"Hei...!" teriak Bintang saat sebuah mobil menyerempetnya hingga jatuh. Pesanan kateringannya berantakan dan tumpah.
Pengendara mobil itu berhenti sebentar, bukannya turun justru kembali melaju. Bintang yang merasa si pengendara tidak sopan, akhirnya melempar rantang yang masih berat.
Tepat, mengenai bumper belakang mobilnya. Tertumpah sayuran bersantan dan sambal di sana.
"Rasain lo!" Bintang memungut rantang yang berserakan. Seorang pria yang mengenakan kemeja juga celana kain formal berdiri di sampingnya.
"Lo emang cewek nggak waras, ya!" ucapnya dengan berkacak pinggang.
"Lo ngomong sama gue?"
Pria itu sontak celingukan, pasalnya tidak ada orang lain lagi di sana selain mereka berdua. Hanya orang yang lalu lalang.
"Gue ngomong sama siapa lagi selain lo!" tunjuknya tepat di depan wajah Bintang. "Lo ngerusakin mobil gue!" bentaknya dengan mata melotot.
"Terus, menurut lo. Lo nggak ngerusakin dagangan n motor gue?" balas Bintang tidak mau kalah.
"Motor butut kayak gini aja lo banggain?" Pria itu menendang motor matic Bintang.
"Wah, emang cari ribut nih orang."
"Ya, ayo kalau lo mau ribut!" Keduanya bersitegang. Urat di leher mereka sudah sebesar ulat sagu karena perdebatan yang tak kunjung usai.
Sampai akhirnya keduanya saling pukul. Beberapa orang yang lewat berhenti dan melerai mereka. Keduanya dibawa ke kantor polisi.
Wajah keduanya sudah benjol dan merah di beberapa titik. Bintang lebam di area dagu dan pelipis. Pria itu, sudut bibir terlihat pecah dan mengalir darah. Di ufuk matanya juga lebam.
"Hadeh. Kalian ini, bisa nggak sih nggak usah bertengkar. Lebih baik pacaran daripada bertengkar." Polisi yang bertugas berkomentar lihat dua sejoli itu.
"Ogah!" jawab keduanya kompak.
"Heh. Di saat begini kompak. Awas aja kalau kalian pacaran!" ancamnya yang kini tengah mengetik laporan.
"Najis banget!"
"Hei, hei! Diam!" bentak polisi gempal di hadapan mereka. "Kalau sampe kalian pacaran, saya masukin ke dalam sel. Lihat aja!"
Keduanya saling membelakangi. Enggan dekat-dekat, Bintang bersungut-sungut.
"Nama," tanya polisi bertubuh gempal itu yang terlihat namanya Subandi.
"Bintang, Aksara."
"Hei, satu-satu. Tangan saya cuma dua!" ucapnya yang membanting berkas perkara di sampingnya. "Kamu dulu yang cewek."
"Bintang."
"Ck! Bintang? Binatang yang pasnya." Bintang sontak menjambak rambut pria di sampingnya.
"Hei!" bentak Subandi. "Sipir, masukkan mereka ke dalam sel. Saya malas menangani kasusnya. Ribut terus, ribut terus!"
"Pak, Pak. Saya harus bantu ibu saya, Pak. Tolong bebasin saya, Pak."
"Pak, saya juga harus periksa pasien." Mohon keduanya yang membuat Subandi hanya menaikkan kedua alis. Sipir sudah berada di samping keduanya.
"Heh! Ternyata kamu seorang dokter. Kenapa buat begini? Kamu tahu, dokter itu tugasnya menyelamatkan pasien. Kok malah begini?"
"Ya, dokter kan juga manusia, Pak. Bisa khilaf."
"Dia ini, Pak. Dokter, dokter hewan."
"Ya, kamu binatang. Jadi pas."
"Ck! Kalian ini! Bawa mereka masuk. Jangan dilepas sebelum ada keluarga yang menjamin."
Bintang juga Aksara hanya bisa pasrah dimasukkan ke dalam sel. Keduanya saling melempar tatapan benci.
"Lo, lo bakalan telepon orang tua lo?"
"Apa urusan lo?"
"Ya, gue cuma pengen tahu, aja." Aksara duduk di lantai dengan bersila. Sedangkan Bintang duduk di kursi panjang.
"Nggak usah pengen tahu urusan orang."
