Ryana menghembuskan napasnya saat suaminya yang bernama Dipta tidak mengangkat telepon. Matanya melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. "Apa Dipta sibuk banget sampai ngga bisa angkat teleponku?" tanyanya pada diri sendiri.
Ryana sudah menikah dengan Dipta Narendra selama satu tahun, mereka menikah memang karena dijodohkan tapi hati Ryana bisa jatuh cinta dengan perilaku Dipta yang sangat romantis. Setelah menikah, Ryana tinggal bersama suami dan keluarga besar suaminya di sebuah mansion mewah milik kakek Narendra. "Aku tidur duluan saja, toh dia juga tidak memberikanku kabar," guman Ryana sembari menarik selimutnya dan mematikan lampu di atas nakas disamping tempat tidurnya.
Ryana merasa ada sedikit guncangan di tempat tidurnya, seseorang menaiki tempat tidur Ryana, yang ia sangka adalah suaminya. Sosok itu tidur di belakang Ryana dan langsung memeluk tubuhnya. Sosok yang dikira suaminya itu menarik tubuh Ryana dan mencium bibirnya. Wanita itu membalas ciuman itu sampai akhirnya mereka menghabiskan malam yang panas bersama.
Malam cepat berlalu, Ryana membuka matanya dan mencoba meregangkan otot-otot tubuhnya. Ia menghidupkan lampu tidurnya dan menoleh kearah suaminya itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat pria yang ia sangka suaminya itu ternyata adalah kakak iparnya, Mas Barra. Ryana melihat sekelilingnya dan mendapati dirinya tidak memakai sehelai apapun, ia pun menarik selimutnya.
"Mas Barra, bangun mas!" ucap Ryana sembari tangannya menggoyangkan tubuh kakak iparnya itu.
Barra membuka matanya dan melihat adik iparnya yang sedang menarik selimut menutupi tubuhnya. Ia pun bingung kenapa bisa berada di kamar adiknya. "Ryana, apa yang terjadi?" tanya Barra yang sama bingungnya. Barra mengintip tubuhnya yang berada di bawah selimut. Ia tidak menggunakan apapun.
"Mas Barra ngga ingat masuk ke kamarku? Aku pikir Mas itu Dipta. Aduh, bagaimana ini?" ucap Ryana dengan mimik wajah panik karena jam sudah menunjukkan pukul enam pagi.
Barra mencoba mengingat kejadian semalam bagaimana ia bisa masuk ke kamar Ryana, tapi kepalanya malah pening. Ryana bangkit berdiri berjalan dengan selimut yang menutupi tubuhnya ke arah kamar mandi. Setelah menggunakan pakaian, Rypana menyuruh kakak iparnya untuk kembali ke kamarnya.
"Mas pergi dulu, aku takut tiba-tiba Dipta datang," ucap Ryana.
Kakak iparnya hanya menganggukkan kepalanya dan mengendap-endap berjalan menuju kamarnya. Ryana menutup pintu kamarnya setelah melihat Barra berhasil menuju kamarnya. Selang beberapa menit pintu kamarnya terbuka membuatnya terkejut.
"Kenapa kamu? Kaget?" tanya Dipta yang baru saja pulang dari kantornya.
"Kenapa kamu tidak menelpon aku? Setidaknya kabarin aku kalau kamu lembur," ucap Ryana saat melihat suaminya.
Dipta tidak menjawab pertanyaan Ryana, ia membuka lemari dan mengambil bajunya lalu melangkah masuk kedalam kamar mandi. Ryana mendengus kesal, akhir-akhir ini ia merasa jika suaminya mulai berubah. Suaminya tidak lagi perhatian dengannya, entah itu hanya perasaannya saja atau memang suaminya sungguh berubah. Ryana merasa bodo amat, sekarang yang ada dikepalanya adalah kakak iparnya.
•••
Barra berhasil masuk ke dalam kamarnya sendiri, ia duduk di tepi tempat tidurnya. Sekali lagi ia mencoba mengingat bagaimana ia bisa masuk dan melakukan hal itu bersama dengan adik iparnya. Kedua tangan Barra memegangi keningnya yang berdenyut, ia hanya ingat semalam sedang minum dengan Danu sahabatnya sekaligus asisten pribadinya. Barra bahkan tidak ingat bagaimana ia berhasil pulang kerumah.
"****, pusing sekali aku," ucap Barra.
