Di ruang guru tengah diadakan briefing para Wali Kelas dengan pengurus di sekolah dimana pada hari itu akan mengadakan pertemuan dengan orang tua siswa dari masing-masing kelas. Kepala Sekolah serta jajarannya memberikan arahan apa saja yang harus disampaikan kepada wali murid. Dari mulai peraturan hingga tata tertib. Sehingga tak akan ada ketimpangan diantara pihak sekolah dengan orang tua.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Seluruh wali murid telah memasuki masing-masing ruangan sesuai dengan kelas anak mereka. Kaisya mulai memasuki kelas VII F. Dengan sopan dan senyuman khas yang menghiasi wajahnya terpancar menyapa seluruh isi ruangan. Belum semua tamu undangan hadir. Terlihat baru beberapa orang saja. Kaisya mempersilahkan orang tua yang sudah hadir untuk menandatangani kehadiran. Dimana berisi nama siswa, alamat, kontak telepon wali dan tanda tangan.
Dirasa sudah cukup banyak yang hadir. Kaisya mulai memperkenalkan diri. Setelah itu guru tersebut mengabsen nama siswa satu persatu meskipun memang yang mengangkat tangan adalah orang tuanya. Bukan tanpa sebab, hanya ingin mengetahui siswa tersebut walinya siapa. Namun tanpa di duga saat beberapa menit berlangsung acara perkenalan datang seorang pria dengan pakaian rapi menghampiri Kaisya dan memberi salam.
"Assalamu'alaikum. Maaf bu, saya terlambat. Kebetulan tadi ada keperluan dulu. Saya orang tua dari Mikayla Anindita, benar ini kelas tujuh F?" tanyanya.
"Wa'alaikumsalam. Oh, iya benar. Tidak apa-apa bapak. Kebetulan memang baru acara perkenalan saja. Sebelumnya silahkan bapak isi terlebih dahulu daftar kehadiran," ujar Kaisya. Lelaki itu pun menulis. Setelah beres dipersilahkannya untuk menuju kursi yang tersedia.
"Terima kasih bu," kata lelaki itu lantas berlalu mencari tempat duduk yang masih kosong.
"Baiklah bapak dan ibu sekalian terima kasih atas waktunya sehingga bisa menyempatkan waktunya untuk menghadiri acara ini dimana dengan tujuan untuk bersilaturahmi antara pihak sekolah khususnya Wali Kelas dengan orang tua siswa. Setelah kita saling memperkenalkan diri tadi, mungkin disini saya ingin sekedar menyampaikan beberapa peraturan dan tata tertib yang harus dipatuhi oleh siswa dan diketahui wali murid. Pertama mengenai seragam, hari Senin dan Selasa memakai putih biru. Hari Rabu dan Kamis memakai batik bawahan putih. Untuk Jumat pakaian pramuka. Jika berkerudung maka warna dari kerudung disesuaikan dengan warna bawahan. Artinya Senin Selasa pakai biru dan Rabu Kamis pakai putih sedangkan Jumat pramuka. Mengapa sampai hari Jumat karena memang Full Day School, " terang Kaisya.
Disaat tengah menjelaskan tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada lelaki yang tadi memperkenalkan diri sebagai wali murid. Detak jantungnya tak beraturan ditambah dengan senyuman khas dari sosok tersebut. Ya, akhirnya ia mengenal siapa orang itu. Dengan cepat Kaisya kembali berfokus pada apa yang harus disampaikan. Selain keseragaman pakaian dan perlengkapan lain. Juga tentang buku point yang harus di ikuti sebagai rambu-rambu jika terdapat pelanggaran dalam proses pembelajaran atau sedang berada di lingkungan sekolah. Agar menjadi perhatian bagi peserta didik juga orang tua.
"Jika ada pertanyaan silahkan bapak dan ibu boleh mengajukan," ucap Kaisya.
