NovelToon NovelToon

Aku Yang Terlupakan

Bab 1. 21+ Kemesraan terakhir

Bab 1. 21+ Kemesraan terakhir

11 Januari 2018, lima tahun silam tepatnya pernikahan kami langsungkan. Seakan menjadi ritual bagi kami berdua di setiap tahun dan tepatnya pada tanggal 11 Januari kami akan merayakan Anniversary pernikahan.

Pernikahan yang sudah memasuki di tahun kelima meskipun hingga saat ini kami belum di percaya untuk menimang dan mendengarkan tangis seorang bayi dalam rumah kami. Namun, baik Wiksa dan Airin tak pernah mempermasalahkan semua itu. Mereka menjalani dengan tenang dan menyerahkan semua pada kebesaran Allah.

Di Anniversary yang kelima Wiksa sengaja menyewa sebuah Villa untuk mereka berdua, menghabiskan waktu bersama Airin. Pagi ini adalah hari terakhir mereka untuk berkemas, Wiksa masih dengan celana pendeknya dan bertelanjang dada, sementara Airin masih berbalut selimut. Sepasang suami istri yang baru menyelesaikan tugas negaranya.

“Cepat mandi Mas, Airin akan langsung berkemas,” ujar Airin sembari menggeliat dan berusaha menepis ciuman sang suami.

“Diamlah Airin. Sebentar saja, biarkan aku memelukmu dan mencium aroma wangi tubuhmu.” Wiksa sembari terus mengendus leher sang istri.

“Mas ... jangan begini. Airin masih capek,” tolak Airin manja.

“Sekali lagi sayang, boleh ‘kan?”

"Mas, sudah. Airin harus berkemas."

“Mas ... geli,” Airin dengan suara berat dengan tubuh menggeliat.

Namun, semua penolakan Airin tak menciutkan hasrat suaminya, Wiksa terus mencu***u hingga akhirnya Airin takluk dengan belaian sang suami, tangan lembut Wiksa menjelajah setiap inci tubuh sang istri hingga membuat Airin mendesah pasrah.

Ranjang yang tadinya tenang perlahan kini mulai terguncang karena sentakan teratur yang Wiksa lakukan, mereka berdua sudah kembali beradu nikmat dan keringat, bergulat dengan hasrat yang membuncah dan berakhir dengan ******* panjang yang terdengar dari bibir mereka berdua.

Terbaring di samping Airin, netranya menatap lekat seraut wajah sayu yang tengah menatapnya penuh cinta. “Terima kasih Airin.” Wiksa kembali menye***p bibir tipis sang istri yang terlihat merah.

“Kita tunda kepulangan kita Airin, hari ini kita habiskan waktu bersama,” ujar Wiksa sembari berbaring merapatkan tubuhnya.

Airin hanya mengangguk dan menatap sendu ke arah suaminya, pagi ini tubuhnya benar-benar lelah setelah semalam berperang melawan hasrat mereka dan pagi ini suaminya juga masih belum mau melepas dirinya begitu saja.

“Kemarilah, tidur dalam pelukanku Airin,” pinta Wiksa menarik begitu saja tubuh polos sang istri.

Airin benar-benar tak berkutik dalam dekapan sang suami, menarik selimut yang terberai begitu saja untuk menutup tubuh mereka yang benar-benar polos dan kelelahan.

Mereka benar-benar hanya berbaring, berbagi kehangatan dari tubuh mereka masing-masing hingga mereka terlelap. Siang yang panas membangunkan Wiksa, manik matanya menatap lekat pada wajah sang istri yang sedang tertidur pulas di lengannya. Tangannya terulur menyibak anak rambut yang hampir menutupi wajahnya. Entah, apa yang ada dalam benaknya, sesaat bibirnya tersenyum penuh arti.

Tangannya terus bergerak pelan memberikan

sentuhan lembut di tubuh sang istri. Airin hanya menggeliat makin merapatkan punggungnya di badan suaminya. Melihat sang istri hanya menggeliat tanpa sedikit pun ingin membuka matanya Wiksa kembali tersenyum usil. "Bangun sayang," bisiknya lirih, kini tangan sudah menyusuri setiap lekuk tubuh Airin, mencium lembut punggungnya beberapa kali. “Bangun, sayang,” bisik Wiksa lirih, mencium bibir Airin lembut.

“Mas ... Airin masih mengantuk Mas. Mas Wiksa, jangan lagi. Airin capek Mas,” tolak Airin bergelincang geli membuat netranya perlahan terbuka.

