"Kenapa aku tidak bahagia dengan pernikahan ini? Bukannya bisa menikah dengan Kak Langit adalah salah satu impianku? Tapi kenapa, kenapa aku merasakan hampa di acara ini? Padahal semuanya terlihat mewah dan semuanya sesuai dengan pernikahan impianku," Qirani membatin dengan ekor mata yang melirik ke arah pria yang mengenakan tuxedo abu-abu di sampingnya. Langit Radhitya Ganendra, Pria tampan yang merupakan cinta pertamanya sekaligus kekasih almarhum Kakaknya.
"Aku tahu kenapa. Mungkin karena aku tahu, kalau pernikahan ini terjadi, karena jantung kak Luna ada di tubuhku. Dia menjadi suamiku secara fisik, tapi tidak dengan hatinya. Dia hanya menikahi jantungku! Ya, aku yakin, kalau alasan inilah yang membuat aku tidak bahagia dengan pernikahan ini," batin Qirani lagi.
"Kak, apa Kakak tidak bisa sedikit saja tersenyum?" ucap Qirani buka suara, memecah keheningan di antara mereka berdua.
Langit tidak menjawab sedikitpun. Pria itu hanya melirik ke arah Qirani dengan lirikan datar tanpa adanya perasaan cinta sedikitpun.
"Kalau seandainya yang menjadi pengantinku adalah Kaluna, mungkin bibir ini tidak akan pernah berhenti tersenyum," Langit berbisik pada dirinya sendiri.
"Woi, selamat Bro. Aku kira, setelah Kaluna pergi Kamu akan terpuruk, ternyata kamu langsung menemukan penggantinya. Kamu begitu beruntung, Sob. Kakaknya sudah tidak ada, kamu malah dapat adiknya yang ternyata tidak kalah cantik," ucap seorang laki-laki yang juga memiliki paras tampan. Laki-laki itu adalah Rico, sahabat Langit.
"Kamu bisa diam tidak? Kalau boleh memilih, aku justru menginginkan Kaluna yang ada di sini," ucap Langit dengan tatapan sengit tidak peduli dengan ucapannya yang pasti melukai Qirani. Bagaimanapun ucapan Langit tadi, secara tidak langsung menyiratkan kalau dirinya tidak diinginkan oleh pria itu.
Qirani memalingkan wajahnya karena wanita itu akan menangis.Dengan perlahan Wanita itu pun menyeka air matanya.
Rico yang melihat itu seketika merasa tidak enak dan mengedipkan matanya, memberikan isyarat pada Langit.
Langit melirik ke arah Qirani dan mengembuskan napasnya dengan sekali hentakan.
"Kamu menangis?" pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu laki-laki itu tanyakan karena dia sudah tahu jawabannya. Namun dengan bodohnya dia tanya juga.
"Ti-tidak, Kak. Sahut Qirani, tersenyum tipis.
"Tidak perlu kamu tutupi. Aku tahu kamu itu menangis. Tapi, aku rasa kamu tidak perlu menangis hanya hal sepele seperti itu. Jangan merasa kalau kamu yang paling sakit di sini. Kamu sakit, aku juga lebih sakit," ucap Langit, tanpa menoleh ke arah Qirani.
Qirani sama sekali tidak menjawab. Wanita itu kini hanya menundukkan kepalanya.
Rico semakin merasa tidak enak, karena dirinya yang membawa-bawa nama Kaluna lah makanya terjadi kondisi tidak mengenakkan ini.
"Emm, aku turun dulu ya! Sepertinya aku lapar lagi dan mau cari makanan," ucap Rico mencari alasan agar bisa pergi dari hadapan pengantin baru itu.
"Maaf untuk yang tadi," ucap Langit akhirnya setelah sahabatnya benar-benar pergi.
"Maaf untuk apa, Kak? Yang kamu katakan tadi benar. Aku tidak apa-apa kok," sahut Qirani berusaha untuk tersenyum.
Langit, menghela napasnya dan berat dan menundukkan kepalanya. Raut wajah Kaluna, wanita yang sangat dia cintai kembali datang ke pikirannya, membuat pria itu ingin menangis.