Barra memutuskan untuk mandi karena matahari sudah mulai menampakkan dirinya. Ia berharap Ryana tidak akan memperpanjang masalah ini. Setelah mandi, Barra membereskan dokumen yang hendak ia bawa ke kantor. Ia memilah-milah lembaran yang berserak diatas meja kerjanya. Saat hendak keluar kamar untuk sarapan tanpa diduganya Ryana melintas di depan kamarnya, dengan spontan ia menarik lengan Ryana untuk masuk kedalam kamarnya.
"Maaf Ryana, sepertinya aku mabuk semalam dan tidak sengaja masuk kedalam kamarmu," ungkap Barra dengan penuh penyesalan.
"I-iya Mas," ujar Ryana gagap tidak berani menatap wajah kakak iparnya itu karena malu. "Bagaimana kalau kita melupakan kejadian semalam?" sambung Ryana.
Akhirnya mereka sepakat untuk mengubur dalam-dalam kejadian panas semalam. Ryana pun keluar dari kamar Barra dengan hati-hati karena tidak ingin orang di mansion ini berprasangka buruk tentangnya. Setelah Ryana menghilang dari pandangannya, Barra pun keluar melangkah menuju ruang makan karena tradisi di mansion ini, semua anggota keluarga harus sarapan bersama.
"Pagi semuanya," sapa Barra saat sudah sampai di meja makan dan duduk di sisi sebelah kiri kakeknya dan berhadapan dengan papanya.
Barra melihat semua anggota keluarganya sudah berkumpul termasuk juga dengan Ryana dan Dipta. Mereka sarapan seperti biasanya, ada pembahasan tentang bisnis di sela sarapan keluarga kaya ini. Keluarga Narendra memang keluarga terpandang di negeri ini, berbagai macam bidang bisnis dijalani oleh keluarganya dan salah satunya tentang perhotelan yang Barra kelola. Sedangkan Dipta bertanggung jawab di bidang E-ecommerce dan papa Bagas menangani bisnis batubara milik kakek Narendra.
Barra berangkat menuju kantornya dan sesampainya disana ia disambut oleh Danu dan juga Dara sekretarisnya. Dara membacakan jadwal hari ini seperti biasa, tapi Barra meminta agar semua rapatnya hari ini ditunda karena ia merasa tidak enak badan.
"Baik pak," ucap Dara lalu permisi untuk kembali menuju meja kerjanya.
"Katakan padaku, semalam apa kau mengantarku pulang kerumah?" tanya Barra saat saat sesudah Dara meninggalkan mereka berdua.
"Tentu saja, apa ada masalah?" tanya Danu bingung melihat tingkah bosnya.
Barra menceritakan tentang apa yang terjadi semalam antara dirinya dan juga Ryana. Mereka memang sudah akrab semenjak di bangku sekolah menengah keatas. Jadi merupakan hal yang lumrah bagi mereka untuk saling bertukar cerita bahkan tentang masalah pribadi antara keduanya.
"Wait, what? Ryana yang cantik dan seksi itu?" tanya Danu tidak percaya dengan apa yang diceritakan oleh bosnya itu.
Barra hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Danu. Ia akui, adik iparnya memang cantik dan seksi bahkan kepribadiannya yang periang membuat orang yang berada di dekatnya merasa nyaman. Danu mencerna cerita bosnya dengan seksama karena yang ia tahu bosnya sangat pemilih kalau soal wanita, bagaimana bosnya bisa berakhir diranjang adik iparnya?
Percakapan mereka berdua terhenti saat suara ketukan pintu terdengar. Dari meja kerjanya Barra sedikit berteriak mempersilahkan masuk. Wajah Dara yang muncul dari balik pintu besar itu.
"Permisi Pak, ada tamu ingin menyerahkan dokumen," ucap Dara.
Barra mengangguk dan bangkit berdiri, kedua tangannya merapikan dasi yang terkalung di kerah kemejanya. Dara mempersilahkan tamu tersebut untuk melewatinya agar bisa masuk kedalam ruangan presiden direktur.
"Ryana," ucap Barra saat melihat tamu yang dimaksud oleh sekretarisnya itu.
Ryana muncul dengan kedua tangan mendekap sebuah amplop berwarna coklat.
Ryana sedang bersantai mengobrol dengan mama Sinta mertuanya, tiba-tiba Bagas muncul dengan membawa amplop berwarna coklat. Ia menyerahkan amplop itu kepada Sinta istrinya.
"Ma, tolong bawakan dokumen ini ya ke Barra, Papa lupa tadi," ucap Bagas kepada Sinta lalu Bagas berlalu kembali ke ruang kerjanya.
