"Elvia Avaretta." Bu Ningsih menarik napas dalam-dalam saat matanya selesai menelik tumpukan kertas yang baru aku print.
"Kamu ini gimana, hasil angka aja bisa salah!" Alamak, kurang nol satu.
Namaku Elvia Avaretta, mahasiswa semester 4 jurusan Akuntansi yang gak suka matematika. Bela-belain masuk jurusan ini walaupun bodoh banget kalau udah berhubungan dengan angka.
Tapi, takdir berkata lain. Kecintaanku terhadap duit membuatku betah mempelajari akuntansi. Walaupun akhirnya malah nyesel karena milih jurusan ini.
Sebenarnya tadi sudah gak niat ke kampus, tapi tiba-tiba dapet WA dari Cindy kalau aku dicari Bu Ningsih.
For your information, kalau udah denger nama Bu Ningsih, berarti siap-siap dibantai. Bu Ningsih itu ibaratnya seperti mimpi buruk bagi setiap mahasiswa.
Untung jarak rumah sama tempat kuliah deket. Kalau gak, bisa mampus aku digoreng ditempat sama Bu Ningsih.
Aku tuh sudah di cap sebagai mahasiswa yang cuman nitip absen doang. Dateng ke kampus kalau cuman mau ngumpul tugas. Biar nyetor muka aja depan dosen gitu. Apalagi kalau tugas dari dosen killer kayak Bu Ningsih. Bahh, berabe kalau ketahuan nitip kumpul.
"Iya ya, Bu. Kok bisa ya."
"Saya sedang tidak melawak, Elvia."
Saya juga gak lagi ngelawak Bu Ningsih yang terhormat.
"Saya tambah tugas kamu, saya mau kamu buat analisis kinerja keuangan Bank Syari'ah menggunakan pendekatan laba rugi." Ucap Bu Ningsih.
Mendengar titah bu Ningsih, aku langsung cengo. Gilaa, ini mah udah kayak judul skripsi aja.
Ini tugas atau nyiksa?
"Saya harap kamu bisa selesaikan tugas ini kurang dari satu bulan. Kalau tidak, saya tidak jamin kamu bisa lulus dari kelas saya." Lanjut Bu Ningsih.
Gila mamen, sebulan?!
"Saya tahu kamu sering nitip absen." Demi es teh manis Mang Tatang, ini kalimat paling serem yang pernah aku denger selama kuliah.
"Baik, Bu." Ucapku dengan nada pelan.
"Besok, temui saya dengan membawa buku-buku yang kamu jadiin acuan. Saya tahu kamu pasti akan cari di internet." Tegas Bu Ningsih. Bu Ningsih memang paling mengerti aku.
"B-besok? Kapan Bu?"
"Saya tidak tahu sebenarnya kapan saya ada waktu luang."
Ya elah, terus ibu kenapa bilang besok coba. Hmm, sepertinya Bu Ningsih penganut paham dosen selalu benar.
"Nanti saya kabari." Kayaknya kalimat ini menjadi kalimat yang paling dibenci mahasiswa. Kabarin tuh, kapan? Ntar kalau nanya takut ganggu. Kalau gak ditanya, nanti gak kelar-kelar. Serba salah ya jadi mahasiswa?
"Oke Bu. Kalau begitu saya duluan." Yaudahlah, pamit aja. Daripada nanti tambah dicecarin tugas sama Bu Ningsih.
Setelah meminjam 4 buku tebal di perpus untuk difotokopi, aku pun melanjutkan langkah kakiku menuju tempat fotokopi Mang Arman. Semoga mood Mang Arman bagus. Jadi, bisa dikasih diskon.
"Gila, cuaca udah gak bener. Harusnya ini musim hujan, tapi kenapa cuaca jadi panas banget gini." Keluhku.
Ya, gimana gak ngeluh, tempat fotokopi Mang Arman tuh lumayan jauh dari perpus. Ujung ke ujung. Jadinya, harus mengerahkan tenaga ekstra buat ke tempat Mang Arman.
Bukannya apa, badanku tuh mungil gini, harus bawa 4 buku tebel seorang diri menuju tempat fotokopi yang gak deket. Gak ada yang peka apa, bantu bawain kek.
