mpak seorang pria gagah masuk ke dalam rumahnya. Menyeret koper hitam miliknya. Ia mengucap salam begitu lantang. Sontak keluarganya menjawab.
Kedatangannya memang ditunggu. Bahkan sejak tadi si Kecil menatap jam menanti kedatangan kakak pertamanya kembali dari Rusia. Ia segera melompat kesenangan begitu melihat batang hidung kakaknya.
"Adek!" teriak kedua adiknya senang.
"Duh, Sie, Nay, kalau panggil jangan Adek" protesnya. Ia segera memeluk adik kecilnya. Namun, protesnya tidak digubris kedua adiknya.
"Oleh-oleh," tagih Sie.
"Ini," ujar Alden.
Dua minggu yang lalu, Alden mengikuti lomba dari kampusnya untuk ke Rusia. Ia cerdas dan multitalenta, mirip sekali dengan ayahnya, Kenan Rahardian.
Di saat Alden melakukan studi ke jenjang yang lebih tinggi, ia bekerja menjadi salah satu karyawan biasa di kantor ayahnya. Uang yang ia dapatkan dari hasil kerjanya, ia gunakan untuk biaya kuliahnya.
Bukan karena Ken tidak memberinya uang. Bahkan ayahnya selalu memberinya uang yang cukup. Ia hanya ingin bekerja dan mencari uang sendiri. Sebut saja dia begitu mandiri meski usianya baru menginjak 20 tahun.
Ken pun, tidak menyerahkan tangku kedudukannya kepada putra pertamanya karena ia ingin Alden mempelajari dari awal. Berjuang untuk mencapai posisi itu.
Dan, saat masuk di ruang keluarganya, Alden tidak mendapati sepupunya yang sering kali merengek dan mengikutinya seperti anak bebek. Pasti penyebabnya karena sepupunya merajuk.
"Bunda, Ayah, aku ke kamar dulu," pamit Alden.
"Iya, Dek," ujar Aya. Ia sibuk membongkar oleh-oleh putranya. Alden hanya menggeleng melihat tingkah bundanya.
***
Melihat lampu kamar di seberang sana menyala, gadis itu segera menutup gorden kamarnya. Bibirnya mengerucut kesal.
Dua minggu ia uring-uringan sendiri karena sepupunya pergi ke Rusia. Padahal ia merengek untuk ikut, tetapi tidak diizinkan. Alasannya karena ia harus sekolah.
Dua minggu tanpa Alden membuat putri dari pasangan Maya dan Arland menangis. Tidak rela harus pisah dengan Alden.
"Alexa," panggil Alex membuat kembarannya menoleh.
"Hm?" dehem Alexa.
"Ke rumah Adek, yuk. Dia sudah pulang," ajak Alex.
"Enggak, mau belajar. Ada tugas," bohongnya. Alex menggelengkan kepala. Ia tahu kembarannya berbohong karena mereka sekelas dan hey, sejak kapan seorang Alexa mau belajar?
Alex meninggalkan adiknya dan turun ke bawah. Melihat Alex pergi ke rumah di seberangnya, Alexa menendang tembok kamarnya.
Ia sudah berdiri lama di sana. Ia menyingkap sedikit gordennya. Matanya menatap ke kamar yang bersebelahan dengan kamarnya. Hanya terhalang tembok rumah mereka.
Pintu balkon kamar Alden terbuka. Pria itu mengenakan pakaian rumahannya. Kaus oblong dengan celana selutut. Ia memegang pembatas balkon kamarnya dan menatap lurus ke kamar Alexa.
"Alexa!" teriaknya, "Alexa!"
Alexa menyingkap gordennya. Ia menggeser pintu balkon kamarnya. Dengan wajah kesal ia menatap Alden.
"Kenapa teriak-teriak? Enggak usah panggil-panggil. Enggak kenal," ketusnya. Tentu suara Alexa terdengar oleh Alden, posisi mereka lumayan dekat.
"Dih, ambekan," ejek Alden.
