Sore itu, langit tampak gelap, setelah sebelumnya matahari begitu terik seakan siap membakar seluruh isi bumi. Tak lama, angin berhembus lembut membelai helaian rambut seorang anak gadis yang terurai. Ia pun mendongak, kemudian menyapu sekeliling melihat suramnya situasi kala itu.
"Sepertinya akan turun hujan," gumamnya, menebak hal yang selanjutnya akan terjadi, sebab semilir angin lembut yang sebelumnya menyapu kulit kini berubah kencang hingga menutup kasar jendela kamar sang gadis yang sebelumnya terbuka lebar.
Brak!
Brak!
Tidak bisa dibiarkan! Jendela kamar berbahan kayu yang sudah usang itu bisa rusak jika terus seperti ini, atau mungkin saja bisa terlepas dari engselnya.
Segera gadis itu beranjak dari tempat tidur untuk menutup tirai sekaligus mengunci jendela kamar yang terus dihantam angin. Langkah demi langkah, ia terus mendekat ke arah jendela.
Tepat ketika gadis itu hendak meraih tirai berwarna biru kesukaannya, mata bulat dengan netra coklat terang itu menangkap sosok berbadan tinggi besar, dengan kulit hitam legam, serta kedua bola matanya yang semerah darah menatap tajam ke arahnya.
Tak hanya itu, rambutnya yang gimbal ditambah tanduk di kedua sisi kepalanya, menambah seram wujud yang belum gadis itu ketahui jenisnya. Namun yang pasti, sosok tersebut berdiri di seberang jalan sana dengan mulut yang menyeringai.
Sejenak, tubuh gadis itu membeku, pikirannya kosong dengan napas yang mulai tersendat-sendat. Ia terkejut, namun bibir mungilnya tidak mampu mengucapkan barang sepatah kata pun.
Hingga pada akhirnya ....
Pyar!
Suara petir menyambar dari atas sana, diiringi tiupan angin kencang serta air hujan yang turun sangat deras, seketika kesadaran gadis itu kembali kemudian mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Astaghfirullahaladzim," ucapnya. Lekas ia segera menutup kedua daun jendela dan langsung menguncinya rapat-rapat.
Blam!
Dengan napas yang masih terengah-engah, ia masih mematung dengan posisi yang sama menghadap jendela.
"Anin, ayo kita bermain bersama!"
Tiba-tiba sebuah suara yang begitu lirih dan pelan terdengar di telinganya, memanggil namanya. Saking dekatnya, area tengkuk gadis itu merasakan adanya hembusan yang begitu tipis dan halus menyibak rambutnya. Tetapi, ia berusaha tetap tenang, mengendalikan perasaan takut yang perlahan menyelimutinya.
"Anin, ayo kita bermain bersama!"
Lagi, suara itu kembali terdengar. Namun kali ini Anin tak lagi bisa bersikap tenang, sebab tak lama setelah suara aneh itu hilang, sebuah benda dingin dan berbau busuk menyentuh pundaknya. Terang saja Anin semakin ketakutan, tubuhnya pun sudah mulai gemetar dan wajahnya memucat.
Namun meski begitu, entah mendapat dorongan dari mana, rasanya Anin ingin segera menengok ke belakang dan melihat siapa yang kini berdiri di belakangnya.
Dengan perlahan, Anin mulai menggerakkan kepalanya, tepatnya ke arah samping kiri pundaknya yang terasa dingin. Dan ... tepat di saat itu, mata Anin seketika melebar, sebuah tangan tanpa tubuh menempel di sana. Pucat ..., basah ..., dingin, serta bau yang menyengat hidung. Anin pun sontak berteriak sekencang-kencangnya.
"Aaaaaaaaaaaaakkkkk!"
Dengan seluruh wajah yang sudah basah karena keringat, Anin terbangun di atas kasur empuk miliknya. Dadanya naik-turun dan ia mencoba menetralkan segala emosi yang memenuhi dirinya. Ah, rupanya mimpi itu lagi. Mimpi yang sama dengan setting yang sama pula. Kini terulang lagi.
"Ah, sial! Dia datang lagi," lirih Anin nyaris tak terdengar.