"Bang, fotocopy buku ini halaman 155 sampai 200, terus buku yang warna biru halaman 100 sampe 129. Sama buku yang warna ijo dan merah itu halaman 30 sampai 40." Ucapku dengan nada gak woles.
Setelah sampai, aku langsung naruh 4 buku tebel itu ke meja dengan gebrakan yang lumayan gede. Abis bukunya berat banget, tangan aku kan kebas jadinya. Hehe.
"Bang?" Abang tadi mengulang panggilan yang aku sematkan.
"Iya, Bang. Saya gak punya banyak waktu loh ini."
Eh, tapi kok hari ini yang jaga tempat fotokopi bukan Mang Arman. Tapi gapapa deh. Soalnya abang fotokopinya ganteng. Boleh lah buat cuci mata. Daripada lihat Mang Arman mulu. Lelah hati adek.
"Emang saya abang-abang?"
Bukannya cepet fotokopi, nih abang malah nanya pertanyaan yang gak perlu dijawab. Masa iya aku panggil kakek.
"Abang itu staff yang bantu fotokopi kan, masa saya panggil kakek gitu."
Abang fotokopi tadi pun tidak menanggapi ucapan aku, tapi dia langsung ngambil buku yang mau aku fotokopi.
"Elvia Avaretta." Gumam abang itu sambil melihat nama di jas almamater yang sedang aku pakai.
Abang ini ngapain manggil-manggil, naksir kali ya. Iya sih, aku tahu dengan pasti kalau aku itu cantik.
"Kamu mahasiswi akuntansi? Tapi kenapa saya tidak pernah lihat kamu."
"Enggak, Bang. Mahasiswi kedokteran." Jawabku ngasal.
Lagian, emang abang ini siapa sampai bilang gak pernah lihat aku terus nanya-nanya jurusan. Lah, aku aja baru lihat abang ini hari ini.
"Saya serius, Elvia."
Lah, abang ini kenapa jadi sok iya gini nanya-nanya tentang aku.
"Saya juga,.." Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Mang Arman sudah datang memotong ucapan aku yang belum selesai.
"Eh, Pak Arfa? Kok fotokopi sendiri sih. Aduh, maaf ya Pak."
Lah, ini kok Mang Arman manggil abang tadi Pak. Sedangkan abang tadi cuman senyum menanggapi ucapan Mang Arman.
"Eh, Neng Via. Pasti mau fotokopi lagi. Mana yang mau difotokopi?"
"Hah? Udah difotokopin sama abang ini." Ucapku menunjuk abang ganteng tadi.
"Ya ampun, nengg.."
Kok mukanya Mang Arman kayak gak enak gitu. Kayak mau nahan boker, haha.
"Apaan Mang yang ampun?" Tanyaku bingung. Soalnya Mang Arman gak jelas banget. Tingkah Mang Arman kayak takut-takut gitu.
"Neng, ini nih Pak Arfa. Dosen di jurusan eneng."
Alamak, demi apa?
Kok aku gak tahu?
"HAH?!" Maaf. Reflek kejutku emang selalu telat.
"Alah, Mang. Jangan bercanda gitu lah.." Aih, pasti Mang Arman bercandain aku doang.
"Saya sudah fotokopi semuanya."
"Tapi, apakah kamu tidak diajarkan sopan santun? Kamu panggil dosen dengan sebutan abang?" Abang, eh maksud aku Pak Arfa memberikan beberapa lembar kertas yang aku minta fotokopoin tadi sambil memandang aku dengan tatapan remeh.
Akibat sering nitip absen, jadinya aku gak hapal kalau ada dosen baru. Iya sih, pasti! Ini pasti dosen baru!
"Saya kan gak tahu abang itu dosen." Reflek, aku menutup mulutku yang memang tidak bisa diajak kerja sama.
"Bilang apa kamu tadi?" Nada abang fotokopi tadi benar-benar terdengar menyeramkan.
"Gak bilang apa-apa, Pak." Sanggahku.
"Saya tidak tuli. Saya bisa mendengar perkataan yang kamu lontarkan tadi."
"H-Hah? Saya minta maaf, Pak. Saya gak tahu kalau bapak itu dosen." Pantes sih ada yang ganjel, masa abang fotokopi rapi, wangi, terus ganteng banget.