"Huamm ...." Airin sembari merubah posisi tidurnya.

"Mas ...." Airin menolak saat melihat gelagat aneh dari sang suami, Airin langsung menarik selimut kemudian menutup tubuhnya asal. Airin segera bangkit dengan sedikit berlari Airin menuju kamar mandi.

"Eeiitsss ... diam di situ!" seru Airin saat melihat Wiksa ikut turun dari ranjang.

Wiksa yang mendengar ucapan Airin seketika tertawa sembari menatap tubuh sang istri yang melesat cepat menuju kamar mandi. Wiksa sesaat terdiam dan dia bisa merasakan bahwa saat ini dadanya masih berdebar hebat saat melihat Airin dengan semua kepolosannya.

“Airin terima kasih, kamu selalu bisa membuat jantungku berdebar hingga saat ini,” ucap Wiksa lirih.

Wiksa masih duduk di sisi ranjang saat Airin keluar dari kamar mandi, menatap rambut basah sang istri serta baju dinas yang di kenakan sesaat hasratnya kembali membuncah. Wiksa hanya bisa menahan konaknya mengembuskan napas berat untuk membuang hasrat yang sekilas lewat. “Mas mandi,” tegur Airin mengejutkan sembari menyisir rambut basahnya.

Wiksa sesaat terpana, menatap sang istri dengan semua keindahannya. Airin yang tidak menyadari akan tatapan sang suami seketika terkejut saat Wiksa sudah menariknya mendekat, menangkup wajahnya hingga tatapan mereka beradu. “Airin ....” Wiksa tanpa bicara langsung memeluknya erat.

“Mas, ada apa?” Airin terkejut dan merasa heran dengan sikap suaminya.

“Jangan menolak Airin, biarkan aku memelukmu seperti ini,” pinta Wiksa aneh.

Airin tak bisa berkata-kata, tangannya secara refleks memeluk sang suami, ada rasa tidak percaya dengan sikap suaminya . “Mas ... apa? Airin melakukan kesalahan atau ....” Airin memutus ucapannya saat Wiksa mendongak dan menatapnya penuh cinta kemudian menggeleng.

“Terima kasih Airin, jadilah Airin yang seperti ini dan jangan pernah berubah,” ujar Wiksa dan kini sudah mencium lembut bibir sang istri yang sudah menjadi candu untuknya.

“Mas ... aduh!” keluh Airin tiba-tiba sembari melepas pang*** an sang suami, mendorong tubuh Wiksa sedikit menjauh.

Airin langsung memegang bibirnya yang sedikit terluka, menatap Wiksa kesal. “Maaf, bukan maksud Mas untuk melukai, tetapi ....” Wiksa sembari mengusap lembut bibir Airin.

Wiksa hanya tersenyum, melihat Airin dengan wajah bersungut sedikit menjauh darinya. "Airin," panggilnya pelan.

"Ya."

“Berkemaslah Airin, kita pulang,” titah Wiksa berjalan mendekat ke arah jendela.

Wiksa hanya berdiri di depan jendela saat Airin berkemas, entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Wiksa terlihat sesekali melirik ke arah Airin dan tak jarang menatap Airin lekat. Satu jam kemudian, saat Airin selesai berkemas.

“Mas, kita pulang sekarang?” tanya Airin hati-hati.

“Apa semua sudah siap?” tanya Wiksa tanpa menoleh dan tatapannya makin lurus ke arah luar jendela.

“Sudah Mas,” jawab Airin cepat.

“Mmm ... apa, kamu yakin? Kemarilah,” panggil Wiksa dan menarik tubuh Airin dalam rengkuhannya.

Mereka berdua berdiri menatap keluar jendela dan Airin hanya diam dalam pelukan sang suami. “Sepertinya alam mencegah kita untuk pulang Airin, hujan sebentar lagi akan datang, suara gemuruhnya sudah terdengar semakin dekat,” jelas Wiksa sembari menunjuk ke tempat yang lebih gelap.

“ Benar Mas, tidak masalah untuk Airin, asal Airin bersama Mas Wiksa,” jawab Airin yakin.

“Terima kasih untuk cintamu Airin,” balas Wiksa dan makin mengeratkan pelukannya.

“Mas, andaikan esok pagi masih hujan seperti ini?” Airin menarik tangan suaminya memegangnya erat.

