalu dikabulkan Wulan. Kali ini, dia merasa keterlaluan karena akan merenggut masa-masa sekolah sang putri.

"Wulan ...." Kalimat yang menggantung itu membentuk kerutan di dahi Wulan, tak biasanya ia terlihat ragu bila ingin meminta sesuatu darinya.

"Kenapa, Pah?" tanya Wulan. Jejak kesedihan di wajahnya jelas terlihat dan itu semakin menusuk relung jiwa sang papah. Tegakah ia?

Selama hidupnya Wulan hanya pernah mengajukan satu permintaan darinya. Yaitu, dapat bersekolah seperti sang adik tiri, Salsa. setelah melalui perdebatan yang alot, Wulan akhirnya dapat bersekolah meski terlambat.

"Papah boleh meminta satu hal darimu, Nak? Papah berjanji ini adalah yang terakhir kalinya Papah meminta padamu. Setelah ini, tidak akan ada lagi permintaan," ujar sang papah dengan nada berat yang tak ia sembunyikan.

Salsa dan ibunya mendengus, memutar bola mata malas menyaksikan drama papah dan anak itu.

"Tidak usah berbelit-belit, Pah. Katakan saja langsung, sebagai anak dia harus memenuhi permintaan orang tuanya. Harus tahu balas budi," sambar sang istri ketus.

Lelaki itu menghela napas, dia tidak pernah bisa menang bila sudah berdebat dengannya. Kepala itu menunduk, kemudian kembali terangkat dan menatap wajah Wulan yang bergeming pada kebekuan.

"Katakan saja, Papah. Jangan sungkan karena biasanya saja tidak pernah seperti ini," tutur Wulan sembari memaksakan senyumnya.

Ia sudah lelah, tak ingin beradu mulut dengan mereka yang duduk di depannya. Dua sosok itu sudah membuatnya muak, ia ingin segera pergi dan merebahkan diri di atas kasurnya yang lapuk.

Lelaki paruh baya itu menghela napas, sangat dalam dan panjang. Ada rasa tak tega terbersit dalam dada ketika setiap perlakuannya terhadap Wulan membayang di pelupuk. Ia tahu, usia Wulan sudah pas untuk menikah meski gadis itu masih duduk di bangku kelas dua SMA.

"Nak, Papah mau meminta tolong padamu. Kamu tahu usaha Papah akhir-akhir ini mengalami kesulitan. Papah harus pontang-panting mencari tambahan modal ke sana kemari. Akhirnya ada juga yang mau membantu Papah, tapi mereka mengajukan syarat," ungkap lelaki itu sembari menatap Wulan lewat pandangan yang sulit diartikan.

Kerutan di dahi Wulan semakin banyak terbentuk, sampai-sampai kedua ujung alisnya bertemu satu sama lain. Ia diam, tak ingin bertanya meski dirundung rasa penasaran.

"Syarat yang mereka ajukan adalah, meminta salah satu anak gadis Papah untuk menjadi istri putra semata wayangnya. Jika tidak, maka mereka akan menarik kembali modal yang sudah mereka berikan. Kamu bisa membantu Papah, bukan?" lanjut lelaki itu dengan perasaan tak tega yang memenuhi hatinya.

Wulan terkejut, tapi ia tetap menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan. Matanya melirik Salsa yang tersenyum samar seolah-olah tengah mengejeknya. Wulan menghela napas, ia tahu kandidat paling kuat hanyalah dirinya. Salsa masih terlalu muda untuk menikah, sedangkan ia sudah memasuki usia pas untuk menikah. Dua puluh tahun.

Wulan menunduk, diam-diam menghela napas untuk mengurangi rasa sesak di hati. Setelah ini, apalagi permintaan mereka yang harus ia kabulkan. Wulan merasa menjadi orang yang paling bertanggungjawab untuk kelangsungan hidup keluarganya. Setiap kali ada masalah, selalu Wulan yang menjadi senjata andalan untuk menyelesaikannya.