Tapi, dosen kok muda banget. Umurnya sih kayak masih berkisar 20an gitu. Hmm, sasaran empuk mahasiswi ini.
Tapi yang lebih gak masuk akal lagi, kok aku percaya aja ya kalau ada abang fotokopi yang wangi, ganteng, rapi. Beda banget sama penampilan Mang Arman.
"Maksud kamu gak tahu?" Tanya Pak Arfa sambil menaikan satu alisnya.
Duh, bingung aja ganteng nih orang.
"E-eh, maksud saya itu Pak, saya pikir bapak staff yang bantuin Mang Arman." Mampus, salah ngomong aku!
Ini sih namanya nyari mati. Kalimat tadi itu seakan mempertegas kalau aku gak ngenalin Pak Arfa. Matilah aku!
"Saya tidak pernah lihat kamu di kelas saya." Mampus dah, ketahuan ini sering nitip absen di kelas.
"Iya, Pak. Saya sering sakit kayaknya." Gapapa lah bohong sekali-sekali sama dosen. Bohongnya kan untuk menyelamatkan diri sendiri.
"Tapi, nama kamu selalu tercentang hadir di kelas saya."
"Elvia Avaretta. Nama kamu sudah saya tandai." Ucap Pak Arfa lalu pergi tanpa memberikan penjelasan mengenai maksud tandai itu apa.
Tandain apa woi?
Kok jadi dag dig dug serr gini.
"Mang Arman gimana ini..." Rutukku dengan wajah memelas.
"Ya, gimana atuh neng. Kamu sih, main nyuruh orang aja. Tadi, Pak Arfa kayaknya kelamaan nunggu Mamang jadi inisiatif fotokopi sendiri." Jelas Mang Arman yang sepertinya sangat tidak membantu.
"Kamu manggil dosen kamu abang?!" Devi menaikkan nada suaranya yang semula kalem.
Aku langsung cerita ke Devi perihal insiden kemarin.
"Iya, gimana dong. Gak sengaja."
"Mampus Vi, kuliah kamu kayaknya gak bakal tenang." Emang salah curhat sama Devi, bukannya bantuin cari solusi malah diketawain.
"Jangan gitulah, Dev. Kamu sih gak pernah cerita kalau ada dosen baru."
"Ya abis, setiap kali aku cerita kamu gak pernah dengerin. Lagian aku udah pernah cerita kok." Devi menyesap es teh manis yang baru saja diantar oleh Mang Tatang.
Iya, yang menguasai tahta di kantin itu cowok, Mang Tatang.
"Kapan?" aduh, mumet kepalaku.
Sebenarnya prinsip aku pas mau kuliah tuh : jangan buat ulah sama dosen, lulus dengan tenang.
Tapi kayaknya pupus sudah prinsip itu.
"Ada tau! Aku kan ada bilang kalau ada dosen ganteng."
Iya ya? Kapan?
Bodo amat lah. Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Udah terlanjur.
"Pokoknya gimana ini, pakek bilang tandai pula. Kan jadi takut aku tuh. Mana ketahuan Bu Ningsih pula. Such a bad day!"
"Makanya kalau mau lulus dengan tenang jangan males-malesan." Omel Devi.
Iya deh, beda kalau urusannya sama mahasiswi rajin kayak Devi mah.
Kadang, aku juga bingung Devi kok tahan banget temenan sama aku.
Udah sering aku repotin nitip absen, tapi dia mah sabar banget. Paling banter sih ngomel doang.
"Iya iya, mulai hari ini aku rajin masuk."
"Giliran udah ditegur dosen aja baru mau."
"Iya iya, jangan ngomel mulu lah Dev. Hari ini aku traktir deh."
"Bener ya?"
Begitulah kami, sekedar kalimat traktir aja bisa menyelesaikan masalah ngambek-ngambekan.
"Vi, buruan. Udah jamnya Pak Arfa." Ucap Devi yang melihat mangkuk baksoku yang hampir habis.
Alamak, agak gak siap.
"Iya-iya, duluan gih. Aku mau ke toilet bentar."