Aksara terkekeh, Bintang menaikkan sudut alis. Berpikir pria yang di sampingnya ini memang sedikit gila.
"Gue lucu sama lo."
"Justru gue yang lucu lihat lo. Cowok kok berantem sama cewek."
"Emang lo cewek?" tanyanya semakin tertawa terbahak-bahak.
"Lo buta?"
"Terserah deh, ya. Gue nggak mandang lo cewek."
Ceklek.
Pintu sel terbuka. Keduanya saling pandang tidak percaya. Sipir penjaga menyuruh untuk keluar.
"Lo ngapain sih datang ke sini." Bukannya senang ditolongin malah jutek. Memang Aksara ini nggak sopan sama siapapun sepertinya.
Kepala Aksara dipukul pakai map berkas sama Subandi.
"Masih untung ada yang jamin kamu keluar. Kamu juga," tunjuknya pada Bintang. Subandi seperti ingin memukul hanya saja, dia paham jika Bintang seorang gadis.
"Pergilah, jangan masuk lagi. Jangan buat masalah lagi. Lebih baik pacaran daripada bertengkar."
"Dia cewek lo?" tanya pria tinggi dengan hidung runcing dan mata teduh.
"Lo gila? Masa' iya gue pacaran sama binatang?"
Bintang meninju kepala Aksara lalu pergi. Aksara menggosok bekas pukulannya.
"Hei, beraninya kau pukul dia di depan polisi. Sudah kubilang lebih baik pacaran daripada bertengkar."
"Hei, binatang gila!" teriak Aksara yang mengejar Bintang. Gadis itu berhenti di halaman kantor polisi. Dia sudah bersiap-.siap akan meninju lagi.
"Sa. Udah, Sa. Dia cewek, Sa." Aksara ditahan oleh pria itu. Bintang berkedip lama menatap lekat wajah pria yang menghalangi Aksara.
"Lo lihat. Di mana dia ceweknya, Far. Lo sama dia sama, sama-sama nggak waras! Cewek kayak gitu lo belain."
"Bukan ngebelain, Sa. Lo tuh cowok mana dokter lagi."
"Lo juga dokter. Dokter Safar," ucapnya yang kemudian menarik handel pintu mobilnya. Aksara terlihat duduk di bangku penumpang.
Bintang masih menatap wajah tampan Safar.
"Maafkan Aksa, dia memang begitu. Mohon pengertiannya."
"Oh. Nggak apa-apa, Dok. Dokter Safar," ucap Bintang dengan mata yang berbintang-bintang.
Safar pergi menuju mobil yang sudah ditumpangi Aksara. Keduanya berkendara dengan aman.
Sementara Bintang, dia pulang dengan memikirkan nasibnya. Dia menarik napas panjang dan lemas. Dia rugi banyak akibat bertemu dengan Aksara.
"Gara cowok gila itu. Uh!" geramnya yang mengepalkan kedua tangan meninju angin.
Bintang kembali ke tempat kejadian mengambil motornya. Pulang dengan lemah dan lunglai.
"Pakaian kamu kenapa kotor gitu, Sayang?"
"Hem. Kita rugi besar hari ini, Bu. Maafin Bintang, ya."
"Nggak apa-apa, Sayang. Yang penting kamu nggak apa-apa, kan?"
Bintang mengangguk dan berlalu ke kamar mandi. Dia tidak menceritakan kejadian sebenarnya.
"Awas aja kalau sampe ketemu dia lagi. Gue cincang-cincang, gue buat jadi sate."
"Oi, kenapa lo?" tanya Heni karyawan sekaligus sahabatku.
"Ketemu cowok gila!" gerutunya kesal.
"Lo juga gila."
"Ini lebih gila dari gue."
"Berarti, lo dapet imbang dong. Haha." Bukannya membela, gadis berdagu belah ini justru menjadi pembela cowok gila itu.
"Lo kok belain dia?"
"Bukan belain, lo ketemu imbang. Dah, sono mandi lo. Bau sayur lodeh."
"Sialan lo. Lo pikir gue tempenya?"
Bintang berjalan menuju kamar mandi. Dia membersihkan diri dari kepenatan. Benar, hari ini cukup melelahkan untuknya.
Masih pagi sudah bertemu dengan cowok gila dan masuk penjara. Beruntung, bertemu dengan Safar. Jadi, masih ada mujur untuk hari ini.
