NovelToon NovelToon

Pernikahan Tanpa Syarat

Bab 01

“Aku gendutan gak sih?” tanya Windy sambil memegangi pipi dan tangan kiri memegang kaca.

Sementara Mitha baru saja duduk di kursi kerjanya, baru sampai kantor setelah bermacet ria di jalanan. Mendengar pertanyaan dari Windy membuatnya hanya bisa menggeleng.

“Kok gak dijawab sih, Mitha,” sambung Windy. Kini matanya menatap Mitha yang duduk di depannya.

"Enggak, Win. Kamu enggak gendutan. Perfect banget, cantik," ucap Mitha berusaha bermaksud biasa.

"Tapi bagian bawah rahang kayak ada timbunan lemak, pengen diet."

"Kamu mau diet, ngecilin apa? Tulang sama otak? Badanmu itu sudah bagus, lihat nih badanku melar kayak gini," kata Mitha sedikit meninggi, tidak sampai berteriak hanya menambah intonasi suaranya.

Windy adalah perempuan cantik keturunan Jawa-Eropa, memiliki kulit putih dan senyuman manis, ditambah rambut hitam panjang dan tubuh ideal.

Sejak kuliah Mitha berteman dengan Windy, tetapi semenjak bekerja Windy selalu merasa penampilannya kurang. Ingin melakukan diet, sedot lemak, operasi plastik, kadang mempertimbangkan untuk menyuntikkan botox.

"Paramitha, kok kamu gitu sih, aku kan mau tampil cantik biar ada laki-laki yang suka sama aku. Kamu tau kan umurku sudah 28 tahun dan aku masih single, kamu sih enak udah ada Tama," ucap Windy, Mitha menggerakkan alis kirinya ke atas sekali.

"Windyku yang cantik kayak barbie, kamu singlekan salahmu sendiri, kenapa banyak nolak cowok. Kamu terlalu pemilih," kata Mitha mendekati kearah Windy dan memegangi kedua pipinya.

Gemas sekali Mitha pada sahabatnya itu, saking gemasnya ingin rasanya Mitha menarik make-up tebal di wajah Windy.

“Mitha, riasanku rusak,” ujar Windy dengan bibir ke depan karena Mitha menekan pipinya. Tak lama Mitha melepaskan dengan menempelkan bedak ditelapak tangan. "Ih, aku mungkin harus dandan lagi."

Mitha mengulas senyum menahan tawanya, tingkah Windy memang selalu bisa membuatnya bahagia. Sarapan pagi dengan menu yang aneh bersama sahabatnya.

Setelah Windy mendiamkan ocehannya, Mitha membereskan berkas di mejanya yang bertumpuk, lalu menyalakan laptop.

Perkerjaannya masih banyak apalagi ini akhir semester, ada banyak audit keuangan yang menunggunya.

Saat Mitha sibuk dengan pekerjaan, Pram bosnya di kantor keluar dari ruangannya, berjalan menuju Mitha yang tak sedikit pun bergeming meski mendengar langkah kaki sang bos.

"Mit, ikut saya keruangan," kata sang bos, lalu berjalan kembali ke ruangannya. Entah kenapa dia tak menggunakan telepon saja atau menggedor kaca ruangan.

Mitha mengucap-iya, lalu membereskan pakaiannya dan berjalan mengekor sang bos. Windy melontarkan sekilas, sesaat setelah Mitha memanggil bosnya yang galak minta maaf jika pada karyawannya.

Pram adalah tipikal laki-laki dingin dan memiliki hati sekeras es batu balok, yang bakalan cair jika benar-benar di panaskan. Dengan menang tender misalnya.

Pram sampai di ruangannya, begitu juga Mitha yang sudah ikut masuk ke sana, seketika aroma wangi dari pengharum ruangan menyeruak pada lubang hidungnya, ditambah parfume mahal yang menjadi satu.

