Pagi ini suasana kampung halaman ku begitu indah.
setelah hampir tujuh tahun lamanya aku merantau
Meninggalkan tanah kelahiran. Ah. Rindunya dengan suasana ini
"Mamak pasti merindukan ku !" lirih ku dalam hati.
tak terasa bibir ku tersenyum mengingat wajah wanita yang melahirkanku itu. pasti
kedatangan ku kali ini mengejutkannya.
Tangan ku terangkat mengangkat Tas Ransel yang di dalamnya berupa hadiah kecil untuk mamak. Ingat dengan permintaannya dahulu sebelum aku menaiki bus antar kota.
Flashback. " ingat ya Lee pesan mamak.
Jangan sampai panjang tangan di kota orang!. Jujur itu kunci kesuksesan !"
Wanita berjarik kecoklatan tua yang telah pudar warnanya tersenyum menatap ku
keriput wajahnya yang terlihat sangat cantik.
mamak mengelus pucuk kepala ku. "iya mak.
Lian ngerti !" aku tersenyum melihat wanita dihadapan ku.
Mamak mau dibeliin apa nanti kalau Lian pulang ?"
Kesempatkan bertanya tentang keinginannya nanti setelah aku sukses di kota orang mamak mengeleng lalu mencubit perut ku.
aku terkekeh geli oleh sikap mama.
"ngawur !" Belum berangkat udah minta mamak nitip.!"
Wanita itu tersenyum, meski kedua matanya telah berkaca kaca. Aku tahu mamak menahan sesak untuk kepergian ku. "Amin.
Siapa tahu Lian sukses mak. Tak beliin apa yang mamak mau!" ucapku.
"ya sudah. Sana berangkat. Mamak nitip mukenah!"
mamak melambaikan tangan nya setelah mendorong tubuh ku sedikit menjauh.
dan berbalik menaiki bus lalu menghilang di tikungan. "Flashback off.
Lian rindu mamak....."lirih ku. Di dalam tas ransel ini adalah permintaan mamak bertahun tahun yang lalu bukan. Bukan tak ingin membelinya sebelum ini.
Tapi mamak memang tak ingin jika aku kembali pulang. "Tin Tin. Suara klakson terdengar. Aku menoleh kebelakang.
"loh mas Lian to ?" ucap lelaki bertubuh kurus itu, aku tebak dia adalah Sapto. Teman kecilku, "Loh Sapto to ?" aku tersenyum.
Sapto turun lalu memeluk ku erat. Aku membalas pelukan hangatnya.
"makin ganteng aja kamu mas, lalu aku ?" Sapto tersenyum ramah, aku membalas senyumannya dengan tepukan pelan di bahu.
"kamu juga sap. makin oke !" Sapto tertawa.
aku menatap kendaraan yang dibawa oleh Sapto. Mobil bak terbuka dengan muatan kursi plastik juga beberapa tenda yang terlihat untuk acara pernikahan.
"Siapa yang nikah sap ?" ucapku. Sapto beralih menatap mobil putih miliknya.
"Ajeng, mas !" deg, Ajeng. Gadis yang menolak menikah dengan ku karena kemiskinan ini.
"Ajeng ?" aku mengulang kalimat Sapto,
Sapto menganguk, siapa yang tak kenal dengan ajeng.
Samar terdengar di telinga ku saat Sapto berbicara lirih. "Oh iya sap. Aku duluan yah mamak pasti menunggu ku !"
Aku mengambil ank kunci di atas meja lesehan yang menghadap langsung ke persawahan ini.
Inilah yang menarik kendaraan ku berhenti sebentar beberapa waktu yang lalu untuk sekedar membuang penat setelah hampir satu hari berkendara menaiki roda dua ini.
"Oh iya mas. Hati-hati. !. Sapto melambaikan tangan tatkala motor yang ku kendarai melaju pelan. Tali gas ku tarik ulur pelan, jalan berbatu dan berlubang membuatku sedikit kesulitan.
sebenarnya aku ingin mendengar tentang Ajeng gadis cantik yang membuat aku susah untuk menemukan tambatan hati setelah ditolak mentah-mentah olehnya.