Bintang sudah siap dengan segala membersihkan diri. Wajahnya bersemu merah kala ingat soal Safar.
"Kenapa lo senyum-senyum? Beneran gila lo, ya?"
"Ya, emang gue lagi gila. Tepatnya tergila-gila sama seseorang." Bintang senyum-senyum nggak jelas. Kepalanya ditoyor sama Heni.
"Serah lo deh, ya. Bantu Bu Enggar sono."
"Ya, ya. Bawel," ucap Bintang yang masih mengalungkan handuk di lehernya. Lalu melangkah ke kamarnya.
Ditempat lain, Aksara tengah sibuk dengan dunia kedokteran dan pasien-pasiennya. Memang, memilikki wajah tampan seperti aktor membuatnya jadi dokter idola.
Buktinya, sekarang dia tengah kena rayuan maut dari salah satu pasiennya yang sudah berumur sekitar lima puluhan.
"Ibu Maimunah, udah makan?" tanyanya saat memeriksa pasien wanita yang sudah beruban itu.
"Udah, Dok."
"Dokter udah makan?"
"Belum, Bu. Saya kan masih harus periksa pasien dulu."
"Makan dong, Dok. Biar dokter kuat. Kuat menjalani kehidupan rumah tangga bareng saya," godanya yang membuat Aksara tersenyum ramah tapi dipaksakan. Sedangkan suster yang di sampingnya tersenyum geli.
Aksara mendelik dari balik kacamatanya. Ya, saat bekerja Aksara mengenakan benda itu. Meski matanya minus hanya nol koma sekian.
"Sus, berikan domperidone sama obat tensi, ya. Ibunya ada mual kalau dari yang saya periksa."
"Baik, Dok."
Aksara melanjutkan mengunjungi pasien. Ia berpapasan dengan Dokter Safar. Mereka seperti orang tidak kenal. Padahal, keduanya tinggal satu rumah.
Entah apa alasan Aksara lebih memilih tinggal bersama Safar. Rumahnya besar dan dilengkapi dengan fasilitas yang serba tersedia.
"Masih ada lagi pasien yang harus saya kunjungi?" Perawat itu mengecek semua data pasien.
"Sepertinya sudah semua, Dok."
"Oke, kalau begitu saya bisa makan siang dulu."
"Ya, Dok. Tapi, Dok."
"Ya?"
"Makan siang untuk para staf lagi nggak datang hari ini. Ada insiden kecil katanya."
Aksara mengangguk paham, dia kembali ke ruangannya. Menggantung jas dokternya lalu bersandar di kursi kebanggannya.
Bermain games online tanpa peduli apa yang terjadi. Entah itu perut keroncongan atau kepala pusing, dia tetap main game favoritnya.
Tertera di layar Safar meneleponnya. Ia biarkan saja hingga beberapa kali. Panggilan telepon itu mengganggu kesenangannya.
Ceklek.
"Ayo makan siang," ajak Safar. Aksara bangkit, tapi mata dan tangan fokus di ponsel.
"Sa, lo bisa kesandung. Lihat jalan."
"Percuma ada lo!" Mulutnya enteng sekali berbicara. Udah kayak kereta api, nggak ada penghalangnya. Kalau ada yang ngalangi, tabrak.
"Enak bener hidup lo. Gue yang lebih tua, msa' ya gue yang jadi pesuruh lo." Safar hanya kejam di mulut saat bersama Aksara. Selebihnya dia selalu bertutur kata lembut kepada siapapun.
"Tugasnya yang lebih tua apa? Ngelindungin dan menyayangi yang lebih mudah, kan? Ya udah, itu tugas loh."
Safar malas berdebat sama bocah. Dia selalu menganggap Aksara anak remaja yang nakal padahal usia sudah lebih dari 25 tahun.
"Mau makan apa?" tanya Safar saat sudah berada di dalam mobil.
"Terserah. Kan lo yang ngajak."
"Oke. Tapi, lo nggak boleh protes. Deal?" Dia berdehem dan masih sibuk menatap ponselnya. Jemarinya terus bergeraka di sana.
"Merusak mata, Sa." Aksara menghentikan aktivitasnya dan menyimpan ponsel di dalam saku kemeja berwarna maroon.
Safar berhenti di rumah makan milik Bintang. Dia juga nggak tahu kalau rumah makan itu milik gadis yang ia jamin juga.
