NovelToon NovelToon

Jodoh Untuk Ustad Yunus

1. Tau diri itu penting

...Sekuel novel "Ketulusan Cinta JONATHAN"...

...****************...

"Ini minumannya, Pak," ucap seorang pelayan restoran yang baru saja datang menghampiri, lalu menyajikan es jeruk pesanan Ustad Yunus di atas meja.

"Terima kasih, Mbak." Ustad Yunus tersenyum.

"Sama-sama," jawab pelayan itu, kemudian berlalu pergi dari sana.

Saat ini, Ustad Yunus berada disebuah restoran yang bernama Restoran Nissa. Dia ada niat bertemu dengan Ayah Cakra, yang merupakan Ayah dari Naya—calonnya.

Tempat dan jam, Ayah Cakra lah yang menentukannya. Tapi karena merasa tak enak, Ustad Yunus memutuskan datang lebih awal dari setengah dijam pertemuannya.

'Ya Allah ... semoga semuanya lancar. Aku ingin segera menikahi Naya, juga dengan mendapatkan restu dari orang tuanya,' batin Ustad Yunus.

Ta'aruf yang dilakukan antara Ustad Yunus dan Naya sudah berjalan satu bulan. Namun meski begitu, selain Ustad Yunus—Naya juga merasa keduanya sudah cocok.

Maka tak heran, meskipun selisih umur di antara keduanya adalah 16 tahun—tapi Naya setuju untuk menikah dengannya.

Rencana diawal, Ustad Yunus akan datang melamar Naya sekitar dua bulan lagi saat tahun baru. Tapi sebelum datang, dia menyarankan Naya untuk meminta izin terlebih dahulu kepada orang tuanya.

Gadis berusia 21 itu sudah sempat mengatakan, jika kedua orang tuanya tidak setuju. Tapi Bundanya sendiri menyarankan untuk Naya bertanya kepada calonnya, maukah dia menunggu sampai lulus kuliah atau tidak.

Dan sekarang, ajakan ketemuan dengan Ayahnya Naya dikarenakan Ustad Yunus ingin tahu lebih jelas tentang alasannya tak setuju. Dan barangkali saja Ayah Cakra berubah pikiran setelah bicara dengannya. Jadi untuk sekarang, Ustad Yunus akan berjuang dulu.

"Eekkhemm!"

Tiba-tiba, sebuah deheman dari seseorang yang baru saja datang sontak membuyarkan isi pikiran Ustad Yunus yang sudah berkelana memikirkan hubungannya. Segera dia pun berdiri, kemudian tersenyum menatap pria berstelan jas hitam di depannya.

"Kau Yunus?" tanya pria itu tanpa basa basi.

"Iya." Ustad Yunus mengangguk cepat dengan senyuman dibibirnya, lalu mengulurkan tangannya. "Om ini Ayahnya Naya? Om Cakra?"

"Iya. Tapi jangan panggil aku Om." Ayah Cakra langsung menarik kursi di depan Ustad Yunus, kemudian duduk tanpa membalas jabatan tangan itu. Akhirnya Ustad Yunus pun memilih kembali duduk di kursinya.

"Maaf, jadi saya harus panggil siapa?"

"Bapak saja."

"Baiklah." Ustad Yunus mengangguk. "Eemmm ... Bapak ingin memesan minuman dulu apa gimana?" tawarnya saat pelayan restoran datang menghampiri mereka.

"Enggak," tolak Ayah Cakra sambil mengibaskan tangan ke arah pelayan. "Lagian aku juga sibuk hari ini, jadi kita langsung saja pada niatmu mengajakku bertemu. Kamu ada perlu apa sebenarnya?"

Ustad Yunus menghembuskan napasnya terlebih dahulu, mencoba menetralkan debaran jantungnya yang mendadak terasa begitu cepat. Lantas dia berkata, "Begini, Pak. Saya dan anak Bapak yang bernama Naya sudah sebulan melakukan ta'aruf. Niat saya diawal karena memang ingin serius, mencari mendamping hidup."

"Tadinya ... saya dan keluarga saya berencana akan datang melamar Naya sehabis tahun baru. Tapi saya menyarankan Naya untuk meminta izin dulu kepada orang tuanya, termasuk Bapak yang sebagai Ayahnya. Tapi ... saya dengar dari Naya, Bapak dan Bundanya Naya nggak setuju."