"Yaudah. Jangan lama-lama ya, Pak Arfa paling benci siswanya telat." Devi mengingatkan dengan setiap kata diberikan penekanan.
"Beres, bu boss!"
Kenapa sakit perutnya harus sekarang sih? Setelah membayar dan selesai dengan urusanku di toilet, aku pun langsung bergegas berlari ke kelas.
Menurut Devi sih, kelas dimulai 5 menit lagi. Masih aman lah aku, tapi jarak toilet ke kelas kan jauh.
"Siapa suruh kamu masuk?" Suara berat Pak Arfa membuyarkan niatku yang ingin memasuki kelas.
"Masih ada waktu 3 menit lagi kan pak? Belum telat kan ya." gumamku kecil.
"Siapa yang bilang begitu?" Pak Arfa menaikkan intonasinya.
"Salah ya saya, Pak?" Ini kok aku ogeb, ngapain pakek nanya segala. Udah pasti dosen selalu benar.
"Saya bingung kenapa nama kamu bisa tercatat selalu masuk di kelas saya. Padahal saya tidak pernah lihat kamu."
Yakin deh, bakal tambah runyam ini.
"Iya ya Pak, kok bisa gitu." Cuman kalimat itu dan cengiran kecil yang bisa aku lakukan.
Ya gimana coba mau ngelawan, kalau sifat Pak Arfa seram banget, berbanding terbalik sama mukanya yang adem dipandang.
"Keluar dari kelas saya." Titah Pak Arfa.
"Hah? Tapi Pak..."
"Kamu yang keluar atau saya yang keluar?" Skak mat! Kalau kalimat ini udah keluar, udah deh mending mundur aja.
"Iya, Pak."
💥💥💥
Gila, capek aku tuh diginiin. Telat juga enggak. Dasaran bapak itu aja yang datengnya kecepetan.
Aku pun memilih nungguin Devi sambil duduk cantik di kantin. Seenggaknya, gak gabut gabut amat lah.
"Eh, Vi!" Hidungku mencium aroma harum, salah fokus kan aku. Emang sih, nih cowok wangi banget.
"Aldo?"
"Kok di luar Vi? Bukannya lu ada kelas hari ini."
"Gue diusir, Do."
Fyi, aku cuman manggil aku-kamu kalau ke sahabat aku aja. Sisanya mah kayak biasa, lu-gue.
"Kok bisa? Lu tidur di kelas ya?"
"Gue baru masuk aja udah diusir. Apa salah dedek coba."
"Makanya jangan males kuliah, Vi."
"Ini udah mau tobat dari nitip absen kok. Sekalinya mau tobat, ada aja rintangan, hambatan, masalah. Lelah incess." Jiwa kealayanku mulai muncul sepertinya.
"Alay lu."
"Bodo amat, gue tuh bingung Do sama tuh dosen. Padahal menurut jadwal tuh ya masih ada sisa waktu 3 menit. Masa seakan-akan gue telat 1 jam sih. Padahal belum masuk itungan telat itu." Cerita aku panjang kali lebar.
"Lu buat masalah kali sama tuh dosen."
Hng, jangan diingetin kali Mas.
"Heheh, iya."
"Serius? Siswa males kayak lu kapan bisa buat onar?" Aldo minta ditampol kali ya.
"Adalah, panjang ceritanya."
"Minta maaf aja kali sama tuh dosen."
Hah? Serius ini?
Minta maaf?
Ada kali dibentak akunya.
"Gak deh, makasih." Masih sayang nyawa aku mah. Daripada dibentak di ruang dosen. Nanti predikat siswa tidak dikenal berubah jadi siswa paling dikenal dikalangan dosen. Kan berabeh.
"Nanti urusannya sama nilai, Vi. Lu mau ngulang?"
Gak lah, siapa yang mau ngulang.
"Gitu ya?"
"Iyalah, gitu. Lu baik-baikin dosennya. Pas dateng minta maaf jangan tangan kosong."
"Berpengalaman nih kayaknya."
"Serah lu deh." Aldo ngambek nih kayaknya. Hahah, lucu dia kalau ngambek.
Tiba-tiba ponsel yang sudah lama tak kugubris bergetar beberapa kali. Wah, jangan-jangan isi pesannya mama minta pulsa nih.
