Kertas berukuran kecil berterbangan di dalam sebuah aquarium raksasa nan bening di atas panggung sebuah gedung stasiun televisi. Dengan seorang asisten host di dalamnya, mirip ikan hias yang dipajang.
"Siap?!" tanya nya berseru ke arah depan kamera yang tengah on.
Hap!
Beberapa buah kertas tertangkap di tangannya.
"Deg-degan ngga sih?! Excited ya...?!" ia keluar dan menyerahkan kertas di tangannya pada host acara, pria dengan stelan rapi dasi kupu-kupu serta rambut mengkilapnya menerima dengan senyuman lebar ciri khas pembawa acara talkshow. Kering-kering deh tuh gigi, yang penting penonton di rumah betah melihatnya.
"Jeng-jeng-jengggg!"
Dengan disaksikan oleh manager, CEO, pihak aparat, notaris dan pimpinan pelaksana juga seorang pemuka agama, biar acaranya diberkahi, mereka menggelar acara undian hadiah dari sebuah perusahaan pasta gigi teranyar dan terlaris di Indonesia.
Kertas undian kiriman dari para konsumen setia pasta gigi yang telah mengirimkan namanya bersama bungkusan produk, dibuka.
Seiring bunyi drum yang menggebu, degupan jantung para penonton serta orang-orang yang telah mengirimkan namanya berharap dipayungi hoki bersahut-sahutan begitu cepat, seolah ingin meledak, menunggu nama pemenang dibacakan host.
"Pemenang kulkas 10 pintu merk sharavvv jatuh pada....Euis, di Majalaya!"
Tepukan tangan seketika riuh di dalam gedung serta tempat dimana pemenang diumumkan, mungkin saja saat ini saudari Euis sedang sujud sukur sampe gelar wayang karena telah memenangkan undian berhadiah.
"Selamat buat ibu Euis, hadiah akan dikirimkan dalam 7 hari kerja, pajak ditanggung pemenang ya...." ucap si pembawa acara. Lalu selanjutnya hadiah sepeda motor dan gadget pintar dibacakan kembali oleh pembawa acara.
"Jani!" teriak ama dari dapur, sementara orang yang diteriaki sibuk komat-kamit sambil nyemil keripik singkong, melangitkan do'a biar namanya disebut oleh pembawa acara, tidak hadiah utama pun gadget pintar tak apa lah! Usahanya dengan membeli pasta gigi close to you saban waktu berharap bisa dapat hadiah undian.
Ia ingat saat ama'nya meminta Jani membeli pasta gigi Mpepso'dental, ia berbohong bahwa merk itu habis di warung dan membeli dengan merk close to you hanya demi mengikuti undian ini. Ia juga ingat mencari-cari kardus bekas close to you biar semakin banyak bungkus yang ia kirimkan ke Jakarta, sampai tempat sampah orang, ia obrak-abrik, segitu niatnya.
"Please---please nama saya atuh! Nama sayaaaaa! Rinjaniiii!" ia sampai memejamkan matanya seraya memohon pada Yang Maha Kuasa.
"Jani!" kembali ama berteriak memanggil, anak gadisnya itu sengaja cuti cuma buat nonton acara pengocokan undian, dasar gila!
"Apa, Ma?!" balasnya tak kalah berteriak, namun tidak berniat menghampiri.
"Belikan ama garam, Jan...lagian kamu, ngapain juga cuti cuma buat diam seharian, nonton sambil berharap hal begituan. Kalo mau pelesir ke luar negri, ya kerja! Bukan malah cuti..." ama'nya menyerahkan uang lembaran coklat, foto pahlawan yang raut wajahnya sama dengan Rinjani saat ini, cemberut! Menatap nyalang sang ama.
"Ma. Lagian Jani cuma sekali ini cuti, kerja terus...kaya raya engga, gila iya!" jawabnya. Ama hampir melayangkan sendal tepleknya kalau tak ingat bahwa Jani adalah anaknya.
"Jaga kewarasan...jaga kewarasan..." gumam ama menarik nafas kemudian membuangnya. Sekilas ama melihat apa yang menjadi pusat perhatian Jani, dan ikut duduk, "kamu masih mengharapkan menang?" tanya nya ikut merogoh keripik di toples yang ternyata sudah dalam.