"Sayang, apa kabarmu di sana? Lihat, aku sudah menunaikan pesanmu untuk menikahi adikmu. Tapi, please jangan minta aku untuk mencintainya. Karena cintaku sudah habis di kamu, sisanya aku hanya melanjutkan hidup," batin Langit dengan cairan bening yang akhirnya berhasil lolos keluar dari sudut matanya. Namun, dengan cepat dia seka, agar tidak ada yang tahu.
"Yang tenang di sana ya, Sayang. Mudah-mudahan kita bisa dipertemukan lagi di kehidupan selanjutnya. Dan kalau itu terjadi, tidak akan kubiarkan kamu meninggalkanku lagi. Untuk sekarang, aku berjanji akan menjaga jantungmu yang ada di tubuh adikmu, karena yang tersisa dan hidup, hanyalah itu. Aku juga akan berusaha untuk tidak mengkhianati cinta kita, dengan tidak menyentuh adikmu," lanjut Langit lagi, sembari menengadahkan wajahnya, melihat ke atas.
Pesta berlangsung dengan meriah. Tampak para tamu menikmati hidangan mewah dan acara yang meriah. Namun tidak dengan Langit. Bayangan tiga bulan yang lalu kembali berkelebat di kepalanya.
Tiga bulan yang lalu.
"Maaf Nak Langit, dengan sangat terpaksa kami menolak lamaranmu," ucap seorang pria paruh baya, yang tidak lain adalah Baskoro, Papa dari dua orang anak perempuan, yakin Kaluna dan Qirani.
Langit Radhitya Ganendra, pria berparas tampan, dengan hidung mancung, mata tajam bak mata seekor elang, postur tubuh yang tinggi dan proposional, itu terdiam seribu bahasa. Hatinya terasa sakit, serta kesulitan untuk bernapas, begitu mendapatkan penolakan papa dari Kaluna, wanita yang dia cintai. Entah apa alasan pria paruh baya itu menolak lamarannya, dia benar-benar tidak tahu.
"Apa Om bisa menyebutkan alasan kenapa bisa menolak lamaranku? Padahal Om tahu sendiri kalau aku sangat mencintai Kaluna dan kami sudah menjalin hubungan empat tahun lamanya. Aku juga sudah mapan, sudah memiliki perusahaan yang besar.Jadi apa yang membuat Om merasa berat untuk menerima lamaranku?" alis Langit bertaut tajam, menatap Baskoro dengan tatapan yang menuntut.
"Kamu tidak perlu tahu alasannya. Yang pasti, ini tidak ada kaitannya dengan kondisi kamu yang mapan atau tidak. Tolong jangan banyak bertanya lagi! karena bagaimanapun aku tidak akan memberitahukan kamu apa alasannya." Selesai mengucapkan ucapannya, Baskoro berdiri dari tempat dia duduk.
" Nak Langit, ini sudah malam. Sebaiknya kamu pulang saja. Dan kamu Aluna, kamu masuk ke kamarmu!" Baskoro kemudian mengayun kakinya, melangkah pergi meninggalkan Langit dan Kaluna.
"Papa, tunggu!" pekik Kaluna. Gadis yang merupakan putri pertama Baskoro dan Soraya itu, sontak berdiri dari tempat dia duduk, mencegah papanya untuk pergi.
Gadis berparas cantik, yang memiliki surai yang lurus, panjang dan berwarna hitam legam itu tidak pernah menyangka kalau lamaran kekasih hatinya, yang sudah dia anggap rumah tempatnya untuk pulang, ditolak mentah-mentah oleh papanya. Kebahagiaan bisa menjadi istri dari Langit seketika berubah menjadi mimpi buruk begitu mendengar penolakan sang papa.
"Ada apa lagi, Luna? Apa ucapan Papa kurang jelas, Nak? Kamu sebaiknya masuk ke kamar kamu!" titah Baskoro tanpa menoleh.
