NovelToon NovelToon

Terjerat Cinta Dalam Ambisi

CHAPTER 01

Malam itu, langit terbentang gelap, hanya dihiasi oleh gemerlap bintang yang jarang. Bulan pun turut bersembunyi di balik awan yang tebal. Dan disaat yang sama, hujan turun begitu derasnya, mengubah malam menjadi pertunjukan alam yang magis, bau harum dari tanah kering yang terkena tetesan hujan menguar, menyapa setiap ingsan yang ada di bumi.

Maya yang kala itu berada di rumah sendirian, semakin meringis saat merasakan hawa dingin semakin menusuk hingga tulang. Entah kemana kedua orang tuanya pergi, ia tidak akan lagi peduli. Toh buat apa memperdulikan orang yang bahkan menganggap kita tidak ada.

Hingga suara pintu yang digedor dengan keras dari arah luar, membuat gadis itu berdecak. Meskipun saat ini rasa malas tengah menguasainya, ia tetap memaksa kaki jenjang itu untuk melangkah keluar dari kamar, menuju pintu utama.

"Maya, buka pintunya!"

Suara serak yang melengking memenuhi indra pendengaran Maya, dengan cepat gadis itu memutar kunci yang tergantung di knop pintu, membukanya selebar mungkin, hingga menampilkan seorang wanita berbadan tinggi dengan matanya yang terlihat sayu. Itu adalah ibu.

"Ibu mabuk lagi?" tanya Maya, matanya menatap tajam wanita yang kerap dipanggilnya dengan sebutan ibu itu.

Namun, bukannya menjawab wanita tua itu, justru kembali melangkah dengan sempoyongan menuju kamar, tanpa meninggalkan sepatah kata pun.

Sial! Seharusnya wanita muda itu tidak perlu berpura-pura melontarkan pertanyaan, yang sudah jelas ia sendiri tahu apa jawabannya. Masih tetap berada di ambang pintu, dengan kekesalan di hati, Maya terus memandangi punggung ibunya, yang semakin menjauh, sampai hilang ditelan jarak.

"Cuih! Apa pantas wanita seperti dia dipanggil ibu."

****

"Maya, mana jatah uang buat bapak?"

Maya yang baru saja tiba dirumah, dibuat mendengus kesal dengan kelakuan laki-laki paruh baya dengan wajah yang sudah mulai keriput itu.

"Nggak ada." Tak mau ambil pusing, gadis itu kembali melanjutkan langkah, berusaha mengabaikan laki-laki yang tengah memandangnya dengan tatapan horor.

PLAK!!

Suara itu terdengar nyaring dan cukup renyah, bersamaan dengan pipi Maya yang turut tertoleh, saat tanpa tanpa aba-aba, Burhan si laki-laki paruh baya yang bernotaben sebagai ayah kandungnya itu, menarik paksa tangan dan langsung menampar pipinya dengan kekuatan yang luar biasa.

"Udah berani kamu melawan orang tua? Mau, jadi anak durhaka!"

Maya meludah ke samping, saat merasakan darah segar dari ujung bibirnya yang robek masuk ke dalam mulut, dan tanpa rasa takut sedikitpun ia mendongak, membalas tatapan Burhan tak kalah menusuk.

Kemudian wanita itu menyeringai tajam, "Inget ya pak! Dari dulu Maya nggak pernah takut sama bapak."

Burhan yang kepalang kesal kembali mengangkat tangannya, tetapi belum sempat tangan itu kembali mendarat, Maya sudah lebih dulu menginterupsi dengan suaranya yang tegas , membuat tangan itu tertahan di udara.

"Maya bukan ATM berjalannya bapak. Jadi stop, morotin Maya dengan dalih apapun itu."

Wanita itu melengos pergi, dengan amarah yang bergejolak dalam tubuhnya. Ia membanting pintu kamar yang sudah terlihat rapuh karena dimakan rayap, tak peduli jika pintu itu akan lepas dari tempatnya.

Tubuhnya masih sangat lelah, karena pekerjaan yang tak kunjung selesai di tempatnya mencari pundi-pundi cuan yang tidak seberapa itu. Dan kini hati dan otaknya sudah diikutsertakan merasakan rasa lelah itu.

Lahir dari rahim seorang pemabuk, dan dibesarkan seorang pecandu judi bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Oh maaf … sepertinya harus diralat, Maya tidaklah dibesarkan oleh kedua orang tuanya, tetapi gadis itu dibesarkan oleh keadaan yang terus mendesaknya untuk menjadi wanita yang kuat, memiliki sepasang orang tua toxic bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Mereka terus menuntut anaknya agar selalu menuruti semua keinginan mereka. Jika ada yang melawan sudah pasti, embel-embel anak durhaka akan disematkan pada mereka seumur hidup. Jika anak pembangkang disebut durhaka, lantas … sebutan apa yang pantas untuk orang tua toxic, yang tidak pernah memenuhi kewajiban mereka terhadap anak?