"Makan di sini aja, ya." Aksara memperhatikan rumah makan yang lumayan besar juga rapi. Sistem pengambilan makanan dilakukan oleh masing-masing pelanggan. Setelah cukup baru dihitung harganya.
"Lo yakin mau makan di sini?" tanya Aksara yang tampak tidak yakin dengan makanan di sana.
"Lo punya masalah sama makanan, kan?"
Aksara berdehem, lalu tanpa pikir panjang Safar langsung membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil.
"Makanan di sini jamin sesuai sama selera lo."
"Nggak yakin gue."
Safar meninggalkan Aksara dan membiarkannha untuk memilih ikut atau tinggal kelaparan di dalam. Memang bukan hal yang baru bagi Aksara kelaparan. Dia sudah terlalu terbiasa untuk hal itu.
"Anda?" kata Bintang mengawali pertemuan kedua mereka. Dia langsung mendekat ke arah Safar.
"Please, jangan bahas soal kejadian tadi pagi, ya Dok. Ibu saya nggak tahu soal itu," bisiknya yang membuat Safar tersenyum mengerti.
"Boleh saya makan di sini?"
"Oh, ya. Silakan, Dok." Bintang memberikan nasi juga piring pada Safar. Safar mulai memilih lauk.
"Lo?!" tunjuk Bintang saat Aksara masuk. Mereka saling terkejut.
"Lo ngapain?" tanya Bintang yang kemudian berjalan ke arah Aksara.
"Ya, lo yang ngapain. Mobil gue masih di carwash gara-gara lo."
"Salah lo sendiri!" ucap Bintang yang membuang wajah dan melipat tangan di depan dada.
"Gue bilangin nyokap lo, ya!" ancam Aksara yang sudah membuka mulutnya bersiap memanggil. Bintang langsung menutup mulut pria iti dengan kedua tangan dan membawanya keluar.
"Lo rese' banget, sih!"
"Lo yang mulai."
"Lo!"
"Lo!"
Keduanya terus aja bertengkar dan tidak ada yang mau mengalah.
"Bukannya sudah saya bilang, lebih baik berpacaran daripada bertengkar," katanya santai tanpa beban dan berlalu masuk ke rumah makan Bintang.
Aksara juga Bintang cengo, heran Subandi ada di mana. Mana merasa tanpa berdosa masuk ke pembicaraan keduanya.
Bintang masuk meninggalkan Aksara. Rambutnya sengaja ia kibaskan hingga mengenai wajah Aksara.
"Sialan, lo!" umpatnya kesal seraya menyapu wajahnya yang sakit.
"Lo kenapa?" ucapnya pura-pura peduli padahal, dia penyebabnya.
"Rambut lo! Sengaja banget, sih!" gerutunya yang kemudian melewati Bintang dengan menabrak bahunya. Gadis manis itu tersungkur ke depan.
Beruntunh Safar sigap dan menahan tubuhnya dengan punggung. Dia tidak mau dibilang kurang ajar karena menangkap Bintang dengan dadanya.
"Aksa, dewasa sedikit."
"Lo belain dia terus, sih," protes Aksara yang memang beberapa kali ia terkesan membela Bintang. Padahal, Safar berusaha mengingatkan Aksara.
"Makanya dewasa dikit."
"Ogah. Jadi dewasa itu nggak enak. Buktinya lo!" ucapnya yang kemudian mengambil piring yang disodorkan Heni padanya.
Safar hanya menggeleng heran bukan kepalang. Dia sudah nggak sakit hati lagi sama sikap Aksara yang semena-mena.
"Anda sama dia sebaya, Dok?" tanya Bintang yang bingung sama sikap Aksara.
"Menurut kamu?"
Mendengar sapaan lembut dari Safar, sungguh hati Bintang berbunga-bunga. Safar menjentikkan jari di depan wajah Bintang.
"Kok melamun?"
"Hehe. Maaf, Dok. Menurut gue kayaknya Anda lebih tua."
"Emang kelihatan, ya?" tanyanya memastikan. Dahinya sampai berlipat mencoba mencari jawaban dari Bintang.
"Hehe, nggak gitu, Dok."
"Tang, sini bantuin gue. Lo kok malah senyam-senyum di situ, sih. Ini lagi rame," panggil Heni yang merusak suasana hatinya. Ia menghentakkam kakinya sebal.
"Anda udah selesai makan, Dok?"