"Aku tidak mau, sampai Papa menjelaskan kenapa lamaran Langit Papa tolak?" gadis berusia 25 tahun itu meninggikan suaranya, seakan menunjukkan perlawanan pada pria paruh baya yang selalu dia panggil dengan sebutan Papa itu. Perlawanan yang selama ini tidak berani dia lakukan secara terang-terangan di depan sang Papa. Tapi, kali ini entah dari mana datangnya keberaniannya itu, hingga dia bisa meninggikan suaranya. Mungkin karena pengaruh penolakan papanya yang membuat gadis itu sudah tidak bisa mengkontrol emosinya lagi.
Baskoro tetap bergeming, tetap berdiri di posisi yang sama. Pria paruh baya itu kemudian menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kembali ke udara. Kemudian tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh putrinya itu, ia pun melangkah pergi.
"Papa! Jangan pergi, aku belum selesai bicara!" Kaluna kembali berteriak, namun hasilnya tetap sama. Papanya sama sekali tidak menoleh, dan tetap melangkahkan kakinya.
Merasa usahanya sia-sia, gadis yang selalu terlihat cantik dengan lesung pipinya itu, menoleh ke arah Soraya mamanya yang dari tadi tadi hanya membisu, tanpa melakukan pembelaan sedikitpun padanya.
"Ma, kenapa Mama diam saja? tolong bujuk Papa, Ma!" mohon Kaluna yang matanya mulai dipenuhi cairan bening yang siap ditumpahkan dari wadahnya.
Soraya masih tetap bergeming di tempat dia duduk, untuk sepersekian detik. Namun, detik berikutnya wanita paruh baya itu bangkit berdiri dengan helaan napas yang sangat berat dan sekali hentakan.
"Maaf, Nak. Mama tidak bisa, karena mama juga sependapat dengan papamu. Mama juga tidak mau kalian menikah,"
Bagai petir di siang bolong, tanpa adanya hujan dan angin, mata Kaluna membesar sempurna, kaget mendengar ucapan yang baru saja terlontar dari mulut mamanya. Bukan hanya, Kaluna, Langit juga tidak kalah kagetnya dengan wanita yang dicintainya.
"Tapi, kenapa Ma? Apa alasannya?" cairan bening yang dari tadi berusaha dia bendung kini sudah berhasil menjebol bendungan itu sendiri, sehingga pipi wanita itu kini sudah mulai banjir oleh air mata
"Iya, Tante. Kenapa kami tidak boleh menikah? Kenapa selama ini Tante dan Om membiarkan kami menjalin hubungan, seakan-akan kalian memberikan kami lampu hijau? Kenapa setelah perasaan kami sudah sejauh ini, dan aku berniat untuk serius, lamaranku malah kalian tolak?" Langit kini kebanyakan buka suara. Nada bicara pria itu masih terdengar lembut, tapi di balik kelembutan itu, terselip sebuah kekesalan yang amat sangat.
Soraya kembali bergeming, diam seribu bahasa. Dia menatap langit dan Kaluna putrinya bergantian, seakan ingin mengungkapkan sesuatu. Sementara Langit dan Kaluna sabar menunggu wanita paruh baya itu untuk buka mulut.
Namun ternyata, Soraya tidak memberikan jawaban sama sekali. Wanita paruh baya itu justru beranjak pergi, menyusul Baskoro suaminya.
"Mama! Kenapa pergi? Tolong jelaskan pada kami, Ma!" Kaluna kembali berteriak. Namun, respon yang sama seperti yang dilakukan papanya tadi, dia dapatkan.
"Arghhhh, aku benci kalian berdua! Kalian tidak pernah menyayangiku!" teriak Kaluna. Wanita itu sepertinya sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Wanita itu menatap penuh kebencian ke arah mamanya pergi. Napas wanita itu juga terlihat tidak beraturan akibat amarah yang amat sangat.
"Kalian berdua orang tua yang terburuk yang aku punya! Aku benci, benci kalian berdua!" Kaluna meraih vas bunga, dan melemparkannya ke lantai hingga pecah berkeping-keping, sama persis dengan keadaan hatinya sekarang yang juga hancur.
"Sayang, sudah, sayang! Kamu sabar, mungkin Tante dan Om lagi banyak pikiran. Lain kali, aku akan coba datang melamar lagi," Langit mencoba membujuk Kaluna agar tidak terlalu meluapkan kemarahannya.