Masih dengan seringaian tajam di wajah cantiknya, ia terus menatap langit-langit rumah, yang entah sejak kapan dipenuhi oleh sarang laba-laba. Ia merasa muak dengan keadaan yang tidak pernah berpihak kepadanya, berulang kali ia mencoba sabar, tetapi ia tidak pernah mendapatkan apa yang ia inginkan.

Hingga otaknya kembali mengingat kejadian beberapa jam kebelakang. Saat dimana matanya menangkap seorang gadis yang bisa ia tebak usianya jauh di bawahnya, tengah berjumbu rayu dengan laki-laki yang bahkan lebih tua dari ayahnya.

Pakaian glamour, tas branded, juga kilauan perhiasan yang gadis itu kenakan sudah tentu bisa menjadi jawaban dari pertanyaan Maya yang masih tersimpan rapat di benaknya.

Menjadi simpanan om-om.

Damn it! kalimat itu terlintas begitu saja dalam otaknya. Maya tahu itu bukan hal baik, tapi apa salahnya dicoba?

Layaknya menemukan air di gurun yang gersang, gadis itu bangkit dengan semangat yang membara, sejenak ia melupakan keluh kesah yang selama ini ia rasakan. Dengan bermodalkan wajahnya yang memang terpahat dengan sempurna, sudah dapat dipastikan, mendapatkan lelaki hidung belang bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.

Gadis itu berjalan mengendap ke ruangan yang biasa ibunya gunakan untuk bekerja sebagai tukang laundry, usaha yang digeluti wanita itu memang tidak terlalu besar, tapi tidak sedikit pula pelanggan yang berasal dari kalangan menengah ke atas.

Perlahan Maya menyalakan saklar lampu yang akan membantunya melihat dengan jelas dari gelapnya malam, memperlihatkan tumpukan baju yang sudah siap untuk diambil pemiliknya.

Mungkin keadaan tengah berpihak kepadanya, diantara banyaknya tumpukan baju, matanya berhasil menangkap gaun berwarna putih yang tidak terlalu vulgar, tetapi terlihat sangat elegan dengan desainnya yang simpel tergantung di dinding.

Tanpa pikir panjang ia segera mengambil gaun itu dan bergegas pergi. Naasnya, Maya yang terlalu tergesa tanpa sengaja menyenggol sebuah kotak yang berada di atas meja, untung saja tangannya cepat tanggap dan berhasil menangkap kotak itu sebelum mendarat ke lantai keramik.

"kotak apaan nih?" gumam gadis itu dengan menyerngit heran, karena rasa kepo yang tinggi berhasil membuat tangan miliknya, bergerak nakal membuka kotak berbentuk persegi panjang itu.

"Duit!" ujarnya setengah berteriak bersamaan dengan netra beningnya yang turut melebar, untung saja ia masih bisa menahan agar tidak kelepasan.

"Emang kalau rezeki, gak bakal kemana," sambung Maya, wanita itu tertawa penuh kemenangan meski tanpa suara, saat berhasil memasukkan beberapa lembar uang seratus ribuan kedalam saku celana.

"Oke, Maya. Saatnya beraksi!"

*****

Jika malam kemarin hujan melanda, maka tidak dengan malam ini. Dengan memakai gaun putih selutut yang sangat pas di tubuhnya yang indah, lalu dipadukan dengan heels berwarna sedana dan rambut panjang yang bergelombang di bagian bawah, Maya melangkahkan kakinya menuju sebuah restaurant mewah dengan nama The Elite Eateries yang terpampang jelas di atas pintu masuk.

Saat pintu itu dibuka oleh dua orang berotot, tanpa ragu Maya segera memasuki ruangan yang dipenuhi oleh cahaya berkilauan. Bau semerbak dari bunga Lavender, mampu menciptakan suasana yang romantis dan Anggun.

Mata gadis itu bergerilya, layaknya musang yang tengah mencari mangsa, dan hap! Gadis itu kembali memunculkan senyum di bibirnya yang berwarna pink alami, saat netranya menatap seorang laki-laki yang duduk sendirian di ujung ruangan dengan segelas orange jus di hadapannya.

"Target found!"

Maya mengedipkan matanya, Ini semua sesuai dengan rencana yang sudah dirancang, dan benar saja, tebakannya tidak meleset, bahwa disinilah tempatnya para konglomerat itu menghamburkan uang yang mereka punya.

Dengan tubuh yang jenjang dan kepala yang tegak, ia berhasil memancarkan kesan seorang jutawan. Gadis itu melangkah dengan percaya diri melewati semua orang yang tengah menikmati hidangan mereka. Kedua sudut bibirnya semakin terangkat sempurna, saat jaraknya dengan sosok itu semakin dekat.