{ maaf mas, ajeng gak bisa melanjutkan hubungan ini "!}
{ mas Lian, Ajeng udah menerima perjodohan
dari bapak, Ajeng ngga mau durhaka, apalagi Ajeng memang membutuhkan lelaki yang bertanggung jawab selain cinta, uang pun harus mas.}
Perkataan Ajeng beberapa waktu lalu membuat membuyarkan lamunan ku.
Aku memutuskan menepi barang sebentar. Kumandang azan Magrib berkumandang di kejauhan, meresap ke dalam heningnya pedesaan.
"Lebih baik berhenti dulu, menghargai panggilan-Nya," gumamku.
Udara desa begitu asri. Hamparan sawah yang menguning, siap dipanen, perlahan ditelan gelapnya malam. Aku memilih beristirahat di sebuah pondok bambu di pinggir jalan.
Seharusnya, perjalanan ke rumah tinggal dua puluh menit lagi. Tinggal melewati gapura desa, dan aku sampai. Tapi aku tidak keberatan berhenti sebentar, toh waktu juga masih panjang.
Helm full-face kulepas, kutaruh di sebelahku. Begitu pula sarung tangan yang sejak tadi melekat di jemari.
Dari kejauhan, samar-samar aku melihat seorang wanita berjalan sendirian di jalan setapak. Aku memicingkan mata.
"Siapa gadis itu? Kenapa masih berkeliaran malam-malam begini?"
Aku berdiri, buru-buru mengenakan helm lagi. Khawatir kalau-kalau ada orang jahat yang berniat buruk padanya, aku menarik gas motor dan menyusulnya.
Mesin motor kumatikan tepat di sampingnya. Aku turun dan berjalan mendekat.
"Permisi, Mbah! Sampean mau ke mana?" sapaku.
Wanita itu mengenakan gaun putih gading. Ia tidak menoleh, tidak juga menjawab.
"Permisi!" ulangku sambil mencoba menyentuh tangannya.
Begitu kulitnya tersentuh, rasa dingin menjalar ke telapak tanganku. Aku terkejut. Wanita itu menatapku tajam. Matanya… kosong, tapi menusuk.
"Maaf," ujarku cepat sambil melepaskan cekalanku. Ia kembali berjalan tanpa berkata sepatah kata pun. Aku memperhatikan kakinya—telanjang, menginjak bebatuan jalan yang kasar.
"Tidak sakit, ya?" gumamku.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku buru-buru merogoh saku celana.
"Di mana, Lee? Ini mamakmu nunggu, kok belum sampai juga!" suara Pakde Anto di seberang terdengar khawatir.
"Udah di jalan, Pakde. Tunggu sebentar lagi ya!" jawabku singkat.
Tut-tut-tut… sambungan terputus.
Aku kembali menoleh ke arah wanita tadi. Nihil. Jalan setapak di hadapanku kosong melompong.
"Ke mana perginya?" lirihku, merinding tanpa sebab.
Aku menghela napas panjang. Senyum getir terbit di bibirku. "Misterius sekali…" Detak jantungku masih tidak karuan. Entah kenapa, hanya dengan tatapannya tadi, ada sesuatu yang mengusik hatiku. Hati yang sudah lama kosong, kini seperti digelitik kembali.
---
Tak lama, aku sampai di pelataran rumah. Motor kupelankan, mematikan mesin. Suasana sepi, hanya lampu luar yang menerangi halaman. Rumah itu… dulu tampak seperti gubuk reot. Sekarang terlihat berbeda, lebih kokoh, lebih rapi.
Tok! Tok! "Assalamualaikum, Mak! Ini Lian, pulang!" seruku sambil mengintip ke jendela. Lampu dalam rumah menyala, tapi tak ada sahutan.