"Wulan mengerti, Papah, tapi bagaimana dengan sekolah Wulan yang hanya tinggal satu tahun lagi? Wulan ingin menyelesaikannya," ucap Wulan lirih di ujung kalimat.

Mata lelaki itu terpejam, sekolah sampai perguruan tinggi adalah permintaan mendiang ibunda Wulan sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Namun, apalah daya kini, keadaan memaksa Wulan.

"Kamu tenang saja, Papah sudah mengatakan pada mereka bahwa anak Papah masih sekolah dan mereka tidak keberatan sama sekali. Kamu akan tetap melanjutkan pendidikan hingga lulus," sahut sang papah disambut helaan napas lega oleh Wulan.

Wulan tersenyum, masih sedikit bersyukur jika ia benar-benar bisa menempuh pendidikan hingga lulus. Semoga dia dapat keluar dari rumah yang terasa seperti neraka itu.

"Wulan bisa menerima, tapi bolehkah Wulan mengajukan syarat?" tanyanya sembari tersenyum meski dipaksakan. Ia memiliki cita-cita tinggi, berkuliah dan bekerja sebelum membina rumah tangga. Namun, kini semua itu harus kandas, hilang bersama asa yang menguap.

"Apa, Nak? Katakan saja!" ucap sang papah menyanggupi.

Berbeda dengan kedua wanita yang duduk di sampingnya, mereka mencibirkan bibir jengah melihat gadis itu.

"Cukup menikah saja, jangan ada pesta dan tamu undangan karena status Wulan masih seorang pelajar. Wulan harap Papah bisa menyampaikan ini pada mereka."

****

Hai, hai, kita bertemu lagi di sini. Selamat datang para pembaca, semoga kalian suka.

Pasrah

Wulan duduk bermenung di dekat jendela kamarnya, tak ada air mata yang meleleh dari pelupuk. Rasanya kering sudah, menangis pun tak berair mata lagi. Helaan napas halus terhembus meninggalkan jejak embun di kaca itu. Sungguh malang nasibnya sejak ditinggal ibunda tercinta.

Wulan hanya memiliki ingatan samar tentang wajah wanita yang telah berjasa melahirkannya itu. Usia dua tahun, ia ditinggal pergi selamanya dan diasuh oleh ibu sambung yang dinikahi sang papah beberapa bulan setelah kepergian sang ibu. Hanya melalui sebuah gambar, Wulan dapat mengenal ibu kandungnya.

"Mamah ...." Panggilan lirih itu lolos dari bibirnya yang pucat dan bergetar. Ingin rasanya meraung meluapkan setiap sesak yang mengurung dada. Namun, ia tahu semua itu percuma.

Wulan tidak memiliki kenangan indah sejak kecil, hanya kepahitan yang terbayang di pelupuk matanya. Perlakuan tidak adil dari sepasang orang tua yang merawat, kerap ia dapatkan. Mereka lebih condong kepada Salsa karena alasan dia anak pertama dan harus mengalah.

Bugh!

Wulan meringis sembari menggigit bibir tatkala bayang di masa kecil kembali melintas. Matanya terpejam merasakan sakit luar biasa yang menghantam betis akibat pukulan sebuah rotan sang ibu tiri. Dia tidak menangis sesenggukan, tapi air mata yang jatuh sudah menjadi bukti betapa sakit jiwa dan raganya.

Di usia ke tujuh tahun, Wulan sudah tidak mampu meminta ampun. Ia hanya diam ketika sabetan demi sabetan rotan menghantam tubuh kecilnya. Tidak ada kesalahan yang ia lakukan, semua itu berasal dari aduan Salsa yang kerap merasa iri terhadap dirinya.

"Jangan menangis! Dunia ini keras, kamu jangan cengeng. Papah nggak suka!" Suara keras sang papah kembali menampar telinga. Semakin rapat mata Wulan terpejam. Rasa sesak semakin merebak, mempersempit jalan udara untuk mengisi rongga.