"Bagaimana aku bisa sabar, Sayang? Kamu lihat sendiri kan, mereka tidak ingin aku bahagia. Aku kan sudah berkali-kali bilang ke kamu, kalau yang menyayangi dan mengerti aku itu hanya kamu dan orang tua kamu. Orang tuaku sendiri tidak pernah menyayangiku. Mereka berdua hanya sayang sama Qinara. Apa- apa Qinara dan Qinara. Karena itulah aku benci Qinara!". Emosi Kaluna mulai tidak terkontrol.
"Sayang, kamu tidak boleh bicara seperti itu! Bagaimanapun Tante Soraya dan Om Baskoro adalah orangtuamu. Aku yakin, Om dan Tante jug menyayangimu, sama seperti sayang mereka ke Qinara," ucap Langit dengan suara yang begitu lembut.
"Tidak! Mereka berdua tidak pernah menyayangiku. Aku merasakan kasih sayang mereka hanya sebentar, setelah Qinara lahir, semuanya berubah. Aku seakan sudah tidak ada bagi mereka. Mereka hanya fokus pada Qinara. Aku demam, yang ngurus dan rawat aku mereka serahkan ke bibi. Tapi, begitu Qinara sakit, papa dan mama sangat cemas dan langsung membawa ke rumah sakit. Aku hanya bermain dengan Bibi mulai dari kecil, sampai antar jemput aku ke sekolah juga Bibi. Semuanya tidak ada yang sayang padaku, hanya bibi yang menyayangi, Sayang!Aku sampai berpikir, apakah aku ini bukan anak kandung Mereka ?" Kaluna tersungkur di lantai sembari menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Air mata wanita itu semakin membanjiri pipinya.
tbc
Tbc
Setelah berperang dengan pikiran cukup lama, aku akhirnya memutuskan untuk tetap menulis di sini. Karena aku sayang pada para pembaca setiaku🥰🥰. Mudah-mudahan kalian suka ya, novel kali ini. Please berikan dukungannya!🙏
Kaluna kini sudah tinggal sendiri di ruang tamu, setelah Langit pulang. Awalnya wanita itu meminta pada Langit agar membawanya ikut ke rumahnya. Namun, pria yang memiliki sorot mata bak mata elang itu, menolak dan bahkan membujuk agar wanita yang dicintainya itu tetap tinggal, dengan alasan, dia tidak mau dianggap kurang ajar oleh kedua orang tua Kaluna, yang nantinya justru akan membuat jalannya untuk menikahi wanita yang dia cintai semakin sulit.
Setelah mobil yang dikemudikan oleh langit sudah hilang dari pandangan Kaluna. Wanita yang sedang kalut itu, masuk kembali ke rumah dan tatapannya langsung tertuju ke arah papa dan mamanya yang baru saja turun.
"Langit sudah pulang, Nak?" Soraya masih bersikap lembut, padahal tatapan putri pertamanya itu kini terlihat sangat tajam bak sebilah belati yang siap menghujam jantung.
"Tidak usah sok lembut. Jangan mengira dengan kelembutan yang baru saja mama perlihatkan, membuat aku luluh. Aku tetap membenci kalian berdua!" ucap Kaluna dengan sangat ketus.
"Kaluna, yang sopan kalau bicara! Dia itu mama kamu! Mama yang sudah melahirkanmu!" bentak Baskoro.
Kaluna mendengkus dan tersenyum sinis.
"Dia memang melahirkanku, tapi cukup hanya melahirkan saja. Tidak lebih! Yang merawat dan membesarkanku hanya Bibi. Jika boleh memilih, aku justru lebih bangga dan berharap lahir dari rahim bibi dari pada dari rahim wanita yang katanya melahirkanku tapi tidak pernah merawatku," ucap Kaluna dengan nada yang berapi-api, tanpa memikirkan lagi bagaimana perasaan mamanya, saat mendengar kata-kata sarkasnya.