“Duduk,” perintah Pram pada Mitha. Mitha mengangguk lalu duduk, begitu juga Pram, lalu mengambil sesuatu di atas meja kerja itu. "Ini, Mit."

Mitha menatap bingung berkas audit yang sudah diberikannya pada sang bos minggu lalu, dengan ragu ia mengambilnya. Otaknya masih berpikir keras untuk apa berkas laporan itu.

“Untuk apa, Pak?” tanya Mitha bingung.

"Mitha, kamu sudah bekerja sama saya hampir lima tahun, pendidikanmu S2 pula, masa mengaudit laporan begini saja masih ada yang salah."

Dibukanya berkas laporan keuangan persemester itu dengan masih menyimpulkan tanda tanya, bagian mana yang salah? Menurut Mitha ia sudah melakukannya dengan baik.

"Kenapa? Kamu banyak tekanan saat bekerja?" sambung Pram sambil bertanya.

Mitha menggeleng. “Enggak, Pak.”

"Atau ada masalah pribadi di rumah? Kalau benar, saya mohon jangan bawa ke kantor. Bukan saya tidak simpati dengan masalah karyawan, tapi pisahkan ranah pribadi dan pekerjaan," ucap Pram.

Mitha mulai mengerti bagian mana yang membuat sang bos tampak tak suka, ternyata data dan laporan tidak valid, dan bagian keuangan tidak seimbang.

"Baik, Pak. Akan saya segera secepatnya," ujar Mitha, kemudian berpamitan untuk keluar dari ruangan sang bos.

Ditutupnya pintu ruangan Pram sambil sedikit meremas kertas berkas laporannya itu, berjalan mendekati Windy yang masih sibuk dengan make-upnya.

"Windy Puspitaku yang cantik, kurus, seksi dan semloheh, aku boleh minta tolong gak?" ucap Mitha yang duduk di atas meja kerja Windy, matanya berbinar menatap Windy sambil berlagak manis.

"Apa?" tanya Windy singkat, tumben sekali si Mitha bisa bermuka manis padanya. "Kamu pasti mau minta bantuan kan? Apa-apa? Kamu dimarahi bos lagi?"

"Kok tahu sih? Kamu paramerid ya?"

"Paranormal Paramitha. Apaan sih?" Windy gregetan dengan Mitha.

“Aku minta tolong auditin laporan persemesterku dong,” ucap Mitha kemudian.

"Gila ya, kamu akuntannya masa aku yang di suruh."

"Akuntan di kantor ini bukan hanya aku, kamu juga. Ayolah bantuin sahabat cantikmu ini, kutraktir deh nanti."

"Suapaanmu paling sepiring pangsit. Yaudah sini." Windy menarik berkas laporan itu dari tangan Mitha, yang langsung memberikannya tanpa melawan.

“Makasih Windyku yang cantik.” Setelah pemberitahuan sok imut pada Windy, Mitha kembali kemeja kerjanya.

Mitha tak ingin membuat laporan malam ini, karena ia sudah ada janji yang tak bisa diingkarinya, apalagi kalau janji itu menyangkut soal hati dan perasaan, tentang masa depannya. Siapa lagi bukan kekasihnya Aditama.

Selain itu ia belum izin pada sang mama untuk pulang terlambat hari ini, Mitha sudah melakukannya tempo hari, Mitha tak ingin hal itu terjadi, sebab semua akan kacau jika sampai sakit sang mama kambuh lagi.

Pekerjaan yang ia jalani sudah menguras banyak sekali pikiran, jika ditambah dengan sang mama, maka itu akan menambah rentetan masalah yang harus ia selesaikan.

Meskipun seharusnya ia terbiasa dengan hal itu, sebab sang mama sudah sakit cukup lama dan saat itu Mitha terus yang akan menjadi sasaran dari sakit sang mama.

Namun, untuk waktu yang tak dapat ditentukan Mitha, Mitha tak ingin seperti itu terulang lagi.

“Jangan ngelamun, ini kan aku sambil membantuin kamu,” kata Widya saat melihat Mitha.