"Lalu?" Sebelah alis mata Ayah Cakra terangkat. Responnya terlihat biasa saja dan menjawab pun dengan singkat. Padahal Ustad Yunus sudah cukup banyak menjelaskan.

"Kalau memang alasan Bapak nggak merestui karena Naya masih kuliah, dan Bundanya Naya sendiri meminta saya untuk menunggu ... saya siap untuk menunggu Naya, Pak," ucap Ustad Yunus dengan sungguh-sungguh. Dia sudah memikirkan hal ini secara matang-matang. "Saya akan menunggu Naya sampai dia jadi sarjana. Tapi saya minta ... Bapak dan Bundanya Naya mengizinkan supaya saya mengikat Naya."

"Mengikat?" Kening Ayah Cakra mengerenyit.

"Iya. Maksudnya, saya ingin kami bertunangan. Supaya kami ada ikatan selain sekedar ta'aruf. Tapi Bapak dan Bundanya Naya tenang saja ... selama saya menunggu Naya sampai lulus jadi sarjana, saya nggak akan terus menggangu waktunya. Saya akan membiarkan Naya untuk tetap fokus pada kuliahnya," jelasnya panjang lebar.

Ayah Cakra lantas memerhatikan Ustad Yunus, yang lebih tepatnya pada penampilannya. Pria itu memakai kemeja polos lengan pendek berwarna cream, juga dengan celana jeans panjang berwarna hitam. Tak ada yang salah dengan penampilannya, sederhana namun menawan karena wajahnya juga tampan. Tapi dia jadi merasa penasaran pada hal lain.

"Boleh aku tau apa pekerjaanmu, dan berapa gajimu?"

"Saya jadi marbot, Pak. Disalah satu masjid di Jakarta. Tapi kalau tentang gajinya ... itu—"

"Hanya marbot masjid?!" Ayah Cakra menatap tak percaya. Wajahnya seketika tegang, entah karena apa. Bisa jadi mungkin karena kaget dengan pekerjaan Ustad Yunus.

"Selain marbot, saya juga punya bisnis jual beli motor bekas, Pak," tambahnya kemudian.

"Hhhhhaa ...." Ayah Cakra menghembuskan napasnya, lalu geleng-geleng kepala. Dan tak lama dia pun terkekeh.

"Kenapa, Pak? Apa ada yang lucu?" tanya Ustad Yunus bingung.

"Kamu hanya bekerja sebagai marbot masjid, dengan sampingan jual beli motor bekas. Paling uang perbulan yang kamu dapatkan itu nggak seberapa, kan?"

"Berapa pun saya syukuri, Pak. Dan saya juga akan berusaha membahagiakan Naya setelah kami menikah."

"Mendengar pekerjaanmu saja aku sudah nggak yakin ... apakah uang segitu bisa membahagiakan Naya atau nggak. Malah sepertinya ... untuk makan saja kurang." Ayah Cakra tersenyum miring. Sudah tergambar jelas, jika pria itu sepertinya sangat tidak tertarik pada Ustad Yunus. Ditambah dia juga seakan meremehkan pekerjaannya.

"Lebih baik, kamu akhiri saja ta'arufanmu dengan Naya. Karena meskipun Naya sudah lulus kuliah ... aku nggak akan memberikannya restu," tambahnya lalu berdiri.

Ustad Yunus pun ikut berdiri, lalu memegang tangan pria itu saat dia hendak melangkah. "Jadi Bapak tetap nggak merestui hubungan saya dan Naya? Meskipun saya menunggunya?"

"Apakah masih belum jelas?!" Ayah Cakra sudah meninggikan nada suaranya, lalu menepis kasar tangan Ustad Yunus dari tangannya. "Tau diri itu penting, Yunus. Dan harusnya ... kalau kamu ingin mengajak ta'arufan dengan seorang perempuan, minimal kamu itu harus tau latar belakang keluarganya dulu. Naya itu anak seorang pembisnis, bukan anak tukang becak. Jadi ... kamu sama sekali nggak cocok dengan anakku! Kamu itu miskin! Ingat itu!" tegasnya sambil menunjuk-nunjuk dengan mata melotot.

Nyeesss!

