NovelToon NovelToon

Baby Proposal

BP 1

Emeli, gadis berusia 2O tahun, yang telah menikahi pria bernama Nathan. Dua tahun masa pernikahannya tidaklah berjalan mulus. Pasalnya Emeli tidak bisa memberikan keturunan pada Nathan. Tentu hal itu membuat Emeli merasa kecewa, karena ia tidak bisa mempunyai seorang anak pada umumnya wanita.

Sementara Ibu mertua tidak mau tahu akan kondisi Emeli, dia terus memaksakan kehendaknya pada Emeli dan Nathan. Meskipun berbagai cara telah mereka coba. Dan akhirnya, Ibu mertua Emeli meminta Nathan untuk menikahi wanita lain yang sudah di tetapkan siapa wanita yang akan menjadi pengganti Emeli.

Bagi Emeli, lebih baik sakit sekali dari pada harus tersakiti seumur hidup. Ia memilih cerai dari pada harus di madu. Tetapi Nathan masih menahannya dengan memberikannya pilihan yang sulit.

"Ahh." Emeli mendesah, ia tidak tahu lagi bagaimana menjelaskan pada Nathan. Jika dia rela berpisah dari pada harus berbagi suami. Terlebih, Ibu Nathan tidak menyukai Emeli sejak mengetahui dirinya tidak bisa memiliki anak.

"Apa keputusanmu?" sapa Nathan, tiba tiba saja sudah berdiri di hadapannya.

Emeli melirik sesaat ke arah Nathan, lalu menundukkan kepalanya. Nathan mengambil kursi tak jauh dari tempat tidur, lalu duduk di hadapan Emeli.

"Nathan.." ucap Emeli pelan, ia angkat wajahnya menatap Nathan yang tengah menunggu jawabannya.

"Ya?" Nathan mengangkat kedua alis, menatap lekat Emeli.

"Aku tetap pada pendirianku, aku mau kita pisah." Terdengar suara Emeli parau.

Nathan menghela napas dalam, ia tatap dalam dalam wajah istrinya. "Aku akan menikahi wanita itu demi Ibu, tapi aku tidak akan menceraikanmu."

Sekali lagi Emeli menangis, menohon untuk kesekian kalinya pada Nathan. "Tapi aku tidak bisa, Nat."

Nathan menundukkan kepalanya, "aku mencintaimu, Emeli.." tangannya meremas jari jemari Emeli dengan lembut.

"Kau harus memilih.." ucap Emeli terisak.

"Aku tidak bisa, sama sepertimu." Nathan mengangkat wajahnya. Ia tidak mungkin menceraikan wanita yang di cintainya. Tapi ibunya begitu memaksa. Bukan Nathan tidak bisa menolak, tapi penyakit jantung yang di derita Ibunya, yang membuat dia serba salah.

"Jika kau tidak bisa memilih, biar aku saja yang menentukan pilihanku." Emeli berdiri, menatap sesaat ke arah Nathan. Lalu ia mengambil tas yang tergeletak di atas meja.

"Kau mau kemana?" tanya Nathan tengadahkan wajahnya menatap ke arah Emeli yang mengusap air matanya.

"Aku pergi dulu sebentar." Emeli berlalu di hadapan Nathan tanpa menoleh lagi. Nathan hanya diam menatap punggung Emeli hingga hilang di balik pintu.

Nathan mendengus kasar, ia mungkin egois. Tapi mana mungkin melepaskan wanita yang sudah di nikahi dua tahun ini.

***

Ikrar janji setia hanyalah pemanis bibir saja. Menerima apa adanya hanyalah sepintas lalu. Kenyataan telah menghancurkan keyakinan Emeli sekali lagi. Ia duduk di sebuah taman, untuk meyakinkan keputusannya sendiri untuk berpisah. Meski terkadang terbersit dalam benaknya berbagai kekhawatiran. Bagaimana hidupnya nanti? pekerjaan apa yang harus ia jalani? dia sama sekali tidak lulus sekolah menengah pertama. Keahlian pun tidak ada, di jaman sekarang cari pekerjaan sulit apalagi Emeli yang tidak memiliki jenjang pendidikan dan keahlian.