Alexa menyilangkan tangan di depan dadanya. Matanya menatap kesal Alden. Dia memang suka merajuk kepada Alden.
"Sini," panggil Alden sambil mengulum senyum gelinya. Alexa tidak bergeming, "kalau begitu, aku tidur saja. Ngomong sama kamu juga berasa kayak ngomong sama patung." Alden sengaja memancing. Dia pura-pura berbalik badan.
Duk!
"Akh!" Alden meringis. Ia membalikkan badan. Melihat sandal jepit Alexa di balkonnya. Ia menatap tidak percaya gadis di depannya. Melemparnya sandal karena kesal. Astaga, ia hampir melupakan sikap bar-bar dari tantenya menurun kepada Alexa.
Brak!
Alden menggelengkan kepala melihat Alexa masuk dan menutup kasar pintunya. Alden mengambil sandal Alexa dan masuk ke kamarnya.
"Perasaan waktu kecil dia kalem. Apalagi kalau beol," gumam Alden.
Dia berbaring dan menatap langit-langit kamarnya. Tidak terasa dia sudah besar dan tumbuh menjadi pria tampan. Alden berusaha melakukan yang terbaik karena ia menjadi panutan ketiga adiknya.
Ceklek.
Alden menoleh dan secepat kilat gadis itu memukulnya bantal. Alden melindungi dirinya dari pukulan gadis yang sedang marah kepadanya.
"Alexa! Bar-bar banget, sih!" Alden berhasil kabur.
"Siapa suruh ke Rusia!" Mata Alexa melotot. Alden menghela napas. Ia naik ke atas kasurnya kembali dan menarik Alexa.
"Kan lomba, Xa." Alexa memutar bola matanya kesal.
"Mana oleh-oleh buat aku?" tanyanya. Alden menatap geli Alexa. Sedetik yang lalu, gadis di depannya marah dan mengamuk, tetapi sekarang minta oleh-oleh.
"Ada di bawah," ujar Alden. Ia mengajak Alexa turun.
***
Di ruang keluarga mereka semua berkumpul. Mata Alexa langsung berbinar-binar melihat oleh-oleh yang dibawa Alden sangat banyak.
Ia memeluk boneka beruang berwarna coklat. Namun, Sie langsung menariknya. Alexa kembali mengambilnya membuat Sie menatapnya garang.
"Bundaaaa ... Tini ambil boneka Sie," adu Sie membuat Alexa menatap kesal sepupunya. Sie akan memanggil nama kesukaan mommy-nya saat marah. Senjata andalan gadis kecil itu.
"Boneka ini buat Alexa," ujar Alexa membuat Sie merengek memintanya.
"Adek bonekanya buat Sie, 'kan?" tanya Sie dengan mata memelas. Ia mengedip-ngedipkan matanya. Jangan tanya dia belajar dari mana, pernah sekali ia melihat bundanya ingin makan es krim dan ayahnya tidak mengizinkan. Akan tetapi, ia melihat bundanya memelas dan mengedipkan mata berulang kali, ayahnya luluh.Sie hanya tidak tahu ayahnya merasa murahan bisa luluh dengan mudah oleh istri polosnya.
Alexa cemberut dan menatap Alden memohon. Alden menjadi bingung karena kalau ia menolak Sie, suara tangis adiknya yang cetar membahan bisa pecah dan kalau ia menolak Alexa, pasti gadis itu mengambek dan lebih bar-bar lagi.
"Bonekanya buat Bunda," ujar Aya. Ia segera mengambil boneka itu. Alden tersenyum tipis. Bundanya menyelamatkannya.
Alexa kembali duduk dengan cibir yang ia berikan pada Sie. Ia melihat oleh-oleh lainnya. Ken, Alden, Galen, Alex dan Arland sendiri, memilih memisah diri.
***
Besoknya, Alexa sudah lengkap dengan seragam putih abu-abu miliknya. Ia segera pamit kepada kedua orang tuanya dan Alex.
Hari ini, ia akan nebeng dengan Alden. Sebenarnya Alex sudah melarang karena kampus dan sekolah mereka berlawanan, tetapi adiknya ngotot.