"Kemana perginya mamak? Bukannya tadi bilang nunggu?" Aku mengetuk lagi. Sunyi. Waktu berjalan, menit berganti, aku hanya duduk di kursi rotan teras rumah. Mata mulai berat.
Hingga—tap! Aku merasakan sentuhan hangat di pipiku. Aku terperanjat membuka mata.
Mamak berdiri di hadapanku, senyum tipis menghias wajah tuanya.
"Dari mana, Mak?" tanyaku heran, berdiri terburu-buru.
Mamak hanya tersenyum sambil mengeluarkan anak kunci rumah. Aku segera mengikuti langkahnya yang tampak sedikit tergesa.
"Mak…?" tanyaku lagi.
"Barusan rewang di rumah Bukde Yati. Ajeng anaknya mau menikah!" jawabnya datar, tanpa menoleh.
Ajeng. Nama itu lagi. Hatiku tercekat, tapi aku memilih diam. Aku memperhatikan mamak meletakkan beberapa bungkusan plastik berisi makanan di atas meja.
"Rewang malam-malam begini, Mak? Biasanya pagi, kan? Aneh juga sebelum resepsi kok malah malam begini," ucapku pelan.
Mamak menatapku sejenak, lalu berkata lirih, "Banyak yang sudah berubah, Lian. Apalagi sudah sepuluh tahun lamanya…"
Kemudian ia melangkah ke kamar. "Tidurlah. Masih ada hari esok yang harus kau sambut."
Aku hanya mengangguk. Pintu kamar mamak tertutup, meninggalkanku sendiri di ruang tamu.
"Mungkin mamak lelah, ya… setelah rewang, mungkin juga lupa kalau aku ini anak yang sudah bertahun-tahun tak pulang," gumamku getir.
Berkali-kali aku memutar posisi tidur, tapi mata ini enggan terpejam.
---
Mamak berdiri mematung beberapa saat, sorot matanya tajam namun seperti berusaha menyembunyikan sesuatu. Nafasnya tersengal pelan, lalu ia mendekatiku.
“Lian, tolong jangan banyak bertanya malam ini… besok kamu akan mengerti,” ucapnya dengan suara lirih namun tegas.
Aku mengernyit, “Tapi, Mak… ada yang aneh. Tadi Mak bilang habis rewang di rumah Bukde Yati, sekarang Mak bilang dari pengajian… mana yang benar?”
Mamak menghela napas panjang, jemari tuanya menggenggam tanganku erat, lebih erat dari biasanya. “Yang penting sekarang kamu di rumah, itu sudah cukup.”
Degup jantungku tak karuan. Pesan dari Ajeng kembali terngiang di kepalaku: “Pergilah mas… semuanya sudah berubah… mereka bukan…” Siapa yang ia maksud dengan “mereka”?
Suasana rumah mendadak terasa lain. Lampu-lampu menyala redup, namun bayang-bayang yang tercipta di sudut ruangan seperti bergerak sendiri. Angin malam merayap lewat celah atap yang dulu tak pernah bocor.
Aku menelan ludah, “Mak… siapa wanita tadi sore itu? Yang aku temui di jalan dekat sawah… jalannya tanpa alas, wajahnya pucat. Aku kejar, tapi hilang begitu saja.”
Tubuh mamak menegang seketika. Ia menoleh pelan, wajahnya pucat pasi. “Kamu… kamu melihatnya?”
“Melihat siapa?” tanyaku cepat.
Mamak tidak langsung menjawab. Ia justru bergegas menuju dapur, mengaduk-aduk sesuatu di rak kayu. Kudengar bunyi botol kaca dan aroma wangi kemenyan samar menyeruak.
“Mamak…” panggilku lagi, kali ini suaraku bergetar.
Ia berbalik dengan mata yang kali ini tampak sangat serius. “Lian, dengarkan baik-baik. Jika besok ada yang memanggilmu keluar rumah… siapa pun itu… jangan hiraukan! Jangan buka pintu, jangan jawab! Mengerti?”