"Ahhkk! jerit Emeli pelan, dadanya sesak. Ia menangis sejadi jadinya, tidak perduli dengan orang yang ada di sekitar memperhatikannya. Sesekali ia pukul dadanya untuk menghentikan tangisannya. Seberapa sulit menerimanya? Emeli semakin terisak. Mungkin ini jalan yang harus ia tempuh, berpisah adalah pilihan terakhir Emeli. Perlahan ia menghentikan tangisannya, lalu mengusapnya dengan tisu. " Aku mencintaimu Nat, tapi aku tidak bisa berbagi cinta dengan wanita lain."

Ia tersenyum samar, sembari mengucek kedua matanya. Lalu berdiri dengan mantap ia meyakinkan dirinya bahwa dia 'Bisa'.

Dengan langkah mantap, ia berjalan ke tepi jalan raya.

***

Sementara di rumah Nathan. Ibu Nathan tengah menerima calon istri kedua Nathan, 'Sandra' namanya. Dia datang bersama orang tuanya untuk membicarakan hari pernikahan.

Dua jam berlalu, Emeli telah selesai mengurus surat surat perceraiannya yang sudah dia lakukan sejak seminggu yang lalu. Ia kembali ke rumahnya dengan perasaan tidak menentu. Sesampainya di teras rumah, Emeli menghentikan langkahnya, ia sandarkan tubuhnya di balik pintu. Bagaimana tidak? di ruang tamu, calon istri Nathan tengah duduk di sebelah suaminya.

Tubuh Emeli gemetar, ia mendekap mulutnya sendiri supaya tidak terdengar kalau ia tengah menangis. Jangan tanya betapa hancurnya hati Emeli saat itu. Jika pun ia bertahan, hanya akan menyiksa dirinya sendiri. Perlahan Emeli mengusap air matanya, dadanya panas serasa terbakar. Hatinya pedih, ia merasa Tuhan tidak adil. Sejak kecil Tuhan telah mengambil orang tuanya, dan kini keadaan telah merenggut suaminya.

Emeli memutuskan untuk menemui mereka, dengan langkah pelan ia masuk kedalam dan berpura pura tegar dan terlihat biasa saja di hadapan mereka meski hatinya hancur.

Nathan langsung berdiri menghampiri Emeli, ia menarik pelan tangan Emeli untuk masuk ke dalam kamar. Dia tahu, Emeli sakit hati, namun di luar dugaan Nathan. Emeli menepis tangan Nathan dan memilih duduk bersama mereka. Nathan menatap bingung Emeli, jelas jelas terlihat matanya sembab.

"Sandra, perkenalkan ini Emeli. Istri pertama Nathan." Ibu Nathan memperkenalkan dengan raut wajah cuek.

"Tidak lagi," sahut Emeli, ia tersenyum menundukkan kepala sesaat. Lalu menatap Ibu Nathan dan Sandra.

"Apa maksudmu, Emeli?" tanya Nathan sembari duduk di sebelahnya.

Emeli melirik sesaat ke arah Nathan, lalu ia mengeluarkan map berwarna coklat kehadapan Nathan. "Kau tanda tangani saja."

"Apa ini?" tanya Nathan melirik sesaat ke arah Emeli, lalu ia mengambil map itu dan membukanya. "Cerai?!" Nathan menatap tajam Emeli.

Emeli menganggukkan kepala, ia mengusap air mata yang hampir saja jatuh. "Ya."

"Tidak Emeli!" Nathan berdiri tangannya hendak merobek surat cerai. Namun Ibu Nathan dengan sigap merebut surat cerai di tangan Nathan.

"Bukankah itu lebih baik Nathan? kau tidak punya beban lagi!' ucap Ibu Nathan dengan nada suara tinggi.

" Tapi Bu-?"

"Cukup Nathan!' sela Ibunya. "Ibu yang sudah melahirkan dan membesarkanmu, Ibu tidak minta apa apa selain cucu darimu. Apa Ibu salah?" tanyanya dengan nada suara bergetar.