Prok, prok, prok, prok!
"Hebat, hebat banget, Nin! Lo tidur apa jalan-jalan ke bulan? Lama amat, dah! Cantik-cantik tapi kebo!"
Anin melirik sahabatnya, Mela, yang menggerutu seraya bertepuk tangan berdiri di samping ranjangnya, seolah sedang menunjukkan rasa bangganya terhadap Anin yang sudah mendapatkan penghargaan istimewa.
"Berisik lo, Mel!" dengus Anin menendang selimutnya sendiri hingga tersingkab, kemudian teronggok di bawah lantai tanpa ada niatan Anin merapikannya sedikit pun.
"Ya ilahhh, Nin. Ini udah siang. Noh lihat tuh matahari udah ha-ha-he-he di atas awan, kalah cepet lo ama teletubbies!"
Anin tidak lagi menggubris gerutuan random nan aneh dari Mela yang sudah berada di rumahnya sepagi ini untuk membangunkan dirinya, ia terus berjalan menuju kamar mandi.
"Heran gue punya temen gini amat, dah! Udah kebo, nyebelin, jorok pula. Untung cakep!" Mela terus mengoceh, kelakuan Anin memang tidak selaras dengan parasnya yang cantik, otaknya yang cerdas dan memiliki daya tarik yang kuat, namun begitu ia tetap berinisiatif untuk membereskan tempat tidur sahabatanya itu, Anin.
Di dalam kamar mandi, Anin bukannya langsung bersiap mandi, ia malah melamun dan menatap dirinya di depan cermin sebatas dada yang disediakan di sana. Mimpi semalam sebetulnya sudah biasa bagi Anin. Setelah pagi datang, ia selalu berusaha melupakan dan tidak terlalu memikirkannya. Akan tetapi, kali ini Anin tidak bisa berbuat demikian, sebab mimpi yang sudah berulang dengan plot dan setting yang sama dari usia Anin 7 tahun itu, sepertinya sudah tidak bisa dibiarkan lagi.
Warna kebiru-biruan yang muncul di pundak kiri Anin, menjadi pemicu perasaan heran diiringi kecemasan.
"Biasanya gak sampe begini, kok bisa, sih? Ckk!" Tangan Anin menyentuh pundaknya sendiri, "gak sakit," katanya lagi memeriksa keadaan dirinya.
Kejadian itu hanya terjadi di alam mimpinya, bukan? Lalu mengapa tanda ini muncul di kehidupan nyata Anin?
"Apa tadi malam gue jatuh dari kasur?"
"Kalau sampe lebam begini kayaknya ketiban benda jatuh, deh. Tapi apa, ya?"
Ini aneh, tapi juga nyata.
Anin terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja menjadi penyebab munculnya warna kebiru-biruan yang ada di pundaknya, namun sampai 20 menit berlalu, gadis itu tetap tidak bisa menebaknya. Lama Anin tenggelam dalam pikirannya yang berkelana entah ke mana, Mela di luar sana kembali emosi sebab Anin belum juga keluar dari kamar mandi.
"Oyy, Nin! Lo tidur lagi apa investasi bodong, ha? Buruan elah, udah mau jam 8 nih, lo gak lupa kan hari ini di kantor ada acara pelantikan kades baru?"
Anin memejamkan matanya rapat-rapat, ia paham betul dengan maksud Mela dengan mengatakan 'investasi bodong', yakni buang air besar yang tentunya memang hanya bisa setor rutin namun tidak membuahkan hasil. Mela memang selalu memiliki celotehan-celotehan unik namun juga aneh bagi Anin. Selain itu, Mela juga termasuk sahabat yang sering merangkap jadi Ibu Tiri. Bawel, dan sering ngomel-ngomel terhadap Anin.
Semua hal mengenai Anin pasti Mela komentari, termasuk status Anin yang sampai saat ini masih menjomblo.
"Sendiri emang enak, Nin? Betah amat nyolo. Mau cari yang kayak gimana sih, hem?" kata Mela malam itu, ia berbicara dengan mata dan jemari yang tetap fokus pada ponsel milik Anin. Sementara Anin duduk di meja kerjanya mengisi formulir berisi data-data profilnya untuk keperluan melamar pekerjaan.