"Ry, antarke ke Mas Barra ya. Mama ada janji sebentar lagi, siapa tahu itu dokumen penting. Antarkan ya Ry," pinta Sinta kepada menantu perempuannya itu.
"Iya mah," jawab Ryana singkat.
Ryana terpaksa menyanggupi perintah mama mertuanya itu, padahal didalam hatinya sudah bertekad tidak akan berurusan lagi dengan kakak iparnya itu. Ia pun bangkit berdiri dan mengambil tasnya dan juga kunci mobil.
Mobil Ryana tampak melaju dengan kecepatan standart sampai pada bangunan yang menjulang tinggi. Heavens Hotel adalah hotel mewah di kota ini, hotel ini yang dikelola oleh kakak iparnya. Ryana memarkirkan mobilnya di basement.
Ryana menarik napasnya saat berada di dalam lift, Ia menekan lantai sepuluh tempat dimana ruangan Barra berada. Ryana melangkah keluar dari lift dan disambut oleh senyuman Dara. Ryana pun menjelaskan kepada Dara maksud kedatangannya.
"Mohon tunggu sebentar, Bu," ucap Dara.
Setelah itu Ryana melihat sekretaris dari Barra membuka pintu ruangan yang bertuliskan presiden direktur dan memperlihatkannya untuk masuk. Ryana pun melangkah dengan rasa canggung untuk bertemu dengan kakak iparnya.
"Mas Barra," ucap Ryana canggung. "Ini dokumen yang di titipkan mama Sinta," sambung Ryana lagi.
"Makasih Ry," jawab Barra dengan meraih amplop yang disodorkan olehnya.
Danu yang merasakan kecanggungan antara bosnya dengan Ryana mencoba untuk mencairkan suasana. Ia pun menyapa Ryana dan wanita berambut coklat itu menyambut sapaan dari Danu. Barra mempersiapkan Ryana untuk duduk namun ia menolaknya.
"Ryana langsung pulang aja mas," ucap Ryana tak lupa ia juga berpamitan kepada Danu.
Jantung Ryana berdetak lebih kencang dari biasanya. Bagaimana tidak, jika melihat kakak iparnya di otaknya langsung terbesit kejadian panas malam itu. Bagaimana cara kakak iparnya mencium dan menyentuh tubuhnya ia masih ingat dengan jelas.
Pintu lift terbuka di lantai lobby hotel, disitu Ryana melihat suaminya dan Febby sahabatnya. Ia pun keluar dari lift untuk menyapa mereka. Ia melangkah menuju tempat mereka duduk dan memanggilnya.
"Dipta!" panggil Ryana.
Yang mempunyai nama langsung menoleh kesumber suara diikuti oleh kepala Febby yang juga ikut menoleh. Febby adalah sahabat Ryana saat sedang kuliah di Turki. Sekarang Febby bekerja sebagai sekretaris suaminya. Ryana memeluk suaminya dan juga, sahabatnya karena mereka sekarang jarang bertemu dikarenakan sibuk dengan pekerjaan.
"Kamu ngapain disini Ry?" tanya Dipta kepada istrinya.
"Tadi disuruh mama nganterin dokumen ke Mas Barra, kalian mau meeting ya?" Ryana bertanya balik ke suaminya.
Dipta hanya mengangguk dan mereka berpisah karena jam rapat direksi yang akan berlangsung. Ryana melangkah menuju basement tempat dimana mobilnya berada dan langsung pulang kerumah.
•••
Sepanjang rapat, Barra merasa gelisah karena akhirnya ia mengingat kejadian semalam. Seperti sedang menonton tayangan ulang film, setiap adegan per adegan ia mengingatnya bahkan suara ******* adik iparnya pun ia ingat dengan jelas. Barra pun berkeringat diruangan yang suhu AC nya sudah mencapai enak bekas derajat.
"Mas, are you ok?" tanya Dipta yang duduk di sebelah kanannya.
Barra hanya mengangguk lalu meneguk segelas air putih di hadapannya. Pikirannya tidak fokus dan meminta untuk menunda rapat. Ia kembali ke ruangannya diikuti oleh Danu dan Dara di belakangnya. Barra meregangkan dasinya melihat kearah luar jendela.
"What's wrong Barra?" tanya Danu yang berada di belakangnya.
"Aku ingat semua kejadian semalam," jawab Barra jujur.