Bab 2. Tragedi

Bab 2. Tragedi

Airin semakin merasa heran dengan sikap suaminya, mereka benar-benar menghabiskan siang hingga malam menjelang dengan kemesraan mereka. Airin tak mengira jika suaminya akan semakin bucin padanya. Namun, di balik semua sikap suaminya, terselip perasaan cemas di hati Airin, perasaan yang tiba-tiba membuatnya khawatir.

Dugaan Airin benar, setelah semalam suntuk hujan turun, pagi ini hujan kembali turun. Namun, sesuai kesepakatan yang mereka buat bersama mau tidak mau mereka harus kembali pulang, ada pekerjaan yang sudah menunggu mereka. Wiksa tak menunjukkan senyumnya sama sekali sejak melajukan mobilnya secara perlahan.

Hujan semakin deras membuat Airin semakin cemas dengan kondisi alam yang tidak mendukung. Berkali-kali Airin berusaha menenangkan hatinya, seakan ada firasat buruk yang saat ini sedang memburu dalam hatinya. “Mas, apa sebaiknya kita berhenti dulu hingga hujan mereda?” tanya Airin cemas.

Wiksa hanya melirik sekilas ke arahnya.

“Kita harus pulang Airin.”

Airin hanya mendengus, membuang semua rasa khawatir dalam benaknya. “Hati-hati Mas.” Suara Airin tertahan cemas, saat ini hatinya benar-benar merasa khawatir dan dadanya terus berdesir tidak nyaman.

Kekhawatiran Airin semakin menjadi saat hujan turun semakin lebat, di sertai angin yang kencang, Airin perlahan merapatkan tubuhnya di sisi Wiksa. “Mas, sepertinya cuaca makin memburuk kita berhenti dulu Mas, Airin takut,” lirih Airin.

Lagi-lagi Wiksa hanya melirik ke arah Airin, kemudian melambatkan laju mobil karena jalan di depannya mulai tergenang air cukup tinggi. Suara klakson terus terdengar silih berganti di tengah guyuran hujan lebat. “Argh ...." Wiksa kesal, memukul kemudi sedikit kencang, "kita terjebak banjir dan ....” Wiksa menghentikan mobilnya secara tiba-tiba suara decitan ban mobil nyaris tidak terdengar dan berganti dengan suara benturan keras dari arah belakang.

“Mas ....” Teriak Airin kencang saat merasakan ada sesuatu yang membuatnya terlonjak untuk sesaat, tangannya secara reflek meraih lengan suaminya.

"Mas ...." Airin makin erat memeluk erat lengan suaminya saat mobil terguncang dan bergerak aneh.

“Airin peluk Mas, Airin ....” Wiksa berteriak panik, suaranya yang kencang membuat Airin langsung memejamkan netranya.

Wiksa reflek melepas tangannya dari kemudi dan meraih tubuh Airin memeluknya erat, menyembunyikan kepala Airin di dadanya. Mobil bergerak tanpa kendali, meluncur terbalik di sisi jalan yang cukup curam. Wiksa makin erat memeluk Airin, hingga suara dentuman keras yang terdengar sebelum mereka tidak sadarkan diri.

“Mas ....” Airin tersadar, tangannya meraba tempat di mana dia berbaring, "Mas, Wiksa ...." Airin memanggil, tetapi yang terdengar hanya suara sirine ambulans yang meraung-raung meninggalkan tempat kejadian.

Di sisa rintik hujan yang membasahi tubuhnya, manik matanya menelisik menatap nanar apa yang sedang terjadi di depannya. "Ash ... aduh!" rintih Airin saat kakinya merasa ngilu untuk di gerakkan.

“Di mana ini?” lirih Airin sembari melihat sekujur tubuhnya.

“Mas ... Mas Wiksa!” teriak Airin keras saat menyadari jika suaminya tidak ada di sampingnya.

“Mas Wiksa ....” Airin berteriak kencang.

Mendengar teriakan yang cukup keras, petugas yang sedang berbicara langsung menghampiri dan berusaha menenangkan Airin yang terus berteriak memanggil nama suaminya. “Nyonya, sebaiknya Anda tenang, suami Anda sedang kami tangani dan di bawa ke rumah sakit terdekat begitu juga dengan Anda. Tenang Nyonya,” jelas sang petugas pelan.

“Mana, suamiku! Mana mas Wiksa!” teriak Airin semakin histeris.

“Pak, mana? Suamiku, tolong Pak. jelaskan apa yang terjadi, bagaimana kondisi suamiku?” tanya Airin memberondong saat menyadari jika saat ini keadaan terlihat kacau dan hiruk pikuk.