Nampak tidak ada yang mengacungkan tangan untuk melempar pertanyaan. Mungkin sudah begitu jelas Kaisya menyampaikan hal berkaitan dengan peraturan dan tata tertib. Hingga kerja sama orang tua agar bisa lebih memperhatikan kegiatan anak dirumah. Karena jika hanya berfokus pada sekolah tidak akan ada hasilnya.
"Namun mungkin saya disini mengingatkan kembali bahwa kita punya tanggung jawab dan amanah untuk membimbing dan mendidik anak kita. Pasti ibu dan bapak disini sudah tentu paham dengan pola asuh anak-anak. Apalagi saya disini masih muda sehingga perlu juga arahan dari ibu bapak sekalian. Mungkin sekian dari saya untuk pertemuan ini. Semoga apa yang disampaikan ada bermanfaat dan mohon maaf jika ada salah kata yang mungkin tak sengaja saya ucapkan. Sekian dan terima kasih. Assalamu'alaikum," ujar Kaisya.
Satu persatu para orang tua mulai meninggalkan ruang kelas. Hingga tiba giliran sosok lelaki tersebut. Ia menghampiri Kaisya dan duduk di hadapannya.
"Gimana kabarnya sehat?" tanya lelaki tersebut sontak membuat Kaisya membulatkan matanya terkejut.
"Alhamdulillah sehat. Ini Gian kan?" Lelaki itu mengangguk. "Gimana denganmu?"
"Seperti yang kamu lihat. Alhamdulillah ya sudah menjadi guru sesuai dengan cita-citamu dulu," ucapnya.
"Alhamdulillah," ucap Kaisya.
"Gak menyangka kamu jadi Wali Kelas anakku. Nitip ya. Kalau ada apa-apa kamu kontek saja," ujar Gian.
"Insya Allah," kata Kaisya.
"Boleh minta kontaknya? Biar bisa komunikasi nantinya," ucapnya.
Kaisya memberikan kontaknya pada Gian. Lalu dengan cepat lelaki itu meneleponnya. Muncul kontak di WA nya panggilan dari kontak baru.
"Kalau ada hal yang ingin disampaikan mengenai Mikayla langsung saja pada kontak itu," ucap Gian.
Tanpa basa-basi Kaisya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. Meskipun memang detak jantungnya tak beraturan. Entah mengapa terjadi lagi padahal kini dirinya sudah memiliki suami dan anak. Apakah mungkin rasa pada lelaki dihadapannya itu belum sepenuhnya musnah? Padahal sudah belasan tahun lamanya tak pernah saling bertatap muka.
Gian berpamitan karena katanya ada urusan lain yang harus diselesaikan. Sepeninggal lelaki itu, Kaisya tampak termenung. Dirinya masih belum percaya jika yang barusan pergi adalah sosok lelaki yang pernah bersemayam dihatinya. Meskipun tanpa adanya hubungan asmara, namun rasa itu tumbuh begitu saja tanpa permisi.
"Bu Kay, sudah beres?" Tiba-tiba seorang guru datang menghampirinya.
"Alhamdulillah sudah, Bu Okta sendiri?" tanya Kaisya.
"Sudah. Kalau begitu kita ke ruang guru yuk," ajak Bu Okta.
Keduanya beranjak dan menuju ruang guru. Tampak sedikit perbincangan dari keduanya saat membicarakan tentang pertemuannya dengan wali murid.
Sesampainya di ruang guru. Kaisya kembali menatap ponselnya. Matanya tertuju pada kontak panggilan dari Gian. Jujur saja hatinya berbunga-bunga saat ini bagaikan tengah kasmaran. Namun kembali pada kenyataan bahwa ada dua sosok yang sangat jelas dan nyata selalu berada disampingnya. Suami dan anak yang sudah menemaninya mengarungi kehidupan rumah tangga.
Segera ia tepis rasa aneh itu dalam benaknya. Dia tidak mungkin mengkhianati suami yang begitu menyayangi dan mempercayainya lebih dari apapun. Dan seorang anak pintar, lucu juga menggemaskan hasil buah cinta keduanya tak mungkin harus membuatnya kecewa.