Aku mengangguk ragu, “Mak… sebenarnya ada apa? Ini tentang Ajeng? Tentang wanita tadi?”
Mamak mendekat, menyentuh wajahku dengan telapak tangannya yang dingin. “Bukan semua yang tampak itu benar, Nak… kampung ini sudah tidak seperti dulu lagi. Ada yang berubah sejak kau pergi sepuluh tahun lalu.”
Seketika bulu kudukku berdiri. Dari jendela belakang, aku melihat sekelebat bayangan putih melintas cepat… seperti sosok yang kutemui di jalan tadi
Mamak menatapku dalam-dalam, matanya redup seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin ia katakan. Nafasnya memburu, bibirnya bergetar seolah berusaha mencari kalimat yang tepat.
“Lian… ada hal yang nggak bisa mamak jelasin sekarang,” ucapnya lirih, hampir seperti bisikan.
Aku mengernyit. “Kenapa nggak bisa? Dari tadi mamak aneh, terus-terusan ngunci pintu, nutup jendela, kayak ada yang dikejar…”
Mamak tiba-tiba menggenggam tanganku erat, jemarinya dingin, sangat dingin, seperti baru saja menyentuh air es. “Percaya sama mamak, ya. Jangan keluar malam ini. Jangan buka pintu kalau ada yang manggil, siapa pun itu.”
Deg. Jantungku berdegup makin cepat. Kata-kata Ajeng yang baru saja kubaca berputar di kepalaku. ‘Pergilah mas… semuanya telah berubah… mereka bukan…’
“Mamak… siapa yang mamak maksud?” suaraku parau, hampir tertelan oleh rasa takut yang mulai merayap.
Tiba-tiba, terdengar suara gesekan di luar rumah. Suara langkah kaki, lambat… menyeret… mengitari rumah. Aku refleks berdiri, mataku menyapu ke arah jendela yang sudah tertutup rapat.
“Mamak denger nggak?” bisikku.
Mamak tidak menjawab. Tubuhnya kaku, matanya menatap kosong ke arah pintu depan. Aku mulai mundur perlahan, meraih ponselku yang tadi sudah kucolokkan ke charger—tapi layar tetap hitam. Mati.
Trak! Suara sesuatu jatuh di teras. Mamak mendadak bangkit, matanya liar. “Naik ke kamar! Sekarang!”
Aku tercekat. “Mak… apa yang sebenernya terjadi? Siapa yang di luar?”
Mamak tak menjawab, hanya mendorongku ke arah tangga. Tapi sebelum aku sempat menaiki anak tangga pertama, terdengar suara ketukan pelan di pintu. Tok… tok… tok…
Aku dan mamak sama-sama membeku.
“Lian… buka pintunya… ini Ajeng…”
Suaranya lirih, serak, seperti tertahan tangis.
Aku menoleh ke mamak, wajahnya pucat pasi, matanya membulat penuh teror. Ia menggeleng pelan, sangat pelan.
“Jangan dibuka…” bisiknya.
Tok… tok… tok…
“Mas… aku kedinginan di luar… tolong bukain…”
Suara itu lagi. Tapi kali ini… terdengar lebih dekat, seolah bibirnya tepat menempel di celah pintu. Aku bisa mendengar napasnya… berat… panas.
Bulu kudukku meremang. Ada sesuatu yang tak beres. Ajeng tidak mungkin ada di sini secepat itu. Bahkan, aku tak pernah memberi tahu dia aku pulang ke desa.
Kuambil napas panjang. Tanganku gemetar ingin menyentuh gagang pintu, namun suara mamak kembali memotong gerakanku, kali ini lebih keras, hampir seperti bentakan, “JANGAN, LIAN!”
Suasana rumah mendadak sunyi. Tak ada suara lagi di luar. Hanya detak jantungku yang terasa menggema di dada.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!