Naas, kejadian buruk menimpanya, seorang waiters tanpa sengaja menabrak dan menumpahkan minuman yang membuat gaunnya menjadi kotor. Gadis itu memejam kuat-kuat, mencoba menahan gejolak emosi yang meronta ingin keluar, sebelum kemudian kembali membuka mata dengan menghembuskan nafas jengah. Tanpa dirinya sadari, kini semua atensi tengah mengarah kepadanya, termasuk laki-laki itu.

"M-maaf, maafkan saya! Saya tidak sengaja," ujar seorang waiters itu, dengan tangan bergetar ia mencoba membersihkan gaun yang Maya kanakan.

Maya yang bingung harus merespon bagaimana hanya bisa turut membersihkan gaun yang sudah kotor itu, ini melenceng jauh dari prediksinya.

"It's okey, nggak papa-nggak papa!" ucapnya dengan lembut, berusaha menghentikan aksi waiters itu.

Ternyata, keributan kecil itu berhasil sampai di telinga sang Manager. Dengan langkah cepat seorang Pria berpostur tegap dan penuh percaya diri, menghampiri Maya. Wanita itu mengalihkan pandangan pada pria yang sudah berdiri di hadapannya saat ini. Dan tepat di dada bagian kanan, ia mampu membaca dengan jelas apa jabatan pria itu.

"Selamat malam, saya adalah Hanum. Manager sekaligus penanggung jawab utama di restaurant ini," ucap pria yang diketahui bernama Hanum itu.

"Kami sangat menyesal atas ketidaknyamanan yang anda alami." Lanjutnya dengan raut penuh penyesalan, membuat Maya tersenyum sanksi.

Maya tidak tahu harus merespon bagaimana, pasalnya jika makam di pinggir jalan, biasanya orang yang bersangkutan akan langsung marah dan mencaci para pelayannya. Tapi tidak, Maya harus terlihat baik untuk menjaga citra dirinya. Wanita itu segera menunjukan senyum manis, yang ia punya sebagai jawaban.

"Untuk mengganti ketidaknyamanan yang Anda alami, kami ingin menawarkan hidangan ini kepada Anda secara gratis. Selain itu, kami juga akan menghadirkan minuman penutup untuk Anda sebagai tanda maaf kami." Kata Hanum lagi.

"Terima kasih atas tindakan Anda yang proaktif dalam menyelesaikan masalah ini. Saya sangat menghargainya."

Terlihat helaan nafas lega dari bibir Hanum, sesaat setelah Maya menyelesaikan ucapannya.

"Tentu saja, kami sangat menghargai kunjungan Anda ke Resto kami ini, dan tujuan kami ingin memastikan bahwa Anda memiliki pengalaman yang menyenangkan di sini. Jika ada hal lain yang kami bisa bantu, jangan ragu untuk menghubungi saya atau tim kami. Terimakasih!" Hanum kembali berucap, sebelum beranjak pergi meninggalkan Maya dengan baju kotornya.

Huft!

Bukan hanya Pak Hanum, Maya pun turut menghembuskan nafasnya dengan lega. Meski sempat dibuat kehabisan kata-kata, ternyata kejadian ini juga tidak terlalu buruk, buktinya Ia bisa makan tanpa perlu membayar.

Setelah dirasa semuanya beres, gadis itu kembali menatap tempat duduk pria tadi, tetapi sialnya ... sudah tidak ada siapa-siapa disana, kecuali sebuah kartu nama sebuah Perusahaan yang mungkin terjatuh saat pemiliknya beranjak pergi.

Wanita itu berdecak, lantas tersenyum dengan culas, mata indahnya sama sekali tak lepas dari kartu kecil yang sekarang ia pegang.

"It's okay. Mungkin bukan sekarang, tapi lihat saja besok."

****

Hallo semuanya sebelum lanjut, Aku ada recomand cerita bagus nih! Dijamin ketagihan kalau udah baca mah🤗🤗🤗

Terimakasih😉

CHAPTER 2

"Welcome back to your home, my boy."

Suara itu menggema, mengisi setiap sudut ruangan yang terlihat mewah dengan langit-langit yang menjulang tinggi dan sejuk. Lantainya dipoles dengan marmer import, memberikan cahaya dan kilauan eksklusif yang memantul dari lampu gantung berbentuk kristal besar yang terletak di atas langit-langit.

Pintu utama rumah terbuka lebar, membuat cahaya hangat dari dalam memancar keluar. Sebuah siluet seorang pria tampak di ambang pintu, dan dengan langkah berat, dia masuk kedalam rumah, sebelum pintu di belakangnya kembali tertutup dengan lembut.

Seorang pelayan, dengan segera mengambil alih tas kerja yang sempat pria itu tenteng, lantas membiarkan sosok itu terus berjalan hingga menerima pelukan hangat dari sang ibu yang sudah menunggu kepulangannya.