Disela bayangan kedua orang yang disayanginya, muncul notifikasi pesan WA di ponselnya. Betapa terkejutnya bahwa yang mengirimi ia pesan itu adalah Gian. Matanya membulat sempurna. Jantungnya berdebar kembali diambang batas normal.
"Kay, jangan lupa simpan kontak ini."
Entah apa yang ada di pikiran Gian. Padahal tadi ketika bertemu sudah ia sampaikan untuk menyimpan kontaknya. Tapi lelaki itu pun kembali mengingatkan dengan memberikan pesan singkat melalui pesan WA.
****
"Sayang, udah pulang?" tanya Ridho, suami Kaisya.
Kaisya mencium punggung tangan suaminya dengan khidmat. "Iya. Putra dimana, Yah?" tanya Kaisya mengamati seisi ruangan rumah.
"Lagi di rumah ibu. Katanya tadi mau main disana," kata Ridho.
"Memangnya ada siapa disana?" tanya Kaisya karena tak biasanya Putra main di rumah mertuanya tanpa ditemani. Maklum masih usia tiga tahun.
"Ada Tio," jawab Ridho. Tio merupakan anak dari Derlan, adik suaminya.
Tak ada jawaban atau balasan dari Kaisya. Ia bahkan tak memberikan respon apapun terlihat dari mimik wajahnya. Bukan tanpa sebab, sebenarnya memang Kaisya tidak suka jika Putra bermain dengan Tio. Karena ketika ditinggal akan meninggalkan tantrum sang anak. Apalagi rasa tidak suka pada istri Derlan yang begitu dimanja oleh kedua mertuanya. Apapun yang diminta pasti dikabulkan. Ridho yang anak kandungnya sendiri tak pernah meminta barang sedikitpun enggan untuk melakukan hal itu. Seperti dianaktirikan.
"Aku lapar, mau masak dulu," ujar Kaisya setelah ia berganti dengan pakaian santai.
Dengan perasaan yang masih berkecamuk di hati Kaisya. Setelah pertemuannya dengan Gian kini ditambah oleh kedatangan anak adik Ridho. Membuatnya semakin tidak ada gairah apapun. Namun, mengingat kembali pesan WA dari lelaki itu. Entah mengapa hati Kaisya sedikit menghangat. Sudut bibirnya tersenyum seolah ada sesuatu yang menggelitik.
"Yang, kamu masak apa ini?" tanya Ridho menghampiri istrinya.
"Seperti yang kamu lihat," ucap Kaisya tanpa menoleh ke arah sang suami. Kaget sebenarnya tengah melamun tiba-tiba saja datang sang suami.
"Kamu marah ya?" tanya Ridho.
"Gak," balas Kaisya.
"Iya, aku tahu pasti hatimu lagi berdecak, ngedumel berat saat ini. Jangan cemberut terus ya," rayu Ridho memeluk pinggang Kaisya.
"Sudahlah. Aku lagi gak mood saat ini. Baru pulang dan perutku sangat lapar," ucapnya.
"Iya, iya. Kamu kalau lagi kaya' gini suka galak," ucap Ridho melepaskan pelukannya kemudian beranjak pergi keluar dapur. Entah mau kemana.
Kaisya menghembuskan nafas berat. Entah sampai kapan perasaan tak suka itu terus tumbuh dihatinya. Pernah sampai ingin berpisah dengan Ridho namun lagi-lagi tidak jadi dengan alasan anak. Meskipun memang suaminya itu begitu sayang tapi dengan sikap kedua mertuanya membuat ia tak nyaman. Bahkan ketika berpapasan atau mampir ke rumah tidak sepatah katapun saling menyapa.
Perempuan yang berwajah manis ini sudah selesai memasak. Ia menyajikannya di atas meja makan. Beberapa centong nasi telah di alaskan pada piring.