"Kaluna, jaga ucapanmu!" Baskoro kembali membentak, dan bahkan tangan pria paruh baya itu sudah terangkat, siap untuk melayangkan pukulan ke pipi putri sulungnya itu. Beruntungnya pria berusia 51 tahun itu masih bisa menahan dirinya, hingga pukulannya tergantung di udara.
"Kenapa tidak jadi, Pa? Papa mau memukulku kan? Ayo, pukul!" Kaluna mencondongkan pipinya ke arah pria yang biasanya disebut cinta pertama untuk anak perempuan. Namun, sayangnya statement itu tidak berlaku untuk sulung dari dua bersaudara itu.
Baskoro terlihat mengatur napasnya, dengan berkali-kali menarik napas dan mengembuskan kembali ke udara. Berjuang untuk meredam emosional yang hampir saja mencapai puncak kepalanya.
"Sudahlah. Sekarang Papa tidak ingin marah. Kamu sebaiknya masuk ke kamar kamu!" pungkas pria itu akhirnya.
Kaluna berdecih, kemudian mendengkus. Sorot matanya sama sekali tidak berubah saat menatap papanya. masih tetap tajam dan mengambarkan amarah dan sedih yang bercampur menjadi satu.
"Aku akan masuk, tapi setelah aku mendengar alasan kenapa Papa menolak lamaran Langit? Padahal Papa tahu jelas kalau Langit adalah kebahagiaanku. Kenapa, Pa, Ma?" nada bicara Kaluna terdengar lembut kali ini, namun terselip tuntutan di balik ucapannya.
"Tidak ada alasannya. Sekarang kamu masuk ke kamarmu!" Baskoro masih tetap mengelak.
"Bukannya aku sudah katakan kalau aku tidak akan masuk sebelum aku tahu alasannya? Jadi, maaf aku tidak akan pergi sebelum tahu alasannya. Apa Alasannya Pa, Ma?" kali ini suara Kaluna kembali meninggi.
"Karena Adikmu Qinara juga mencintai Langit! Langit itu kebahagiaan untuk adikmu!" Baskoro akhirnya tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengatakan alasan sebenarnya.
Sementara Kaluna, terlihat mematung mendengar jawaban yang baru saja terlontar dari mulut papanya itu. Dia benar-benar tidak menyangka kalau ternyata alasan kedua orangtuanya benar-benar tidak masuk akal.
"Pa, Ma, aku ini benaran anak kalian nggak sih? Kenapa hanya kebahagiaan Qinara yang kalian pikirkan? Kapan kalian memikirkan kebahagiaanku? Aku juga butuh bahagia, Pa, Ma!"
"Bukan begitu, Nak. Tapi Qinara harus bahagia supaya __"
"Oh, jadi Qinara harus bahagia dan aku tidak, begitu ya Ma?" belum selesai Soraya berbicara Kaluna sudah menyela ucapan mamanya itu.
"Kamu salah paham, Luna. Maksud mama ... Ah, mama tidak bisa mengatakannya," Soraya terlihat frustasi.
Sudut bibir Kaluna sedikit tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman sinis saat melihat mamanya yang menggantungkan ucapannya.
"Salah paham apa, Ma? Aku rasa aku tidak salah paham, karena semua yang aku katakan itu benar. Mama dan Papa memang tidak menginginkan aku bahagia, karena yang menurut kalian berdua pantas bahagia itu hanya Qinara, tidak denganku. Iya kan?" senyum di bibir Kaluna semakin terlihat sinis. Sementara Baskoro dan Soraya tampak hanya bisa diam. Wajah keduanya sekarang terlihat sendu, seakan sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat. Entah apa yang mereka pikirkan, hanya merekalah yang tahu.
"Ma, Pa, kalau memang kalian menyayangiku, sekali ini saja aku memohon, tolong izinkan aku menikah dengan Langit. Hanya dia laki-laki yang selalu mengerti aku. Dia yang selalu jadi tempat ternyamanku untuk mencurahkan semua kesedihan yang aku rasakan. Bersamanya aku bisa bahagia. Dan dengan orang tuanya aku seakan menemukan sebuah keluarga yang aku inginkan, Ma, Pa," Kaluna kembali berbicara, dan kali ini sudah disertai dengan air mata yang membasahi pipinya.