Sekarang, setelah dewasa pun ia harus tetap berkorban tanpa dapat protes dengan keputusan yang diambil kedua orang tua itu. Wulan menyeka air yang jatuh, secercah harapan datang menelusup ke dalam relung jiwa. Semoga ia dapat pergi meninggalkan rumah itu setelah pernikahannya.

"Wulan! Kamu di mana?" teriak Salsa memanggil sang kakak.

Usia mereka terpaut tiga tahun, tapi Salsa tidak pernah menyebutnya sebagai kakak. Bahkan, Salsa kerap memperlakukan Wulan seperti pembantu saat di sekolah dan di mana pun mereka berada.

Wulan bergeming, pun ketika pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Gadis bertubuh kurus itu tetap duduk berpangku lutut, memandang hampa kekosongan di luar jendela.

"Bagus! Kamu enak-enakan ngelamun di sini rupanya. Tuh, meja makan masih kosong. Sebaiknya kamu cepat masak sebelum Mamah yang minta!" bentak Salsa sembari melangkah mendekati Wulan.

Namun, tak ada respon dari gadis itu, teriakan Salsa tetap disambut hening oleh Wulan.

"Heh, kamu mendengarkan aku tidak? Cepat masak!" Salsa menarik rambut Wulan tanpa belas kasihan hingga tubuh kurus itu terjerembab di lantai.

Tak ringisan kesakitan yang menguar dari bibir Wulan, ia tetap bungkam mengunci rapat-rapat mulutnya. Sorot mata itu berpindah menatap Salsa. Dingin dan menusuk, Salsa bergidik. Dalam pandangannya kini, sosok Wulan ibarat mayat hidup yang kapan saja siap mencabik-cabik tubuhnya.

"Cepat sana!" Kata terakhir yang diucapkan Salsa terdengar sedikit bergetar sebelum dia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan ruang kamar Wulan yang sempit.

Gadis itu bangkit dari lantai, menghela napas sebelum beranjak menuju dapur. Melakukan tugas yang seharusnya dikerjakan pembantu rumah tangga sebelum dipecat sang ibu tiri.

"Nanti malam calon suami kamu akan datang ke rumah. Mereka akan melamar kamu," ucap Salsa setelah menenggak air yang diambilnya dari lemari es.

Wulan menghentikan gerakan tangannya yang sedang merajang bumbu. Hanya sesaat, kemudian kembali tidak peduli.

"Tadinya papah minta aku yang nikah, tapi kamu tahu, 'kan, aku ini masih terlalu muda untuk menikah. Cita-citaku juga masih banyak, dan aku ingin menikah dengan laki-laki pilihanku sendiri. Jadi, kamu yang harus menikah sama laki-laki itu supaya keluarga kita tidak mengalami kesulitan lagi," cerocos Salsa disambut helaan napas oleh Wulan.

Dia pun sama, memiliki pernikahan impian dengan laki-laki pilihan hatinya sendiri. Bukan pernikahan dadakan seperti ini dan terkesan paksaan. Wulan tidak menanggapi, terus saja berkutat dengan aneka bahan masakan yang harus diraciknya menjadi jamuan makan siang untuk semua orang di rumah itu.

"Kamu harusnya bersyukur, mamah aku sudah menghabiskan waktu merawat kamu dari kecil. Jika tidak ada mamah aku, mungkin nasib kamu tidak akan sampai di usia ini." Suara Salsa kembali terdengar, tapi tetap ditanggapi kebisuan oleh Wulan.

Gadis itu merasa geram, tangannya menggenggam erat botol dingin yang belum sempat disimpannya.

"Kamu mendengarnya tidak!?" Tangan Salsa menyibak tubuh Wulan, tapi gadis itu tetap tidak berbalik dan diam.

Kurang ajar!

"Kamu bisa tinggalkan aku sendiri? Makanan ini tidak akan pernah sampai di perutmu jika kamu terus menggangguku," ucap Wulan dingin.