Dada Ustad Yunus seketika ngilu, mendengar penghinaan yang terlontar begitu mudah oleh pria yang kini menjadi mantan calon mertuanya. Tapi dia sama sekali tidak menampik, sebab memang apa yang dia katakan benar.

"Maafkan saya, Pak." Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan, karena bingung juga harus bagaimana sekarang.

"Heiiii ... apa-apaan, kau! Berani sekali menunjuk-nunjuk wajah tampan si Boy sambil melotot!"

Terdengar suara bariton dan derap langkah yang begitu cepat, datang menghampiri. Lantas secara tiba-tiba, tubuh Ayah Cakra pun didorong olehnya.

...Haiiii 🤗🤗... selamat datang dan selamat membaca cerita Author yang ke—7 di NT. Jangan lupa masukkan ke daftar favorit. Tinggalkan like dan komennya perbab, vote dan hadiahnya juga......

...Sarangheo 💞...

2. Harga diriku

"Om Yohan?!" seru Ustad Yunus dengan keterkejutannya. Kedua matanya itu membulat sempurna.

Pria berumur 55 tahun itu adalah pria yang pernah Ustad Yunus tolong pasca dia tertabrak mobil dan mengalami kekurangan darah.

Sekarang, pria itu jadi muridnya yang akan dia bimbing untuk memperdalam Islam. Sebab Papi Yohan sendiri beragama Kristen sejak lahir.

Mereka juga bisa dibilang sangat akrab, malahan—Papi Yohan sendiri pernah secara terang-terangan menginginkannya untuk menjadi menantunya.

Hanya saja, Ustad Yunus selalu menolak. Selain dirinya menghargai hubungannya dengan Naya, dia juga tak memiliki perasaan kepada Yumna—anak dari Om Yohan.

Ustad Yunus saat ini berusia 37. Dia sendiri mendapatkan gelar Ustad saat dirinya dinyatakan lulus pada salah satu pondok pesantren ternama yang dia naungi selama 15 tahun.

Mendiang Abinya, meminta supaya dia meneruskan pekerjaannya setelah dia lulus untuk menjadi marbot masjid. Dan sama sekali Ustad Yunus tak keberatan. Sebab selain halal, pekerjaan itu juga terlihat sangat mulia karena merawat rumah Allah.

Selain menjadi Ustad dan seorang marbot, Ustad Yunus juga sering diundang oleh beberapa orang yang mengalami masalah seperti kesurupan atau sakit akibat gangguan jin dan makhluk halus.

Meskipun belum sepenuhnya ahli, tapi sedikit-sedikit Ustad Yunus mengerti karena pernah diajari oleh Pak Kiainya dulu ketika masih dipondok.

"Kau siapa, hah? Berani sekali mendorongku?!" teriak Ayah Cakra tak terima, matanya kini melotot tajam kepada Papi Yohan.

"Maaf, maafkan Om Yohan, Pak!" seru Ustad Yunus yang langsung menarik tangan Papi Yohan, saat melihat dimana pria itu sedikit lagi akan makin dekat dengan Ayah Cakra.

Ustad Yunus tak mau membuat keributan di restoran orang, terlebih dia juga tak mengerti alasan Papi Yohan yang tiba-tiba datang dan langsung marah-marah.

"CK! Dasar!" decak Ayah Cakra, lantas berlalu keluar dari restoran dengan wajah masam.

"Om kok tiba-tiba datang dan main dorong Pak Cakra, sih? Nggak boleh, Om," tegur Ustad Yunus sembari terduduk lesu.

"Tadi Om nggak sengaja lihat kalau dia menunjuk wajahmu sambil melotot. Menurut Om itu sangat nggak sopan. Jadi wajar dong ... kalau Om marah?" Papi Yohan dengan santainya duduk pada bekas bokongnya Ayah Cakra. "Sebenarnya dia itu siapa, sih, Boy? Dan kamu juga kenapa? Seperti ada masalah."

"Dia itu Pak Cakra, Ayahnya Naya."

"Ooohh ... jadi calon mertuamu, ya? Tapi kok kelihatan galak banget. Nggak cocok kayaknya jadi mertuamu, Boy."

"Dia sudah bukan lagi jadi calon mertua saya, Om," keluh Ustad Yunus dengan raut sedih.