Nathan menoleh ke arah Emeli yang terisak, lalu ia berdiri dan masuk ke dalam kamar pribadinya. Nathan langsung menyusul Emeli masuk ke dalam kamar. "Emeli.."

Nathan menatap punggung Emeli bergetar hebat. Ia tahu, Emeli tengah menangis.

"Maafkan aku," ucapnya lirih.

Perlahan Emeli bangun dan mengusap air matanya, "aku tidak perlu maafmu, yang aku butuhkan hanya tanda tanganmu saja!"

"Tapi Emeli?"

"Kau egois! Potong Emeli.

Tangan Nathan terulur mengusap air mata Emeli, dari sejak pacaran ia tidak pernah membiarkan air mata Emeli jatuh. Namun kali ini justru sikap dia yang membuat wanita itu tidak berhenti menangis.

" Emeli..aku.."

Emeli menepis tangan Nathan, lalu ia turun dari atas tempat tidur. Meninggalkan Nathan sendirian termangu di kamarnya.

"Apa yang harus aku lakukan? haruskah kuturuti permintaan Emeli?" Nathan mendesah kecewa. Mengapa Ibunya selalu memaksakan kehendak padanya. Tidak memiliki keturunan bukanlah suatu aib. Mereka bisa mengadopsi anak yang kurang beruntung? tapi sayang, Ibu Nathan tidak menginginkannya.

Nathan berdiri dan melangkahkan kakinya mencari Emeli. Ia tertegun menatap ke arah Emeli yang duduk di bangku taman belakang rumahnya. "Emeli.."

Emeli melirik sesaat ke arah Nathan, ia kembali menundukkan kakinya menatap jari jemari kakinya. "Ada apa lagi?

"Aku-?"

"Jika kau tidak bisa memilih, jangan bicara apa apa lagi. Aku lelah Nat," potong Emeli.

Nathan coba mengingatkan masa masa pacaran, hingga awal mereka menikah. Tapi rasa sakit yang Emeli rasakan tidak mampu merubah keputusannya untuk berpisah.

"Maaf Nat, aku tidak bisa." Emeli berdiri, berlalu begitu saja meninggalkan taman.

Lagi lagi, Nathan gagal membujuk Emeli. Ia meremas dadanya yang merasakan sakit tiba tiba. "Ahhk, sakit sekali."

BP 2

Hari pernikahan Nathan tersisa satu hari lagi. Namun sampai hari ini, Nathan sama sekali masih bertahan untuk tidak menceraikan Emeli. Tapi yang lebih menyakitkan Emeli, suaminya menyetujui pernikahan itu. Apapun alasan yang di berikan Nathan itu tidak di benarkan olehnya. Nathan terlalu egois hanya memikirkan perasaan ibunya sendiri.

Seharian Emeli mengurung diri di kamarnya. Meski berkali kali Nathan membujuknya hanya untuk sekedar menawarkan makan.

"Sayang, kau belum makan dari pagi. Nih, aku bawakan makanan kesukaanmu." Nathan mendekatkan telinganya di pintu, tapi tidak ada tanda tanda Emeli membuka pintu kamar.

"Tok tok tok!

" Emeli, buka sayang!"

Emeli yang ada di dalam kamar, hanya diam menatap pintu kamar. Perlahan ia bangun lalu turun dari tempat tidur. Emeli kembali membuka lemari pakaiannya, dan membereskan beberapa pakaian yang bisa ia gunakan nanti kedalam tas punggung berukuran sedang. Akhirnya Emeli memutuskan untuk meninggalkan rumah sore itu juga, karena ia merasa sudah menandatangani surat perceraian.

"Emeli! buka pintunya! Terdengar suara Nathan memanggil dari luar kamar, untuk kesekian kalinya Nathan membujuknya untuk keluar kamar.

Emeli menatap ke arah pintu, ia menarik napas dalam dalam dan berusaha tenang meski gejolak dalam hatinya terus bergemuruh. Perlahan ia berjalan mendekati pintu dan berdiri sesaat untuk menenangkan hatinya. Ia pejamkan mata menghirup udara sebanyak banyaknya lalu ia embuskan perlahan.