“Aku gak melamun, cuma keingatan mamah aja tadi,” ujar Mitha.

“Kenapa dengan tante Melda, ada masalah?”

“Enggak sih, masalahnya sama penyakitnya itu aja.”

“Belum kamu bawa kontrol lagi apa, Mith?”

Mitha mengembuskan napasnya pelan. Seharusnya dalam waktu dekat ini, tetapi sepertinya sang mama enggan melakukannya, karena dia menganggap bahwa dirinya baik-baik saja.

"Niatnya emang mau aku bawa kontrol, tetapi salah saja dapat penolakan, katanya 'Mama itu sehat, kenapa juga dibawa ke rumah sakit terus'," jawab Mitha.

Memang tak bisa dipungkiri jika dilihat sang mama sehat, hanya saja pikirannya yang sakit dan berantakan.

Mendengar hal itu Windy hanya bisa menyemangati Mitha.

Bab 02

Mitha bekerja hingga waktu menunjukkan pukul lima sore atau tujuh belas lewat sepuluh menit. Sesaat setelah Pram keluar dari ruangannya untuk pulang, Mitha mengikuti dari belakang dengan perlahan dan meninggalkan beberapa kerjanya setelah sebelumnya melambai manja dengan Windy yang masih terus bekerja.

Setelah dia melihat Pram dan mobilnya hilang dari sekitaran kantor, Mitha pun bernapas lega dan berjalan dengan santainya. Menegangkan memang jika harus menjadi ninja dengan bosnya sendiri yang menakutkannya minta ampun, apalagi seharusnya dia lembur mengerjakan laporan yang begitu banyak.

Mitha kini berdiri di depan gedung kantor menunggu taksi yang sudah dia pesan dari aplikasi online antar-jemput, pastinya bukan taksi yang biasa mengantarnya pulang karena sore ini dia ingin kencan terlebih dahulu dengan Tama.

Laki-laki itu mengatakan tak bisa menjemputnya karena satu-dua hal yang cukup masuk akal, lagi pula Mitha tak pernah mempermasalahkan hal sepele itu, tidak penting baginya.

Tama dan dirinya sudah menjalin hubungan lebih dari dua tahun, bisa dipastikan bahwa dirinya kenal dan paham laki-laki itu luar-dalam. Sifat dan sikapnya pun sudah sangat dia tahu.

Sedangkan kini yang sedikit membuat risau adalah sang mama, meskipun dia sudah mengatakan bahwa akan pulang malam karena ada ekstrakurikuler di sekolah dilanjutkan dengan kerja kelompok di salah satu rumah teman.

Mitha kadang sedikit lelah dengan semua yang tak bisa dia anggap sebagai psikologi itu, sebab jika tidak begitu dia mau bagaimana lagi, kondisi mamanya tak memungkinkan dia berkata jujur ​​saat ini.

Kadang-kadang dia berpikir ingin menceritakan pada mamanya tentang dirinya saat ini, seorang perempuan berusia 28 tahun lulusan S2 Bisnis dan Manajemen serta sudah bekerja menjadi seorang karyawan di perusahaan multinasional.

Namun, dokter yang menangani sang mama selalu mencegah dan mengatakan bahwa kondisi mamanya belum stabil bahkan lebih buruk dari satu tahun yang lalu.

Sedih dia mendengar hal itu, tetapi apa yang bisa dia lakukan, selalu terus berpura-pura menjadi anak SMA berseragam putih abu-abu yang sebenarnya sudah begitu ketat.

Lamunannya buyar seketika saat taksi yang dia pesan membunyikan klakson beberapa kali karena Mitha tak menjawab sama sekali saat dipanggil.

"Atas nama Mbak Paramitha ya?" tanya supir itu dari dalam mobil.

"Betul," jawab Mitha dengan lembut.

"Langsung naik Mbak."

Mitha mengindahkan ucapan sang supir, lalu masuk ke mobil itu dengan perlahan. Setelahnya mobil itu berjalan ke tempat yang sesuai dengan titik yang diminta Mitha tadi.