"Makan dulu," ucap Kaisya pada Ridho yang tengah berada duduk di ruang tengah sambil menonton televisi.
Ridho beringsut dari tempat duduk pindah ke kursi makan. Semua telah siap disantap.
"Yang, kamu jemput Putra," cakap Kaisya disaat Ridho menyantap makanannya.
"Iya," sahut Ridho dengan sabar.
"Kamu tahu sendiri kan, ayah dan ibumu pasti akan mengajak Putra ke rumah Derlan untuk mengantarkan cucu kesayangannya. Tapi pada akhirnya itu cuma omongan palsu. Kalau gak niat untuk mengajak gak usah so' baik. Yang akan repot itu aku buat Putra berhenti nangis," lirih Kaisya.
"Dan sungguh manis. Datang sendiri, pulang ingin diantarkan. Gak punya sopan sama sekali ke orang tua," lanjutnya.
"Entahlah," balas Ridho membuat Kaisya geregetan terhadap sikap suami yang seolah membenarkan tindakan orang tuanya.
"Udah makan kamu langsung jemput. Kalau ada apa-apa sama Putra, aku gak mau tanggung jawab. Silahkan kamu urus saja sendiri," ucap Kaisya kesal.
Ia telah selesai makan kemudian mencuci piring dan gelasnya sendiri. Karena memang sudah menjadi komitmen dan kebiasaan jika telah selesai makan harus dibersihkan lagi agar tidak menumpuk. Saling bekerja sama karena keduanya bekerja. Apalagi Kaisya yang pergi sangat pagi pukul setengah tujuh, pulang pun sore sekitar pukul empat. Berbeda dengan Ridho, berangkat jam tujuh pulang jam dua belas. Namun tidak sampai disitu saja, Kaisya dan Ridho saling bekerja sama dalam menjaga Putra. Selalu bergantian untuk dibawanya ke tempat kerja. Karena memang tidak ada yang bisa dipercayai mengasuh. Jika harus ke tempat ibunya Kaisya justru semakin jauh dia ke tempat kerja dan berakhir kesiangan.
Selang beberapa menit setelah selesai makan. Terdengar suara tangisan Putra yang tengah dipangku oleh ibu mertua. Kaisya segera membereskan bekas makan. Tak ada niat untuk menyambut atau mengambil anak dari mertuanya. Rasa kesal berkecamuk dalam dada. Benar sekali, Putra menangis karena Tio pulang dan ayah mertua mengajaknya ikut namun seperti biasa hanya ajakan palsu.
Kaisya memilih untuk membersihkan piring, setelah itu memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci. Tak ia hiraukan tangisan Putra meskipun hatinya sakit, ingin sekali memeluk erat anak kesayangannya. Namun ia harus bersikap tegas dengan ucapannya tadi pada Ridho.
Malam tiba. Putra yang sudah tidur lelap karena mungkin lelah dengan tangisnya hingga masih menimbulkan isakan kecil dalam lelapnya. Sungguh kasihan anak yang tak bersalah harus menanggung keegoisan orang dewasa.
"Sayang, kamu masih marah?" Ridho menghampiri Kaisya yang tengah memperhatikan buah hatinya.
Namun tak ada jawaban dari perempuan tersebut. Sudah sangat dipastikan jika ia masih menahan marah pada suaminya. Dengan berdiam diri tanpa suara itu andalannya. Ada alasan tertentu mengapa bersikap seperti itu. Tak ingin ada perdebatan yang justru akan didengar oleh anaknya. Apalagi usia masih kecil gampang meniru apapun dilakukan orang dewasa. Lebih baik diam meskipun berbagai kata-kata bergumul dalam hati dan pikiran mendesak untuk dikeluarkan.
"Sudahlah jangan marah-marah terus. Kamu gak bosan apa seperti ini dari tadi pulang kerja," ucap Ridho sembari memeluk sang istri dari belakang.
