NovelToon NovelToon

Jodohku Ternyata Sahabat Kakakku

01

21 Juni 2022,

"Neng, kamu lagi ngapain? sini deh duduk sama Abang. Mau bicara sebentar," ucap Bang Daffa.

Pagi itu tiba-tiba Bang Daffa memanggilku ke ruang tengah untuk mengobrol bersamanya.

Aku keluar menggunakan baju tertutup seperti biasanya. "Ada apa Bang?" tanyaku sembari duduk di sofa sebelahnya.

"Punya pacar gak sekarang?" tanya Bang Daffa.

"Enggak. Emangnya kenapa?" tanyaku penasaran.

"Pas berarti," ucap Bang Daffa membuatku semakin tidak mengerti.

"Pas apaan maksudnya Bang?" tanyaku penasaran.

"Gak usah banyak tanya, nanti ada yang mau kenalan sama kamu," ujar Bang Daffa.

"Siapa?" tanyaku tambah penasaran.

"Temen Abang. Sebenernya kamu udah tau dia juga sih, cuman katanya boleh gak kalau deket lebih dari kenal maksudnya," lanjut Bang Daffa.

Mataku langsung terbelalak mendengarnya. "Siapa Temen Bang Daffa yang naksir gw?" batinku terus bergumam penasaran.

"Udah sana mandi, nanti dia dateng kesini kok," suruh Bang Daffa.

"Siapa sih Bang? jadi penasaran aku," tanyaku masih duduk di sofa dengan rasa penasaran.

"Iya kamunya mandi dulu, sebentar lagi dia dateng. Emangnya gak malu mau nemuin dia kayak gini dandanannya?" tanya Bang Daffa.

"Yaudah, aku mandi dulu," ucapku sembari melangkah pergi.

setelahnya, Aku dengan santainya masuk ke kamar melewati ruang tengah dan sedikit melirik ke ruang tamu sebelum masuk ke dalam kamar.

"Kok barusan Abangnya kayak ada 2?" gumamku baru saja tersadar.

"Ah mungkin karena gak pake kacamata kali ya!" batinku berpikir positif.

Aku mengikat rambut dan memakai kerudung setelah sedikit memakai make up agar terlihat fresh.

Mana mungkin aku tidak berdandan sama sekali jika akan dikenalkan dengan Teman Bang Daffa.

"Neng udah selesai belum dandannya? Lama banget, gak usah cantik-cantik banget," panggil Bang Daffa dengan sedikit ledekan di belakangnya.

Aku keluar dari kamar memakai gamis warna hitam dengan kerudung pashmina berwarna abu muda.

Laki-laki disamping Bang Daffa merekahkan senyumnya saat melihatku. "Udah kenalkan sama dia?" tanya Bang Daffa padaku.

"Bang Furqan kan?" tanyaku dianggukinya.

"Tuh kan enak kalau udah saling kenal. Jadi gak perlu dijodohin bisa deketin sendiri," ujar Bang Daffa.

"Gw tinggal kalian ngobrol aja ya! Gak enak pastikan di dengerin sama orang," ucap Bang Daffa pergi ke dapur menemui istrinya.

Tanganku gemetar, jantungku rasanya tidak karuan. "Nur bener gak punya pacar?" tanyanya mengawali pembicaraan kita.

"Enggak Bang. Nur lagi sendiri sekarang," jawabku.

"Panggilnya Kak Furqan aja, Jangan Abang. Kayak ke tukang bakso," ucapnya dengan sedikit humor membuatku terkekeh.

"Kak Furqan bisa aja," ucapku.

"Nah kayak gitukan enak dengernya," ucap Furqan tersenyum.

"Nur pasti udah denger dari Bang Daffa tentang maksud Kak Furqan kan?" tanya Furqan.

"Udah Kak, tapi....-" ucapku sedikit ragu.

"Kenapa? Lagi gak mau deket sama orang ya?" tanya Furqan.

"Enggak Kak, bukan gitu. Cuman aneh aja, masa temennya Bang Daffa mau deketin Nur," ucapku membuatnya tersenyum.

"Emangnya kenapa kalau Aku tertarik sama Nur?" tanya Furqan membuatku terdiam seketika.