Selama dalam perjalanan Mitha diam saja dan bermain dengan ponsel miliknya.

Sekitar 15 menit mobil taksi dari aplikasi online antar-jemput itu berhenti di sebuah restoran cepat saji yang sudah Mitha dan Tama setujui.

Mitha keluar dan turun dari mobil sesaat setelah ia merapikan dandan sambil membayar biaya taksi tersebut, kemudian ia berjalan santai masuk.

Tama sebelumnya sudah mengatakan bahwa ia akan telat sekitar 30 menit dari janji yang sudah mereka setujui. Mitha kembali mencoba mengerti itu, mungkin pekerjaanya memaksakan dirinya sedikit terlambat, lagi pula hanya 30 menit bukan masalah berarti, keduanya sama-sama sudah dewasa mengerti bagaimana sibuknya pekerjaan masing-masing.

Kini Mitha sudah berada di dalam restoran, duduk di salah satu kursi sambil memainkan ponselnya untuk menghilangkan pikiran jenuhnya sambil menunggu Tama.

Tak sampai 30 menit kemudian, Tama datang membawa setangkai bunga mawar merah yang entah dia petik dari mana, biasanya lelaki itu memang sering mengambil barang-barang yang menurutnya tak bernilai seenaknya.

“Selamat sore, Nona cantik,” ujar Tama sambil memberikan bunga mawar itu pada Mitha.

Mitha mengulas senyum. "Mawar dari mana ini?"

"Kok dari mana, pastinya aku beli dong," kata Tama lagi.

“Enggak percaya, kamu kan hampir kayak orang klepto, ngambil barang orang,” sindir Mitha pada Tama.

"Sembarangan, aku gak maling ya. Aku beneran beli kok, tadi pas di lampu merah ada anak-anak kecil jualan bunga, itu harganya 5000 dapat dua, aku beli satu sama duit sisa parkir," papar Tama yang membuat Mitha semakin mengulas senyumnya dan tertawa kecil.

"Kamu belikan aku mawar pakai uang sisa parkir, 2500 rupiah lagi. Ini pun kayaknya bunga bekas hari valentine kemarin yang berserakan di luar hotel atau penginapan esek-esek," ucap Mitha menaruh bunga itu di atas meja.

“Sudahlah itu, berapapun harganya gak penting, yang penting ketulusan dan keikhlasannya. Bukan begitu, ibu Paramitha?”

"Benar sekali, Ustaz Aditama."

Setelah bercanda yang tak penting itu keduanya memesan makanan dan minuman. Tak sampai 15 menit makanan mereka sampai dan mereka pun menikmati sambil berbicara untuk mencairkan suasana.

Saat bersama Tama, Mitha terkadang bisa tertawa begitu lepas seolah beban pikiran di otaknya hilang dan gugur dengan mudahnya.

Meskipun terkadang Tama memiliki sifat keras kepala dan mudah sekali emosi jika menurutnya dia sedang kesal, tetapi Mitha menormalkan semua itu, biasanya dia juga begitu.

Setelah selesai makan mereka pun memutuskan untuk pulang. Keduanya berjalan bersama keluar dari restoran. Tama mengatakan dia akan mengantarkan Mitha pulang ke rumah sekaligus ingin bertemu dengan mamanya.

Sejak kali pertama mereka berpacaran Tama pun tahu bagaimana kondisi mama Mitha yang saat ini sedang sakit, bukan tubuhnya tetapi pikirannya. Hal itu yang membuat Mitha harus berpura-pura dia anak SMA. Apalagi kini di dalam mobilnya Mitha tengah berganti pakaian dengan seragam putih abu-abu.

"Tante Melda gak dibawa terapi lagi?" tanya Tama, dia memerhatikan Mitha dari cermin di atas setir.