"Assalamualaikum!" ucap Alexa.
"Wa'alaikumsalam!"
"Selamat pagi calon Bunda mertua dan Ayah mertua," sapa Alexa membuat Ken dan Aya tertawa.
"Pagi, Sayang. Adek masih di atas," ujar Aya. Alexa selalu mengatakan itu saat ia bertamu.
"Al!" panggil Alexa.
Alden keluar dengan baju santinya. Hari ini libur sehari. Ingin memanjakan tubuhnya, tetapi Alexa minta di antar ke sekolah.
Mereka pamit dan dalam perjalanan Alexa tidak berhenti mengoceh. Alden hanya diam mendengarkan, sesekali ia akan menyahut jika Alexa bertanya.
"Sampai," ujar Alden.
"Yah, cepat banget. Kayaknya aku harus pindah sekolah yang lebih jauh lagi biar lama sama kamu di dalam mobil," ujarnya blak-blakan.
"Mau telat?" tanya Alden datar.
"Maunya nikah," ujarnya memelas. Alden menyentil bibir Alexa.
"Ish, sakit," kesal Alexa.
"Makanya jangan ngasal kalau ngomong. Nikah ... nikah ... belajar yang bener. Kalau nilai kamu remedial, aku buat kamu lest priavate," ujar Alden.
"Iya, deh, nurut sama kata calon imam, hihihi," ujarnya membuat Alden menggelengkan kepala. Alexa meraih tangan Alden dan mencium pipi Alden cepat.
"Alexa!" kesal Alden.
"Kata Bunda, waktu kecil kamu suka cium aku. Sekarang, waktu aku besar, aku yang suka cium kamu. Diam saja."
Alexa segera pergi. Ia tertawa melihat Alden kesal. Sementara Alden tersenyum tipis dan memegang pipinya.
"Yang waras ngalah," gumam Alden.
***
TBC.
Pulang sekolah Alexa ikut dengan Alex. Ia terpaksa mau nebeng dengan kakaknya karena Alden sedang sibuk di kampusnya. Bibirnya sudah mayung membuat Alex menggeleng.
Tiba di rumah mereka langsung ke kamar masing-masing. Alex cepat ganti pakaian dan ke dapur makan. Setelah makan, dia ke rumah sebelahnya.
"Assalamualaikum!" ucapnya.
"Wa'alaikumsalam!"
Alexa mendengar suara Sie yang menjawab salamnya. Di sana ia melihat Sie sedang asyik bersandar di sofa dengan camilan di tangannya.
Alexa mendekati Sie. "Adek sudah pulang enggak?" tanyanya kepada Sie. Dibalas gelengan oleh anak kecil itu.
Alex meninggalkan Sie. Berjalan ke kamar Alden. Kamar Alden tidak pernah terkunci membuat ia bebas masuk ke sana. Alexa menatap meja belajar Alden.
Ada tiga bingkai kecil di sana. Foto pertama bersama keluarga besar mereka, foto kedua Alden bersama orang tua dan saudaranya. Di foto terakhir ada di dan Alden. Bibir Alexa tersenyum senang.
Ia berjalan ke balkon kamar Alden. Langsung ia melihat kamarnya sendiri. Alexa duduk di bangku panjang di balkon Alden.
"Lama banget pulangnya," gerutu Alexa. Ia memutuskan berbaring di sana.
***
Ia melangkahkan kakinya ke parkiran mobil. Kelansya baru saja selesai. Ia mampir sebentar membeli beberapa camilan untuk adik-adiknya. Biasa Sie kalau dia pulang nagih oleh-oleh.
Kimmi
[Adek, Kimmi lagi di bengkel. Tiba-tiba motor Kimmi kempis.]
[Kirim alamatnya.]
Alden segera ke alamat yang dikirim Naya kepadanya. Ia memutar mobilnya. Lumayan jauh sampai membuat ia dan adiknya tiba di rumah setelah magrib.
Sie melompat senang melihat kakaknya datang. Ia segera menyambut Alden. "Adek, mana camilannya?" tagihnya. Alden menyerahkan kantong hitam kereseknya.