Furqan tersenyum melihat wajahku yang sudah merona menahan malu. "Nur, Aku serius sama ucapan aku," ucapnya.

aku menoleh seraya sedikit tidak percaya dengan ucapannya. "Kalau bisa aku serius sama kamu," ucap Furqan melanjutkannya.

"Kak Furqan kenapa milih Nur?" tanyaku dengan sejuta pertanyaan dipikiran.

"Gak ada alasan. Aku udah milih kamu dari dulu dan satu-satunya, Insyaallah," ucap Furqan.

"Insyaallah disini apa maksudnya Kak? Kak Furqan mau dua-in aku?" tanyaku membuatnya terkekeh.

"Jadi kamu mau serius sama aku?" tanya Furqan.

"Ma-maksud Nur, kalau Nur mau Kak Furqan ada niatan nge-dua?" tanyaku.

"Ya enggaklah. Masa udah berjuang dari dulu setelah dapet malah nge-dua," ucapnya membantah.

"Dari dulu?" tanyaku.

"Kalau itu nanti lagi ceritanya. Jadi jawabannya mau kan?" tanya Furqan memastikan.

"Yaaa ... Kalau mau deket boleh kok," jawaban dariku membuatnya tersenyum lebar.

"Berarti boleh minta nomor teleponnya?" tanyanya sembari memberikan ponselnya.

Aku tersenyum dan mencatatkan nomor teleponku di ponselnya. "Nih Kak," ucapku.

"Kak Furqan kapan datangnya tadi? Kok waktu aku di kamar gak kedengeran suaranya?" tanyaku bingung.

"Aku udah dateng dari waktu kamu keluar dari kamar mandi dan jalan masuk kamar," jawab Furqan dengan santainya.

Mataku terperanjat dan tersadar, ternyata benar yang aku lihat tadi bukan bayangan Bang Daffa yang menjadi 2 karena aku tidak memakai kacamata.

Tapi itu memang Kak Furqan yang sudah datang dan melihatku tanpa kerudung.

"Berarti Kak Furqan liat aku gak pake kerudung dong?" tanyaku dianggukinya.

"Ya terus kenapa? Dulu aku liat kamu pake celana pendek milik Bang Daffa, kamu biasa aja," ucap Furqan dengan santainya.

"Kak Furqan gak usah diinget-inget lagi. Itukan sebelum aku pake kerudung," ucapku malu.

"Gak apa-apa, Aku yang dosa disini. Aku mau kok tanggung jawabnya," ujar Furqan. Aku menoleh padanya terkejut.

"Tanggung jawab dosanya? Atau apa nih?" tanyaku curiga.

"Iya tanggung jawab sama kamu. Nikahin kamu," jawabnya.

"Kak Furqan.... Udah, Aku gosong lama-lama," ucapku agar dia berhenti membicarakannya.

Furqan terkekeh melihatku yang menutup wajah karena mulai panas. Bang Daffa dan istrinya masuk ke ruang tamu dan bergabung dengan kita berdua.

"Kenapa Neng? Mukanya merah banget gitu?" tanya Bang Daffa duduk bersama istrinya.

"Gak apa-apa, Aku cuman malu aja ternyata yang tadi itu Kak Furqan," jawabku pelan.

"Ya emangnya siapa lagi? Makanya kesehatan mata itu dijaga, kecil-kecil udah minus," ledek Bang Daffa sembari memakan pisang goreng buatan istrinya.

"Furqan, gorengannya di makan pasti laper kan Lo," ucap Bang Daffa menawarinya.

Kita bersama menikmati pisang goreng buatan Istri Bang Daffa. "Kak, Mamah kemana?" tanyaku tidak melihat Mamah sejak tadi.

"Mamah sama Bapak tadi mau pergi dipijit katanya gak tau kemana tapi," jawab Kak Asya.

Aku melirik ke arah Kak Furqan yang sedang asik mengobrol dengan Bang Daffa sekarang. Dia terlihat sangat rupawan dengan tubuh yang cukup tinggi.

"Gak usah senyum-senyum gitu mandangin-nya Neng," ledek Bang Daffa yang sejak tadi memperhatikanku.