"Gimana kerjaan kamu hari ini?" tanya wanita berkacamata itu, setelah melepaskan pelukan keduanya, pandangan wanita itu tertuju pada anak semata wayangnya dengan lembut, tetapi terlihat sangat tegas.

Pria itu hanya mengedikan bahu dengan menampilkan senyuman yang ia poles setulus mungkin, tangannya bergerak mengendurkan dasi panjang yang terasa mencekik leher.

"Yah, seperti yang mama lihat sekarang," jawab pria itu, kemudian berjalan menjauh guna mendaratkan tubuhnya pada sofa yang terlihat empuk di hadapannya.

Pria itu meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, akibat bekerja seharian. Jabatan barunya sebagai direktur utama, di umurnya yang baru menginjak 28 tahun, ternyata bukanlah hal yang mudah, ia harus bekerja lebih keras daripada tahun lalu. Meski perusahaan yang ia kelola adalah perusahaan resmi milik keluarga, tetapi tetap saja, ia harus memenuhi tanggung jawab dan bekerja lebih ekstra untuk terus memajukan perusahan yang berjalan di bidang furniture ini.

"Lantas bagaimana dengan Lady? Apakah kalian sudah bisa bekerja dengan baik, sebagai bos dan sekretaris?"

Wanita itu turut mengambil posisi duduk disamping anaknya, membuat sang empu bergerak, guna memperbaiki duduknya agar lebih tegap dan nyaman. Kemudian ia menoleh menatap lawan bicara yang sepertinya sudah tidak sabar menunggu respon darinya.

Terdengar helaan nafas yang cukup panjang, sebelum akhirnya ia berkata. "Ma, Jangan membahas dia sekarang. Aku capek, jadi izinkan aku pergi ke kamar untuk membersihkan diri."

****

Srekk!!!

Maya mendongak, saat beberapa lembar kertas yang tertata rapi di sodorkan kearahnya dengan kasar.

"Raffi delacroix, laki-laki yang baru-baru ini diangkat sebagai seorang CEO di perusahaan besar yang didirikan oleh kakeknya. PT Delacroix utama" ucap seorang gadis berkuncir kuda, tatkala mengingat artikel-artikel yang baru saja ia cari di Media Sosial.

"Lo yakin, mau jadiin dia target? Lo gak takut jatuh cinta beneran sama dia, secara gue lihat-lihat dia tampan juga, " sambung Emellyn, sembari membuang puntung rokok ke sembarang arah.

"Ck! Cinta lo bilang? Sorry, tapi bagi gue cinta tu gak ada, cinta cuma bullshit. Dan satu lagi, money number one, cinta bisa belakangan. Ngerti lo!"

"Dengan segala cara yang ada dipikiran lo, lo bener-bener sahabat gue yang gila. Otak licik lo itu emang gak pernah berubah." Emellyn bertepuk tangan, raut wajahnya penuh ketakjuban yang tak dapat lagi dijabarkan oleh kata-kata.

Mendengar itu, membuat Maya berdiri dari duduknya, lalu bergerak mendekat pada Emellyn yang masih setia menatapnya dari dekat jendela. Sesampainya di sana, ia langsung bersedekap dada, lantas menyeringai. "Itu tak tik, Emellyn sayang."

"Dan lo inget ini, Kancil bukan hewan yang licik. Tapi dia hewan cerdik!" imbuhnya dengan mengetukkan telunjuk tepat di pelipis.

****

Maya yang baru saja hendak masuk kedalam rumah, terpaksa harus kembali mengurungkan niatnya, ia menghela nafas saat mendengar kedua orang tuanya tengah beradu argumen di dalam sana.

Sesekali gadis itu meringis saat mendengar salah satu diantara mereka melayangkan tamparan terhadap lawan, tetapi hal itu sama sekali tak menggugah emosi dalam dirinya untuk ikut masuk, atau bahkan sekedar memisahakan keduanya.

"Apa? Itu urusanku, kamu cuma laki-laki gak tau diri, yang numpang hidup sama aku, Mas."

"Mana tanggung jawab kamu sebagai suami?"

"Kamu cuma bisa morotin uang hasil jerih payahku. Kamu ambil semua tabungan ku, cuma buat judi gak guna itu."

Sudah pasti itu Mia yang berteriak, suaranya sangat keras dan melengking layaknya orang kesetanan.

Plak…!!!!

"Brengsek! Dasar Wanita gak tau diuntung! Nggak anak, nggak ibu sama-sama gak bisa menghargai suami!"

Terdengar sebuah tawa yang mengudara, setelah Burhan selesai mengucapkan kalimat itu.

"Menghargai kamu bilang? Apa yang perlu aku hargai dari kamu, Mas?"

Setelah menahan diri untuk tidak masuk kedalam rumah, akhirnya Maya memilih masuk dengan memasang earphone pada kedua telinganya, toh hal seperti ini juga sudah menjadi makananya sethari-hari, jadi wajar saja bila ia bisa sesantai seperti sekarang ini.