"Lho ... kok bisa? Kenapa?" tanyanya dengan kepo. Namun asli, hatinya sangat berbunga-bunga sekali mendengar hal itu.

"Dia nggak merestui saya, Om."

"Alasannya?"

"Karena saya hanya marbot masjid, yang memiliki gaji nggak seberapa. Dia berpikir kalau saya nggak mungkin bisa membahagiakan Naya," jawab Ustad Yunus pelan.

Papi Yohan pun menggeserkan posisi duduknya untuk lebih dekat kepada Ustad Yunus, lalu dia pun merangkul bahunya sembari mengusap punggung. Mencoba menenangkan kegundahan di hati pria itu.

"Apa saya terlihat nggak tau diri, ya, Om?"

"Enggak tau diri gimana?" tanya Papi Yohan bingung.

"Ya nggak tau diri, karena udah mengajak Naya ta'aruf. Pak Cakra juga bilang harusnya ... saya itu melihat latar belakang dari perempuan yang akan diajak ta'aruf. Bukan langsung melakukannya begini." Mengingat kembali penghinaan yang Ayah Cakra lakukan, hati Ustad Yunus bak teriris. Wajahnya pun kini menjadi muram seketika.

"Enggaklah, Boy." Papi Yohan menggeleng. "Masa hanya karena kamu mengajak perempuan ta'aruf ... kamu jadi terlihat nggak tau diri. Udah nggak usah dipikirkan, dengan apa yang Pak Cakra ucapkan. Kamu nggak salah disini. Anggap saja semua yang terjadi pertanda kalau kamu dan Naya nggak berjodoh. Lagian masih ada Yumna juga yang menunggumu. Iya, kan?"

Papi Yohan tak akan membiarkan ada celah sedikitpun, nama Yumna harus dia kaitkan supaya Ustad Yunus kini mau menjadi menantunya.

"Saya sepertinya harus pulang sekarang, Om." Ustad Yunus tiba-tiba berdiri lalu memanggil pelayan restoran untuk membayar minumannya.

"Kok pulang?" Papi Yohan ikut berdiri dan langsung memegang tangan Ustad Yunus. "Mending kita pergi mancing, Boy. Siapa tau dengan pergi memancing ... hatimu akan menjadi sedikit lebih baik. Om tau dan ngerti ... apa yang kamu rasakan kok. Kita 'kan sehati dan satu aliran darah. Benar, kan?" Kedua alis matanya naik turun.

"Saya butuh waktu sendiri dulu untuk menenangkan diri, Om. Maaf ... saya duluan, ya, assalamualaikum."

"Walaikum salam."

Papi Yohan melambaikan tangan dan menatap punggung Ustad Yunus yang kini sudah menghilang dibalik pintu restoran.

"Kasihan si Boy ...," gumamnya sambil menghela napas. Tapi didetik berikutnya, Papi Yohan justru tersenyum dan langsung lompat-lompat. "Ah tapi ada bagusnya juga. Ini tandanya rencanaku yang sedang mendekatkan Yumna dengan si Boy akan segera berhasil sedikit lagi."

Secara tidak langsung, Papi Yohan saat ini sedang menari-nari di atas penderitaan Ustad Yunus.

"Aaakkkhhhhh!"

"Astaghfirullah!!"

Sedang asiknya melompat tanpa beban, Papi Yohan pun dikejutkan oleh beberapa wanita yang menjerit, bahkan ada juga yang beristigfar.

Ada apa? Kenapa?

Itulah hal yang dipikirkannya saat ini. Sangking penasarannya, dia juga langsung menatap sekitar. Takutnya apa yang para wanita itu lakukan karena adanya musibah mendadak di restoran.

Tapi ternyata tidak ada apa-apa. Semuanya aman dan tak ada salah satu diantara mereka yang berlari pergi dengan panik. Hanya saja herannya di sini—hampir semua wanita di restoran menutup matanya.

"Astaga Bapak! Bapak ini waras nggak, sih?!" Seorang pria bertubuh gempal tiba-tiba berteriak dan berlari menghampirinya.

"Apa maksudmu?!" Papi Yohan mengerutkan keningnya bingung.