Salsa semakin geram, rahangnya mengeras mendengar kalimat pengusiran dari Wulan. Ia berbalik dan pergi membawa kekesalan hatinya. Wulan menghela napas, melanjutkan memasak menu makan siang.

Brak!

Suara keras yang menghantam meja makan menyentak tubuh Wulan. Ia memejamkan mata, tapi enggan berbalik dan tetap melanjutkan kegiatan memasaknya.

"Wulan, kamu olah semua bahan masakan ini menjadi makanan lezat. Nanti malam mereka akan datang ke rumah untuk menentukan pernikahanmu. Ingat, jangan mempermalukan papah kamu!" Suara memerintah perempuan separuh baya yang tidak menginginkan bantahan.

Setelah itu, dia pergi meninggalkan dapur bergabung dengan anaknya yang manja. Papah? Entah, ke mana perginya laki-laki itu. Sekalipun ada, sama saja bagi Wulan. Kembali Wulan membuang udara, menghilangkan sesak dalam dada.

Ia berbalik melihat betapa banyaknya bahan masakan yang harus disulap menjadi makanan lezat.

Padahal aku lelah, ingin beristirahat. Kenapa tidak memesan catering saja?

Wulan mengeluh dalam hati, tapi tak mampu mengungkapkannya secara lisan. Ia membawa bahan-bahan itu ke meja lain dan mengisi meja makan dengan masakan yang baru saja selesai dibuatnya. Wulan pergi ke halaman belakang sambil membawa sepiring nasi untuk mengisi perutnya. Begitulah yang dia lakukan.

Hatinya perih manakala telinga mendengar gelak tawa dan cengkerama semua orang di meja makan. Ia pun ingin merasakan itu, bercerita tentang kegiatan harian sambil menikmati makan bersama keluarga. Wulan tidak pernah mendapatkan hal itu.

Lagi-lagi, air mata yang jatuh disapunya tanpa suara. Terus mengunyah meski tak ada rasa. Lidah tak mampu lagi merasakan lezatnya makanan. Hanya demi kelangsungan hidup untuk mengejar cita-cita, ia memaksa rongga mulutnya menelan makanan itu.

Mamah, seandainya kamu masih ada saat ini, mungkin nasibku tidak akan seperti sekarang. Seperti apa dirimu? Aku tidak pernah tahu, papah tidak pernah menceritakan tentangmu, Mamah.

Hati Wulan merintih perih, membayangkan jalan kehidupan yang lain jika sang ibunda berada di dekatnya.

"WULAN!"

Penyesalan Tiada Berguna

Wulan merebahkan diri usai menuntaskan tugasnya membuat aneka masakan untuk menyambut kedatangan tamu istimewa yang mereka tunggu. Bukan yang ditunggu Wulan. Ia menatap hampa langit-langit ruangan, mengerjap berat, membayangkan akan seperti apa kehidupannya setelah menikah nanti.

"Seperti apa laki-laki yang akan menikahiku? Apakah dia tampan, kaya, atau ... ah, bagaimanapun dia kuharap dia bisa menyelamatkan aku dari neraka ini," gumam Wulan menyematkan asa di langit.

Ia menghela napas, mengerjap tanpa mengubah posisi tubuh. Perlahan, kelopak yang terasa berat menutup hampir terlelap karena rasa letih yang mendera seluruh bagian tubuh. Sampai suara derit pintu terdengar mengusik gendang telinga.

Wulan membuka matanya kembali, berpaling ingin melihat. Tak biasanya pintu itu bergerak lambat dan lembut, tidak membanting dengan kasar. Lalu, sosok paruh baya muncul sudah mengenakan batik berwarna biru langit yang tersamarkan lampu kuning di kamar Wulan.

"Papah!" lirih Wulan yang hanya dapat didengar gendang telinganya sendiri.

