"Ibu!" Embun terpekik saat mendapat kabar dari adik kandungnya jika ibu mereka jatuh tidak sadarkan diri di dalam kamar mandi rumahnya.
Kepanikan terlihat jelas di wajah putih Embun yang kini sudah nampak memucat. Tanpa memperdulikan posisinya yang sebentar lagi akan melanjutkan perkuliahan, Embun segera menyambar tas sandangnya yang tergeletak di atas meja kemudian berlari keluar dari dalam kelas.
"Embun, kau mau kemana?" Di depan pintu kelas, Kanya — sahabat baik Embun mencekal lengan Embun yang hendak berlalu melewatinya.
"Aku mau ke rumah sakit, Nya! Ibu jatuh di kamar mandi!"
"Apa?!" Kanya terkejut. "Lalu bagaimana keadaan Bibi sekarang, Mbun?" Tanya Kanya ikut panik.
"Aku juga tidak tahu, Nya. Ini aku mau pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Ibu!"
Kanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tak lagi banyak tanya walau sangat penasaran bagaimana kronologinya ibu Embun bisa jatuh di dalam kamar mandi.
Embun segera berlari meninggalkan Kanya setelah berpamitan pada Kanya untuk pergi.
Kanya yang ditinggal pergi oleh Embun pun menghela napas dalam kemudian memanjatkan doa agar ibu dari sahabat baiknya itu tidak kenapa-napa.
**
Embun melajukan motor matic miliknya dengan kecepatan kencang menuju sebuah rumah sakit yang berada dekat dengan rumahnya. Kondisi jalanan yang cukup sepi pagi itu seakan memudahkannya agar cepat sampai di rumah sakit tempat ibunya dibawa saat ini.
Hanya memakan waktu lima belas menit lamanya, kini Embun sudah berada di depan rumah sakit dan segera memarkirkan motor miliknya di parkiran yang sudah disediakan.
"Kak Embun!" Di depan ruangan UGD, seorang wanita memanggil nama Embun.
"Sophie!" Embun segera berlari ke arah adiknya berada. "Bagaimana keadaan Ibu, Sophie?" Tanya Embun cepat.
"Ibu masih diperiksa sama dokter, Kak." Jawab Sophie. Tak berbeda dengan wajah Embun yang nampak sangat panik, Sophie pun demikian.
Merasa tak mendapatkan jawaban pasti dari Sophie, Embun memilih mengintip ke dalam ruangan UGD untuk melihat keadaan ibunya saat ini.
Dari pintu kaca UGD yang transparan, Embun dapat melihat sang ibu yang sedang berbaring di atas brankar dan sedang diperiksa oleh seorang dokter.
"Bagaimana Ibu bisa jatuh di dalam kamar mandi, Sophie?" Tanya Embun dengan kedua bola mata yang nampak tergenang.
"Maafkan Sophie, Kak. Harusnya tadi Sophie gak membiarkan Ibu yang sedang sakit ke kamar mandi sendirian," sesal Sophie. Kepalanya pun tertunduk merasa sesal.
Embun menghela napas dalam-dalam. Ia tak berniat menyalahkan adiknya itu. Terlebih ia tahu bagaimana sikap ibunya yang tidak ingin menyusahkan anak-anaknya.
Keluarnya seorang dokter dari dalam ruangan UGD mengalihkan pandangan Embun ke arah dokter tersebut.
"Keluarga Ibu Jihan?" Ucap dokter tersebut.
Embun mendekati dokter tersebut dengan langkah lebar. "Bagaimana keadaan Ibu saya, dokter?" Tanyanya tak sabar.
"Dari hasil pemeriksaan, tidak ada cedera serius yang diakibatkan oleh jatuhnya Bu Jihan. Hanya saja ada beberapa lebam di bagian paha dan betis yang mungkin diakibatkan karena terbentur dengan lantai kamar mandi. Setelah Bu Jihan sadar nanti, kalian sudah bisa membawanya pulang."
Sophie dan Embun menghembuskan napas lega. Namun kecemasan di wajah mereka tak hilang sepenuhnya.
Dokter pun pergi meninggalkan keduanya setelah menyampaikan hasil pemeriksaan. Embun dan Sophie pun segera beranjak menuju brankar ibu mereka berada.
"Ibu..." Embun menatap nanar wajah sang ibu yang nampak pucat seakan tak teraliri darah di sana. "Maafkan Embun, Ibu. Seharusnya Embun gak kuliah tadi dan fokus merawat Ibu di rumah bersama dengan Sophie." Sesal Embun.