"Kasihan Putra sampai sesenggukan seperti ini. Anak manis, sholehnya ayah dan ibu. Anak sabar," lanjutnya lalu mengusap kening hingga kepala Putra.
"Salah siapa juga sampai begini," Kaisya akhirnya mau membuka suara membuat Ridho tersenyum.
"Akhirnya kesayanganku yang ini sudah mau membuka suaranya. Jangan cemberut lagi ya, nanti cantiknya hilang," seru Ridho mencubit pipi sang istri.
"Sakit ih," jerit Kaisya pelan.
"Habisnya kamu cemberut daritadi. Kangen aku tuh," ujar Ridho tersenyum manis.
Sungguh membuat Kaisya tersipu malu dengan perlakuan suaminya. Begitu romantis meskipun memang kadang membuatnya kesal karena begitu cuek jika berhadapan dengan masalah yang ditimbulkan keluarganya.
"Yang, kamu hari ini cantiiiiik sekali," puji Ridho.
"Halah gombal. Pasti ada maunya," telak Kaisya yang memang benar. Apalagi jika bukan mengajaknya memadu kasih.
"Iya dong," balas Ridho dengan senyumnya yang tambah melebar.
"Aku mau ke kamar kecil dulu," ucap Kaisya lantas beranjak dari tempat tidur.
Setelah beberapa saat kemudian. Kaisya muncul dengan penampilan yang sudah segar. Seperti biasa sebelum tidur pasti mencuci muka, sikat gigi dan beberapa polesan pada wajahnya agar tidak kering. Apalagi cuaca saat ini begitu ekstrem. Tak bisa terelakan perpaduan Ridho dengan Kaisya akhirnya terlaksana. Hingga dipertengahan tiba-tiba saja ada telepon berbunyi pada ponsel Kaisya. Mau tidak mau, ia mengambil dan melihat siapa yang sudah mengganggu aktivitasnya. Bola matanya membesar saat tahu siapa yang meneleponnya.
***
Memasuki ruangan kelas penuh semangat, Kaisya berjalan masuk dengan senyum manisnya yang selalu ia tebarkan ketika berpapasan dengan siapa saja. Karena memang perempuan itu terkenal dengan sifat murah senyumnya.
7F merupakan kelas yang kini ia diamanahi sebagai Wali Kelas. Seperti biasa setelah memberi salam dan menyapa. Kaisya memperkenalkan dirinya juga biodata kepada anak didiknya. Dari nama hingga nomor kontak agar siswa bisa berkomunikasi dengannya. Apalagi sebagai Wali Kelas. Tak sampai disitu, ia mengajak mereka untuk saling memperkenalkan diri masing-masing. Nama, asal sekolah dan tempat tinggal juga. Tiba giliran Mikayla, anak dari sosok lelaki yang tak bisa ia singkirkan dari hati dan pikirannya.
Siswa yang bernama Mikayla mengacungkan tangannya kemudian memperkenalkan diri secara jelas. Terlihat sepertinya anak tersebut begitu terkenal terbukti saat disebutkan namanya seisi kelas ramai seakan menyambut artis papan atas. Tapi raut wajahnya seperti risih atau mungkin memang pembawaannya seperti itu. Ya, memang belum terlalu mengenal karakter para siswanya karena baru bertemu.
Setelah semua saling berkenalan hingga proses pengenalan mata pelajaran yang diampu. Kaisya berpamitan untuk menuju kelas yang lain. Namun, tiba-tiba saja Mikayla berlari menuju dirinya.
"Bu Kay," seru Mikayla. Sontak saja Kaisya merasa aneh darimana siswanya itu tahu panggilan namanya padahal tadi ia tidak menyebutkan harus memanggil apa padanya.
"Maaf, kenapa kamu panggil nama ibu dengan begitu?" tanya Kaisya.