Baskoro tetap pada posisi kebisuan mereka. Hanya ekspresi wajah mereka yang berubah. Raut wajah pasangan suami istri paruh baya itu terlihat trenyuh dan sedih mendengar penuturan putri sulung mereka.
"Ternyata kamu lebih bisa hidup nyaman dengan orang tuanya Langit dibandingkan kami orang tuamu sendiri, Lun. Ucapan kamu barusan benar-benar membuat mama sedih," ucap Soraya dengan lirih
"Maaf, Ma. Tapi memang seperti itulah kenyataannya. Selama ini waktu kalian habis hanya untuk Qinara. Kalian berdua sama sekali tidak pernah meluangkan waktu padaku. Di saat aku haus akan kasih sayang seorang ayah dan ibu, orang tua langit yang bisa memberikannya padaku, Ma. Dan bahkan sekarang, mama dan papa juga menghalangi kebahagiaanku demi Qinara. Mama dan Papa yang membuatku membencinya dan bahkan aku sampai trauma mendengar nama Qinara," tutur Kaluna panjang lebar tanpa jeda.
"Qinara itu adik kamu, Lun. Dia sangat menyayangimu. Impiannya selama ini bisa sama seperti orang lain yang bisa dekat dengan kakak perempuannya," tutur Soraya, berusaha membuat putri sulungnya itu merubah pemikirannya.
Kaluna berdecih, dan mendengkus. Kemudian sudut bibir gadis bertubuh semampai itu, membentuk senyum sinis.
"Cih, dia menyayangiku? Omong kosong apa ini? Justru dia itu merasa bahagia dan seperti berada di atas angin melihat aku yang selalu kalian abaikan. Dia merasa kalau hanya dia lah yang kalian sayangi, dan kenyataannya memang begitu, kan?"
Soraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, Nak. Mama dan Papa juga sangat menyayangimu. Tolong jangan salah paham," Soraya berbicara dengan cairan bening yang akhirnya mulai menetes membasahi pipinya. Sumpah demi apapun, hati wanita paruh baya itu, begitu hancur mendengar kalimat di kalimat yang terlontar dari mulut putri sulungnya itu.
"Alahh, jangan sok mengaku-ngaku kalau kalian menyayangiku, karena itu semua bullshit. Buktinya, aku yang ingin kuliah di luar negeri, tidak kalian izinkan, dengan dalih biaya yang besar. Tapi, lihat saja ... kalian justru bisa mengirim Qinara untuk kuliah di luar negeri. Kenapa biaya untuk dia ada dan aku tidak? Kalian benar-benar pilih kasih, Ma, Pa. Intinya aku benci kalian berdua, dan aku benci anak kesayangan kalian itu!" Raut wajah Kaluna sudah tampak sangat merah sekarang. Napas wanita itu juga tampak memburu.
"Sekarang, aku sudah memutuskan, mau kalian restui atau tidak, aku akan tetap menikah dengan Langit. Aku tidak akan membiarkan Qinara merebut orang yang aku cintai lagi. Kali ini aku tidak akan mengalah pada anak kesayangan kalian itu!" pungkas Kaluna seraya beranjak pergi meninggalkan kedua orangtuanya yang mematung.
Tbc
Baskoro dan Soraya terduduk lemas sembari bersandar di sandaran sofa, setelah putri sulung mereka berlalu dari hadapan mereka.
"Ternyata, kita sudah terlalu lama mengabaikan Kaluna, Pa. Hingga dia bisa sebenci ini pada kita. Kita sudah gagal jadi orang tua yang baik untuknya," ucap Soraya lirih.
Baskoro sama sekali tidak menyahut. Ia tidak membantah ucapan sang istri karena apa yang dikatakan istrinya itu benar adanya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Pah? Haruskah kita menerima lamaran Langit demi kebahagiaan Kaluna?" lagi-lagi Soraya buka suara, namun Baskoro tetap tidak memberikan respon. Tentu saja sikap diamnya sang suami membuat Soraya menoleh ke arah pria itu dengan alis yang bertaut tajam.