"Kalau belum mau jadi istri, minimal pacaran gitu, Nin. Kayak orang-orang. Gue misalnya, kan enak ada yang merhatiin, ngegombalin, bensin utuh gegara diantar-jemput tiap hari," lanjut Mela menjelaskan keuntungan dari sebuah hubungan, ia benar-benar tidak habis pikir bagaimana mungkin Anin tidak tertarik dengan semua itu?
Padahal setahu Mela, hampir semua pemuda tampan di desa yang mereka tinggali ini, menyukai sosok Anin. Namun entah mengapa Anin seperti enggan meladeni dan selalu menolak setiap laki-laki yang berniat mendekatinya.
"Pacaran itu buang-buang waktu doang, Mel! Gak penting, nyusahin!"
Selalu itu yang Anin katakan ketika ia menghindari hubungan romansa yang seseorang tawarkan padanya.
Gemas dengan tingkah Anin yang selalu sama, maka Mela pun mencari jalan alternatif lain supaya Anin dapat merasakan indahnya berpacaran.
"Nih, ya, Nin. Udah gue download-in aplikasi kencan online buat lo, kali aja ada yang nyangkut, kan! Jangan syaiton mulu yang lo urusin!" Mela menggoyang-goyangkan ponsel Anin. Ia tahu betul kelebihan sahabat dari oroknya itu yang bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata setelah didatangi mimpi aneh sejak masih kecil.
Meski sempat kaget, namun saat itu Anin tidak terlalu menanggapi perkataan Mela yang katanya sudah men-donwload aplikasi aneh tersebut. Mela bahkan sudah membuatkannya sebuah akun dengan nickname yang prik, bahkan terkesan ganjen!
"Arghh! Ayolah, Anin. Mandi, mandi, mandi. Lupakan si Babang Uwo!" Anin menggelengkan kepala, ia terus berusaha menyemangati dirinya sendiri dan coba melupakan sosok genderuwo di dalam mimpinya yang selalu ia sebut Babang Uwo. Gak mungkin Babang Tamvan, kan?
Baru saja Anin hendak mengguyur tubuh polosnya, matanya menangkap sosok cungkring dengan kedua tangan yang panjangnya melebihi tinggi badannya tengah berdiri di pojok kamar mandi. Anin melihat itu dari pantulan kaca yang ada di hadapannya.
Tidak seperti di dalam mimpinya yang ketakutan saat melihat makhluk halus, di kehidupan nyatanya, Anin sama sekali tidak merasakan hal itu. Daripada berteriak dengan tubuh yang gemetar, Anin lebih memilih untuk menyiram makhluk cungkring di belakangnya dengan segayung air yang masih menggantung di tangannya, lalu menendang menggunakan satu kaki.
Byurrr!!!
Brakkk!
"Pergi lo! Mesum amat lihatin orang mandi!"
Rumah yang ditinggali Anin ini sebetulnya hanya diisi oleh dua orang saja, yakni dirinya dan juga sang nenek yang usianya sudah menginjak angka hampir 70-an tahun. Tapi, percayalah! Meski usia Nenek Diah sudah memasuki tutup usia, maksudnya lanjut usia, akan tetapi kondisi kesehatan Nenek Diah masih tetap bugar dan sehat.
Anindya Widura, gadis berusia 27 tahun itu memang sudah ditinggalkan ayah dan ibunya sejak ia berusia 10 tahun.
Sejak saat itu, Anin dirawat dan dibesarkan oleh Nenek Diah, ibu dari sang ayah. Anin adalah putri satu-satunya, dulu sebenarnya ia pernah hampir memiliki adik, namun ternyata Tuhan berkata lain, sebab bayi yang saat itu masih di dalam kandungan sang ibu, meninggal setelah mamanya Anin jatuh terpeleset di depan kamar mandi.
Anin sendiri berprofesi sebagai sekretaris desa di daerah yang ia tinggali, berkat kecerdasan yang ia miliki, gadis pemilik rambut panjang sepinggang itu berhasil lulus dan menyandang sarjana administrasi publik dengan beasiswa penuh di salah satu fakultas di Jakarta.