"Siapa yang mandangin sih Bang, Neng cuman liat aja," jawabku membuat keduanya tertawa.

"Udah, gak usah nge-godain adik Lo lagi. Nanti lama-lama dia pergi lagi dari sini," ujar Furqan.

"Gimana? Neng setuju mau sama serius sama Furqan?" tanya Bang Daffa.

"Kak Furqan ngajakin-nya deket dulu kok," ucapku diangguki Furqan dengan cepat.

"Kenapa deket dulu? Kan kalian udah saling kenal ini," ucap Bang Daffa.

"Ya gak bia gitu dong Daf, Kan gw juga gak kenal adik lo kayak gimana. Dia juga perlu kenal gw dulu sebelum ke jenjang yang lebih serius lagi," ujar Furqan.

"Tuh kan Bang, dengerin makanya," ucapku.

Siangnya, Furqan pamit untuk pulang karena sudah terlalu lama.

"Nanti kalau telepon angkat ya!" pintanya sebelum pulang. Aku hanya mengangguk menjawabnya, sisanya itu hanya terserah aku saja mau menerima atau tidaknya.

"Neng, Abang harap Neng serius sama Furqan. Dia laki-laki baik, Abang kenal kok sama dia," ucap Bang Daffa sebelum aku kembali masuk kamar.

02

09 Maret 2014,

Aku baru saja pulang dari sekolah, usiaku baru saja menginjak 13 tahun. Dimana aku menjadi siswi kelas kelas 8 di sekolah menengah pertama.

"NUR PULANG!" Teriakku pada semua orang rumah.

Mamah menggelengkan kepalanya sembari sibuk memasak makan siang. "Ucapin salam Nur kalau masuk bukan teriak-teriak gak jelas kayak gitu," ucap Mamah.

"Iya Mah, Assalamualaikum Mamahku Sayang," ucapku sembari cengengesan dan menyalaminya.

"Malah cengengesan, Waalaikumsalam. Sana ganti baju terus makan siang," suruhnya.

"Nanti ajalah Mah, masih capek. Mau tiduran dulu bentar," ucapku nyelonong masuk ke kamar tanpa mendengarkan ucapan Mamah setelahnya.

Aku masih bersantai bahkan hingga dhuhur sudah mulai terlewat, aku belum juga bergegas makan siang.

Suara motor Bang Daffa baru saja terdengar masuk ke halaman rumah. Tapi suara motornya terdengar lebih riuh jika itu hanya satu.

Aku mengintipnya dari jendela kamar. "HAH.... Kok banyak temennya Bang Daffa? Mana gw belum makan lagi," gumamku terkejut.

"Assalamualaikum," salam beberapa teman Bang Daffa yang ikut dengannya ke rumah.

Dari ke-7 temannya hanya 2 orang perempuan sisanya laki-laki termasuk Bang Daffa. Mereka satu persatu bersalaman pada Mamah dan Bapak yang ada di rumah.

Aku terdiam di kamar, memikirkan caranya untuk pergi ke dapur tanpa rasa malu. "Mereka da dimana ya?" gumamku mengintipnya.

Aku mengganti seragam dengan celana pendek dari Bang Daffa dengan kaos santai yang sedikit kedodoran.

"Lari aja kali ya! Daripada laper kan," tekadku mulai bulat.

Aku dengan cepatnya berlari ke dapur tanpa melihat ke arah ruang tamu. Untungnya mereka berkumpul disana, setidaknya aku tidak terlalu terlihat karena lemari yang menjadi penghalang ruang tengah dan ruang tamu.

"Mamah kenapa gak bilang kalau mau ada temen-temennya Bang Daffa sih?" tanyaku berbisik.

"Orang tadi kamu yang gak mau dengerin Mamah, malah nyalahin sekarang. Udah laper?" tanya Mamah membuatku mengangguk.

"Yaudah pisahin dulu lauknya ke piring, terus bantuin Mamah bawa ini ke ruang tamu ya!" pinta Mamah malah menyuruhku menemui mereka.

Aku berjalan di belakang Mamah membawa sepiring gorengan dan cemilan lainnya untuk mereka.

"Ini siapanya Daffa, Mah?" Tanya seorang teman laki-laki Bang Daffa.