Belum sempat Danu bertanya kepada bosnya, Dipta datang dengan raut wajah cemas karena sewaktu rapat tadi sepertinya kakaknya tidak baik-baik saja. Dipta datang diikuti dengan Febby dibelakangnya.
"Mas, kau sakit?" tanya Dipta cemas.
"Hanya sedikit pusing, kita tunda rapatnya besok pagi saja ya dan tolong beri kabar pada papa," jawab Barra berbohong tentang sakitnya.
Dipta mengangguk mengiyakan perintah kakaknya, ia pun meraih ponsel yang berada didalam saku jasnya. Setelah menelepon papanya, Dipta menelepon dokter Cindy untuk memeriksa keadaan kakaknya. Tidak membutuhkan waktu lama untuk dokter Cindy datang ke kantor Barra karena memang hotel yang dikelola Barra ini berada dipusat kota.
"Aku akan beristirahat disini, kau pulanglah atau kembalilah bekerja," perintah Barra kepada adiknya itu.
"Telepon aku kalau terjadi sesuatu," ucap Dipta lalu pergi meninggalkan ruangan kakaknya.
"Apa tidak lebih baik jika kau pulang kerumah?" saran Danu saat dokter Cindy juga meninggalkan ruangan.
"Dan bertemu dengan Ryana dirumah? Ah tidak lebih baik disini," jawab Barra.
"Bukankah kalian sepakat untuk melupakan malam itu? Apa kau malu?" Ejek Danu.
Perkataan Danu membuatnya tambah pusing. Memang benar ia dan Ryana sepakat untuk melupakan kejadian itu, tapi entah kenapa semakin ia mencoba untuk melupakannya wajah Ryana malah selalu muncul dipikiran Barra. Ia mengambil segelas air putih dan meminumnya bersama dengan obat yang diberikan oleh dokter.
Barra membuka matanya, ia melirik jam tangan yang beradi di pergelangan tangannya. Sudah pukul sembilan malam, ia benar-benar terlelap karena obat yang diberikan dokter Cindy. Barra pun bangkit berdiri melangkah menuju pintu. Ia melihat Danu dan Data sedang berbincang.
"Kenapa kalian belum pulang?" tanya Barra terkejut melihat mereka yang masih belum pulang. "Dara, seharusnya kamu pulang saja. Sudah malam," sambung Barra.
"Dia tidak sedang menunggumu, tapi menungguku," sahut Danu.
"Wait, are you guys dating?" tanya Barra spontan.
"Ayo, aku traktir kamu makan malam," sahut Danu tidak menjawab pertanyaan sahabatnya itu.
Barra dan Danu makan malam disebuah restoran Jepang. Saat sedang menyendoki ramennya, ia malah teringat akan Ryana yang menyukai salah satu menu yaitu sushi. Ia menghembuskan napasnya dengan kasar, hal itu membuat Danu terkejut.
"Kenapa lagi sih?" tanya Danu penasaran.
"Haruskah aku membungkuskan sushi kesukaan Ryana?" Barra balik bertanya. Danu malah tertawa geli melihat tingkah sahabatnya itu.
Danu mengantarkan Barra pulang kerumah pada pukul dia belas malam, sehabis makan malam mereka pergi ke club untuk bersenang-senang. Barra melihat lampu-lampu yang menyala menghiasi kota ini pada malam hari. Masih banyak kendaraan lalu lalang padahal sudah larut malam.
"Hah, apa itu?“ ucap Danu saat mobil mereka memasuki daerah yang sepi dan tidak ada lampu.
Mendengar ucapan sahabatnya, Barra pun mengikuti arah bola mata Danu. Ada seorang wanita berjalan pelan dengan sedikit pincang. Wanita itu hanya menggunakan kaos putih dan celana pendek.
"Pelankan mobilnya," perintah Barra.
Mobil mereka melaju dengan kecepatan dibawah rata-rata. Barra menyipitkan matanya agar bisa mengenali wanita itu.
"Stop! Stop, stop!" teriak Barra yang membuat Danu mengerem mendadak.
Barra membuka pintu mobil dan berlari ke arah wanita itu. Betapa kagetnya ia, saat melihat kondisi wanita itu yang sedang menangis dengan kedua lutut berdarah, telapak tangannya juga berdarah.
"Ryana!" ucap Barra.
Pandangan mereka saling bertemu, perlahan Barra mendekati Ryana dan langsung memeluknya.
Ryana sedang menyisir rambutnya saat ponsel suaminya berdering. Ia melihat layar ponselnya dan mendapati Febby sedang meneleponnya. Ryana pun mengangkat panggilan telepon itu.