Laki-laki itu berdiri mematung, menatap sang putri yang perlahan bangkit dari tidur. Ia duduk tenang di kasur lapuknya, menanti kedatangan sang cinta pertama. Seharusnya, tapi itu tidak pernah terjadi dalam kehidupan Wulan.

Mata tua itu memindai seisi ruangan, tak ada ranjang seperti di kamar Salsa. Tak ada lemari bagus, sofa, apa lagi hiasan-hiasan anak gadis yang menempel di dinding seperti layaknya kamar Salsa. Ruangan itu hanya diisi sebuah kasur usang dan lemari kecil saja untuk menyimpan barang-barang Wulan.

Ia menahan napas, rasa bersalah kembali datang menyerang. Selama ini dia begitu tidak peduli pada putrinya, tidak tahu seperti apa cerita hidupnya, tak tahu bagaimana ia menjalani semua kesehariannya.

"Papah, ada apa?" Suara tanya Wulan membuyarkan lamunannya.

Ia menyeka kedua sudut mata yang tiba-tiba mengembun, menghirup udara, sebelum membawa langkah mendekati putrinya. Ia duduk tepat di samping Wulan, menelisik wajah lelah yang selama ini luput dari perhatian. Disapunya rambut hingga pipi gadis itu, terbersit rasa sesal mendalam kala bayang wajah sang ibunda melintas.

Sungguh, dia telah gagal menjalankan amanah dari mendiang sang istri karena terlalu menuruti keinginan istri barunya itu. Untuk seumur hidup, menyentuh kulit Wulan saja baru kali ini ia lakukan. Direngkuhnya tubuh itu, dibenamkan dalam dada. Terisak lirih tak mampu membendung emosi.

"Maafkan Papah, sayang. Papah sudah gagal menjagamu," bisiknya di sela-sela isak tangis yang menguar.

Wulan terkejut sekaligus bingung dengan situasi yang ia alami. Bisa dibilang itu adalah pelukan pertama sang papah setelah ibunya meninggal. Wulan tak tahu harus apa, ia membeku sama sekali tak bergerak. Bahkan, kedua tangannya tetap diam di tempat tak tergerak untuk membalas. Hanya tetesan bening yang jatuh satu demi satu menjadi bukti betapa resah hatinya.

Laki-laki itu melepas pelukan, meraup wajah Wulan dengan kedua tangan. Kemudian, menggenggam jemari sang anak dengan erat dan lembut.

"Apa kamu baik-baik saja, Nak? Katakan pada Papah jika kamu merasa keberatan dengan semua ini," ucapnya dengan perasaan perih tak menentu.

Wulan bergeming, mematri pandangan pada kedua manik sang papah yang berembun. Lalu, senyum samar terulas untuk kemudian ia menarik satu tangannya dan menyeka air mata.

"Papah tidak perlu mengkhawatirkan aku. Ini sudah menjadi tugasku meringankan beban keluarga. Jika bukan aku, siapa lagi yang akan melakukannya? Aku baik-baik saja," ucap Wulan meski hati perih tercabik-cabik.

Mendengar itu, semakin dalam rasa sesal yang mendera. Sudah berapa banyak beban yang dia limpahkan pada putri sulungnya itu? Tidak terhitung rasanya, tapi pengorbanan Wulan tetap saja tak terlihat di mata mereka.

"Maafkan Papah ... maaf," lirih lelaki itu sambil menempelkan dahi di punggung tangan Wulan.

"Papah tidak perlu meminta maaf. Seperti yang selalu dikatakan Mamah Susi dan Salsa, sebagai anak aku harus membalas budi jasa kalian yang sudah merawatku sejak kecil," ujar Wulan menahan tangis yang merangsek hendak turun.

Sungguh, ia sendiri sulit menjabarkan perasaan hatinya kini. Ada pedih bila mengingat semua perlakuan mereka, tapi juga sedikit bahagia karena sebuah kehangatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Lelaki itu menggelengkan kepala mendengar ucapan Wulan, tapi tak ada kata yang keluar. Ia sadar betul, jika istri dan anak keduanya terlalu mendominasi rumah dan mengatur kehidupan Wulan.