Kalau gambaran hidup Anin terkesan kesepian dan tidak memiliki teman, tentu itu salah besar. Selain Mela yang selalu setia mengganggu ketenangannya setiap hari, para makhluk tak kasat mata pun turut menemani keseharian Anin.
Sosok cungkring bertangan panjang yang selalu mengagetkan Anin di kamar mandi, pocong yang ada di samping kulkas di dapur Anin, ada juga kuntilanak penunggu pohon nangka yang berada di dekat rumah kosong yang sering Anin lewati ketika hendak berangkat bekerja. Termasuk hantu remaja bermata merah, berjenis kelamin laki-laki yang selalu memperhatikan Anin dari kejauhan.
Sebetulnya, dulu Anin sempat dibawa ke orang-orang yang mengerti akan hal-hal ghaib seperti itu guna menutup mata batin Anin agar tak lagi bisa melihat makhluk-makhluk astral, mulai dari ustadz dekat rumah nenek Anin, Pak Ustadz guru ngaji Anin, sampai orang pintar kenalan pamannya. Semua usaha sudah orang tua Anin coba, namun nyatanya semua usaha yang dilakukan tersebut tidak membuahkan hasil.
"Udah, gak apa-apa. Mungkin ini sudah takdir putrimu, yang penting mereka gak mengganggunya, Bang," jelas paman Anin pada mendiang ayah Anin saat itu.
Ya, kala itu gangguan yang didapatkan Anin hanya sebatas dinampakkan wujud saja setelah gadis itu didatangi mimpi berulang tersebut. Namun ini adalah pertama kalinya bagi Anin mengalami hal yang benar-benar diluar nalar. Ada yang mengatakan 'jika di bagian tubuhmu ada lebam kebiru-biruan tanpa sebab, itu artinya ada makhluk halus yang menyentuhmu'.
Apakah ini juga yang dialami oleh Anin? Tapi ..., bukankah itu hanya di mimpi saja? Atau mungkinkah sebenarnya yang Anin kira mimpi belaka itu adalah kenyataan?
...*...
...*...
Anin kini sudah selesai bersiap, lalu menghampiri neneknya yang sedang berada di dapur. Sedangkan Mela sudah menunggu Anin di depan rumah, tepatnya di atas motor miliknya. Sepertinya gadis berambut bondol itu sudah mulai hilang kesabaran karena terlalu lama menunggu sahabatnya.
"Nek! Nenek! Anin mau salim, mau berangkat kerja sekarang!" seru Anin mencari neneknya. Biasanya ini adalah jam-jamnya Nenek Diah berada di dapur, memasak air menggunakan kompor jaman dulu dengan bahan bakar kayu. Meski sebetulnya Anin sudah menyediakan kompor gas agar memudahkan sang nenek, namun Nenek Diah menolak dengan alasan 'tidak nyaman'.
Saat Anin fokus mencari keberadaan neneknya, ia dikejutkan dengan benda jatuh dari samping kulkas di belakangnya.
Bruk!
Pikir Anin, itu pasti ulah Mamang Pocong yang selalu setia berdiri di sana. Namun setelah Anin menengok ke belakang ternyata di sana sudah ada Nenek Diah yang baru keluar dari sebuah ruangan kecil yang berada di pojok kanan dapur. Ruangan itu ialah tempat di mana sang nenek menyimpan hasil panen padi. Itu kata Nenek Diah, lantaran Anin dilarang memasuki ruangan tersebut. Jadi Anin percaya saja.
"Berangkat sekarang, Neng?" tanya Nenek Diah dengan lembut pada cucunya, ia berjalan agak membungkuk dengan baskom berisi beras di tangannya mendekat ke arah Anin.
"Iya, aku kesiangan, Nek," sahut Anin seraya mengulurkan tangan kanannya untuk salim yang kemudian disambut oleh sang nenek.
"Gak sarapan dulu? Nenek udah buatkan telor ceplok kesukaan kamu, Neng." Tangan Nenek Diah menunjuk ke arah meja makan di belakang Anin, di mana ada beberapa makanan yang ditutup tudung saji di atasnya.