"Adiknya, panggil aja Nur," terang Mamah memperkenalkanku. Aku hanya tersenyum pada mereka lalu segera kembali ke dapur karena malu.

setelahnya, Aku makan siang seorang diri disana karena Mamah memilih ke rumah nenek disebelah.

"Mamah malah tinggalin aku, heran! anaknya malu juga," gerutuku sembari terus melahap makanan.

"Adik Lo cantik ya!" gumam seorang teman Bang Daffa yang ku dengar.

"Udah gak usah bahas lagi dia. Dia malu tadi juga," ucap Bang Daffa menghentikannya.

Teman laki-laki Bang Daffa lebih sering bermain ke rumah, bahkan ada yang sampai menginap.

Aku mulai terbiasa dengan keberadaan mereka yang hampir setiap hari berkunjung ke rumah walaupun hanya sekedar main game bersama.

Malam ini,

Kita sedang asik berkumpul sembari menonton tv. "Temen-temen Bang Daffa udah kayak anak yang dibuang tau gak," ujarku tiba-tiba membuatnya langsung menoleh.

"Lah emangnya kenapa?" tanya Bang Daffa.

"Iya tiap pulang sekolah kesini, emangnya gak puas maen di sekolah? Padahal rumah mereka juga deket-deket tuh," ucapku.

"Ya terserah Abang dong! Gak punya temen kan kamu makanya cemburu," ledek Bang Daffa.

"Kalian ini berisik terus, berantem aja sekalian," ucap Bapak yang sudah capek mendengar kita tidak pernah akur setiap harinya.

Kita berdua langsung terdiam sebelumnya. Tapi tetap saling menatap sinis tanpa omongan.

"Iya juga sih, Mamah ngerasa temen kamu itu sekarang sering kesini ya Daf," ucap Mamah.

"Tuh kan Mamah aja bilang kayak gitu," ucapku merasa didukung oleh Mamah.

"Nur .... Udah deh! Lagian Bang Daffa mau bawa temennya ataupun enggak, kan gak bikin rugi kamu ini. Dia juga gak nyuruh kamu ngapa-ngapain kan," ucap Bapak ingin tenang.

"Tuh kan, kata Abang juga apa, ngalah daritadi biar gak dimarahin Bapak," bisik Bang Daffa merasa puas.

Siang di hari berikutnya,

Aku berangkat ke sekolah kembali untuk mengikuti salah satu ekstrakurikuler. Sedang santainya berjalan tiba-tiba seseorang menawariku untuk menumpang dengannya.

"Ayo saya anter ke sekolahnya!" ajaknya membuatku langsung menoleh. Aku memang mengenalnya, dia salah satu teman Bang Daffa yang sering main ke rumah.

"Gak apa-apa Bang, aku bisa jalan sendiri aja kok," ucapku menolaknya dengan halus.

"Ayo bareng aja! Lagian sejalan juga," ajaknya untuk kedua kalinya.

Akhirnya aku mengalah dan ikut bersamanya. Dia melajukan motornya cukup pelan dan menikmati perjalanan.

Sesampainya di sana,

"Makasih ya Bang udah nganterin," ucapku sembari tersenyum.

"Iya gak apa-apa, lain kali kalau mau latihan pake celananya yang panjang. Nanti masuk angin, kan latihannya sore," pesannya tiba-tiba.

"Iya Bang, makasih nasehatnya," ucapku tersenyum lalu masuk ke sekolah.

"Dianterin siapa Nur barusan?" Tanya guruku.

"Oh itu temennya Bang Daffa, Pak. Kenapa gitu?" tanyaku.

"Gak apa-apa, Kayak pernah liat aja. Dikira pacar kamu," ujarnya.

"Bukanlah Pak, masa dia mau sama Nur," jawabku sedikit malu-malu.

Setahun sudah berlalu,

Aku pertama kalinya dekat dengan seseorang. Hari-hariku mulai berubah setelah mengenalnya.

Namanya Septian Pamungkas, Laki-laki yang usianya sama denganku namun berada di kelas berbeda.