"Itu, Lihat dia anak kamu! Jangan cuma mabok-mabokan bisanya, ajarin juga anaknya sopan santun."

Reflek Maya menghentikan langkahnya, tanpa menoleh ia meremas kuat ujung bajunya, berusaha menyalurkan segala rasa emosi yang meletup begitu saja. Begitu pula dengan Mia, wanita paruh baya itu menoleh, mengikuti arah yang dimaksud Burhan, suaminya.

"Dia anak kamu juga, kalau kamu lupa itu! Seharusnya kamu juga punya hak sepenuhnya buat ngajarin sopan santun ke dia." hardik Mia, dengan menunjuk Burhan tepat di wajahnya, "Lain kali intropeksi diri, Mas. Bukan cuma mencaci orang, bisanya!"

"Stop! Maya bilang stop" Maya yang sedari tadi diam, kini turut bersuara juga. Wanita muda itu memekik, berusaha mengambil atensi dua orang paruh baya yang berada tak jauh darinya.

Setelah dirasa kedua atensi berhasil ia dapatkan, wanita itu kembali membuak suara, dengan dada yang naik turun tak karuan, serta urat-urat leher yang terlihat menonjol. "Kalian berdua itu sama aja, dan kalian bukanlah orang tua, kalian itu hanya dua orang manusia yang sama-sama mentingin ego masing-masing."

"Maya muak sama kalian!"

Tanpa ba-bi-bu lagi, wanita muda itu segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan dongkol yang luar biasa. Sepertinya jalan yang ia pilih sudah benar, ia harus segera keluar dari lingkungan toxic ini.

"Gue harus bisa dapetin lo secepatnya, tuan Raffi delacroix."

****

Tanpa mau berpikir lebih lama lagi, tepat di hari ini, Maya akan menjalankan segala aksi yang sudah ia rencanakan di hari kemarin.

Dengan memakai gaun selutut berwarna coklat muda, gadis itu berdiri di sebuah halte, yang berada tepat di depan gedung cakar langit yang berdiri megah dengan tulisan PT. DELACROIX yang nampak indah di atas sana.

Benar saja, tanpa menunggu lama seorang yang tampak gagah dengan setelan jas berwarna hitam, dengan potongan yang presisi dan bahan wol berkualitas tinggi keluar dari gedung. Dia adalah Raffi delacroix, Maya bergegas menghampiri pria itu, dan semuanya, berjalan dengan lancar, tetapi sayang … nampaknya pria itu, sama sekali tak menggubrisnyai, membuatnya berdecak kesal, karena rencana awalnya harus gagal.

Ternyata, mendekati CEO tampan itu, tidak semudah yang ia pikirkan. Sehari, dua hari berlalu begitu saja, tanpa membuahkan hasil apapun. Raffi tidak seperti pria-pria pada umumnya, ia tampak dingin dan sangat tertutup, membuat Maya harus memutar otak dua kali lipat dan mengubah semua rencana awalnya.

Hingga tepat di hari ke 15, seharusnya hari ini Maya harus pergi ke suatu museum yang juga akan dihadiri oleh Raffi delacroix. Tetapi alam sepertinya tampak tak mendukung, sebagai karyawan biasa dalam sebuah perusahaan, tentu ia harus menjalani segala perintah yang diberikan dari para atasannya, dan berbeda dari beberapa hari yang lalu, hari ini banyak sekali pekerjaan yang harus ia selesaikan dengan cepat, bahkan di waktu jam makan siang pun, ia masih harus bekerja.

Huft! Memang sangat melelahkan.

Sampai jam menunjukan pukul 8 malam, wanita muda itu, baru bisa lepas dari segala pekerjaannya.

Dengan cepat ia langsung bergegas untuk meluncur ke tempat tujuannya. Dan benar saja, acara sudah dimulai, saat ini museum penuh dengan para tamu undangan, susah payah Maya harus mencari jalan untuk masuk ke dalam sana.

"Akhirnya," ucap gadis itu dengan nafas yang tak beraturan.

Setelah dirasa nafasnya mulai kembali ke ritme semula, wanita itu segera menegakkan tubuhnya, dengan terus berjalan, matanya terus bergerak kesana kemari, guna mencari seseorang itu.

Dan ya … ternyata seorang Raffi delacroix baru saja keluar dari salah satu ruangan bersama beberapa rekannya. Saat hendak berjalan untuk mendekat, seorang dari arah yang berlawanan menabrak tubuhnya hingga tersungkur ke lantai.

"Aw! ****...," rintih Maya, saat merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Gadis itu berdecak, dengan tangan yang ia kibas-kibaskan karena debu yang menempel di sana. Lantas gadis itu menoleh kebelakang, yang sialnya pelaku yang telah menabraknya berlalu begitu saja, tanpa mau meminta maaf atau semacamnya.