“Sudah beberapa kali, kamu tahu sendirikan Mamah selalu nolak dan mengatakan kalau dia gak sakit,” ujar Mitha. “Aku coba menerapi sendiri dengan pulang tanpa baju seragam, tapi lagi-lagi Mamah bingung dan kambuh lagi sakitnya.”

Nampak jelas Tama mengembuskan napas beratnya beberapa kali.

“Aku sudah janji setahun dari sekarang akan menikahimu, kalau kondisi Mamamu seperti itu terus, bagaimana?” Nada bicara Tama berubah, Mitha mencoba mencari cara untuk menjawabnya. "Tapi mungkin nanti Tante Melda bisa sembuh kok, gak usah dipikirin apa yang aku omongin tadi ya."

Tama pembicaraan pembicaraan dan seolah-olah tak terjadi apapun, meskipun begitu Mitha tahu bahwa Tama hanya ingin menyembunyikannya. Karena memang Tama berniat untuk menikah denganya, namun Mitha masih menolak melihat kondisi mamanya yang masih begitu, untung saja Tama mengerti dan menerimanya.

“Aku tahu, aku juga mengusahakan Mamah cepat sembuh dan menerima semua itu, sepertinya dalam pikiran Mama dia tak mau aku tumbuh dewasa dan memiliki masalah yang begitu berat,” ujar Mitha.

"Iya. Sudah jangan berpikir terus, do'ain aja yang terbaik." Tama mencoba menenangkan Mitha dengan omongannya sendiri, padahal dia tadi yang membuat semuanya menjadi canggung.

Bab 03

"Tumben Ma, lemes banget," ujar Pram pada Lia-istrinya yang duduk di sofa ruang tengah. Pram saat itu datang sambil membawa segelas air putih. "Ada masalah di resto?"

Lia menyambut gelas itu dan meneguk air putihnya hinga isi di dalamnya habis.

"Ada sedikit dan bikin capek aja, Pa. Biasalah resto kalau gak diawasi pasti ada masalah, managernya habis aku pecat tadi," jawab Lia.

"Lho kok gitu?" tanya Pram lagi.

"Gimana gak aku pecat. Aku udah pilihin juru masak terbaik dua orang, masa dikeluarin. Katanya masakan mereka gak enak, kan gak mungkin sedangkan juru masaknya aja orang-orang yang udah sekolah di bidangnya bertahun-tahun," ucap Lia. "Terus diganti sama anak yang baru lulus sekolah tata boga kemarin, kan aneh. Masakannya gak enak sampai aku diomeli pelanggan tadi."

Sambil bercerita Lia sedikit bersungut, ia masih bisa membayangkan bagaimana yang terjadi di restonya tadi sore.

Dua perempuan mengomelinya mengatakan bahwa masakan di restonya tidak enak dan rasanya aneh, setelah ia icipi ternyata benar rasanya tidak menggugah selera sama sekali, bahkan itu tidak layak disebut sebagai masakan resto kelas atas.

Setelah selesai mendengar omelan itu dan Lia meminta maaf dengan mengganti rugi, Lia memecat managernya bersama juru masak bawaannya dan meminta dua orang juru masak barunya untuk kembali. Masalah selesai sebenarnya, tetapi tidak secepat yang dibayangkan sama sekali.

"Ya sudahlah, Ma. Itu hal wajar, Mama juga sudah tahukan dunia bisnis ada saja masalahnya." Pram berusaha menenangkan Lia.

"Iya juga, Pa." Lia berkata seadanya. "Alden mana, Pa?"

"Udah tidur dari sore, padahal dia minta es krim tadi, udah aku belikan banyak malah dianya tidur," ujar Pram.

"Biar aja dia tidur, mungkin dia capek seharian main sama pengurusnya," kata Lia.

Lia kemudian bangkit berdiri meninggal Pram untuk menuju kamarnya untuk membersihkan diri, sebelum itu ia sedikit mengintip kamar Alden yang tak pernah terkunci. Ia melihat anak laki-lakinya yang kini sudah berusia 28 tahun, tumbuh tinggi dan tampan. Namun, ia tak sempurna seperti laki-laki seharusnya.