Kita mulai dekat karena sering bertemu saat ekstrakurikuler. Dia mulai mendekatiku dan aku merasa tertarik padanya karena dia terlihat baik.

perilakunya yang begitu menyenangkan membuatku dengan mudahnya terpikat oleh Septian.

Tapi di penghujung tahun kelulusan ini, peringkat-ku turun drastis hingga aku berpikir mungkin berpacaran dengan Septian adalah suatu hal penyebabnya.

Setelah lulus dari sekolah menengah pertama, aku memutuskan hubungan dengan Septian secara sepihak. Tidak tahu dia akan menerimanya atau tidak yang jelas hari itu aku benar-benar terpuruk.

Aku merasa selama ini Septian berperan sebagai penyemangatku. Tapi ternyata selama menikmati waktu bersamanya aku terlalu jauh dari hal yang harus aku lakukan.

Setelah masuk SMA, aku berharap untuk tidak pergi ke sekolah yang sama dengannya tapi ternyata salah. Dia memilih sekolah yang sama denganku.

Suatu hari setelah pembagian kelas, aku merasa lega karena dia tidak sekelas denganku.

Hari demi hari, dia mulai kembali mengajakku mengobrol. Lebih sering menghubungiku dan hubungan kita menjadi lebih baik kembali setelah kelulusan kemarin.

Aku juga meminta maaf padanya karena sudah memutuskannya secara sepihak kemarin.

Aku memutuskan kembali dengannya. Tidak ada salahnya untuk menerima dia di kesempatan kedua ini.

Pulang sekolah sudah tiba, aku berjalan dengan beberapa temanku yang sering pulang bersama.

Septian memarkirkan motornya di depanku dan tersenyum. "Ayo aku antar pulang!" Ajaknya.

"Maaf Septian, tapi aku gak bisa. Orang rumah bakal marah kalau kamu anter aku," ucapku menolaknya dengan lembut.

"Bilang aja kamu gak mau aku antar karena motorku jelek-kan?" tanya Septian malah berpikiran seperti itu.

Aku menggelengkan kepalaku cepat. "Enggak sama sekali Septian. Itu semua salah," ucapku membantahnya.

Septian langsung pergi begitu saja dengan wajah kesalnya. "Pacar kamu pasti kesel itu, wajah dia merah banget barusan," tutur temanku.

"Biarin ajalah nanti juga baik lagi," kataku sedikit cuek walaupun rasanya tidak ingin seperti ini.

Sepulang dari sekolah, Septian sama sekali tidak menghubungiku. Aku hanya terdiam di kamar seharian ini.

Mamah masuk ke kamar karena khawatir. "Neng gak apa-apa?" tanya Mamah melihatku sedang menangis.

Aku langsung mengusap air mataku dan tersenyum padanya. "Gak apa-apa kok Mah, Neng cuman lagi pusing aja sama tugas. jadi kesel karena gak bisa," ucapku beralasan.

"Minta bantuin tuh sama Abang kamu, dia pasti bisa," ucap Mamah.

"Iya Mah nanti aku tanyain," ucapku.

03

  Malamnya Bang Daffa masuk ke kamar karena Mamah memintanya untuk mengajarkan aku.

  Padahal dia baru saja pulang bekerja, terlihat wajah lelahnya dengan bau keringat dibaju-nya.

"Pelajaran apa yang gak bisa?" tanyanya sembari duduk pada tepian kasurku.

  Aku menoleh padanya sedikit bingung harus menjawab apa. Dia menatapku heran menunggu jawaban dariku. Di atas meja belajar-ku bahkan tidak ada satupun buku yang sedang ku buka.

"Kenapa? Putus sama pacar kamu?" tanya Bang Daffa beruntun membuatku terkejut.

"Enggak, dia marah karena Nur gak mau dianterin pulang tadi," ungkap-ku membuatnya menghela napas cukup panjang.

"Nur ... Abang capek-capek pulang kerja disuruh Mamah buat ngajarin kamu. Kamu ternyata bohong sama Mamah," ujar Bang Daffa.

Aku menunduk sedikit takut karena melihat wajah Bang Daffa yang kecewa lalu keluar dari kamarku.