"Pah, kenapa kamu diam? Papa dengar nggak sih apa yang aku katakan dari tadi?" Soraya terlihat mulai kesal.
Baskoro memejamkan matanya sekilas, lalu mengembuskan napasnya dengan sekali hentakan dan cukup berat.
"Jadi, apa yang harus aku katakan lagi, Ma? Semuanya memang sudah salah kita. Papah tidak menyangka kalau di balik sikap diam Kaluna selama ini ternyata banyak menyimpan luka. Papah juga tidak menyangka dia bisa sekuat ini, bisa bertahan bertahun-tahun dengan hidup terabaikan. Dia seperti orang asing di tengah keluarga sendiri. Dan kita yang seharusnya memberikan kasih sayang dan kenyamanan, justru kita menorehkan luka, yang mungkin sekarang sudah sangat menganga, susah untuk ditutup," tutur Baskoro dengan raut wajah sendu.
"Jadi, bagaimana Pa? Apa yang harus kita lakukan sekarang? Haruskah kita menerima lamaran Langit untuk Kaluna? Bagaimanapun mereka berdua saling mencintai. Langit adalah kebahagiaan Kaluna, Pa,"
Baskoro tidak langsung menjawab. Pria paruh baya yang masih terlihat gagah dan tampan itu, terdiam beberapa saat, berpikir keras mencari solusi. Setelah berdiam untuk beberapa saat, Baskoro kembali mengembuskan napasnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepertinya di kepala pria itu sudah ada solusi yang dia dapatkan dan menurutnya itu yang terbaik.
Baskoro kemudian mengungkapkan apa yang baru saja dia pikirkan, berharap Soraya istrinya setuju.
"Iya, Sepertinya itu jalan yang terbaik, Pa. Mudah-mudahan Kaluna mau. Mudah-mudahan seiring berjalannya waktu, Qinara juga bisa menemukan pria yang bisa mencintainya dan dia cintai dengan tulus," pungkas Soraya, setuju dengan pendapat suaminya.
Di saat bersamaan, tampak Kaluna menuruni tangga seraya menarik koper besar. Sepertinya wanita berusia 24 tahun itu, berniat untuk pergi.
Wanita cantik berkulit putih itu, berjalan melewati kedua orangtuanya tanpa berniat untuk menyapa.
"Kaluna, kamu mau kemana, Nak?" cegah, Baskoro, membuat langkah Kaluna terhenti.
Wanita itu berbalik, menatap Papa dan mamanya dengan raut wajah datar, yang sulit untuk dipahami.
"Seperti yang Papa dan Mama lihat. Aku menggeret koper ini, itu berarti aku akan pergi dari rumah ini," sahut Kaluna masih tanpa ekspresi.
"Kenapa kamu pergi, Nak? Dan kamu mau pergi ke mana?" tanya Soraya sembari melangkah menghampiri putri sulungnya itu.
"Mama masih bertanya, kenapa aku harus pergi?" cetus Kaluna dengan sudut bibir yang tertarik sedikit ke atas, tersenyum sinis.
"Aku pergi karena aku ingin bisa hidup bahagia, Ma. Sementara kalau di rumah ini, aku sama sekali tidak bahagia. Tolong jangan larang aku! Aku pamit!" Kaluna kembali berbalik dan mulai mengayunkan kakinya.
"Mama dan Papa memutuskan untuk menerima lamaran Nak Langit, Nak!" celetuk Soraya, membuat langkah Kaluna kembali berhenti.
Wanita itu kembali memutar tubuhnya, tapi kali ini dengan sebuah senyuman di bibirnya. Wajah kusut yang dari tadi menghiasi wajahnya, kini terhempas entah kemana.
"Serius, Ma?" tanya Kaluna, antusias dengan binar di matanya.
Soraya tersenyum dan menganggukkan kepala, mengiyakan. "Tapi, dengan satu syarat, Nak. Mama dan Papa harap kamu mau menerima syaratnya,"
Senyum yang tadi menghiasi bibir Kaluna, menyurut seketika. Binar yang tadi terlihat di matanya, meredup seketika, begitu mendengar ucapan yang baru saja terlontar dari mulut mamanya.