"Halo Feb, Dipta lagi mandi. Apa yang mau disampaikan?" tanya Ryana dengan sopan.
Febby hanya mengatakan bahwa rapat besok pagi ditunda dan langsung menutup teleponnya. Ryana yang heran mengabaikan sikap sahabatnya itu lalu menaruh ponsel suaminya ketempat dimana tadi diletakkan.
"Kamu ngapain?" tanya Dipta yang ternyata melihat istrinya memegang ponselnya.
"Tadi ada telepon dari Febby katanya rapat besok pagi ditunda," jawab Ryana.
"Aku ngga suka kamu pegang ponselku," sahut Dipta.
Mendengar perkataan Dipta membuatnya heran, Ryana merasa statusnya sebagai istri berhak untuk melihat atau membuka ponsel pasangannya. Ia melihat suaminya dari pantulan kaca yang sedang memainkan ponselnya.
"Aku kan istri kamu, masa ngga bisa pegang ponsel kamu sih?" Ucap Ryana kesal.
"Urus aja urusanmu sendiri," sahut Dipta yang tak kalah kesal.
Dengan cepat Dipta mengganti pakaian tidurnya dengan pakaian casual, seperti mau pergi. Melihat suaminya yang hendak pergi Ryana mengejar suaminya. Tapi langkah Dipta sangat cepat sehingga membuat Ryana sedikit berlari.
"Dipta! Dipta tunggu!" Panggil Ryana.
Suaminya tidak merespon panggilannya, dia malah mempercepat langkahnya menuju parkiran mobil. Dengan cepat Ryana masuk kedalam mobil suaminya bersamaan dengan Dipta yang masuk kedalam mobilnya. Dipta menatap wajah istrinya dengan tatapan tajam dan malajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Dipta! Kamu kenapa sih?!" tanya Ryana yang kebingungan dengan tingkah laku suaminya.
Sampai pada jalan sepi, yang jauhnya sekitar satu kilometer dari rumah Dipta menghentikan mobilnya. Tanpa sepatah kata apapun dia keluar dari pintunya berjalan menuju sisi Ryana. Dengan kasar Dipta membuka pintu mobilnya dan menyeret Ryana keluar.
"Turun kamu!" bentak Dipta.
Ryana sempat melawan suaminya, ia menahan dirinya agar tidak keluar dari mobil. Tapi kekuatannya tidak sebanding dengan suaminya yang berotot. Dipta mendorong tubuh Ryana hingga ia jatuh tersungkur di jalan bebatuan dan membuat Ryana terluka.
Dipta kembali masuk kedalam mobilnya lalu pergi meninggalkan istrinya yang masih tersungkur dijalanan. Ryana melihat mobil suaminya sampai mobil itu hilang dari pandangannya. Ia melihat sekelilingnya yang gelap dan sunyi. Ryana melihat kedua lututnya yang terluka dan dengan susah payah dia berdiri melangkah dengan sedikit pincang.
Mata Ryana berkaca-kaca, ia tidak sanggup lagi menahan air matanya. Rasa sakit ditubuhnya tidak sebanding dengan luka dihatinya. Ini pertama kalinya suaminya bersikap kasar kepadanya hanya karena masalah sepele. Ryana bahkan tidak sadar seseorang berdiri di hadapannya dan memanggil namanya. Ryana mendongakkan kepalanya, Ia melihat Barra melangkah kearahnya dan memeluknya.
"Apa yang terjadi?" tanya Barra bingung melihat keadaaan adik iparnya itu.
Ryana tidak menjawabnya, ia hanya menangis dipelukan kakak iparnya. Danu membawakan jas bosnya untuk digunakan oleh Ryana dan menuntunnya kedalam mobil. Didalam mobil Ryana tidak berbicara, ia hanya tertunduk menahan tangisannya. Sesampainya dirumah, Barra mengantarkan Ryana kedalam kamarnya.
"Tunggu sebentar ya," ucap Barra lalu melangkah keluar dari kamar Ryana.
Tak lama kemudian Barra datang lagi dengan membawa kotak P3K dan semangkok air. Barra berlutut dihadapan Ryana yang duduk ditepi tempat tidur, Ia membersihkan luka dilutut Ryana dan memberi obat merah.
"Apa Dipta yang membuatmu seperti ini?" tanya Barra. Ryana hanya mengangguk kecil.