***
Hay... selamat datang di karya baru shy. Jangan lupa tinggalkan komen, like, vote dan gift dulu ya sebelum lanjut agar shy semangat ini nulisnya. Terima kasyi❤️
Satu jam setelah pemeriksaan, akhirnya Ibu Jihan sadar dari pingsannya. Embun dan Sophie yang melihatnya pun menghembuskan napas lega. Keduanya memeluk tubuh sang ibu sambil mengucapkan rasa syukur karena masih bisa melihat ibu mereka sadar kembali.
"Ibu kenapa bisa jatuh di kamar mandi?" Tanya Embun lembut dengan kedua mata yang nampak memerah menahan tangis.
Bu Jihan menatap nanar wajah putri sulungnya itu. "Maafkan Ibu, Embun. Karena tidak hati-hati, Ibu jadi terpeleset dan jatuh di kamar mandi."
Embun menggelengkan kepalanya. "Ibu gak salah. Embun lah yang salah karena tidak menjaga Ibu bersama Sophie."
"Jangan menyalahkan dirimu, Nak. Ini semua murni kesalahan Ibu." Jawab Bu Jihan.
Embun menghela napas dalam. Kali ini ia tidak berniat lagi menjawab perkataan ibunya mengingat ibunya baru saja sadar dari pingsannya dan tidak baik dibawa berbicara terlalu banyak.
"Ibu dan Sophie tunggu sebentar di sini, ya. Embun mau panggilkan dokter dulu untuk memeriksa keadaan Ibu."
Ibu dan Sophie menganggukkan kepalanya. Setelah mendapatkan jawaban, Embun pun bergegas memanggil dokter untuk memastikan keadaan ibunya kembali.
Setelah dokter memastikan keadaan ibu mereka dalam keadaan baik-baik saja, Embun dan Sophie pun membawa Ibu mereka untuk pulang.
**
Dua hari telah berlalu sejak tragedi Ibu Jihan jatuh di dalam kamar mandi. Dan hari ini, sudah tepat dua minggu Bu Jihan tidak masuk bekerja sebagai pembantu di rumah majikannya.
"Embun, apa sebaiknya besok Ibu masuk kerja saja. Rasanya Ibu segan pada Bu Meisya karena sudah dua minggu gak masuk bekerja. Lagi pula saat ini Ibu merasa sudah cukup enakan dan siap untuk bekerja kembali." Ucap Bu Jihan pada Embun yang baru saja masuk ke dalam kamarnya membawakan makanan untuknya.
Embun menghela napas dalam-dalam. Ditatapnya wajah ibunya yang masih nampak pucat. Walau ibunya berkata sudah baik-baik saja, namun Embun dapat melihat jika Ibunya masih belum sehat untuk bisa bekerja kembali.
"Ibu, bukannya kata Ibu majikan Ibu sangat baik kepada Ibu. Majikan Ibu bahkan sudah memberikan dispensasi untuk Ibu libur selama masih sakit." Jawab Embun.
"Walau pun begitu, Ibu merasa tidak enak pada Bu Meisya, Nak. Lagi pula, uang gaji Ibu bulan lalu sudah menipis. Kalau Ibu gak kerja, kita mau makan dari mana?"
Kedua kelopak mata Embun terpejam mendengar pernyataan di akhir perkataan ibunya. Sebagai tulang punggung keluarga, gaji ibunya sebagai seorang pembantu lah yang menghidupi kehidupan mereka selama ini. Jika Ibunya tidak kunjung masuk bekerja, maka dari mana mereka bisa dapat uang untuk makan dan kebutuhan sehari-hari?
"Seandainya saja Embun gak kuliah. Embun pasti bisa membantu Ibu mencari uang untuk hidup kita sehari-hari." Sesalnya.
Ibu Jihan mengusap rambut putrinya dengan sayang. "Jangan berbicara seperti itu, Embun. Ibu yang memintamu untuk fokus kuliah saja. Masalah mencari uang, itu adalah tugas Ibu."
Embun hendak kembali menyahut. Namun niat itu seketika ia urungkan saat mendengar suara seseorang mengucapkan salam di depan rumahnya.
"Siapa yang bertamu pagi-pagi begini." Gumam Embun. Merasa penasaran, Embun segera beranjak dari posisi duduk dan keluar dari dalam kamar Ibu untuk membuka pintu depan.