"Syarat? Apa untuk kebahagiaanku saja harus dengan syarat?" sindir Kaluna.
"Bukan seperti itu, Nak. Kamu jangan salah paham dulu!" sambar Soraya dengan cepat.
"Ahh, sudahlah! Sekarang, Papa dan Mama jelaskan saja, apa syaratnya?" cetus Kaluna, sinis.
Baskoro dan Soraya tidak langsung menjawab. Pasangan suami istri paruh baya itu saling pandang untuk beberapa saat seakan bertanya siapa di antara mereka berdua yang akan buka mulut.
Baskoro sepertinya yang akan berbicara, karena pria itu terlihat mengembuskan napasnya dengan sekali hentakan.
"Nak, Papa dan Mama meminta padamu, jika kamu memang harus menikah dengan Langit, kalau kalian berdua bersedia,papa dan mama meminta agar pernikahan kalian dilakukan dengan diam-diam,"
Kaluna sontak terkekeh dengan raut sinis mendengar permintaan papanya barusan.
"Kenapa harus diam-diam? Apa aku tidak pantas untuk merayakan dan memperlihatkan kebahagiaanku pada semua orang? Apakah mama dan Papa tahu, kalau aku dan Langit, punya pesta pernikahan impian? Apa aku tidak pantas merealisasikan impian pernikahan yang sudah aku dan Langit rencanakan itu, Ma, Pa?" cecar Kaluna, beruntun.
"Bukan seperti itu, Nak. Kamu tolong jangan __"
"Tolong jangan salah paham dulu! Itukan yang ingin mama katakan?" sambar Kaluna dengan cepat menyela ucapan sang mama.
"Ma, Pa, kenapa kalian terlihat seperti tidak ingin aku bahagia? Apa salahku? Setahuku, semua orang tua, begitu bahagia bisa melihat anaknya bahagia dengan hidupnya, tapi kenapa kalian berdua berbeda?" sambung Kaluna lagi, seraya berusaha menahan agar air matanya tidak keluar. Untuk kali ini dia ingin bisa terlihat tegar di depan orang tuanya itu
"Luna, kami juga ingin melihat kamu bahagia, Nak. Tapi, Papa dan mama memintamu untuk melakukan pernikahan diam-diam dengan Langit, agar adik kamu Qinara tidak terluka. Tolong paham kondisi ini, Nak!" wajah Baskoro terlihat semakin memelas.
Kaluna mendengkus, kemudian tersenyum sinis. "Sudah kuduga, kalau permintaan mama dan Papa tadi, ada hubungannya dengan perasaan anak kesayangan kalian itu. Sepertinya kalian tidak ingin dia bersedih, tapi kalian tega membuatku bersedih. Kenapa sih Mama dan Papa pilih kasih? Kesalahan apa yang sudah aku perbuat sampai kalian berdua, setega itu padaku?" ucap Kaluna
"Aku tadi sudah sempat bahagia, karena merasa kalian sudah memikirkan kebahagiaanku. Tenyata pemikiranku salah. Mama dan Papa kembali menghempaskan perasaanku, sampai jatuh sejatuh-jatuhnya. Dan sekarang justru lebih menyakitkan, Pa, Ma," sambung Kaluna lagi.
Soraya kembali meneteskan air mata. Sumpah demi apapun, hati wanita paruh baya itu kembali sakit mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut putri sulungnya itu.
"Maafkan kami, Nak. Kami benar-benar tidak bermaksud untuk __"
"Sudahlah, Ma. Mama tidak perlu menjelaskan apa pun lagi. Tapi, yang pasti, aku pastikan aku dan Langit akan tetap menikah dan melangsungkan pernikahan seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Aku pamit, Ma, Pa!" Kaluna, memutar tubuhnya kembali dan melangkahkan kakinya.
"Qinara dari kecil punya penyakit jantung, Luna!"
Kaluna yang belum terlalu jauh melangkah, seketika menghentikan langkahnya, mendengar ucapan papanya, barusan.
Tbc
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!