Pria itu segera membungkuk untuk memungut sebuah kain yang terjatuh tepat pada kedua kaki Papi Yohan, lalu segera menariknya ke atas. "Sarung Bapak melorot! Ditambah nggak pakai dalamann udah gitu kulitnya ngelupas lagi, apa Bapak nggak malu, ya?" geramnya marah.

Papi Yohan sontak terbelalak. Tentu dia kaget dan jujur saja apa yang terjadi diluar kuasanya. Karena dia sendiri tak ingat kapan sarungnya turun. "Ya ampun harga diriku!"

Buru-buru, Papi Yohan keluar dari restoran sambil memegang erat sarungnya. Benar-benar dia sangat malu, dan menggerutuki dirinya sendiri yang ceroboh.

"Bisa-bisanya aku lompat-lompat sedangkan posisi pakai sarung. Mana ngikatnya juga asal, karena aku sendiri belum terlalu bisa," keluhnya lalu masuk ke dalam mobil.

Alasan Papi Yohan memakai sarung tanpa dalaman karena dia baru disunat dua hari yang lalu. Dan tongkatnya pun saat ini masih basah.

"Oh ya, mending sekarang aku pikirkan ide selanjutnya ... supaya si Boy dan Yumna cepat bersatu. Aku telepon Mami dulu deh." Papi Yohan seketika mendapatkan sebuah ide, tapi akan didiskusikan kepada istrinya terlebih dahulu karena dia ikut andil juga dalam hal ini.

^^^Bersambung.....^^^

3. Pergi dari rumah

Umi Mae—Umi dari Ustad Yunus, hanya bisa menghela napasnya dengan gusar saat dimana mendengar cerita dari anaknya. Tentang pertemuannya dengan Ayah Cakra siang tadi.

"Yang sabar, Nak ...," ucapnya, lalu mengelus lembut pundak kanan anaknya. "Mungkin ... ini adalah jawaban dari Allah, kalau Naya itu bukan jodohmu."

"Tapi aku suka sama Naya, Mi," lirih Ustad Yunus dengan sendu.

Umi Mae mengangguk paham. "Umi tau, tapi restu orang tua itu penting, Nak. Lebih baik kamu merelakannya aja."

"Apa habis ini tandanya nggak akan ada yang mau sama aku, Mi? Karena pekerjaanku hanya marbot masjid?"

Ustad Yunus tahu, rasa minder tentang sebuah pekerjaan itu harusnya tidak perlu ada. Karena selagi halal, semuanya akan terlihat mulia dimata Allah.

Namun, dia juga manusia biasa. Yang terkadang masih suka baper dengan segala hal yang terjadi pada hidupnya.

"Kamu ini bicara apa? Memang apa salahnya dengan pekerjaan sebagai marbot?" Kening Umi Mae tampak mengerenyit. Namun didetik selanjutnya dia pun menggelengkan kepalanya. "Selama ini kamu dan Umi nggak pernah kekurangan ... malah kamu juga punya tabungan juga, kan? Sedikit besarnya rezeki itu harus kita syukuri, Nak. Karena kalau nggak bersyukur ... kita pasti selalu merasa kurang. Dan apa kamu juga lupa, ya, sama perempuan diluar sana?"

"Perempuan diluar sana?" Kalimat terakhir yang Umi Mae ucapkan membuatnya bingung. Dan agak tidak nyambung juga menurutnya, sebab yang tadi dibahas adalah tentang pekerjaan. "Maksudnya, Umi?"

"Selain Naya, bukankah ada dua perempuan lain yang menyukaimu? Ya kalau orang tua Naya nggak merestui ... belum tentu juga orang tua mereka ikut nggak merestui kamu. Iya, kan?"

"Maksud Umi dua perempuan itu siapa? Memang ada, perempuan yang suka sama aku?" tanya Ustad Yunus bingung.

"Zaenab dan Yumna, Nak. Umi perhatikan ... mereka berdua sepertinya suka sama kamu. Apalagi Yumna, yang hampir sering mengirimimu makanan. Dia juga sepertinya perempuan yang manis, pasti cocok sama kamu."

Umi Mae sengaja langsung membahas perempuan lain. Sebab dia tak mau melihat anaknya terus menerus bersedih dengan memikirkan nasib hubungannya bersama Naya.

"Zaenab cuma mengirimkan aku makanan sekali, Yumna dua kali. Tapi bukan berarti ... mereka suka, Umi, sama aku."