Sejak usia beberapa tahun dari kelahirannya, dokter mengatakan bahwa Alden mengalami autisme-yang membuatnya begitu istimewa.

Alden tumbuh dengan baik bahkan dia begitu tampan dan bertubuh ideal.

Namun, dari semua itu Alden memiliki dunia sendiri yang tak siapapun mengerti. Kadang jika penyakit Alden kambuh ia akan seperti anak kecil yang tantrum, memiliki keinginan yang kuat terhadap satu hal.

Ketika masih kecil hingga usia remaja ia sering sekali marah tak terkendali bahkan bisa menyakiti dirinya sendiri, tetapi kini saat sudah beranjak dewasa ia lebih bisa menahan dirinya. Kadang bersikap wajar dan bisa mengerti, cara bicaranya pun baik.

Setelah memperhatikan Alden-sang anak, Lia pun bergegas pergi dari sana untuk membersihkan dirinya, karena dia sudah merasa lelah dengan semua pekerjaan yang menyita banyak waktunya, tetapi mau bagaimana lagi karena ia sangat suka bisnis dan tentang kuliner.

Setengah jam berlalu, sekitar pukul sembilan malam. Lia keluar dari kamar menuju dapur untuk menikmati makan malam yang kelewat malam bersama dengan Pram. Pram tak akan makan lebih dulu jika tidak dengan Lia.

Kini Lia dan Pram sudah duduk di depan meja makan, Pram yang menyiapkannya sendiri padahal mereka memiliki asisten rumah tangga, tetapi karena sudah begitu malam mereka tak ingin mengganggunya.

Asisten rumah tanggannya sudah berusia lanjut, sebenarnya mereka ingin memberhentikan sejak lama, tetapi belum menemukan pengganti yang cocok.

Bi Parmi panggilan asisten rumah tangganya sudah bekerja cukup lama sejak Alden masih berusia enam tahun, beberapa kali Alden berganti pengurus, tetapi Bi Parmi tetap berada di sana.

"Alden sudah waktunya kontrol kan, Ma?" tanya Pram pada Lia di sela-sela mereka makan.

"Seingat Mama besok kalau gak lusa, nanti Mama cek jadwalnya," jawab Lia.

"Harus lebih rutin Ma, kalau bisa tiap sebulan sekali Alden diperiksa," kata Pram. Lia mengangguk. "Oh iya, Rama bilang mau ke Afrika untuk urusan bisnis beberapa hari, mungkin gak bisa menghubungi dulu."

"Kenapa? Dia gak lagi mau bangun perusahaan di pedalaman savana, kan? Tentu masih ada jaringan kalau di kota," ucap Lia.

"Namanya sibuk sama kerjaan, Ma. Lagian kita gak tahu etos kerja di sana. Rama melakukan itu juga untuk kehidupannya dan perusahaan Papamu. Itu kan yang kamu mau?" ujar Pram, sembari bertanya diakhir kalimat.

"Itu yang Papa mau, bukan aku. Dari kecil Rama di sana, sekolah dan kerja di sana, pulang ke Indonesia seolah dia sedang liburan." Lia menggerutu sambil terus menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

Pram tak menjawab perkataan Lia itu. Sudah beberapa kali setiap membahas tentang Rama, Lia pasti menggerutu dan mengatakan bahwa dirinya ingin Rama kembali pulang ke Indonesia dan tinggal di negara orang tuanya sendiri karena sejak kecil hingga kini berusia 29 tahun Rama berada di Amerika Serikat.

Saat keduanya sedang berbincang sambil menikmati makan yang hampir tengah malam itu, Alden keluar dari kamar dan langsung menuju dapur, membuka pintu kulkas tanpa mempedulikan orang tuanya yang berada di sana.

Lia dan Pram hanya bisa memerhatikan Alden yang memang sudah biasa melakukan hal itu. Alden sepertinya terbangun karena dia ingat meminta es krim pada Pram-papanya.