“Nyonya, tolong Anda tenang,” jawab petugas sembari menutup pintu belakang ambulans.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Airin terus memanggil nama Wiksa hingga dirinya tidak menyadari jika tubuhnya sendiri juga mengalami beberapa luka dan kakinya yang terasa ngilu. “Mas ....” Airin sembari menahan tangisnya membayangkan seperti apa kondisi sang suami.

Suara sirene yang meraung-raung tiba-tiba berhenti bersamaan dengan pintu belakang yang terbuka lebar. Tubuhnya perlahan di pindahkan di atas bed di dorong masuk ruang UGD. Airin yang sedari tadi merasa cemas dan khawatir akan kondisi suaminya hanya bisa terdiam saat tubuhnya di pindah di atas bed. Memasuki ruang UGD netranya seketika menelisik satu persatu ruangan yang tirainya terbuka, sesaat tubuh Airin tersentak saat melihat baju yang mirip dengan milik suaminya.

“Mas Wiksa,” lirihnya sembari berusaha turun dari bed.

“Nyonya, sebaiknya Anda tenang,” ujar perawat yang mendorongnya dan menempatkan pada ruangan yang lainnya.

Mengabaikan beberapa luka yang di dapatnya dengan sedikit kesulitan Airin turun dari bed, berjalan tertatih Airin menghampiri tubuh suaminya yang tergeletak di ruang UGD.

“Mas ....” Airin tak percaya melihat tubuh suaminya penuh luka dan kepalanya yang berdarah.

“Dokter, Suster ... tolong rawat suami saya, tangani dengan cepat!” teriak Airin histeris.

Mendengar keributan yang di timbulkan oleh Airin beberapa Perawat datang dengan tergesa bersama seorang Dokter, melihat ke arah Airin. “Dokter cepat bantu suami saya, rawat suami saya Dokter,” tukas Airin sembari menarik dan mengguncang tubuh Sang Dokter kuat-kuat bersamaan dengan tubuh Airin yang tiba-tiba jatuh di lantai.

“Cepat! Siapkan ruangan dan segera lalukan observasi untuk kedua pasien ini!” tegas sang Dokter samar-samar yang bisa Airin dengar sebelum dirinya benar-benar tak sadarkan diri.

Tersadar dari pingsannya, Airin mendengar suara-suara yang berbincang lirih telinganya, aroma khas rumah sakit perlahan mulai menyapa hidungnya. Airin mengerjap untuk beberapa saat, netranya perlahan memindai ruangan di mana dirinya berada. Sadar akan kondisi tubuhnya, ibirnya terkatup rapat, menahan tangis, saat mengingat kondisi terakhir suaminya, berbagai pikiran negatif kini sudah berkecamuk dalam kepalanya. Airin berulang kali berusaha meyakinkan hatinya bahwa suaminya selamat dan baik-baik saja, mengatur napas, berusaha untuk sedikit tenang saat melihat salah satu perawat masuk dan tersenyum hangat padanya.

“Siang Nyonya, alhamdulillah Anda sudah siuman,” ujar sang Perawat sopan dan berjalan mendekat, meletakkan alat-alat yang di bawanya.

“Sus, bagaimana kondisi suami saya?” tanya Airin tidak sabar.

“Suami Anda selamat, sekarang Anda juga harus di periksa dan mendapat perawatan juga,” jelas Sang Perawat tenang.

“Ash ....” Airin meringis saat ingin mengangkat kakinya.

“Nyonya, Anda tenang dulu, kaki Anda terkilir,” sang perawat sembari memeriksa detak jantung Airin dan tak lama mencatat dan mengambil tensimeter.

“Selamat, semuanya baik. Ada beberapa luka lecet dan sebaiknya Anda jangan banyak bergerak dulu,” terang sang perawat sembari tersenyum.

“Sus, antar saya ke ruangan suami saya, tolong Sus,” iba Airin tidak sabar.

Sang Perawat terdiam untuk sesaat melihat jurnal yang di pegangnya, “ Nyonya, kita tunggu keputusan Dokter, mungkin lima belas menit lagi Dokter akan datang melihat kondisi Nyonya,” Perawat sembari menutup jurnalnya dan memastikan sekali lagi kondisi Airin.

“Sus ... tolong, antar saya,” pinta Airin tak sabar.

“Sus, bisa ‘kan?”