Gadis yang cantiknya mirip ama namun belum mandi itu menoleh dengan rambut yang tercepol satu acak-acakan, cuti itu ajang buat mager, karena tekadnya kalo libur itu mau numpuk daki biar tebal.
"Namanya juga mimpi ma. Boleh lah setinggi langit. Satu-satunya hal yang gratis itu bermimpi, ngga bikin orang lain rugi juga kan?" jawabnya dengan pertanyaan.
Ama menegakan badannya dan menghela nafas macam orang mau lahiran, anaknya memang benar, "ya sudah lah, terserah kamu. Tapi kalau kenyataan menyadarkan kamu, jangan kecewa berlebihan..." ama beranjak dan menaruh uang di meja depan Rinjani, "jangan lupa garam dapur, ama mau masak. Garamnya habis," ucap ama.
Jani mengangguk melihat kepergian ibunya sekilas, dan kembali mengalihkan fokusnya pada televisi ramping hasilnya menabung selama setahun, meski hanya 24 inch, dan orang di dalamnya tak sebesar-besar aslinya. Apalagi untuk ama, yang matanya tak sesehat matanya, harus sampai mengernyitkan alis jika berada dalam jarak sedikit jauh.
"Dan, pemenang hadiah utama berlibur ke amerika.....adalah...."
"Semoga Jani...semoga Jani...semoga Janiiii!" ucapnya mengepalkan tangan, mengumpulkan harapan menjadi satu dan ia lemparkan ke pintu langit.
Alis si pembawa acara mengernyit demi menjernihkan pandangan, "Rinjani Odelia dari Sukabumi!" corvetti bersahutan menyambut sang pemenang.
"Aaaaaa! Amaaaa! Jani menang, Ma! Menangggggg!" sontak saja Jani melempar boneka yang sudah lepek karena sering dijadikan bantalan duduk oleh ama jika menjahit, dan berjoget ria sebagai bentuk euforianya atas kemenangan yang baru saja di dapat, rupanya menjadi orang miskin itu ngga bikin hidupnya si al-si al amat. Buktinya do'a nya lebih di dengar oleh Tuhan.
"Beruntungnya gue jadi orang miskin!" katanya bangga.
Tak menunggu sampai suku maya bangkit kembali lalu meramal akhir dunia, setelah menerima telfon dari pihak perusahaan pasta gigi ia langsung berangkat ke Jakarta untuk mengonfirmasi dan menerima hadiahnya.
"Ma, makasih ya ma udah ikut do'ain. Mimpi Jani buat pelesiran ke Amerika terwujud, nanti Jani bawain patung Liberty, tapi fotonya aja..." ucapnya masih gemas sekaligus tak menyangka.
"Ati-ati Jan, ibukota itu lebih kejam dari ibu tiri...Amerika apalagi, kaya bapak tiri." Wa Idu menasihati.
Gadis yang sudah menggendong ransel dan tas kain dapet dari kondangan itu mengangguk cepat, membuat kuciran satu rambutnya berguncang tak karuan, "titip ama, wa."
Sesosok ibu tua yang telah menampakan kerutan di sudut mata memeluk Jani, "Jangan lupa ibadah, tanyain kiblat sebelah mana, bisa bahasa inggris kan?" tanya ama.
Jani mengangguk dan sekali lagi memeluk ibunya diiringi suara deburan ombak pesisir Sukabumi. Rinjani, gadis yatim pesisir Sukabumi yang beruntung itu beranjak pergi dari rumah dengan segudang rencana dan agendanya selama di Amerika. Ia merasa begitu beruntung bisa pergi ke negri Adidaya itu untuk berlibur.
"Janiii!" seorang gadis berlari dari arah pantai, "jangan lupa oleh-oleh!"
Jani menoleh, "siap! Cowok bule?! Nanti Jani bungkus pake keresek ikan asin!" tawa Jani dibalas tawa Tita.
Tak ada taksi apalagi kendaraan pribadi, bahkan tak pula kendaraan online, mengingat ponsel Jani yang tak begitu support, diisi aplikasi dikit aja langsung abis memory penyimpanan.