"Ck! Dasar manusia gak berperasaan. Udah nabrak orang, gak bilang maaf lagi!"

Maya terus menggerutu kesal, hingga tanpa disadari ada seseorang yang sudah berdiri di sampingnya, dan entah sejak kapan ia berada di sana, yang jelas sosok itu telah mengulurkan tangannya, guna membantu Maya.

Maya yang tidak menyadari kehadiran laki-laki itu sempat dibuat kaget, dengan gerakan perlahan ia mendongak, menatap siapa gerangan pemilik tangan kekar yang terulur untuknya. Dan benar saja, saat ia berhasil menatap wajah itu sepenuhnya, membuat senyum terbesit dadi bibirnya.

Sepertinya, ia tidak perlu repot-repot lagi mencari keberadaan Raffi delacroix, karena dia sendiri yang sudah menghampiri dan kini pria itu sudah berada tepat di hadapannya.

"Sepertinya Anda butuh bantuan!" Ucap Raffi, dengan suara bariton khas miliknya. Tak kunjung mendapat jawaban membuat, ia mengangkat salah satu alisnya.

Maya yang sadar akan kelakuan bodohnya, langsung memejamkan mata, guna mengembalikkan titik fokus yang entah sempat hilang kemana. Kemudian dengan senang hati ia menerima bantuan itu.

"Terimakasih, Pak," ucapnya, sembari sedikit membungkukkan badan, setelah berhasil berdiri.

Raffi sendiri hanya membalasnya dengan senyum tipis-tipis, setelah dirasa cukup, ia memilih untuk beranjak dari tempatnya.

Maya sendiri terus menatap punggung besar itu yang mulai berjalan menjauh, dengan kembali tersenyum ia bermonolog, "Trimakasih, dan selamat bermain dalam permainan yang saya ciptakan."

*****

Hai ... Hai ... Hai.

Aku balik lagi nih!!!

Semoga kalian suka:)

Jangan lupa tinggalin jejak ya!!!

******

Oh iya, Sembari nunggu part selanjutnya, aku ada rekomendasi Novel yang bagus nih, dijamin nagih dan juga seru:). Jangan lupa mampir🤗🤗

CHAPTER 3

Matahari belum sepenuhnya memunculkan jati diri, tetapi Maya sudah lebih dulu membuka mata. Karena mungkin, hari ini akan menjadi hari yang sibuk untuk karyawan seperti dirinya. Wanita itu menghembuskan nafas jengah, saat netranya menatap penuh pantulan diri dari cermin yang menyatu dengan lemari kayu di hadapannya.

Perlahan ia bangkit dari ranjang dan bergegas masuk kedalam kamar mandi, yang terletak pada bagian paling belakang rumahnya. Tak perlu waktu lama, wanita itu sudah kembali dengan setelan baju kerja yang biasa ia kenakan. Setelah dirasa cukup, Maya segera beranjak untuk mencari angkutan umum yang biasa ditumpanginya.

Hari ini adalah hari dimana perusahaan tempatnya bekerja akan menjadi tuan rumah untuk sebuah perkumpulan proyek besar, dan ia ditugaskan untuk membantu para cleaning service mempersiapkan semua keperluan, agar tidak mengecewakan nantinya.

Hampir satu jam berada di dalam angkutan umum, akhirnya Maya sampai juga di tempat tujuannya. Ia langsung lari terbirit-birit saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya hampir menyentuh angka 7, dan ia langsung menempelkan kartu absensi pada mesin yang ada di bagian resepsionis.

"Huft! Untung tepat waktu!"

"Baru berangkat lo? Sini cepet, bantuin gue!" Ujar seorang wanita lain, yang tengah kewalahan membawa beberapa berkas di tangannya. Maya yang mengerti, segera mengangguk dan mengambil alih beberapa dokumen besar dari tangan Nadira ( rekan kerjanya).

"Ini gue langsung ke atas?" tanya Maya memastikan, agar tidak salah nantinya. Nadira pun mengangguk memberi jawaban.

"Oh iya, ntar kalau udah selesai, lo langsung temuin gue di ruang fotocopy! Sibuk banget kita hari ini!" sambung Nadira yang kepalang pusing, memikirkan pekerjaannya yang sangat amat menumpuk.

Sedangkan Maya hanya mengedikan bahu sebagai jawaban, lantas wanita itu, segera berlari menaiki tangga untuk menuju lantai 5. Kenapa dia tidak menaiki lift saja? Ya karena peraturan di perusahaan ini lift karyawan hanya boleh beroperasi mulai pukul 8, sebelum jam itu semua yang berkepentingan harus rela naik tangga darurat.