Pagi berikutnya,

Abang masih belum mau berbicara denganku sedikitpun. Bahkan menyapa pun tidak sama sekali. Aku bersalaman pada Mamah dan berangkat sekolah bersama temanku.

Sebelum sampai ke kelas, Septian sudah menunggu di depan gerbang. "Septian," sapaku berhenti di depannya.

"Aku mau minta maaf sama kamu, kemarin ninggalin kamu gitu aja. Kita baikkan ya?" tanyanya menatapku penuh harap.

Aku tersenyum karena sesuai harapanku. "Aku juga minta maaf Septian," ucapku merasa bersalah.

"Nanti pulang nonton dulu yuk!" ajak-ku padanya.

"Boleh, nanti kamu duluan aja ke bioskop ya! Aku ada keperluan dulu sebentar soalnya," kata Septian disetujui begitu saja olehku.

Dia selalu memperlakukanku dengan sangat manis. Walaupun kita lebih sering bertengkar semenjak hubungan kita yang memulai awal baru.

Jam setengah 4 sore,

Aku sudah menunggunya di bioskop dengan tiket yang sudah ku beli. Jam tayang movie itu masih sekitar 1 jam lagi.

Aku duduk dan menunggunya sembari memakan popcorn yang aku beli sebelumnya. Cukup lama aku menunggu bahkan sering aku lihat jam tangan yang ku pakai.

Bahkan orang-orang sudah masuk ke dalam ruangannya tapi Septian tidak kunjung datang. Bahkan nomornya sama sekali tidak aktif.

"Dia gak bakal dateng?" gumamku sudah berkaca-kaca.

Aku memutuskan untuk menunggunya sebentar lagi. Hingga movie itu sudah dimulai aku masih setia duduk menunggu Septian di sana.

Hari sudah mulai gelap,

Bang Daffa bahkan sudah pulang dari tempat kerjanya. "Bang, Adek kamu kabarin ke kamu mau pergi kemana gak?" tanya Mamah dengan wajah cemasnya.

"Enggak Mah. Kan Abang kerja juga, gak mungkin dia kabarin Abang. Emangnya dia belum pulang jam segini?" tanya Bang Daffa membuat Mamah mengangguk dengan wajah cemasnya.

"Kita coba hubungi dulu teman-temannya aja Mah, siapa tau dia main dulu," ucap Bang Daffa.

Mereka masuk ke dalam rumah dan mulai mencoba menghubungi teman-teman terdekatku.

"Bapak kemana?" tanya Bang Daffa.

"Bapak pergi nganter Kakek, untungnya Bapak gak ada. Kalau ada Nur bisa kena marah," tutur Mamah diangguki setuju oleh Bang Daffa.

Tidak lama dari itu,

Teman Bang Daffa datang ke rumah untuk bermain game bersama. "Furqan, kita gak jadi main deh malem ini!" ucap Bang Daffa membatalkannya.

"Loh kenapa?" tanya Furqan.

"Adek gw, Nur belum pulang," terang Bang Daffa.

"Udah ditanyain belum temen-temennya?" tanya Furqan ikut khawatir.

"Udah, tapi gak ada yang tau," jawab Bang Daffa.

"Yaudah gw cari sekitar sini deh, Lo juga. Nanti gw kabarin kalau ketemu," ucap Furqan langsung pergi begitu saja. Begitupun Bang Daffa yang ikut mencari.

Aku masih termenung di Bioskop, bahkan hingga movie itu selesai dan tidak lagi ramai orang.

Aku mulai menangis dan berjalan sembari menunduk. Hingga akhirnya aku menabrak dada seseorang di depanku.

"Eh maaf Kak," ucapku sembari menghapus air mata.

"Nur kenapa?" tanya seseorang itu terdengar mengenalku. Sontak aku langsung mendongak melihatnya.

Hikksss....

Furqan yang kebingungan membawaku untuk duduk kembali. "Kenapa Nur?" tanyanya.

"Bang Furqan, Nur takut buat pulang. Nanti Mamah sama Abang pasti marah," ucapku sudah ketakutan dengan tangan yang bergetar.

"Nur gak usah takut, Bang Furqan temenin ya!" ajak Furqan.

Furqan membawaku pulang setelah mengabari Bang Daffa, dia sudah menemukannya.