Perlahan ia membuka mata, tangannya terulur membuka pintu. Pelan tapi pasti Nathan berdiri di depan pintu memperhatikannya. " Kau mau kemana?"

"Hubungan kita sudah berakhir semenjak kau menerima tawaran Ibumu untuk menikah lagi," jawab Emeli dengan nada suara lebih stabil dari sebelumnya.

"Tidak Emeli, aku tidak akan menceraikanmu!" Nathan berusaha melepaskan tas punggung Emeli.

"Lepas!" Emeli menepis tangan Nathan dengan tatapan tajam. Rasa cinta, rasa sayang pada saat itu hilang dari hati Emeli, tergantikan dengan rasa kekecewaan dan rasa sakit hati. Hingga nampan di tangan Nathan jatuh ke lantai.

"Prank!

Nathan diam menatap Emeli, untuk pertama kalinya ia mendengar kata kata kasar dari bibir Emeli. "Aku mencintaimu," ucap Nathan sedih.

"Rasa sakit hatiku melebihi besarnya cintamu, Nat." Emeli melirik sesaat ke arah Nathan yang termangu, lalu ia melangkahkan kakinya meninggalkan Nathan.

"Emeli! kau mau kemana? kau tidak punya tempat tinggal! pekik Nathan.

"Deg!"

Ya, dia benar. Emeli tidak punya tempat tinggal, selama ini ia tinggal di rumah tantenya. Tapi tantenya telah mengusir Emeli karena menolak untuk di jodohkan dengan pria yang tidak ia cintai. Dan naasnya, pria pilihan dirinya sendiri tak kalah menyakitinya. Tanpa bisa ia bendung lagi, air mata yang sudah menggenang di matanya, ia biarkan air mata itu jatuh saling memburu di pipinya.

"Emeli dengarkan aku," Nathan menarik tangan Emeli. Namun ia menepisnya dan berlalu begitu saja tanpa memperdulikan Nathan yang terus berlari mengejarnya.

"Emeli tunggu!" seru Ibu Nathan menahan langkah Emeli. "Ibu Nathan merobek surat cerai di tangannya. " Kau tidak boleh pergi dari sini, kau masih istri sah Nathan!"

Emeli menoleh ke arah Ibu Nathan yang merobek surat cerainya. "Tapi Bu?"

"Kalau kau tetap kekek, aku akan menuntutmu. Apa kau bisa bayar hah?" Ibu Nathan menatap tidak suka. "Nathan! bawa masuk istrimu!" Ibu Nathan kembali masuk ke dalam kamarnya. Lalu Nathan menarik tangan Emeli kembali masuk ke dalam kamar.

"Emeli, sudah jangan menangis. Pernikahan ini hanya sementara. Aku janji tidak akan menyentuh wanita itu." Nathan meremas tangan Emeli.

"Cukup Nathan! Emeli berdiri. " Sekarang juga kau keluar dari kamarku!" Emeli menarik tangan Nathan paksa hingga di depan pintu kamar.

"Emeli, kau tahu aku sangat mencintaimu." Nathan berusaha untuk tetap ada di kamar itu. Namun Emeli mendorong paksa tubuh Nathan keluar dari kamarnya lalu menguncinya dari dalam.

Wanita itu menjatuhkan tubuhnya duduk di lantai. Menarik kedua kakinya lalu mendekapnya erat. "Ibu, andai kau masih hidup. Tentu hidupku tidak akan seperti ini." Emeli kmbali terisak menangis mengingat pernikahan Nathan dengan wanita lain hanya karena dia mandul.

"Apakah wanita mandul tidak punya hak yang sama? hidup bahagia dan di cintai seutuhnya?" ucap Emeli dalam hati.

BP 3

Pagi itu di rumah Nathan terlihat ramai. Sanak saudaranya datang berkunjung untuk mengucapkan selamat untuk pernikahan Nathan yang kedua. Dan akan di langsungkan besok pagi.