Bab 3. Kondisi Wiksa

Bab 3. Kondisi Wiksa

Mendengar permintaan yang berulang dari Airin, Suster hanya tersenyum ramah, tangannya sedikit terulur ke atas membetulkan selang infus. “Nyonya, sebaiknya Anda istirahat, jika Dokter mengizinkan saya akan membantu Anda.”

“Suster ... tolong, pertemukan saya dengan Mas Wiksa."

Sang Suster hanya bisa menghela napas, sesekali terlihat tersenyum dan menggeleng. Duduk dengan tenang di samping Airin, mencatat hasil pemeriksaan yang baru dilakukan. "Sus, saya mohon," ibanya lagi.

“Maaf, Nyonya. Semua harus lewat prosedur sebaiknya Nyonya bisa sedikit bersabar, jika kesehatan Nyonya sudah di pastikan baik-baik saja, besok pagi Nyonya bisa melihat suami Anda,” jelas Suster akhirnya.

Airin tak bisa berkata apa-apa, saat ini yang terdengar hanya napasnya berembus dengan kasar, hatinya benar-benar kecewa mendengar jawaban yang tidak sesuai dengan harapannya. “Terima kasih Sus,” pasrah Airin sembari memejamkan matanya menahan bulir air mata yang siap merembes keluar.

Namun, tidak lama berselang, terdengar suara langkah kaki memasuki ruangan, suara kursi di geser serta sapaan Suster hormat, melambungkan harapan Airin untuk sesaat agar keinginannya bertemu Wiksa di kabulkan. Airin terdiam saat melihat Sang Dokter yang berdiri tidak jauh darinya, menerima catatan Suster, membaca dan membolak-baliknya untuk beberapa saat, sesekali netranya terlihat menilik ke arahnya.

Memasang Stetoskop dengan hati-hati, kemudian memeriksa ulang kondisi Airin.

Bibirnya terlihat tersenyum sembari melepas Stetoskop. "Kondisi Nyonya baik, jangan banyak bergerak dulu, agar kaki Nyonya bisa sembuh dengan cepat."

Setelah Dokter memeriksa dan memastikan semua baik-baik saja, Airin kembali terusik dengan kondisi suaminya. Namun, belum juga Airin bertanya, sang Dokter menatap Airin dengan wajah tenang. “Nyonya, kondisi suami Anda baik dan setelah melewati masa kritisnya kita tunggu hingga esok hari, jika memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya,” jelas Dokter pelan.

“Maksud Dokter?”

Sang Dokter terdiam menatap wajah sendu yang berbaring di depannya. Sang Dokter tersenyum untuk mengurai kecemasan yang tercetak jelas di wajah Airin. “Jika catatan kesehatan Anda sudah membaik, saya akan menjelaskan tentang kondisi suami Anda. Sekarang Anda bisa bekerja sama dengan kami?”

Airin hanya mengangguk, mengikis air matanya yang tiba-tiba luruh begitu saja di pipinya. “Baik Dokter,” sanggup Airin pelan. Menyadari jika kondisi tubuhnya juga memerlukan perawatan secara intensif.

“Terima kasih atas kerja sama Nyonya, kami akan bekerja keras untuk merawat suami Anda,” tukas Dokter sabar.

Airin tak mampu menjawab, saat ini hanya air matanya yang luruh begitu saja, mengikisnya dan mengatur napas sesaat, kemudian membuangnya beberapa kali. “Saya siap Dok!” seru Airin yakin.

“Anda, benar-benar hebat Nyonya,” tukas sang Dokter kemudian berdiri dan meraih jurnal yang di serahkan oleh Suster.

“Pindahkan Nyonya Airin,” titah sang Dokter sembari memberikan jurnal yang sudah di tanda tangani.

Di atas kursi roda, Airin hanya bisa menahan semua tangisnya, kecemasan terlihat jelas dari sorot matanya, bagaimanapun juga ada ketakutan dalam hati Airin untuk saat ini. "Sus, apa? Bisa saya satu ruangan dengan suami saya? Saya hanya ingin melihat dan memastikan kondisi suami saya,” pintanya hati-hati.

“Nyonya, sebaiknya biarkan suami Anda di tangani dengan intensif, ruangan Anda ada di samping kamar ini, jadi Anda bisa melihat suami Anda kapan saja, berbeda jika Anda sudah sehat,” jawab Perawat sembari tersenyum dan mendorong kursi roda menuju ruangan sebelah.