"Nanti aja, ya, Nek. Istirahat siang nanti aku pulang ke rumah," kata Anin menolak dengan halus. Sesekali ia melihat ke arah belakang sang nenek, di mana si Pocong tengah manggut-manggut tanpa sekalipun mau mengangkat wajahnya. Entahlah, Anin tidak mengerti mengapa demikian. Mungkin sebelum meninggal Pocong tersebut memiliki sifat introvert, sehingga terbiasa menunduk dan jadilah malu-malu pocong.
Baru saja Anin hendak undur diri dari hadapan sang nenek, akan tetapi Anin teringat kembali dengan lebam kebiru-biruan di bahunya setelah ia bermimpi buruk itu lagi tadi malam, haruskah Anin menceritakannya pada Nenek Diah?
Namun, di saat Anin menimbang-nimbang keputusannya, tiba-tiba saja ia dikejutkan dengan pertanyaan sang nenek.
"Neng, dia datang lagi, ya? Sekarang udah mulai ganggu, ya?" kata Nenek Diah dengan suara yang teramat pelan dan tertata.
Sontak saja Anin terkejut mendengar penuturan neneknya, padahal Anin saja belum memberitahukannya pada siapa pun, termasuk neneknya. Lalu, dari mana Nenek Diah mengetahuinya?
Melihat gurat keheranan dari sang cucu, Nenek Diah pun kembali bersuara, "Udah, kamu jalan sana! Nanti sepulang dari kelurahan, ikut Nenek mengunjungi rumah pamanmu, ya. Udah lama kita gak ke sana, kan."
Meskipun masih diliputi perasaan heran sekaligus penasaran, namun Anin memilih untuk mengiyakan kemudian berangkat kerja bersama sahabatnya, Mela.
"Lha, kok sepi, Mel. Bukannya hari ini kita ada acara pelantikan kades baru?" Anin mengatakan itu setelah ia memberhentikan motor matic serta helm yang ia lepas kemudian disimpan di atas kaca sepion motor miliknya ketika sudah sampai di depan gedung kelurahan tempatnya bekerja. Waktu yang Anin tempuh hanya memakan kurang lebih 15 menit saja dari rumahnya.
Begitupun dengan Mela, gadis itu melakukan hal yang sama. Namun, Mela tampak santai mendengar penuturan Anin, seolah sudah tahu dengan apa yang telah terjadi.
"Udah kelar kali, Nin. Noh lihat, kita udah datengnya telat, gak ikut acara terpenting pula. Semua gara-gara lo yang tidurnya udah kayak orang pingsan!" gerutu Mela memuntahkan kekesalannya. Satu tangannya menunjuk-nunjuk jam yang melingkar di tangan kirinya.
Anin tak terima disalahkan, ia memberengut kesal. "Lho, kok gue sih disalahin. Ini semua tuh gara-gara lo, Mel! Coba aja kalau tadi malam lo gak ngajak gue begadang buat main aplikasi kencan online sampe tengah malam, gue pasti bangunnya gak kesiangan, mana lo minta dianterin pulang jam 1 malam pula, udah ngajak sesat, nyusahin lagi!" cerocos Anin.
Jarak rumah Anin dan Mela memang tidak begitu jauh, mereka masih dalam satu kelurahan yang sama, namun sahabatnya itu pastinya ketakutan jika harus pulang seorang diri.
Mela turun dari motor, kemudian mendekat ke arah Anin. Sepertinya Anin minta diingatkan kembali apa yang terjadi tadi malam.
"Eh, Anindya Widura anaknya Bapak Mahmudin!"
"Muhidin," potong Anin mengoreksi kesalahan Mela menyebut nama mendiang ayahnya.
"Iya itu pokoknya!" Mela mengibaskan tangannya, "kan yang berbalas chat di aplikasi kencan online itu lo, Nin. Gue sih bagian supporter aja. Lihat temen gue seneng ya gue ikut seneng lha!"
"Enak aja, yang balas kan jari-jari nakal lo, Mel. Bukan gue!" sanggah Anin.