Sementara Emeli masih bergelung dalam selimutnya. Ia sama sekali enggan untuk bangun mungkin selamanya. Berkali kali asisten rumah tangga di rumah itu mengetuk pintu kamar Emeli untuk mengantarkan sarapan pagi. Namun wanita itu sama sekali tidak perduli. Hari semakin siang. Nathan khawatir Emeli sakit karena belum makan sejak pagi.

Nathan berjalan menuju ke kamar Emeli, berpas pasan dengan Emeli yang membuka pintu kamar. Wanita itu kembali menutup pintu tapi Nathan mengganjal pintunya dengan sepatu yang ia kenakan. "Emeli, buka pintunya."

Akhirnya Emeli mengalah dan membiarkan Nathan masuk ke kamarnya. "Ada apa?" tanya Emeli malas.

"Duduklah." Nathan menarik tangan Emeli untuk duduk di kursi. "Kau harus makan Emeli, nanti kau sakit."

"Apa perdulimu," jawab Emeli ketus.

"Aku perduli." Nathan menarik dagu Emeli untuk melihat ke arahnya.

"Kalau kau perduli, kenapa kau harus menikahi wanita lain!" pekik Emeli berdiri dengan air mata berurai.

"Emeli, aku-?"

"Cukup Nathan! simpan kata katamu, aku tidak mau bicara lagi denganmu, sekarang juga kau keluar!" Emeli menarik tangan Nathan dengan paksa. "Keluar!" lalu wanita itu mengunci pintunya.

"Dor! Dor!

Nathan memukul pintu kamar berkali kali, " dengar Emeli, aku berjanji tidak akan menyentuhnya. Mungkin dia akan menjadi istriku, tapi aku tidak akan menjadi suaminya."

Di dalam kamar Emeli menutup kedua telinganya, ia tidak percaya lagi dengan janji yang di katakan Nathan semenjak pria itu menyetujui untuk menikahi wanita lain hanya demi Ibunya yang menginginkan seorang anak.

***

Keesokan paginya, Nathan dan Ibunya telah berangkat menuju gedung tempat resepsi pernikahan antara Nathan dan Sandra, gadis berusia 21 tahun.

Sementara Emeli tidak ingin menghadiri pernikahan itu yang hanya menyakiti hati dan perasaannya. Ia duduk ditepi tempat tidur menatap file hasil pemeriksaan dari Dokter tentang Emeli yang yang mandul sementara Nathan di nyatakan subur. Wanita itu menangis tersedu sedu, air matanya membasahi file itu. Ia biarkan dirinya larut dalam kesedihan yang entah sampai kapan. Yang pasti hari harinya akan seperti itu selama wanita itu masih satu rumah dengan madunya nanti. Kemudian ia simpan kembali file itu ke laci meja. Lalu berdiri menuju lemari pakaiannya. Ia memilih salah satu kemeja berlengan pendek. Lalu masuk ke kamar mandi.

Emeli memutuskan untuk mencari angin segar untuk menghibur dirinya sendiri. Tak lama ia telah selesai dengan tas kecil di pundaknya. Emeli bergegas keluar dari rumah menuju jalan raya.

Namun pada akhirnya Emeli kembali terpaku di tepi jalan raya sembari terisak, "tapi aku mau main kemana?" ucapnya sembari menyeka air matanya. Lalu ia menoleh ke belakang mencari tempat duduk. Lalu ia duduk di bawah pohon sembari terus terisak. Dia menginginkan udara segar? bukan, Emeli tidak menginginkan itu. Menghibur diri? juga bukan. Dia hanya ingin diam dan menangis berharap semua ini tidak terjadi padanya. Pernikahan Nathan, ia yang mandul?

"Aaahhhkkk! Emeli menjerit pelan. Rasa kecewa, rasa sakit semua bercampur menjadi satu. Pada siapa ia harus mengadu sekedar menyandarkan bahunya. Tidak ada, Ibunya sudah lama tiada, sang Ayah entah ada di mana ia sendiri tidak pernah tahu sejak kecil. Tante May? tidak, dia akan mentertawakan Emeli lalu memaksanya untuk menikahi pria tua itu lagi.