"Pasti suka, Nak," sahut Umi Mae dengan yakin. "Perempuan kalau suka sama laki-laki itu memang seperti itu, karena dia juga nggak mungkin langsung bicara terang-terangan. Kan perempuan itu gengsi tinggi."

"Ah nggak mungkin sih, Umi. Itu cuma perasaan Umi saja. Lagian aku juga nggak ada perasaan apa-apa sama mereka." Ustad Yunus lantas mencium punggung tangan Umi Mae, lalu berdiri. "Aku ingin pergi ke masjid, Umi. Aku juga kayaknya nggak tidur di rumah, mau tidur di Masjid. Assalamualaikum."

"Walaikum salam. Hati-hati, Nak."

"Iya, Umi." Ustad Yunus mengangguk, lalu melangkah keluar dari rumah.

Ting~

Baru saja dia hendak masuk ke dalam mobil, tapi tiba-tiba terdengar suara notifikasi sebuah chat masuk dari Naya. Segera Ustad Yunus pun mengambil ponselnya di dalam kantong celana, lalu membukanya.

[Bang ... bagaimana pertemuannya dengan Ayah, apa semuanya lancar? Dan apa Ayah berubah pikiran dan merestui kita?]

[Enggak, Nay. Ayahmu malah mengatakan kita harus mengakhiri ta'aruf kita.] Ustad Yunus membalas.

[Aku nggak mau, Bang.] Naya membalas lagi.

[Saya juga, Nay. Tapi saya bingung.]

***

Kepulangan Papi Yohan di rumahnya, langsung disambut hangat oleh Yumna—anak semata wayangnya.

Seorang perempuan cantik berusia 25 tahun, berambut panjang berwarna pirang. Dia bekerja sebagai seorang model dan memiliki darah campuran antara Indonesia dan Korea. Papi Yohan orang Indonesia, meskipun ada darah campuran dari Chinese orang tuanya, sedangkan istrinya yang bernama Kim Soora asli orang Korea.

Alasan perempuan itu menyambutnya karena dia sangat penasaran ingin mendengar cerita langsung, tentang pertemuannya dengan Glenn.

Sebelum Papi Yohan tak sengaja bertemu dengan Ustad Yunus, yang memiliki panggilan kesayangan bernama 'Boy' dia sebenarnya memang ketemuan dengan Glenn, yang merupakan mantan pacar Yumna.

Pertemuan itu dibuat karena Glenn ingin meminta restu, untuk bisa menikah dengan Yumna. Sebab Yumna sendiri tak menolak untuk kembali bersamanya.

Dia juga sudah kembali percaya, saat mantan pacarnya itu menjelaskan jika apa yang terjadi dimasa lalu hanya sebuah kesalahpahaman.

Meski awalnya memang ada keraguan, tapi karena terus menerus dirayu—akhirnya Yumna luluh juga dan jatuh hati lagi padanya.

"Bagaimana, Pi? Apa Papi berubah pikiran setelah bertemu dengan Kak Glenn?" tanya Yumna dengan senyum sumringah.

"Enggak." Papi Yohan menggeleng, lalu melangkah melewati Yumna menuju tangga.

"Kok enggak? Kenapa, Pi?" Yumna langsung berlari mengejar Papinya, kemudian menahannya hingga langkahnya terhenti di depan kamar.

Papi Yohan menoleh, menatap lekat wajah anaknya. "Menurut Papi dia sudah nggak cocok lagi bersamamu, Yum. Papi juga yakin ... dia pasti ada hal lain kenapa ingin kembali bersamamu."

"Itu semua karena Kak Glenn masih mencintaiku, Pi!" tegas Yumna dengan nada suaranya yang tiba-tiba meninggi. Dia terlihat marah.

Kemarin, Yumna memang sudah meminta izin kepada orang tuanya jika Glenn berencana akan mengajaknya menikah. Tapi mendengar orang tuanya tak mau merestui, dia pun mengancam untuk pergi dari rumah.

Ancaman Yumna langsung membuat Papi Yohan meminta supaya dia dan Glenn bertemu dulu, sebab barangkali dia bisa berubah pikiran setelah bertemu dengan pria itu.