"Sudah." Suara azan berkumandang, Safar beranjak pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumah makan bintang.
"Tolong bilang sama Aksa tunggu di sini, ya. Saya mau salat dulu."
Pandangan Bintang terhadap Safar semakin berbinar. Safar benar-benar lelaki idaman yang sulit ditemukan akhir zaman begini.
"Ah, dia bener-bener idaman gue," ucap Bintang yang masih memandangi punggung lebar Safar.
Heni menarik daun telinga Bintang. Dia berteriak kesakitan. Heni baru akan melepaskannya saat sudah tiba di dalam.
"Mengkhayal aja terus! Lelaki idaman, lelaki idaman. Udah kayak lagu dangdut lo!" cibir Heni yang berusaha menyadarkan temannya.
"Ish! Suka hati gue, dong. Apa lo lihat-lihat?" tantang Bintang saat Aksara melihatnya sambil geleng kepala
Subandi mengebrak meja membuat semua yang di sana terlonjak kaget.
"Hei! Bukannya udah kubilang lebih baik pacaran daripada bertengkar!" ucapnya dengan mulut yang penuh makanan.
Bintang, Aksara juga Heni tampak memiringkan badan melihat sikap Subandi. Kemudian dia melempar kain lap ke atas meja dan bangkit buru-buru.
"Nganggu orang makan aja! Nafsu makan gue jadi rusak!" omelnya yang kemudian menyerahkan selembar uang lima pulih ribuan.
"Maaf untuk ketidaknyamanannya, Pak," ucap Enggar karena merasa anaknya bikin pelanggan nggak nyaman.
Subandi hanya berdehem kemudia keluar bersama salah satu anggotanya. Bintang memukul kepala bagian belakang Aksara.
"Eh, lo disuruh nunggu di sini."
"Ya, gue udah tahu. Safar salat, kan?"
"Bintang, yang sopan. Ibu nggak pernah ngajari kamu begitu."
Bintang tidak bisa melawan omongan Enggar. Dia kembali berjejer di samping Enggar juga Heni. Bintang mencuci piring, sedangkan Heni sibuk memeriksa lauk apa yang habis.
Safar kembali dari masjid, mereka berdua pamit. Safar menyapa Bintang juga sebelum akhirnya pulang. Sebab, dia menyampaikan amanahnya pada Aksara.
"Besok-besok gue nggak mau lo ajak makan di sini lagi," ucap Aksara yang sudah duduk di balik kemudi.
"Kenapa?"
"Anaknya yang punya rumah makan ini gila. Ogah gue makan di sini lagi. Kalau mau, lo yang beliin makanan untuk gue. Tapi harus di sini, jangan di tempat lain."
"Lo yang mau makan kok jadi gue korbannya."
Aksara diam dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Keduanya sudah berada di rumah sakit.
"Dokter Aksa, ada pasien yang mengalami gagal jantung dan harus segera Anda operasi," ucap salah satu perawat yang dengan terburu-buru menjemput Aksara di lobby.
Aksara berlari menuju tempat pasien. Tidak lupa perawat tadi memakaikan baju khusus juga sarung tangan untuknya.
Persiapan operasi di mulai, karena semua staf sudah menempati posisi masing-masing. Aksara memang dokter handal dalam bidangnya, hanya saja sikapnya yang kadang-kadang kekanakan kala di luar.
Enam jam sudah berlalu, terlalu sulit operasi yang dilakukan Aksara kali ini. Sebab, pasien memiliki riwayat darah tinggi, kolesterol juga diabetes.
Luar biasa pegal dan capeknya itu, berdiri selama dua jam saja sudah kebas. Ini sampai harus enam jam demi menyelamatkan pasien.
Aksara keluar dengan memijat pelan punggungnya. Ia terlalu lelah, mata juga sudah sayup kecapekan.
"Aksa," panggil seorang perempuan berpenampilan feminim. Aksara menoleh, ia menutup mata sebentar.
"Ada apa, Kei?" Gadis bertubuh ramping itu senyum-senyum dan langsunh memeluk lengannya. Aksa melepasnya lembut, tapi Keisha kembali melakukan hal yang sama.
"Aku kangen kamu, Sa."
"Aduh, Kei. Aku lagi capek banget ini, aku lagi malas ketemu siapa pun. Pengen istirahat."
Aksara berjalan lesu dan masih diikuti Keisha yang kini meletakkan kepalanya di bahu Aksa.