"Maaf, Bu. Saya keceplosan memanggil ibu begitu. Mungkin karena ayah saya bilang kalau ibu itu temannya waktu masih sekolah. Ayah begitu antusias menyebutkan nama ibu seperti yang tadi saya panggil. Sekali lagi saya minta maaf Bu," terang Mikayla.
Kaisya menghembuskan nafasnya berat. Benar, gadis kecil dihadapannya ini adalah ,anak dari Gian. Teman masa sekolahnya dulu. Pasti ia akan menceritakan tentang dirinya.
"Iya, tidak apa-apa. Mungkin lain kali jangan begini lagi ya. Karena ibu tidak menyarankan siswa untuk memanggil seperti itu. Kurang sopan terdengarnya. Seperti pada teman saja," tegur Kaisya.
"Baik, Bu," balas Mikayla.
"Oh, iya memangnya ada apa memanggil ibu?" tanya Kaisya baru ingat jika tadi Mikayla memanggil dirinya.
"Tadi ayah titipkan ini katanya buat ibu," ucap Mikayla. Sedang Kaisya mengerutkan alisnya melihat bingkisan yang dipegang Mikayla.
"Ini apa?" tanya Kaisya.
"Kata ayah perkenalan dengan Wali Kelas. Tidak ada yang bagus Bu jadi seadanya saja. Mohon diterima ya bu," ucap Mikayla.
"Begitu ya. Kalau begitu terima kasih atas bingkisannya," kata Kaisya. "Ibu duluan ya mau masuk ke kelas yang lain," lanjutnya.
"Silahkan Bu," balas Mikayla dengan senyum manisnya. Sungguh mirip dengan Gian.
Kaisya menghembuskan nafasnya kemudian berlalu menuju ruangan selanjutnya. Seperti tadi, ia berkenalan dengan isi kelas baru. Hingga bel istirahat berbunyi. Para siswa keluar hanya untuk sekedar jajan tapi ada pula yang memakan bekalnya di dalam kelas. Begitupun dengan semua guru kembali ke ruangannya.
"Bu Kay, ini kue dari siapa?" tanya para guru yang berada di ruangan guru.
"Tadi ada siswa yang memberikannya katanya perkenalan untuk Wali Kelas, Bu," ucap Kaisya.
"Wah, ada ya perkenalan pada Wali Kelas," kata Bu Disti. "Tapi bagus juga sih, jarang loh ada yang seperti ini pada Wali Kelas," lanjutnya.
Di sela perbincangan para guru yang membicarakan mengenai bingkisan perkenalan. Kaisya kembali seperti biasa jarang berkomunikasi dengan rekan kerjanya kecuali jika ada hal mendesak atau soal pekerjaan. Dibilang tertutup tidak juga, bahkan dengan rekan sebayanya atau yang dekat sering wara wiri hanya sekedar bergosip ria tentang kondisi siswa dan kelas.
Guru muda beranak satu itu kini tengah bermain ponsel. Melihat dunia maya hanya sekedar melepas penat ketika istirahat.
"Bu Kay, itu ada siswa yang nanyain ibu," ujar Bu Kinanti.
"Oh, iya Bu," balas Kaisya mematikan ponselnya dan menyimpan pada saku seragam. Ia melangkahkan kaki ke luar menemui siswanya.
"Ada apa?" tanya Kaisya.
"Bu, itu di kelas ada yang berantem," ujar salah satu siswa perempuan.
"Ya ampun, ayo," seru Kaisya bergerak cepat menuju kelas.
Sesampainya dikelas. Kaisya menemukan Mikayla tengah menangis sesenggukan. Entah apa yang terjadi dengannya.
"Ada apa ini. Kenapa Mikayla menangis?" tanya Kaisya menghampiri siswanya itu.
"Bu, tadi Mikayla diejek sama Haris katanya so' baik, tukang cari perhatian, dan disebut anak yang gak jelas karena katanya ibunya kabur," terang siswa yang berada dekat dengan gadis itu.