Akhirnya dengan malas aku pun membuka ponselku, pesan notif WA yang tiba-tiba muncul berhasil membuat aku dag dig dug, perasaan aku sih udah ga enak.
Bu Ningsih
Hari ini saya gak bisa.
Nanti kamu temuin Pak Arfa aja.
Saya ada minta tolong dengan dia.
14.30
Elvia Avaretta
Iya bu.
Tapi kok Pak Arfa sih, Bu?
14.35
Read
Dan ternyata benar.
Emang isi pesannya sangat gak enak.
Bu Ningsih kok jadi jahat gitu sama aku. Aduh, ini mah namanya keluar dari kandang macan, masuk ke kandang singa.
"Kenapa muka lu gitu?"
"Gue dikasih tugas sama Bu Ningsih, tapi gila udah kayak skripsi cuy. Pembuatannya pun harus diawasi. Tapi tadi Bu Ningsih baru WA gue. Katanya nanti gue lapor tugasnya ke Pak Arfa."
"Lah, bagus dong. Jadiin peluang lu buat minta maaf." Aldo sih ngomongnya santai, belum tau dia seberapa garang Pak Arfa.
Btw, Aldo tuh pacarnya Devi. Makanya aku kenal.
"Gak tau lah gue, lelah hati adek."
Aku pun merengut kesal memikirkan bagaimana nasibku kelak.
"Selamat sore, Pak Arfa." Ini aku nyapanya udah kayak orang yang mau nawarin asuransi aja.
"Ada apa?" Bales kali sapaan aku, Pak. Ya ampun, galak bener deh.
"Tadi Bu Ningsih suruh saya ngadep bapak."
"Oh."
Ini oh doang?
"Ya, jadi?"
"H-hah? Jadi apa pak?" Duh, jadi gelagapan gini. Ya kali Vi, ngajak jadi nikah. Ayo aja aku mah.
"Mana referensi kamu?" Datar banget nada Pak Arfa. Ampun dah, kalau bukan dosen udah pergi aku. Jutek banget sih, Pak!
"Bentar ya Pak. Ambil dulu." Aku pun mengambil lembaran kertas yang udah aku susun sedemikian rupa biar di cap anak rapi gitu sama dosen.
"Oh, yang saya fotokopiin kemarin?" Yaa, ternyata benar dugaanku, bapak ini masih dendam.
Yaudahlah, diam aja aku. Daripada ngejawab salah lagi ntar.
"Oh ya Pak, nih buat bapak." Aku ngasih paper bag yang isinya gak tau juga apa, soalnya Aldo yang beliin tadi, sebagai tanda minta maaf.
"Ini apa?" Tanya Pak Arfa sambil memandang heran paper bag yang aku sodorkan.
"Saya minta maaf ya, Pak." Semoga luluh deh hati Pak Arfa.
"Kamu pikir kamu bisa sogok saya?"
Nah kan, ide Aldo emang gak bisa dipercaya. Kalau ada makhluk yang gak bisa dialusin, akh percaya itu Pak Arfa.
"Bukan gitu pak maksud saya."
"Jadi?"
"Ambil aja deh Pak. Saya sudah beli juga. Masa saya balikin lagi ke toko."
Sebelah kanan alis Pak Arfa terangkat tanda merasa aneh dengan ucapan aku sepertinya. Pak Arfa pun tak ambil pusing dengan hadiah yang aku berikan, nyatanya di bawah meja dia juga banyak hadiah yang ia terima dari mahasiswi lain
Aku juga ngasih sih, tapi ga ada maksud kayak mereka. Aku kan ngasih cuman karena saran Aldo doang.
"Bu Ningsih cuti hamil. Kemungkinan 3 bulan lebih tidak masuk. Saya yang menggantikan beliau." Pak Arfa tiba-tiba berucap seperti sudah membaca pikiranku.
Hah? Jadi aku harus ngadep Pak Arfa terus sampai tugasnya selesai?
"Gimana Pak? Saya sudah boleh ngerjain tugasnya kan?" Tanyaku saat melihat Pak Arfa yang sepertinya sudah membaca lembaran kertas yang sudah aku fotokopi kemarin.
"Kamu minta tolong siapa buat cari bahan ini?"