"Es krim. Alden, mau es krim," kata Alden sambil mengeluarkan satu per satu es krim yang tadinya ada di dalam kulkas.

"Iya, itu semua es krim Alden, makannya besok saja ya, kan udah malam begini, dingin lho, nanti pilek lagi," ucap Lia memberitahu Alden.

"Es krim. Alden, mau es krim," ujar Alden lagi dengan kata-kata yang masih sama.

Setelah itu Alden berlalu pergi ke kamarnya membawa beberapa bungkus es krim yang ia dekap di dadanya dengan kedua lengan.

Pram dan Lia tak bisa berbuat apa-apa, mereka juga tak mungkin mencegahnya. Jika mereka mengatakan 'tidak', Alden bisa saja mengamuk dan emosinya di luar kendali, tak enak menganggu tetangga malam-malam seperti ini. Lagi pula Alden bukan anak kecil lagi yang akan mudah sakit hanya karena sebuah es krim di malam hari.

"Dalam waktu dekat aku ada kerjaan keluar kota, ngurus proyek pembangunan di sana. Aku tinggal beberapa hari gak apa-apa, kan'?" kata Pram sambil bertanya dan meminta izin pada Lia.

"Berapa lama?" tanya Lia.

"Paling tiga hari, gak lama itu," kata Pram lagi.

Lia mengangguk. "Lagi pula dari sebelum aku mengandung anak-anakmu, aku juga sering ditinggal sendiri. Gak ada gitu niatan kamu ngajak aku."

"Kalau kamu kuajak, siapa yang ngurus rumah sama bisnismu, kasihan Bi Parmi kalau sendirian jaga Alden," ucap Pram.

Lia lagi-lagi hanya bisa mengangguk dengan semua ucapan Pram itu. Jika Lia tak melakukannya dia juga tak mungkin memaksa untuk ikut. Alden tak ada yang mengurus, Bi Parmi sudah cukup tua sedangkan pengurus Alden kemarin baru saja mengundurkan diri.

"Perlu gak sih kita cari pengurus baru, kalau tidak perempuan, laki-laki juga boleh?" tanya Lia.

"Kenapa?" tanya Pram balik.

"Kamu lihat anakmu yang sudah sebesar itu, tinggi badannya lebih tinggi darimu, besarnya pun hampir menyamaimu, pengurus perempuan tak kuat kalau dia lagi tantrum," ujar Lia.

"Terserahmu saja gimana. Kalau memang mau menyewa yang memiliki badan kuat aku bisa usahakan militer dan guru SLB," kata Pram.

"Dia lagi gak latihan militer, ya." Lia merungut, dia pikir Pram sedang bercanda.

"Kita pikirkan nanti."

Setelah Pram mengatakan itu, dia pun meninggalkan meja makan, Lia membersihkannya dan menaruh piring kotor di tempat cuci, biar besok Bi Parmi yang mengurusnya.

Kemudian Lia menyusul Pram untuk masuk ke kamar dan tidur. Memang sudah cukup malam mereka harusnya mengistirahatkan diri agar besok bisa bekerja lebih baik dan siap dengan dunia yang Alden punya.

Pram sebagai seorang ayah dan suami harus memikirkan segalanya dengan matang, untung saja Lia begitu paham dan cepat mengerti.

Keadaan Alden yang berbeda dari lelaki pada umumnya bukan kesalahan siapapun, meskipun ia sekali-sekali berharap anaknya bisa tumbuh normal dan mengambil alih Wijaya Group suatu saat nanti jika dirinya telah tiada.

Namun, sepertinya hal itu cukup sulit untuk dilakukan melihat kondisi Alden yang begitu.

Rama tak mungkin menggantikannya karena di Amerika saja dia sudah mengurus kantor milik orang tua Lia yang tak lain kakek dari Rama. Jika dipindahkan tangan bukan pada keluarganya itu akan sangat berbahaya bagi Alden dan yang lain.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!