"Jangan makan banyak-banyak. Nanti, nafsu makan Sie menurun," pesan Alden. Sie mengangguk dan kembali ke sofa. Ia langsung duduk di pangkuan Galen.
Alden naik ke atas menuju kamarnya. Masih gelap gulita. Ia menekan skalar lampu. Tap! Ruangannya terang menderang.
Alis Alden bertautan melihat balkon kamarnya terbuka. Seingatnya dia menutupnya. Alden menyimpan tasnya dan berjalan ke balkon.
Ia menghela napas melihat Alexa tidur di sana. Meringkuk seperti janin. Dengan pelan Alden mengangkat tubuh Alexa. Meletakkan di atas kasurnya.
Alden segera mandi dan mengenakan kaus rumahannya. Tidak ada tanda-tanda Alexa bangun. Sudah hampir masuk Isya. Alden mendekat dan menepuk bahu Alexa.
"Mphus, bangun," panggil Alden. Ia suka memanggil Alexa kucing karena ketika Alexa marah dia akan bar-bar dan ketika diam dalam mode kalemnya, seperti anak kucing.
"Mphus! Fiuhhh!" Alexa membuka matanya saat Alden meniup matanya. Ia merengut kesal dan menarik bantal. Memeluknya erat.
"Enggak baik tidurnya kelamaan. Shalat dulu. Belum makan juga nanti maag kamu kambuh," ujar Alden.
"Aku menunggu lama banget. Dari jam 3 sore sampai—" Alexa melirik jam dinding, "jam 6:56." Bibirnya sudah mayung.
"Aku 'kan bilang kalau liat kamar aku lampunya tidak menyala aku belum pulang. Kalau siang bisa tanya Bunda aku pulang atau belum. Ke kamar kalau enggak ada aku, artinya belum pulang," jelas Alden.
"Au ah. Bete sama kamu," kesal Alexa.
"Umur kamu berapa, sih?" tanya Alden. Ia tersenyum geli karena sepupunya masih labil sekali.
"18 tahun," jawab Alexa.
"Sie berapa?" tanya Alden lagi.
"6 tahun," jawab Alexa kembali.
"Kamu beda usia dengan Sie, tetapi kalau merajuk sama," goda Alden membuat Alexa bangkit dan memukulnya.
Alden meminta Alexa pulang ke rumahnya. Untuk Shalat dan nanti dia akan ke sana.
***
Selesai Shalat, Alden pergi ke rumah di sebelahnya lewat samping karena di tembok itu ada gerbang kecil menuju rumah Alexa.
Namun, dia tidak sendiri karena Sie merengek ikut. Ia sudah tahu adiknya akan ke mana. Pasti ke kamar Alex.
"Adek, Sie ke kamar Tono dulu," ujarnya membuat Alden mengangguk.
Ia masuk ke kamar di sebalah kamar Alex. Terlihat Alexa masih mengenakan mukenanya. Ia tersenyum lebar melihat Alden.
"Duh, lihat kamu masuk ke kamar aku berasa kayak lagi liat suami masuk kamar," ujar Alexa membuat Alden menatapnya datar.
"Kamu selalu bahas nikah, nikah. Belajar dulu. Nah, mana tugas kamu." Alden meminta buku tugas Alexa. Dengan cemberut Alexa memberikan buku tugasnya.
"Alexa apa ini?!" tanya Alden terkejut, "Kenapa nilai kamu 70?"
"Otak aku cuma sampai 70 saja," ujar Alexa memelas. Alden menggelengkan kepalanya. Ia menarik Alexa ke arahnya.
"Ini sejarah. Kamu harus belajar sejarah. Jangan tahunya main hp," omel Alden.
"Aku enggak bisa mengingat masa lampau. Kata Bunda, masa lalu harus dilupakan. Jangan diingat apalagi diungkit," jawabnya.
Alden mengusap kasar wajahnya. Kalau bertanya dengan bundanya dijamin nilainya akan di bawah rata-rata. Menurut yang ia dengar dari ayahnya, bundanya selalu ngasal.