"Saya sendiri kok, pak." Sebenarnya aku cukup pintar kok, tapi ceroboh lebih berhasil mendominasi otak encerku.
"Bapak gak percaya? Gini-gini saya tuh tamat dengan nilai UN rata-rata 90an Pak. Pinter kan saya." Entah kenapa, aku malah ngebacot gini.
Pak Arfa tampak tidak tertarik mendengar bacotanku yang menyombongkan diri. Terlihat dari bagaimana ia sibuk berkutat dengan laptopnya.
"Saya mau lihat kamu bikin setengah dulu." Akhirnya ngomong juga Pak Arfa setelah diam sekitar 5 menitan.
"Jangan lupa kamu juga bermasalah di kelas saya." Lanjut Pak Arfa.
Alah, mampus ini. Masa tugas lagi?
"Tugas lagi, pak?" Tanyaku.
"Kamu mau tugas lagi?" Tanya Pak Arfa balik.
"Yaa, gak mau lah pak." Jawabku. Membayangkan nambah tugas lagi tuh rasanya berat. Lebih berat dari ditinggalin pacar ldr.
"Jadi asdos saya, mau?"
Ga mau! Pengennya jawab gitu langsung. Aku yang males jadi asisten dosen? Gak salah denger?
"T-tapi, pak."
"Kalau tidak mau yasudah."
"Tapi, jangan salahkan saya kalau kamu harus ngulang semester depan." Sambung Pak Arfa.
Pemerasan dengan nilai ini namanya. Apa salah dedek coba, kenapa semester ini rasanya banyak sekali musibah menimpa.
Inhale..
Exhale..
Huft--tarik napas buang. Sabar, Vi!
"Jangan gitu dong pak."
"Saya malas ngasih tugas. Mending saya manfaatin tenaga kamu."
"Kan ada siswa lain yang lebih kompeten pak daripada saya."
"Katanya kamu pinter kan?" Jawab Pak Arfa.
Ini ya yang kata orang mulutmu harimaumu. Salah ngomong lagi dah aku.
"Ga gitu juga, pak." Sangkalku.
"Jadi?" Tanya Pak Arfa kembali.
By the way, ruang dosen kok sepi banget. Mungkin udah terlalu sore kali ya? Tapi masih jam 4an kok.
"Iya deh, pak." Putusku. Daripada ngulang? Kalo ngulang berarti ketemu Pak Arfa, Bu Ningsih, harus bayar duit kuliah lagi. Pokoknya semester depan udah harus mulai magang! Ga boleh ngulang!
Mending susah sekarang deh. Kalau kata Devi sih, berakit rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.
"Bagus."
Bagus doang nih?
"Saya permisi, Pak." Pamitku. Walaupun kesal, dia masihlah dosen yang harus aku hormati. Ya gak?
"Sebentar, no WA kamu berapa?" Tanya Pak Arfa.
Ngapain nih pak nanya-nanya nomor? Hmm.. hayati curiga.
"Kamu asisten saya. Kalau saya tidak tahu nomor kamu, bagaimana cara saya hubungin kamu?" Pak Arfa cenayang nih kayaknya. Dia bisa nebak isi pikiran aku.
Pak Arfa pun ngasih handphonenya ke aku. Setelah selesai, aku pun langsung pamit pergi. Entahlah, aura di ruang dosen tuh ga banget. Serem gitu.
Gini nih anak famous, belum ditinggal setengah jam. Baru aja buka handphone, isinya udah banyak yang ngechat. Gak deng, dari satu orang doang, heheh.
Aldo Denandra
EL
ELVIA!
WOII!
15.30
Elvia Avaretta
Hah?
Apaan
G sah ngegas woi!
16.10
Aldo Denandra
Lu udh ksh papwr bagnya?
Elvia Avaretta
Udh
Knp?
Typo woi! Wkwk
Aldo Denandra
Mampus
Elvia Avaretta
Apaan?
Siapa mampus?
Aldo Denandra
Gue salah ngasih
Yg itu isinya majalah wikwik
Read
Mampus! Tolong bunuh hayati dirawa-rawa.
Ingin rasanya aku memaki, mencaci, bahkan memutilasi Aldo sekarang juga!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!