"Dok," sapa perawat yang melintas. Keisha senyum penuh bangga karena berhasil mendapatkan Aksa. Dokter tampan juga hebat.
"Kei, please. Aku mau istirahat. Kamu pulang aja, ya. Besok janji deh, ketemu," ucap Aksa yang menghindari Keisha. Cinta bukan prioritas di hidup Aksara.
"Janji, ya?"
"Hem."
Keisha mengecup pipi Aksa lalu pergi. Aksara mengelap pipinya, dia tidak terlalu mencintai gadis yang manja seperti Keisha.
Aksara merebahkan diri di ruangan khusus dokter yang memang disediakan tempat tidur juga kamar mandi.
Dengkurannya nyaring dan mengusik orang-orang yang ada di sekitar. Dia tidur tanpa melepaskan jas dokter dan sepatu miliknya.
"Dokter Aksa ngoroknya kenceng banget, ya," bisik salah satu perawat yang ada di tempat tidur bagian atas.
"Wajarlah, dia baru selesai operasi. Operasinya aja memakan waktu enam jam. Pasti capek banget."
"Ya, dia Dokter idaman gue," ucap salah satu perawat berambut pendek.
"Ya, gue juga idolain dia. Tapi, lebih fans sama Dokter Safar, muslim yang taat loh dia."
Aksara berdehem, dia mendengar semua obrolan kedua perawat ini. Keduanya diam dan turun perlahan meninggalkan ruangan.
Ketenangan tidur Aksa terganggu oleh suara berisik kedua wanita tadi. Kepalanya mendadak pusing karena ocehan yang tidak berbobot itu menurutnya.
"Ah, sial! Ketenangan tidur gue terganggu."
Dia berbaring lagi, kali ini menutup telinganya dengan bantal. Lagi capek-capeknya justru diganggu, siapa yang nggak sebel.
Aksa mulai memejamkan matanya, sekelabat bayangan Bintang muncul memenuhi otaknya. Dia kembali bangkit dan mencari keberadaan gadis itu.
"Gila, bisa-bisanya gue ingat dia. Argh! Cewek emang bikin pusing."
Aksara keluar dari sana, kembali ke ruangannya. Mata panda terlihat di wajahnya. Dia benar-benar lelah. Untuk berjalan saja dia sampai menempel di dinding.
"Lo kenapa?" tanya Safar yang baru saja selesai salat Magrib. Dia masih membawa sajadah kecil di genggamannya.
"Fans lo gangguin tidur gue."
"Haha. Fans? Ada-ada aja, lo."
"Serah lo, deh! Tuh, fans lo datang. Sambut, gih. Kasih tanda tangan," tunjuknya pada dua perawat yang tadi ada di ruangan istirahat dokter.
Safar tersenyum, ia tidak pernah menanggapi serius ocehan Aksara. Perawat itu menyapa dengan sedikit malu-malu karena ketahuan oleh Aksara mereka tengah memuji Safar.
"Dokter Safar, Dokter Aksa."
Aksata jutek dan hanya berdehem. Dia masih kesal soal tadi.
"Lo mau pulang nggak?" tanya Aksa.
"Pulang, tapi bentar lagi."
"Gue balik duluan." Safar berdehem, masing- masing memegang kunci rumah. Ya, karena hanya mereka berdua yang tinggal di sana.
Aksara berjalan menuju tempat parkir. Ia mencari keberadaan mobilnya. Petugas parkir langsung berlari kecil ke arah Aksa.
"Dok, ini kunci mobil Dokter. Tadi petugas doorsmeernya telepon-telepon tapi nggak diangkat."
"Oh, ya. Tadi saya lagi ada operasi, Pak. Makasih," ucapnya setelah menerima kunci mobil. Aksara langsung menancap gas untuk segera tiba di rumah.
Memarkirkan mobil asal di halaman rumah yang cukup luas tanpa pagar. Bangunan minimalis ini tidak tingkat dan hanya melebar dilengkapi halaman depan belakang.
Aksara langsung menuju kamar mandi. Meletakkan kunci mobil di tempat biasanya, hiasan untuk gantungan kunci tertempel di dinding.
Ya, itu semua Safar yang mengatur. Mereka berdua membagi tugas untuk mengurus rumah. Itu syarat yang diberikan Safar saat Aksara merengek meminta tinggal di rumahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!