"Belajar sini. Enggak ada main hp lagi. Hp kamu aku sita," ujar Alden marah.
"Kenapa enggak buat sejarah baru saja, Al?" tanyanya.
"Sejarah baru apa? Kamu mau ada peran dunia ketiga?" tanya Alden kesal.
"Sejarah cinta kita. Biar nanti anak cucu kita bisa kita ceritakan," jawab Alexa cepat.
"Sekali kamu ngomong ngasal aku pergi saja keluar negeri. Percuma tinggal di sini. Kamu rajin belajar saja enggak. Apa nurut kata kamu yang malasnya kebangetan," ujar Alden membuat Alexa murung. Matanya berkaca-kaca.
Alden menoleh dan melihat Alexa. Ia sedikit salah tingkah membuat Alexa hampir menangis. Dengan cepat ia menarik Alexa duduk di dekatnya. Ia mengusap kepala Alexa seperti ia mengusap Moci kucingnya.
"Nanti habis belajar kita jajan, ya," bujuk Alden.
"Janji?"
"Insha'Allah." Alexa tersenyum. Membuat Alden bernapas lega.
"Tapi, aku beneran mau nikah sama kamu," ujarnya membuat Alden memasang wajah datarnya.
"Kita sepupuan," kesal Alden.
"Kata Ayah boleh. Daddy juga enggak masalah. Sah-sah saja karena Mom dan Ayah bukan saudara kandung. Banyak malah di luar sana, sepupu kandung nikah," ujar Alexa.
"Walau boleh malas nikah sama kamu," ujar Alden cuek membuat Alexa menatapnya kesal.
"Kamu jangan-jangan punya pacar?" tanya Alexa penuh selidik.
"Enggak ada, Xa. Masa iya aku pacaran." Alden memang tidak mau pacaran. Baginya cinta, ya, halalkan.
"Kalau begitu kita nikah saja, ya, ya, pleasee," rengek Alexa.
"Malas. Dengar, ya, Mphus. Menikah itu bukan perkara mudah. Ada tanggung jawab di dalamnya. Jujur saja, aku belum mampu memikul beban seberat itu. Aku masih belajar, Mphus. Aku kerja hanya karyawan biasa. Gaji pas-pasan."
Alden menatap Alexa serius, "Ketika menikah. Bukan Ayah lagi yang biayai kuliah aku dan kebutuhanku. Aku harus bisa melakukan sendiri untukku dan untukmu."
"Bukannya selama ini kamu sendiri yang biayai kuliah kamu?" tanya Alexa.
"Iya. Tapi, masih banyak kebutuhan lain. Kebutuhan dapur, dan juga kebutuhan kamu."
"Aku bisa cari uang sendiri, Al. Jangan biayai aku. Cukup halalkan aku," ujar Alexa.
"Sentil, nih, bibir kamu," ujar Alden.
"Cium saja," ujar Alexa sambil tertawa.
"Dasar gila!" kesal Alden.
"Huwaa padahal ingin rasain apa yang dikatakan Bunda," ujar Alexa.
"Bunda bilang apa?" Mata Alden memicing. Alexa terlalu dekat dengan bundanya sampai tertular otak polos bundanya.
"Bikin adek-adek," cicit Alexa.
"Ck," decak Alden. Ia menyentil bibir Alexa.
"Aldeeeen sakit! Kasar banget, sih."
"Makanya kalau ngomong saring dulu." Alden membuka buku Alexa,"Belajar sekarang. Baca dan tanya. Harus ada pertanyaan." Alexa mengambil bukunya dengan malas.
***
TBC.
Setelah belajar Alden mengajak Alexa jalan-jalan sesuai janjinya. Dia membawa ke pedagang kaki lima. Alden menuruti keinginan Alexa. Sebelum mereka pulang ke rumah.
Alden kembali ke rumahnya setelah Alexa masuk ke dalam rumah. Ke kamarnya harus melewati ruang keluarga. Ia melihat Naya masih belajar di depan TV.