"Selamat pagi, maaf mengganggu." Ucap seorang wanita paruh baya yang masih nampak cantik di usianya yang tak lagi muda saat pintu baru saja dibuka Embun dari dalam.
***
Sejenak, Embun menatap sosok yang berada di depannya saat ini dengan tatapan kagum. Sosok wanita paruh baya yang berada di depannya saat ini sangatlah cantik dan mirip dengan salah satu artis papan atas.
"Maaf, Ibu mencari siapa, ya?" Tanya Embun ramah.
"Saya mencari Ibu Jihan. Apa Ibu Jihannya ada?" Tanya wanita paruh baya itu tak kalah ramah.
Mendengar nama ibunya disebut oleh wanita di depannya saat ini, lantas saja membuat Embun mengerutkan dahi. Ia merasa bingung bagaimana caranya wanita paruh baya itu bisa mengenali ibunya.
"Ada. Ayo silahkan masuk, Bu. Saya panggilkan Ibu lebih dulu," ajaknya.
Wanita paruh baya tersebut mengangguk. Kemudian melangkah masuk ke dalam rumah setelah membuka alas kakinya.
Embun pun segera melangkah ke arah kamar ibunya berada setelah mempersilahkan tamunya itu untuk duduk di atas sofa lebih dulu.
Masuk ke dalam kamar sang ibu, Embun lantas saja memberitahu ibunya tentang kedatangan seorang wanita paruh baya cantik yang mencari keberadaan ibunya.
Bu Jihan yang merasa penasaran dengan sosok yang mencarinya saat ini langsung saja mengajak Embun keluar dari dalam kamarnya walau dalam kondisi tubuhnya yang masih kurang sehat.
"Bu Meisya." Kedua kelopak mata Bu Jihan terbuka lebar menatap sosok majikannya yang kini berada di dalam rumahnya
Mom Meisya yang disebut namanya pun lantas saja menatap ke sumber suara kemudian tersenyum manis pada Bu Jihan.
"Bu Meisya?" Embun mengulang perkataan ibunya. Merasa tidak asing dengan nama yang disebutkan oleh ibunya tersebut. "Bu Meisya majikan Ibu?" Lanjutnya kemudian ketika menyadari sesuatu.
"Embun, perkenalkan ini Bu Meisya majikan Ibu." Ucap Bu Jihan setelah Embun duduk di sofa yang bersebelahan dengannya.
Embun menganggukkan kepala. Kemudian memperkenalkan dirinya pada Bu Meisya yang masih menunjukkan wajah ramah kepadanya.
"Maaf mengganggu waktu istirahat Bibi. Kedatangan saya ke sini hanya untuk menjenguk Bibi dan memberikan gaji Bibi bulan ini." Ucap Mom Meisya mengungkapkan maksud dan tujuannya kemudian mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Bu Jihan.
"Gaji apa ini, Bu? Hampir satu bulan ini saya tidak masuk bekerja, Bu. Rasanya tidak pantas kalau saya menerima uang ini." Ucap Bu Jihan sungkan.
"Tidak masalah. Bibi tetap dianggap hadir bekerja di rumah saya. Sekarang terimalah. Anggap saja uang ini sebagai tambahan untuk biaya pengobatan Bibi." Ucap Mom Meisya lembut.
Kedua bola mata Bu Jihan berkaca-kaca mendengarnya. Entah bagaimana caranya dirinya bisa membalas kebaikan majikannya yang sudah sangat baik kepadanya.
Embun yang melihat kebaikan dan ketulasan Mom Meisya pada ibunya pun turun merasa haru dan mengucapkan rasa terima kasihnya.
"Bu Meisya, bolehkah saya meminta sesuatu pada anda, Bu?" Tanya Embun setelah mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Mom Meisya.
"Apa itu, katakan saja." Jawab Mom Meisya.
"Sampai saat ini kondisi Ibu saya masih sangat belum meyakinkan untuk bisa bekerja kembali. Ibu masih suka sakit-sakitan dan lemas untuk dibawa bergerak. Maka dari itu, bolehkah saya menawarkan diri pada Ibu untuk menggantikan posisi Ibu saya bekerja sebagai pembantu di rumah Ibu?" Pinta Embun sungguh-sungguh.
Mendengar permintaan putri sulungnya tersebut lantas saja membuat Bu Jihan melebarkan kedua kelopak matanya. "Embun, apa maksud permintaanmu ini, Embun!" Ucap Bu Jihan sedikit keras merasa tak setuju dengan permintaan putrinya itu.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!