Mendengar hal tersebut, Yumna jelas senang dan langsung berharap. Akhirnya dia pun memilih tak jadi pergi dari rumah.

Namun sekarang, setelah mendengar ternyata Papinya masih teguh pada pendiriannya untuk tidak mau memberikan restu—sepertinya kali ini dia akan benar-benar pergi dari rumah.

"Aku kecewa sama Papi! Ternyata Papi hanya mempermainkanku! Kupikir Papi akan berubah pikiran dan merestuiku menikah dengan Kak Glenn, ternyata enggak! Aku benci sama Papi!" geram Yumna dengan emosi yang sudah meledak-ledak.

Dia pun hendak melangkah menuju kamarnya, tapi tangannya langsung dicekal oleh Papi Yohan.

"Kamu ini sadar nggak, sih, Yum. Kamu ini masih gadis! Dan anak Papi satu-satunya! Papi nggak akan biarkan kamu menikah dengan pria br*ngsek macam si Kriwil! Apalagi dia seorang duda bekas zina!!" teriak Papi Yohan yang ikut emosi. Kedua matanya sudah melotot.

"Aku nggak peduli! Aku mencintainya, Pi!" Yumna langsung menepis kasar tangan Papi Yohan, kemudian berlari masuk ke dalam kamarnya.

Ceklek~

Masuknya Yumna ke dalam kamar, bertepatan dengan Mami Soora yang keluar kamar dan tepat searah di depan Papi Yohan.

Meskipun sudah berumur, tapi Mami Soora terlihat masih cantik. Dia juga saat ini sudah mengenakan dress panjang dengan motif batik.

"Tadi Mami kayaknya denger suara Yumna, tapi ada apa dengannya? Apa Papi sama Yumna berdebat lagi?"

"Ya biasa lah, Mi. Dia langsung emosi saat Papi bilang nggak mau merestui," jawab Papi Yohan sambil menghembuskan napasnya dengan berat.

Brak!!

Tiba-tiba, sebuah pintu kamar Yumna dibuka secara kasar olehnya. Dan perempuan itu pun keluar dari sana dengan mendorong sebuah koper berukuran besar.

"Yumna ... kamu mau ke mana?!" tanya Mami Soora dengan ekspresi terkejut. Bola matanya sedikit membulat.

Selain itu dia juga melihat wajah masam anaknya, dan langsung berpikir jika perempuan itu pasti ingin pergi dari rumah.

"Aku mau pergi dari rumah! Papi dan Mami nggak perlu mencariku!" tegas Yumna sambil membuang muka, kemudian melangkah cepat menuruni anak tangga.

"Apa?! Pergi dari rumah?? Jangan lakukan itu, Yum!!" Mami Soora terlihat panik dan ingin mengejar anaknya, tapi tangan Papi Yohan langsung menghalanginya.

"Jangan dikejar, Mi! Biarkan saja!"

"Kok biarkan?? Dia mau pergi dari rumah lho, Pi, nanti Yumna tinggal dimana??"

"Hotel sama apartemen banyak, Yumna juga pasti pegang uang. Jadi Mami nggak perlu khawatir." Ekspresinya tidak seperti kemarin, saat anaknya mengancam ingin pergi dari rumah. Papi Yohan justru sekarang terlihat lebih santai. "Sekarang mending kita lakukan rencana selanjutnya, karena lebih cepat akan lebih baik, Mi," tambahnya, lalu menarik tangan istrinya untuk turun ke lantai dasar hingga keluar dari rumah.

"Tapi kalau misalkan Yumna pergi ke tempatnya si Glenn gimana? Terus mereka kawin lari?" tanya Mami Soora yang terlihat masih khawatir.

"Sebelum semuanya terjadi, rencana kita harus berhasil. Mangkanya kita harus bergerak cepat, Mi." Papi Yohan lantas membukakan pintu mobilnya untuk istrinya masuk, kemudian disusul olehnya yang ikut masuk. "Cincin pesanan Papi sudah Mami beli, kan? Dan dibawa juga, kan?" tanyanya sebelum menyalakan mesin mobil. Dia menoleh.

"Udah." Mami Soora mengangguk, lalu menepuk pelan tas brandednya yang berada di atas paha. "Ada di dalam sini. Tapi Papi sendiri nggak ganti baju dulu? Katanya kita mau pakai batik couple?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!