"Kimmi," panggil Alden.
"Iya," jawab Kenaya.
"Kenapa belum tidur?" tanya Alden.
"Masih banyak soal belum aku jawab. Besok sudah harus di kumpul."
Di antara mereka, Kenaya sangat mewarisi Aya. Bedanya, Naya rajin, tetapi tetap tidak bisa mengerjakannya. Sulit memahami dengan cepat. Naya kelas 3 SMP dan Galen kelas 2 SMP. Mereka beda 1 tahun. Naya 16 tahun dan Galen 15 tahun.
Sedangkan Sie si Bungsu yang usilnya kelewatan dia 6 tahun. Masih TK. Sie pintar dan cerdas. Galen dan Alden pun sama. Hanya yang membedakan sikap Alden dan Galen adalah Alden masih ada keramahan dalam bertutur kata sedangkan Galen sama sekali tidak. Sikap dingin Ken mendarah daging kepadanya. Sedangkan si kembar Alex dan Alexa kelas 2 SMA umur 18 tahun.
"Mau diajari?" tawar Alden.
"Adek 'kan baru pulang pasti capek. Kimmi ngerepotin Adek jadinya," ujar Naya tidak enak.
"Enggak ngerepotin. Sama Adik sendiri juga." Alden duduk di samping adiknya dan mengajari Naya. Beberapa kali Naya menguap sampai dia jatuh di pundak Alden.
Alden melihat adiknya tersenyum. Ia memutuskan mengerjakan sisa pekerjaan Naya. Selesai, ia menutupnya dan menggendong adiknya ke kamar.
***
Semangat pagi yang ditunjukkan Alexa bak mekarnya bunga-bunga di taman. Baju seragam putih abu-abu yang ia kenakan pas di tubuhnya. Mengambil tas dan juga sepatu miliknya.
Dia turun ke bawah. Bergabung sarapan dengan kedua orang tuanya. Tampak a berpikir keras. Menimang-nimang yang akan ia utarakan pada kedua orang tuanya.
"Dad, Mom, Alexa boleh menikah SMA?" tanya Alexa.
Maya dan Arland saling memandang satu sama lain. Alex mendengkus mendengar pernyataan adiknya. Matanya menatap tajam Alexa. Ia tidak setuju dan tatapannya membuktikannya.
"Kalau sekolah, ya, sekolah. Mau pacaran, ya, pacaran. Jangan bersuami. Masih kecil ngurus diri saja belum bisa apalagi ngurus orang lain," omel Alex.
"Aku enggak ngurus orang lain. Aku mau ngurus Adek," ujarnya membuat Alex tersedak.
"Lempar sendok mau? Mom, Dad, Alexa kalau ngomong suka ngaur. Selera makan jadi mau hilang," ujar Alex.
"Lah, hubungannya apa? Mom, Dad, katanya enggak apa-apa," ujar Alexa.
"Sudah ... makan saja. Nanti sehabis pulang kantor bicara sama Daddy."
***
Mengantar Alexa ke sekolah sudah menjadi rutinitas Alden. Manjanya Alexa tidak dapat ia tolak. Salahkan dirinya sejak kecil memanjakan Alexa hingga gadis itu bergantung padanya.
Alden datang ke kampusnya. Setelah memenangkan lomba di Rusia namanya semakin dikenal di kampus. Sosoknya membuat wanita-wanita mengaguminya.
Di aula kampusnya ia mengisi acara. Tengah berpidato dan mengatakan beberapa pesan-pesan. Di sini ada kampus lain diundang. Kampus Universitas Institusi Agama Islam.
Beberapa dari mereka perkenalan. Alden hanya menyunggingkan senyum tipis. Namun, ia tidak sadar senyumannya membuat wanita-wanita semakin jatuh cinta padanya termasuk wanita yang mengenakan hijab hitam.
"Nita Selvina." Gadis itu bernama Nita Selvina. Menaruh hati pada Alden sejak pertama melihat Alden.