Akhirnya gadis itu sampai juga pada tempat tujuannya, pintu dihadapannya masih terbuka lebar, tanpa permisi ia langsung masuk begitu saja. Di dalam sana, sudah banyak karyawan lain yang jabatannya sama dengan Maya, juga ada beberapa cleaning service yang tengah sibuk membersihkan ruangan.

Setelah meletakkan berkas yang ia bawa pada tempatnya, gadis itu bergerak mendekat pada meja panjang yang ada di tengah ruangan, merasa penasaran dengan nama-nama yang tertera di sana.

Matanya menelisik, membaca satu persatu nama itu, hingga tepat di barisan paling depan, seketika pupil matanya membesar, disertai garis yang muncul diantara alisnya. Ia menyelipkan rambut panjang ke belakang telinga, memastikan bahwa mulutnya tidak salah membaca.

"Raffi Delacroix…" lirihnya kembali mengeja tulisan itu.

"Kenapa muka lo gitu banget?"

Maya terlonjak kaget, saat tiba-tiba seorang laki-laki menepuk pundaknya, dia adalah Haris, salah satu rekan kerja yang paling dekat dengannya.

"E-eh anu, nggak, nggak papa" jawabnya gelagapan, "kayak nggak asing aja gitu sama nama ini!" sambung Maya, tangannya bergerak mengangkat kertas dari atas meja. Membuat haris berdecak dengan tawa yang mengudara.

"Maya … Maya, aneh banget lo. Siapa juga yang bakal ngrasa asing sama seorang direktur muda yang namanya tengah jadi trending topik di semua media."

Oke, Maya paham sekarang, tak lagi memperdulikan keberadaan Haris, wanita itu menyeringai, menatap tulisan itu dengan tatapan licik. Hingga suara seorang menginterupsi namanya untuk segera melakukan pekerjaannya.

Sesuai perintah Nadira, Maya kembali bergegas cepat menemui wanita itu, yang ternyata memang sudah menunggunya.

"Kemana aja sih lo? " ketus wanita itu, "Nih, sekarang bagian lo, bawa ke ruangan Pak HRD!"

Tak ingin semakin membuat wanita itu emosi, dengan berat hati Maya kembali berjalan dengan beberapa lembar fotocopy-an yang kelewat tebal di tangannya.

Namun, ditengah perjalanan, mata Maya berhasil menangkap siluet seseorang, dan memutuskan untuk mengikutinya. Hingga langkah mereka mereka masuk ke dalam lift yang dikhususkan untuk kalangan HRD, maupun orang-orang penting lainnya.

Saat Maya hendak ikut masuk, langkahnya harus berhenti tepat saat wanita yang bersama pria itu, menginterupsi, ia sedikit mendongak guna menatap wanita, yang ternyata juga tengah menatapnya heran.

"Ngapain kamu disini? Kamu nggak tahu, kalau ini lift kusus buat para petinggi perusahaan?"

Maya yang awalnya masih setengah menunduk, mencoba memberanikan diri menatap wanita yang tengah berbicara kepadanya. Dengan wajah polosnya ia menggeleng pelan. "M-maaf bu, saya tidak tahu."

"Kamu karyawan di perusahaan ini bukan?"

Maya kembali mengangguk.

"Lalu, kenapa kamu bisa tidak tahu peraturan disini! Pergi sana, lewat lift lain!"

Maya menurut saja, gadis itu berbalik badan, tetapi saat kakinya melangkah, suara lain dari arah belakang berhasil menahan langkahnya.

"Masuk aja! Kamu pasti lagi buru-buru."

Maya kembali menoleh dengan senyuman tipis yang dibiarkan mengembang, tanpa pikir panjang wanita itu kembali masuk ke dalam lift, tak memperdulikan sosok wanita yang tengah menatapnya sinis.

Dalam hati kecil Maya, ia tengah bersorak ria, rencanya tidak sia-sia. Bahkan gadis itu mencoba mengulum senyum saat menyadari seorang Raffi Delacroix mencoba mencuri padang kepadnya melalui ekor mata.

Hingga lift terbuka, Maya segera keluar, ia sedikit membungkukkan badan, sebagai tanda hormat. "Maaf jika saya merepotkan kalian. Sekali lagi terima kasih."

Lift kembali tertutup, membiarkan Raffi berdua bersama sekretarisnya. Wanita itu tampak bersedekap dada dengan raut tidak bersahabat.

"Maaf pak, seharusnya anda tidak melakukan hal seperti tadi," celetuknya menatap Raffi. Raffi sendiri segera menoleh menatap sekertaris pribadi yang dipilihkan oleh orang tuanya itu.

"Kamu nggak lihat, tadi dia sedang buru-buru!"

"Tapi kan pak, kita jadi telat sekarang!" sanggah wanita yang diketahui bernama Lady, mencoba membela diri.

Raffi membuang muka, lantaw matanya bergerak menatap gelang jam bermerk Rolex yang melingkar gagah di tangan kekarnya, sebelum kembali menatap Lady dengan datar.