"Kan sesuai arahan dari lo, Markonah!"
"Yeee dasar, Maemunah!" sahut Anin tetap tak mau kalah, "lagian nagapain sih lo ngenalin gue ke om-om mesum kayak dia, udah tahu dari namanya aja keliahatan banget ganjennya. 'Dezahan Bang PN', apaan coba?" ujar Anin mengeja pemiliki akun yang akhir-akhir ini sering mengirimnya pesan chat berisi hal-hal yang berbau vulgar.
Ya, itulah hasil pencarian Mela di aplikasi kencan online waktu itu. Kata Mela, akun itulah yang ketikannya paling tampan di antara yang lainnya.
"Mesum-mesum begitu yang penting ketikannya ganteng, kan, Nin."
"Terserah lo deh, Mel. Yang pasti gue gak mau ya sampe tuh orang minta ketemuan secara langsung. Males banget!" Anin memutar bala matanya pertanda ia benar-benar serius dengan perkataannya, "udah, ayo masuk! Malu noh dilihatin Mbak-Mbak Kunti di atas pohon belakang lo!"
"Eh, syaiton!" Mela berteriak seraya lari terbirit-birit memasuki gedung kelurahan, meninggalkan Anin yang tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan sahabatnya itu.
"Santai aja udah, Mel. Gue yakin kita datang di waktu yang tepat, gak mungkin acaranya udah selesai, orang gue yang atur semuanya," tutur Anin menyelaraskan langkahnya dengan Mela yang tergesa di lorong menuju ruangan kerja keduanya.
Sebagai seorang Sekretaris Desa atau Carik, tentu tugas Anin bukan hanya menyangkut perihal administrasi surat-menyurat saja, melainkan melaksanakan urusan ketatausahaan seperti tata naskah, arsip, dan ekspedisi. Melaksanakan urusan umum seperti penataan administrasi perangkat desa, penyediaan prasarana perangkat desa dan kantor, penyiapan rapat, pengadministrasian aset, inventarisasi, perjalanan dinas, dan pelayanan umum.
Sementara Mela, bertugas sebagai Pengadministrasi Keuangan, atau Bendahara.
"Iyaaa, iya, Bu Sekdes," sahut Mela agak malas, ia masih kesal dengan ulah Anin yang tadi menakut-nakutinya.
Anin hanya tertawa ringan saja mendengar jawaban sahabatnya, ia sebetulnya tidak begitu fokus dengan apa yang akan dikerjakannya hari ini, sebab perkataan Nenek Diah yang akan mengajak Anin pergi mengunjungi rumah pamannya cukup mengganggu pikirannya. Mungkinkah ia akan 'diobati' seperti saat ia kecil dulu? Atau ada hal lain yang akan nenek dan pamannya lakukan? Berbagai pertanyaan terus menggaggu konsentrasi Anin. Namun begitu, Anin akan berusaha tetap tenang dan profesional.
Ia bahkan tetap melempar senyum ramah pada rekan-rekan kerjanya yang lain saat ia melewati bilik meja kerja mereka, tapi entah kenapa rasanya hawa pagi ini terasa lebih dingin seakan menusuk kulit hingga masuk melalui pori-pori. Entah ini hanya perasaan Anin saja, atau memang AC di dalam ruangan suhunya dinaikan? Karena di luar tidak hujan, bukan?
"Nin, beneran sepi lho, ini kita gak salah masuk ruangan, kan?" tanya Mela merasa heran, "dingin banget lagi!" imbuhnya seraya melipat kedua tangan di dada.
"Iya." Ah, ternyata Mela pun merasakan hal yang sama.
Anin dan Mela memberhentikan laju langkah mereka; melihat sekeliling ruangan yang memang ternyata sangat sepi, hanya ada 3 orang staff wanita dan juga Kepala Seksi Keamanan yang merupakan seorang pria dewasa kisaran usia 40-an tahun saja yang menduduki mejanya. Namun anehnya, pria itu terus melamun dengan wajah yang pucat.
"Selamat pagi, Mbak Anin, Mbak Mela!" sapa ketiga staff pada kedua perempuan yang baru datang itu.