Setelah perkenalan singkat mereka. Masuk acara inti. Alden terlalu sibuk berlalu lalang. Bahkan bajunya ia gulung setengah lengang. Pelipisnya berkeringat.
"Sampai malam enggak, sih?" tanya Alden kepada salah satu panitia.
"Iya, sampai malam, Al."
Alden ingin menghubungi Alexa, tetapi ia ingat menyita gawai sepupunya. Dengan cepat ia mengirim pesan kepada Alex untuk mengatakan pada Alexa. Alden tahu Alexa akan marah kepadanya setelah ini.
***
Bibir Alexa mengerucut masuk ke dalam rumahnya. Ia mengentakkan kaki kesal. Sangat kesal kepada Alden. Padahal ia berharap Alden menjemputnya dan mereka jalan-jalan sebentar.
Alexa membuka akunnya. Ia stalking akun Alden. Tidak ada postingan apa pun di IG Alden. Membuat ia mengecek yang memention akun Alden.
"Ternyata ada acara di kampusnya. Alex kenapa cuma bilang Al enggak bisa jemput. Ah, aku mau ke sana."
Alexa mengganti pakaiannya. Ia mengambil tas kecil warna abu-abunya. Lalu, memakai sepatu kets.
"Mom, Dad, Alexa mau ke Adek dulu. Mau menyusul ke kampusnya. Nanti pulang bareng Adek," pamitnya.
"Katanya mau bicara sama Daddy," ujar Maya.
"Ditunda dulu. Alexa mau menyusul Adek, Mom. Nanti pulangnya bisa bicara sama Daddy kalau enggak kecapian."
"Jangan ganggu Adek, Xa. Kamu tahu dia sibuk di kampus. Dia ke sana belajar bukan mau senang-senang. Bisa mengerti enggak, sih. Sikap kamu terlalu memonopoli Adek," tegur Alex.
"Kenapa, sih, Mom, Dad, Alex suka marah-marah. Lagi patah hati, ya? Kenapa lampiaskan sama Alexa." Alexa sangat kesal pada Alex.
"Sudah. Hati-hati di jalan, Sayang. Jangan ganggu Adek. Nurut kata dia." Alexa mengangguk dan meraih tangan Arland dan Maya.
***
Di kampus Alden.
20:00
Mereka duduk melingkar di api unggun. Suasana sangat ramai di sini. Dari adik tingkat mereka dan tamu undangannya. Beberapa menyumbangkan lagu.
"Al, sumbangkan lagu, dong!" seru seseorang. Seruannya disambut sorak-sorak orang lain.
"Ok." Alden meraih gitar. Ia memetiknya dan menyanyikan lagi dari Charlie Puth 'I Won't Tell A Soul' tiba-tiba ia ingin menyanyikannya.
Teringat dengan wajah gadis yang menemaninya sejak kecil. Bahkan bibirnya tanpa sadar tersenyum mengembang di antara petikan gitarnya. Melodi menghipnotis semua orang di sana larut dalam suara merdu Alden. Termasuk gadis yang berdiri tidak jauh dari Alden.
Oh darling I
Know you're taken
Something 'bout this just don't fell right
Every time
One of use to leave here
Oh the other one
Holds on tight
Alden seperti mendalami lagu yang ia nyanyikan. Semua merasa ketulusan yang dinyanyikan oleh pria itu. Mata Nita tidak pernah mau beranjak dari Alden.
Hanya mendengar beberapa orang tentang sosok Alden. Bahkan di kampusnya Alden terkenal di sana.
Oh oh
Baby tonigth
There's so much love in between us
You say you gotta get home
Stay here with me
I won't tell a soul.
Petikan terakhir Alden disambut tepuk tangan gemuruh dari mereka. Gitarnya ia letakkan di samping. Banyak pujian yang ia dapatkan, Alden hanya tersenyum tipis menanggapinya.
Mereka mulai istirahat atau dibebaskan untuk melakukan apa saja. Banyak dari mereka bakar-bakar jagung. Ada yang minum kopi dan semacamnya.