"Kamu yakin menerima pernikahan ini?" Pertanyaan itu lolos begitu saja disambut anggukan kepala Wulan tanpa kata.

"Bagaimana dengan cita-cita kamu?" lanjutnya bertanya dengan cemas.

Wulan tersenyum getir, setelah sekian lama baru kali ini ia mendengar lelaki itu bertanya tentang cita-cita dan keinginannya.

"Aku sudah tidak memiliki cita-cita sejak kehidupanku disetir mamah dan Salsa. Papah tidak usah risau, aku baik-baik saja dan aku akan mencoba menerima semua ini," ucapnya tegas meski terdengar sedikit bergetar.

"Apa kamu tidak ingin bertanya seperti apa laki-laki yang akan menikahi kamu?" tanya sang papah lagi.

Sebenarnya Wulan pun bertanya-tanya, tapi ia tak berani mengutarakannya lewat lisan karena itu sama saja mengundang siksa yang akan diterimanya. Ia tersenyum, menggelengkan kepala samar.

"Tidak perlu. Seperti apapun dia, yang terpenting dia mau membawaku keluar dari rumah ini. Itu sudah cukup bagiku," ujar Wulan dengan segenap ketegaran hatinya. Ia tersenyum, membuat hati tua sang papah tercabik perih.

"Apa kamu benar-benar ingin pergi dari rumah ini?" tanyanya dengan pedih.

Lagi-lagi senyum Wulan terbit, menandakan dia telah siap untuk segala resiko dari keputusan yang diambilnya. Tidak! Bukan! Itu bukan keputusannya, tapi keputusan orang tua yang dipaksakan dan harus diterima olehnya. Miris, bukan? Kebebasannya direnggut, hidup bagai robot yang mengikuti kendali remote control. Ia bisa apa?

"Menurut Papah apa aku sekuat itu untuk tinggal di rumah yang tidak memberiku kebebasan sama sekali? Minimal jalan hidupku saja, tak peduli dengan yang lain." Wulan menatap lekat netra tua di hadapannya.

Mata itu melebar meski sedikit, mulut terbuka tak percaya dengan apa yang ia dengar. Semua perlakuannya selama ini, menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Ia tak dapat memungkiri apapun yang dikatakan Wulan. Derita di sorot matanya, jelas menjabarkan semua.

Lelaki itu menahan napas untuk beberapa saat sebelum menunduk penuh sesal. Sesak yang dirasakan Wulan bertahun-tahun lamanya, kini mengalir ke dalam rongga dada. Oh, seperti ini rasanya tidak dipedulikan?

"Baiklah. Jika memang itu sudah menjadi keputusanmu, Papah tidak bisa berbuat apa-apa," ujarnya seraya mengangkat wajah dengan perasaan malu yang mendominasi.

Wulan menggeleng pelan. Lalu, berkata, "Bukan keputusanku, tapi keputusan kalian. Aku hanya menerimanya saja karena tak mungkin bisa menolak."

Lagi-lagi kata-kata yang lolos dari lisan gadis pendiam itu, menghujam jantungnya. Membuatnya perih tak mampu berucap lagi. Air mata menggenang, tapi Wulan tak peduli lagi.

"Bersiaplah sebelum Susi dan Salsa yang datang memintamu," katanya seraya beranjak bangkit membawa serta hatinya yang perih.

Wulan membisu, menatap punggung ringkih lelaki yang perlahan menghilang dibalik pintu yang tertutup. Ia menghela napas, apa yang harus dikenakan Wulan malam ini untuk menyambut kedatangan calon suaminya? Dia tidak memiliki sehelai pun pakaian bagus, hanya baju-baju usang yang tersimpan di lemari. Itu pun semua bekas pakai Salsa dan ibu tirinya. Sungguh tega!

"WULAN! Apa kamu sudah bersiap?!"

Brak!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!