Setelah menjawab sapaan para rekannya, Anin pun mengajukan pertanyaan, "Cuman kalian berempat aja, nih? Yang lain pada ke mana? Apa udah kumpul di aula?"
Mendengar pertanyaan Anin barusan sontak saja Mela menyikut lengan Anin, namun Anin tidak begitu menghiraukannya lantaran harus segera pergi untuk mengontrol kesiapan acara.
"Kalau tidak ada yang dikerjakan, kita langsung kumpul ke aula aja, yuk! Udah siang." Anin segera beranjak dari sana, meninggalkan orang-orang yang masih memasang wajah ketakutan dan tegang. Karena semua rekan kerja Anin ini mengetahui bahwa wanita cantik itu memiliki penglihatan yang sensitif terhadap hal-hal ghaib.
"Mbak Mel ...," rengek ketiganya berjalan mendekati Mela.
"Udah, gak usah dipikirin! Kita susul Mbak Anin aja!"
Mela dan ketiga orang itu pun segera pergi dari sana.
Wajah Mela sebetulnya tak kalah tegang dan panik, ia khawatir jika orang-orang akan terus ketakutan dan menganggap sahabatnya ini gila, seperti waktu mereka Sekolah Dasar dulu. Anin kerap kali dijauhi teman-teman sebayanya lantaran dianggap aneh dan tidak waras, sebab tak jarang Anin kecil mengobrol dan tertawa sendiri.
Untuk menuju aula, Anin dan yang lainnya harus melewati lorong panjang bercabang yang menghubungkan antara ruang kerja, kantin dan juga tempat yang akan mereka tuju. Bangunan ini memang cukup luas, di dalamnya bahkan terdapat taman kecil berisi tanaman hias dan juga pohon besar yang menembus langit-langit bangunan.
Seperti yang diduga Anin sebelumnya, hari ini memang suasana kantor memang terasa sedikit mencekam. Hantu-hantu yang biasanya diam di tempatnya, kini berkeliaran ke sana kemari. Bahkan jumlahnya jauh lebih banyak dari yang biasa Anin lihat. Tetapi anehnya, para makhluk itu tidak berani mendekati Anin, tak satu pun dari mereka yang berani mengarah pada Anin, melainkan sibuk sendiri seolah mencari tempat persembunyian baru yang mereka rasa lebih aman. Seperti sedang ketakutan karena dikejar syaiton.
"Apa sih, ni para makhluk pada heboh begini, masa ada hantu dikejar hantu?" heran Anin. Di saat ia fokus memperhatikan keadaan, Anin dikejutkan dengan bunyi ponselnya sendiri.
Dezahan Bang PN: "Selamat pagi, Cantik! Mau cium dulu nggak sebelum aku berangkat kerja? Mumpung lagi seksi-seksinya nih bibirku, udah aku pakein pelembab bibir juga."
Anin berdecak sebal setelah membaca pesan singkat yang baru saja masuk ke ponselnya, laki-laki yang ia temui di aplikasi kencan online itu begitu rutinnya menyapa Anin dengan dibumbui sesuatu yang mengarah ke hal-hal 'panas'. Baru saja Anin hendak menyimpan kembali benda pipih itu ke dalam tas kerjanya, suara notifikasi pesan masuk kembali terdengar.
Jari-jari lentik Anin pun dengan segera memeriksanya.
Dan betapa terkejutnya Anin saat ia melihat sebuah foto yang ternyata dikirim oleh orang yang sama. Alih-alih mengirimkan foto bibir seksi seperti yang laki-laki itu katakan, Anin malah dikirimi gambar setengah badan tanpa busana. Perut kotak-kotak dengan bulu-bulu halus milik pria dewasa terpampang di layar ponsel Anin.
Melihat dari permukaan kulit perutnya yang basah, sepertinya laki-laki itu baru selesai mandi.
"Wow, roti sobek!" seru Anin dengan mata yang masih tertuju pada gambar menggiurkan itu. Anin adalah seorang wanita dewasa dan normal, ia tentu tidak bisa berbohong dan menyembunyikan ekspresi kagumnya.