"Nur nonton sama siapa tadi? Kenapa malah nangis?" tanya Furqan di perjalanan pulang.

Awalnya aku hanya terdiam dan tidak ingin menjawabnya. "Maaf ya kalau Bang Furqan terlalu ikut campur. Tapi Nur udah bikin orang rumah khawatir tadi," ucapnya.

"Nur mau nonton sama Septian," ungkap-ku langsung membuatnya mengerem mendadak.

"Septian siapanya Nur?" tanyanya sedikit memutar badannya ke belakang.

Aku sedikit heran mendengarnya. "Pacar Nur," jawabku pelan sembari menunduk.

Furqan terdiam cukup lama di pinggir jalan. Dia sepertinya memikirkan sesuatu setelah mendengar jawabanku.

"Bang Furqan masih lama mau ngelamunnya?" tanyaku membuatnya tersadar.

Dia sama sekali tidak berbicara setelah itu hingga mengantarku ke depan rumah dan langsung pergi begitu saja.

"Bang Furqan kenapa sih? Aku salah sesuatu ya?" gumamku beruntun.

Aku masuk ke rumah dan mengucap salam. Bang Daffa dan Mamah sudah menunggu di ruang tengah duduk di sofa dengan wajah seriusnya.

"Darimana aja kamu?" tanya Bang Daffa dengan tatapan marahnya.

"Gak capek pulang sekolah terus ngelantur kemana-mana? Kamu itu gadis, Nur. Harusnya jaga perilaku, jangan gampangan jadi cewek," ucap Bang Daffa terlihat emosi lalu masuk ke kamarnya.

Mamah hanya terdiam tidak menggubris sama sekali. Dia langsung masuk ke kamarnya ketika aku duduk di sampingnya.

Keesokan paginya,

Karena hari ini libur, aku mengurung diriku setelah kejadian semalam. Takut jika Mamah dan Bang Daffa masih marah padaku.

"Nur gak keluar kamar ya Mah?" tanya Bang Daffa sembari melihat pintu kamarku yang masih tertutup rapat.

"Belum Daf, Mamah jadi khawatir," ungkap Mamah.

Bang Daffa mengetuk pintu kamarku untuk berbicara tentang semalam. Dia merasa bahwa dia bertanggung jawab padaku disaat Bapak tidak ada di rumah.

Toktoktok....

"Nur," panggilnya.

"Iya Bang?" sahutku dari dalam kamar tanpa berani membukanya.

"Abang boleh masuk gak? Mau bicara sebentar sama Nur," pintanya.

"Masuk aja Bang, gak dikunci kok," jawabku menyetujuinya.

Bang Daffa membuka pintunya dan masuk ke dalam. Dia duduk di tepian kasur di sampingku.

"Nur marah sama Abang karena udah marahin Nur semalam?" tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku menjawabnya.

"Nur, Abang gak mau kamu sakit hati terlalu dalam. Bang Furqan udah cerita sama Abang tentang kamu semalam," ucap Bang Daffa.

"Kalau dia gak bisa menepati janji kecilnya sama kamu, Abang harap kamu pikir-pikir lagi tentang hubungan ini sebelum perasaan kamu terlalu dalam sama dia," ucap Bang Daffa.

Aku sama sekali tidak menjawab apapun padanya. Memang selama hubungan dengan Septian rasa kecewa lebih besar dibanding dengan perlakuan manisnya yang sering membuatku luluh kembali.

Bang Daffa kembali keluar setelah berbicara seperti itu. Seharian itu aku memilih berdiam di kamar. Aku tidak melakukan apapun, hanya memikirkan perkataan Bang Daffa tadi pagi.

Bahkan sampai saat ini, Septian sama sekali tidak membalas pesanku. "Dia aja gak niat minta maaf sama aku, kenapa aku harus bertahan sama dia?" gumamku sembari melihat pesan yang sudah tercentang 2 itu.

Hari Senin berikutnya,

Aku berjalan santai masuk ke sekolah. Septian sudah terlihat kembali berada di gerbang sebelum masuk.

Dia kembali menahan tanganku ketika aku mengacuhkan keberadaannya. "Nur tunggu!" ucapnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!