"Tidurlah, Aku akan bicara dengan suamimu," ucap Barra. Ryana mengangguk lalu ia berbaring di tempat tidur. Barra membantunya menarik selimut lalu mematikan lampu kamarnya.
•••
"Halo kau dimana?" ucap Barra saat adiknya mengangkat telepon. "Cepat pulang aku tunggu di taman belakang!" sambung Barra lalu mematikan teleponnya, ia tidak memberikan kesempatan adiknya untuk berbicara.
Barra tampak kesal dengan kelakuan adiknya yang semena-mena terhadap istrinya. Selama tiga puluh menit ia menunggu kedatangan Dipta. Ia menggulung lengan kemejanya saat melihat sosok yang ditunggu akhirnya datang juga. Barra langsung melayangkan pukulan ke pipi Dipta yang membuat adiknya jatuh.
"Mas!" lirih Dipta.
"Kau ini banci atau apa?! Kenapa kau tinggalkan istrimu di jalanan?!' bentak Barra ke adiknya.
"Oh jadi dia ngadu?!" ucap Dipta tak mau kalah.
Sinta yang mendengar keributan keluar menuju balkon kamarnya dan mendapati kedua putranya sedang beradu mulut. Ia pun langsung berlari menuju putranya berada. Sesampainya di taman belakang Sinta langsung menahan Barra yang hendak melayangkan tinjunya kearah adiknya.
"Barra, Dipta! Stop!" Teriak Sinta. "Kenapa kalian berantem?" sambung Sinta.
"Tanya aja sama anak Mama yang kayak banci ini, beraninya sama perempuan!" ungkap Barra.
"Pelankan suaramu Barra, nanti kakekmu bisa terbangun dan kalian akan mendapatkan masalah," sahut Sinta.
Dipta yang tidak terima dikatakan banci oleh kakaknya langsung berlalu pergi. Barra menceritakan apa yang dilakukan adiknya terhadap Ryana. Hal itu membuat Sinta terkejut.
"Besok pagi Mama akan bicara pada Ryana, kamu istirahatlah," ucap Sinta pada anak sulungnya itu.
Pancaran sinar bulan kalah terang dengan sinar matahari. Langitpun merubah warnanya menjadi biru muda dengan banyak awan menghiasinya. Alarm dari ponsel Barra mengeluarkan suara kencang sehingga membuat pemiliknya membuka matanya dengan berat. Ia pun mematikan alarm diponselnya dan bersiap untuk kekantor.
"Bagaimana keadaan Ryana?" tanya Barra saat melihat Mamanya keluar dari kamar adiknya.
"Sepertinya dia masih shock, mama sudah beri obat penenang. Ayo kita turun kebawah," ajak Sinta.
Mereka sarapan seperti biasa, Kakek Narendra menanyakan keberadaan Dipta dan Ryana, tapi Sinta berhasil membuat alasan dan sepertinya Kakek Narendra percaya dengan alasan yang dibuat Sinta. Barra bergegas menghabiskan sarapannya dan pergi ke kamar Ryana.
"Apa kamu baik-baik saha?" tanya Barra. Ryana menganggukkan kepalanya.
"Makasih ya Mas," ucap Ryana.
"Bisakah kita berbicara sebentar? Aku akan menunggumu di taman belakang," ucap Barra.
Kaki Barra melangkah keluar menuju taman belakang. Disana dia duduk di bangku taman menunggu kedatangan Ryana. Tapi bukannya Ryana yang datang malah Kakek Narendra duduk disebelahnya. Raut wajah Barra berubah menjadi bingung.
"Barra," ucap sang Kakek, Barra menoleh menatap Kakeknya.
"Kakek sudah mengatur pertemuanmu dengan seorang wanita.
"T-tapi," belum sempat Barra mengakhiri perkataannya, Kakek Barra mengisyaratkannya untuk diam.
"Kakek mengenalnya secara langsung, dia pernah membantuku walaupun dia bukan putri dari keluarga orang kaya seperti Ryana. Tapi aku menyukainya. Malam ini kalian akan bertemu di Beautee Restaurant," ucap Kakek Narendra.
Barra menghembuskan napasnya dengan kesal saat Kakeknya susah pergi meninggalkannya sendirian. Padahal dia ingin berbicara kepada Ryana mengenai kegundahan hatinya. Barra bangkit berdiri saat ia membalikkan badannya ia melihat Ryana yang tersenyum manis.
"Mau ngomong apa mas?" tanya Ryana.
"Sepertinya aku jatuh cinta denganmu," ucap Barra tanpa berpikir panjang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!