"Apa yang sobek, Nin?" Mela dan ketiga rekannya tadi sudah berada di belalang Anin, gadis berambut bondol itu memicingkan mata kala Anin buru-buru memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
"Daster nenekku, biasalah ... udah minta dijadiin keset, nanti aku beliin yang baru," sahut Anin asal.
Mela tak menjawab, ia hanya mengangguk-ngangguk saja mendegar penjelasin Anin.
Keempat gadis kini telah berada di aula desa, tempat di mana acara pelantikan kecil-kecilan ini akan dilaksanakan. Tidak seperti pelantikan penyerahan jabatan pada umumnya yang diadakan dengan meriah dan suka cita, hasil dari pemilihan umum di antara beberapa kandidat yang biasanya diselenggarakan. Calon pimpinan mereka yang baru ini ditunjuk langsung oleh mendiang Kepala Desa sebelumnya, sebelum wafat beberapa waktu yang lalu, yang tak lain ialah ayah dari calon Kepala Desa yang sekarang.
Pihak keluarga pastinya masih berkabung, dan Anin memutuskan untuk membuat acara sesederhana mungkin.
"Semua persiapan udah selesai, kan?" tanya Anin pada rekan-rekannya yang sudah berkumpul.
"Udah, kok, Mbak. Tapi Pak Panjinya masih di perjalanan, jadi ...."
Tak sampai selesai laki-laki berusia 30-an tahun itu berbicara, Anin tiba-tiba mengangkat satu tangannya untuk meminta perhatian.
"Ada telepon, aku angkat dulu sebentar," kata Anin meminta izin. Laki-laki itu mengangguk mempersilakan.
Tak sampai 5 menit Anin berbicara dengan seseorang di seberang sana, ia segera kembali dan mendekati Mela dengan wajah panik.
"Mel, gue harus pulang sekarang, darurat."
"Lho, kan acara gak bisa dimulai kalau gak ada Lo, Nin. Yang ngasih sambutan sebelum pengambilan sumpah jabatan, siapa?"
"Gue serahin semua ke Lo, ya, Mel. Gue beneran harus pulang. Tolong sampein permintaan maaf gue ke semua, ya. Bilang aja Neneng Sekdes lagi sakit perut!"
"Gak bisa gitu, dong, Nin. Itu Pak Panjinya aja baru dateng!" Mela menunjuk seorang pria berbadan tinggi yang diikuti beberapa orang di belakangnya mengenakan seragam khusus memasuki mimbar aula.
Akan tetapi, saat Mela menoleh. Anin sudah tidak ada di sampingnya. Ya, sepetinya Anin sudah siap kena teguran dan berurusan dengan pimpinannya yang baru. Mela sendiri hanya mengusap dadanya saja, menenangkan diri menghadapi sahabatnya yang mangkir dari tugas. Akan tetapi, ia yakin bahwa Anim memiliki alasan yang kuat. Entah apa itu, Mela tidak tahu.
"Malangnya Anin, Cucu Nenek yang cantik itu terkena imbas dari kesalahan yang Kakek dari kakeknya Anin lakukan di masa lalu. Saya kurang yakin kalau Nenek Diah tidak tahu mengenai hal itu, mendiang suami Nenek pasti sudah memberitahukan semuanya, kan?"
"Anin, cucuku ...."
Anin menahan napas, saat ia hampir menyentuh kenop pintu rumahnya. Posisi daun pintu yang tak tertutup seluruhnya membuat Anin bisa mendengar percakapan yang keluar melalui celah pintu, namun ia belum tahu dengan siapa neneknya itu berbicara. Anin hanya diberitahu oleh pamannya untuk segera pulang, sebab neneknya kedatangan seorang dukun kenalan sang paman. Mungkinkah yang di dalam sana adalah dukun yang dimaksud paman Anin?
"Kalau tetap dibiarkan, makhluk itu bisa saja mencelakai Anin. Jalan satu-satunya ialah Anin harus menikah dengan laki-laki yang memiliki keturunan berdarah biru. Dan itu bukan sesuatu yang mudah."
Tangan Anin meremas ujung baju kerjanya mendengar kelanjutan dari perkataan orang tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!