Satu minggu kemudian, Airin di nyatakan sembuh dari cedera pasca kecelakaan, tetapi berbeda dengan Wiksa, suaminya masih bertahan dengan tidurnya, Airin hanya bisa menghela napas dan kemudian membuangnya kasar. Senyum khas seorang Suster membuyarkan lamunannya. “Anda, siap bertemu dengan suami Anda?”

Airin hanya mengangguk, mengiyakan. Turun dari bed Airin sedikit berbenah merapikan baju serta rambutnya asal, manik matanya menatap ke arah Suster seakan ingin menanyakan penampilannya saat ini. “Nyonya sudah cantik,” jawab Suster seakan tanggap dengan tatapan Airin.

Jantung Airin berdebar kencang saat Suster berhenti di depan ruangan di mana suami di rawat. Perlahan pintu terbuka, ruangan besar yang hanya di tempati oleh suaminya sendiri. Netranya langsung tertuju pada sosok yang terbaring dengan luka di kepalanya dan beberapa memar di wajahnya, beberapa selang tertancap di tangannya, bunyi EKG (Elektrokardiografi) berbunyi memenuhi ruangan yang sepi.

Airin hanya mampu menutup mulutnya rapat-rapat, ada keraguan dalam benaknya untuk sesaat. Langkah sang Suster semakin mendekat di mana suaminya tengah berbaring di atas bed, tubuhnya sedikit bergetar saat melihat kondisi suaminya, laki-laki yang begitu dia cintai.

“Mas ....” Lirih Airin sembari meraih tangan suaminya. Mengusapnya sesaat, “segera sadar Mas,” Airin kembali mengusap tangan suaminya, menciumnya untuk beberapa saat tanpa di sadari air matanya sudah menitik di atas tangan suaminya. "Mas ... sadar Mas."

Tangannya terus memegang tangan suaminya, mengusap, menciumnya berulang kali dan berharap suaminya akan segera terbangun dari tidur panjangnya. “Mas ....” Airin memanggil lirih dengan suara tercekat dengan mata basah, menahan tangisnya agar tidak terdengar.

Suara langkah kaki memasuki ruangan membuyarkan semua kesedihannya, mengikis cepat netranya yang sedari tadi basah karena air mata, wajahnya menoleh untuk memastikan siapa yang datang. “Nyonya, Anda di minta untuk menemui Dokter,” ujar seorang Suster sembari tersenyum ramah.

"Baik, Sus," jawabnya sedikit terkejut dengan cepat tangannya netranya yang basah.

Airin hanya mengangguk sebagai jawaban. “Silakan, Nyonya.” Sang Suster berjalan lebih dulu.

Airin menoleh sekilas menatap ke arah sang suami sebelum beranjak dari tempat duduknya. “Mas, semoga ini kabar baik,” imbuhnya sebelum melangkah pergi.

Mengikuti langkah Perawat, Airin hanya bisa menghela napas panjang, sesekali terlihat bibirnya mengatup rapat, menahan semua perang batin yang dirasakannya. “Nyonya,” tegur Perawat saat Airin menabrak sang Suster.

“Maaf.” Airin malu.

Sang perawat hanya tersenyum ramah sebelum membuka pintu ruangan. “Silakan Nyonya.”

Memasuki ruangan Dokter, tubuh Airin tiba-tiba gemetar, kakinya terasa berat untuk melangkah. “Nyonya Airin, silakan masuk!” titah sang Dokter sembari duduk.

Airin menarik kursi yang ada di depannya berusaha duduk dengan tenang meskipun saat ini batinnya tengah berperang menanti penjelasan sang Dokter. Cukup lama Airin duduk, tetapi sang Dokter tidak kunjung memberi penjelasan seperti apa kondisi Wiksa, suaminya. “Apa? Nyonya sudah siap mendengarnya?” Sang Dokter mengejutkan.

“Sa-saya, sudah siap Dok,” jawabnya dengan suara bergetar.

Sang Dokter kemudian membuka berkas catatan kesehatan yang ada di depannya, membaca hasil diagnosa yang tercatat. Sang Dokter menatap sekilas wajah Airin sebelum berbicara. “Maaf, jika hasil diagnosa kami tidak sesuai dengan harapan Nyonya, setelah kami melakukan beberapa pemeriksaan CT Scan, MRI dan Elektro Ensefalogram serta beberapa pemeriksaan lainnya ....” Sang Dokter menghentikan ucapannya sesaat menatap wajah Airin yang cemas serta wajahnya yang mulai berkeringat.

“Nyonya ....”

“Iya, Dok,” jawab Airin gugup.

“Apa? Nyonya siap mendengar kabar paling buruk pun?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!