Kaisya membulatkan matanya sempurna. Ibu dari anak itu kabur? Jadi artinya Gian single? Dengan cepat Kaisya menggeleng mengapa harus memikirkan hal tak berguna begitu disaat keadaan kelasnya tengah tidak baik.
"Dimana Haris?" tanyaku mencari keberadaannya.
"Keluar Bu. Gak tahu kemana," ucapnya.
"Mikayla, sudah ya jangan nangis lagi. Haris mungkin iri saja jadi bersikap seperti itu," kata Kaisya menenangkan.
"Kayla mau pulang saja," rengek gadis itu dengan manja.
"Kenapa? Bukankah tinggal beberapa jam lagi kita pulang. Ini baru jam sepuluh lebih lima belas menit," ucap Kaisya melihat jam tangannya.
"Tapi Kayla mau pulang. Ibu tolong telepon ayah suruh kesini jemput," seru Mikayla.
"Baiklah. Tapi sebelum ibu telepon ayahnya kita selesaikan dulu ya permasalahan dengan Haris," pinta Kaisya.
"Tolong cari Haris dan bilang ke kelas disuruh sama ibu. Cepat ya," suruh Kaisya pada siswanya yang lain.
Jelang beberapa menit kemudian. Haris datang ke kelas dengan wajah tak berdosanya.
"Ibu manggil saya?" tanya Haris.
"Iya. Haris duduk sebentar. Yang lain ibu minta keluar dulu semuanya. Ibu ingin bicara dengan Mikayla dan Haris," pinta Kaisya.
Isi kelas sudah kosong tinggal mereka bertiga. Terlihat jelas tatapan Haris pada Mikayla seperti ada kebencian. Sedangkan gadis itu masih tak henti menangis.
"Awalnya bagaimana kenapa kalian bisa bertengkar seperti ini?" tanya Kaisya. Namun tak ada jawaban dari keduanya. "Haris bagaimana denganmu?" lanjutnya.
"Ibu juga pasti sudah mendengar dari yang lainnya kan. Jadi buat apa saya ceritakan," balas Haris membuat Kaisya mengerutkan keningnya. Baru kali ini ia mendapat siswa yang berani pada guru.
"Iya. Tapi hanya ingin mengklarifikasi apa benar yang mereka katakan itu?" tanya Kaisya lagi dengan tenang.
"Benar. Memang kenyataannya dia suka mencari perhatian. Hanya seperti itu saja sudah nangis. Atau mungkin pura-pura nangis agar diperhatikan," ejek Haris.
"Haris, kenapa kamu bilang Mikayla suka mencari perhatian?" tanya Kaisya.
"Apa yang dia berikan pada ibu itu bukankah mencari perhatian? Atau mungkin menyogok agar bisa mendapatkan nilai baik disekolah apalagi pas pelajaran ibu," ucap Haris.
"Hei, aku gak menyogok. Jangan bicara sembarangan kamu," sergah Mikayla tak terima.
"Ko' marah? Berarti memang benar," Haris kembali mengejek.
"Sudah cukup. Haris, tindakan kamu ini kurang baik. Tidak boleh saling merendahkan seperti ini. Apalagi ibu dengar kamu bilang bahwa ibunya Mikayla tak jelas. Itu sudah sangat keterlaluan. Belum tentu benar," ucap Kaisya.
"Emang dia anak gak jelas, Bu. Ibunya kabur saat dia masih kecil. Kami tetanggaan Bu jadi tahu," jawab Haris.
Kaisya terdiam sesaat. Pantas saja kalau begitu. Namun tetap saja tidak baik tindakan Haris mencemooh Mikayla apalagi bertetangga pula.
"Kayla mau pulang saja, Bu. Tolong telepon ayah suruh jemput," Mikayla kembali merengek seperti anak kecil.
Akhirnya Kaisya menelepon orang tua Mikayla untuk menjemput putrinya. Sungguh suatu hal yang sulit sebenarnya kembali bertemu Gian. Tapi sepertinya takdir sedang ingin bermain dengannya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!