"Kita masih punya waktu 20 menit."

"Dan karyawan tadi, bisa saja dipecat karena telat sedetik saja, apa kamu tidak memikirkan hal itu? Dimana hati nurani kamu?"

****

Hufft…

Entah sudah berapa kali, wanita bersurai pajang dengan sedikit gelombang dibagian bawah yang dibiarkan terurai itu menghembuskan nafas lega.

Perlahan ia menutup kedua kelopak mata, membiarkan hembusan angin menerpa wajah cantiknya. Mencoba menikmati kesejukan alam dari atas gedung yang menjulang tinggi. Di Bawah sana lampu jalan terlihat lebih gemerlap dan indah dari atas sini, membuat mata Maya kembali segar, setelah seharian penuh bergulat dengan pekerjaan yang tiada habisnya.

Hingga suara deheman dari arah belakang, berhasil merebut atensinya. Wanita itu menoleh dengan raut kaget, saat netranya berhasil menatap seorang tengah berjalan ke arahnya.

"Maaf, jika kedatangan saya membuat anda terganggu." gumam pria berjas warna abu-abu yang terlihat mewah, yang tiba-tiba berdiri di samping Maya.

Maya menggeleng. "Oh, tidak masalah Pak. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dibuat selembut mungkin.

Bukannya menjawab, Pria itu justru turut melontarkan pertanyaan. "Kamu tahu saya?"

Pertanyaan itu membuat dahi Maya menyerngit, Ia menatap Pria di hadapannya dengan tatapan penuh tanya.

"Maksud Anda?"

Pria itu kembali mengulangi ucapannya. "Apa kamu tahu, siapa saya?"

Ah iya, Maya mengerti sekarang. Ia memilih untuk mengangguk sebagai jawaban. "Tentu saya tau, lagi pula siapa yang tidak mengenal seorang Direktur utama di perusahaan besar, yang bahkan cabangnya tersebar hampir di seluruh Indonesia."

"Tidak usah berlebihan!" ujar pria itu, dengan kembali memfokuskan padangannya ke arah depan.

Setelah selesai menghadiri rapat penting untuk menyetujui kerja sama antar dua perusahaan. Raffi yang memang lebih senang menikmati kesendirian, memutuskan untuk pergi ke atas rooftop, yang ternyata ia menemukan seorang wanita juga tengah berada di sana, sebelem akhirnya memutuskan untuk menghampirinya.

Maya tak menggubris, wanita itu turut memfokuskan pandangannya ke depan. Hingga pria disampingnya kembali membuka suara.

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

Maya kembali menatap lawan bicaranya, tentu mereka pernah bertemu bahkan tidak hanya sekali. Tapi gadis itu memilih untuk diam, layaknya mengingat sesuatu yang pernah terjadi, hingga sebuah decakan keluar dari mulutnya.

"Maaf pak! Tapi saya tidak mengingatnya."

Dengan memasukan kedua tangan kedalam saku celana, Raffi mengulum senyum dari bibir indah yang terpatri di wajahnya. Tentu saja ia sangat ingat, jika wanita yang saat ini berada di sampingnya adalah wanita yang selalu dilihatnya belakangan ini, entah itu memang kebetulan atau bagaimana, yang jelas ia tidak akan lupa itu.

"Di sebuah resto, di halte, di museum, dan beberapa tempat lainnya, selama 15 hari kebelakang," perjelas pria itu, tetapi wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi.

Maya turut mengembangkan senyum di wajah cantiknya, seperti menemukan sebuah memori kecil yang sempat menghilang. "Iya, saya memang berada disana beberapa hari lalu, tapi saya rasa, saya tidak melihat Anda."

"Apakah kamu suka seni?" Raffi kembali mengutarakan pertanyaan, layaknya sebuah penyelidik yang tengah menjalankan tugas.

Maya mengangguk, " tentu, bagi saya melihat segala jenis kesenian adalah healling terbaik."

Pria itu kembali menganggukan kepalanya, tetapi kali ini disertai dengan sedikit senyuman. "Oke, saya paham!"

"Jadi perkenalkan…"

Maya mengangkat kedua alis, saat tiba-tiba tangan kekar itu terulur ke arahnya, dan dengan sedikit ragu Maya tetap menerimanya, guna menyatukan dua tangan untuk saling menggenggam.

"Saya … Raffi delacroix" sambung pria itu, dengan tutur kata yang lembut, juga wajah yang sedikit melunak.

Maya sendiri, dengan cepat mengangkat dagunya, menatap Raffi mantap.

"Dan saya, Maya gralind."

Jangan Lupa tinggalin jejak kalian:)

*****

Hai ... Hai ... Hai. Sebelum lanjut mampir dulu nih ke cerita horor, dijamin gak nyesel bacanya, terutama bagi kalian para penyuka genre horor🤭🤭

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!