Termasuk Alden yang duduk di bundaran tembok. Banyak dari mereka duduk di sana. Nita pun, ikut duduk di sana. Terlihat ada sinyal yang Nita berikan pada Alden.
Teman-teman mereka ikut menambah suasana. Sebagai jembatan untuk mereka. Alden hanya menanggapinya dengan biasa. Akan tetapi, ia ikut bercanda.
"Cocok jadi imam Nita, Al," ujar Heru.
"Bener, Kak. Coba kalian kenalan lebih dekat siapa tahu jodoh. Kan bisa dapat undangan kita," timpal Siska. Adik tingkat Alden.
"Apaan," ujar Nita malu-malu.
"Nanti ta'aruf dengan Nita. Cocok langsung halal," canda Alden. Akan tetapi, Nita telanjur baper dengan candaan Alden padahal dari awal mereka bercanda. Alden pun, ikut bercanda. Alden pamit ke WC.
"Gua ke WC dulu."
Alden berjalan mau ke WC. Akan tetapi, ia melihat seseorang duduk di tembok kecil di area kampusnya. Ia seperti mengenal sosok itu walau hanya punggungnya.
"Alexa," panggil Alden.
Alden mendekat dan tangannya ditepis kasar. Bahu Alexa terguncang hebat. Ia menangis karena tanpa Alden sadari, Alexa mendengar obrolan mereka.
"Mphus," panggil Alden lembut. Ia jongkok di depan Alexa. Menggenggam tangan Alexa lembut.
"Kenapa menangis? Ke sini sama sipa? Kenap tidak bilang-bilang atau samperin aku?" tanya Alden bertuntun.
"Hiks aku mau pulang," isak Alexa. Ia menatap kecewa Alden.
"Nanti. Kamu kenapa menangis?" Alden kembali bertanya, tetapi Alexa acuh.
"Ada yang sakitin kamu atau kamu marah karena aku tidak jemput kamu?" tanya Alden hati-hati.
Alexa berdiri dan menatap Alden dengan tatapan terluka. Tatapan yang dibenci Alden. Ia merasa sakit melihat tatapan Alexa.
"Hiks salah aku mencintai kamu?" tanya Alexa.
"Hiks ... apa salah aku menaruh perasaan sama kamu, Al? Kalau memang ini salah. Aku mohon biarkan aku sendiri. Kita jaga jarak setidaknya sampai perasaan aku benar-benar hilang buat kamu."
"Aku capek hiks ... aku juga mau natap kamu sebagai sepupu saja hiks. Mau anggap kamu hiks sebagai kakak hiks. Tapi, hiks aku enggak bisa," isak Alexa.
Ia senang mendengar nyanyian Alden seolah untuknya. Namun, sekarang ia harus patah karena kalimat yang dilontarkan Alden untuk Nita.
"Sudah ngomongnya? Nangisnya?" Alexa membuang pandangan. Begitukah reaksi Alden setelah dia mengungkap kecewa? Alexa hanya tidak tahu setiap kata yang ia lontarkan bagai anak panah yang menancap hati Alden.
"Aku sayang kamu. Kata sayang enggak cukup. Cinta lebih tepatnya." Alexa langsung menoleh.
"Kamu tahu kita tidak boleh pacaran."
"Makanya halalkan aku," ujar Alexa kesal walau suaranya terdengar serak khas menangis.
"Kemarin sudah dibahas. Kamu mau makan apa? Batu?" Alexa memukul dada Alden pelan. Tangannya ditahan Alden dan ditarik ke dalam pelukan Alden.
Mati-matian Alden menahan diri untuk tidak mencium bibir Alexa. Gadis ini terlalu polos untuk tahu beberapa tahu kedekatan mereka membuat Alden selalu hampir lepas kontrol.
"Pokoknya kamu enggak boleh ta'aruf dengan wanita lain," ujar Alexa merajuk.
Bibir Alden mengembang. Ia jadi tahu alasan Alexa menangis dan marah. Sepertinya gadisnya mendengar obrolannya. Bisa 'kan dia klaim jika gadis yang tengah ia peluk adalah gadisnya?
***
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!