Entah sudah berapa lama Emeli terdiam duduk di bawah pohon, ia tidak perduli dengan orang yang lalu lalang memperhatikannya. Hari mulai sore, Emeli menatap langit yang menyisakan semburat oranye. Perlahan wanita itu bangun dan berdiri. Membenarkan pakaian, dan rambutnya yang berantakan. Dengan tisu ia menyeka sisa sisa air matanya. Setidaknya ia sedikit lega setelah seharian menangis. Lalu ia berjalan kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, Emeli melihat Nathan sudah kembali ke rumah tengah duduk bersama Sandra, wanita yang baru saja pria itu nikahi.

Nathan yang menyadari kedatangan Emeli langsung berdiri dan berjalan mendekat. Emeli, kau dari mana? aku mengkhawatirkanmu."

"Urus saja dirimu sendiri," Emeli menepis tangan Nathan.

"Menantu tidak tahu diri!" seru Ibu Nathan dari arah pintu. "Masih bagus kau di izinkan tinggal di rumah ini, wanita tidak berguna."

Emeli menarik napas dalam bibirnya mengatup menatap Ibu Nathan marah. "Cukup Ibu! pekik Emeli. "Kau yang melarangku pergi! lalu apa masalahnya sekarang?!"

"Emeli!" Nathan membentak Emeli untuk pertama kalinya, karena melihat Ibunya di bentak oleh Emeli.

"Apa? apa kau sekarang juga mulai mengikuti Ibumu? hah? katakan!" jerit Emeli melotot ke arah Nathan.

"Plak!"

Emeli memegang pipinya terasa sangat panas dan telinganya berdengung mendapat tamparan tak terduga dari Nathan. Air matanya kembali merembes tanpa bisa ia bendung lagi.

"Kemarin kau berjanji untuk kesekian kalinya, sekarang kau menamparku, Nath." Emeli menatap tajam Nathan.

"Kau pantas mendapatkan itu, kau sudah berani membantah suamimu sendiri dan membentakku," timpal Ibu Nathan.

Sementara Sandra yang sedari tadi diam memperhatikan, akhirnya ia berdiri menghampiti Nathan dan bergelayut manja di lengannya. "Sudahlah, buat apa ribut dengan wanita itu. Aku lelah mau istirahat."

"Nathan, kau ke kamarmu saja, biar wanita ini Ibu yang urus." Ibu Nathan berjalan menghampiri Emeli dan menarik kasar tangannya.

"Tidak Ibu! jangan sakiti Emeli. Dia istriku." Nathan menepis tangan Ibunya.

"Nathan, apa apan kau ini?" ucap Ibunya tidak suka dengan Nathan yang selalu membela Emeli.

Emeli yang sudah tidak tahan metasakan dadanya sesak dan panas, berlari menuju kamarnya. Nathan berjalan hendak menyusul Emeli, namun Ibunya mencegah. "Sudah biarkan, biar dia menyadari posisinya di rumah ini."

"Ibu!"

"Cukup Nathan!" Ibunya melotot ke arah Nathan lalu berlalu meninggalkan Nathan dan Sandra di ruang tamu. Sandra menarik napas panjang, lalu menarik paksa tangan Nathan menuju kamarnya.

***

Emeli tak dapat memejamkan matanya, ia tidur sendirian di kamar itu mulai malam ini. Mungkin untuk selamanya selama Emeli masih menjadi istri sah Nathan. Wanita itu tidak akan pernah mau di sentuh lagi oleh Nathan.

"Ya Rabb, apa salahku. Hingga kau berikanku cobaan seberat ini," ucap Emeli lirih. "Ya Rabb, berikanku kekuatan untuk menghafapi semua ini."

Emeli mengusap wajahnya pelan, lalu ia membarungkan tubuhnya di atas tempat tidur. Wanita itu berusaha keras untuk memejamkan mata dan mengistirahatkan pikirannya yang lelah. Lelah dengan masalah yang tengah ia hadapi. Wanita mana yang mau di madu. Apalagi hanya karena Eneli tidak bisa memberikan keturunan. Seberat itukah hukuman untuknya? Kembali Emeli terisak dan membenamkan wajahnya di bantal

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!