Jani menatap jauh ke depan meski ia harus menyipitkan mata akibat dari teriknya matahari dan angin jalanan, bau amis dari air laut perlahan mulai hilang dari penciuman, ketika ia menjauh dari kawasan perkampungan pesisir.
"Jan, nanti...." ucap Mang Ujang, suaranya kencang sebab beradu dengan angin dan bisingnya jalanan.
"Apa mang?!!" tanya nya melongokan kepala ke arah kepala mobil, dari samping. Benar-benar gadis nekat, ia bahkan tak takut kepalanya tersabet kendaraan lain dan jadi buntung.
"Astagfirullah! Jangan gitu atuh neng! Nanti kepala kamu buntung!"
Jani malah tertawa dan menarik kembali lehernya, rupanya ia tak cukup nyali untuk bertemu malaikat Izrail hari ini.
"Iya...iya..."
"Nanti....kalo sudah sampai Jakarta kabari mamang, atau Uwa Idu!!" teriaknya.
Jani mengangguk di belakang bak mobil bersama beberapa kotak ikan dari pelelangan menuju pasar. Ia menumpang mobil itu untuk sampai ke terminal.
.
.
.
.
.
Noted :
Mang \=\> mamang, (paman)
Uwa \=\> Padhe/budhe (kakak dari orangtua)
Ia memang tak memiliki banyak keluarga, bahkan ayah yang seharusnya menjadi pelindung Jani dan ama sudah tiada sejak 10 tahun lalu, tak kembali setelah melaut. Namun begitu banyak tetangga yang menyayangi Jani dan ama'nya.
Ramainya terminal tak menyurutkan rasa gugup Jani, "ati-ati neng. Ini...pegang!" pinta mang Ujang menyerahkan lembaran uang yang ia gulung-gulung, tak seberapa tapi ia ikhlas memberikannya untuk Jani.
"Eh, apa ini mang!" ia menarik tangannya saat mang Ujang menyerahkan gulungan uang kertas itu ke tangannya, dan menggeleng, "engga mang. Jangan atuh, buat neng Sari aja..."
Mang Ujang berdecak, "buat Yai mah ada, ini buat kamu. Buat jaga-jaga takut nanti ketinggalan kereta atau pesawat, atau sesuatu yang tidak diinginkan. Taro uangnya di sepatu."
Jani tertawa kecil, "rupiah mah ngga akan laku di sana, mang. Lagian kalo di simpen di sepatu nanti bau atuh!"
Mang Ujang terjengkat, "ah! Masa ngga laku! Ini gede Jan, 300 ribu...gagabah!" elaknya.
Jani kembali terkekeh, "mamang, Jani teh mau ke Amerika, bukan Cibatu. Amerika mah, pakenya dollar! Bukan rupiah..."
"Terus gimana atuh, dituker aja nanti disana dituker ke money...money apa yah?! Itu lah pokoknya mah!" mang Ujang mendorong dan mengepalkan tangan Jani demi menerima uang itu. Terserah lah mau Jani belikan apa untuk bekal atau apa, yang penting tidak ia bakar.
"Makasih mang, titip ama ya...Jani pergi dulu!"
Lelaki paruh baya dengan kaos yang sudah pudar warnanya itu mengangguk seraya menyeka garis wajah dari keringat dan minyak, tak ada baju khusus untuk mengantar Jani bahkan ia hanya memakai sandal jepit saja.
Jani pergi menggunakan bus antar kota untuk mengantarkannya ke Jakarta. Dipandangnya hiruk pikuk terminal yang kemudian perlahan ia tinggalkan, bersama kepalan tangan yang memegang uang dari mang Ujang, lalu memasukannya ke dalam saku kemeja.
Ada helaan nafas lega bersama rasa bahagia, bahagia yang membuncah di dalam dadha. Hingga tak lama ia terlelap selama menempuh perjalanan.
"Yo! Kampung Rambutan!!"
Jani tergelonjak kaget mendengar seruan berteriak dari kernet yang menyerukan nama terminal pemberhentian selanjutnya.
"Amang! Jani turun disini!" katanya diangguki kernet. Dari sana ia masih harus naik angkutan umum menuju kantor perusahaan pasta gigi.
Kurang lebih menjelang siang ia sudah sampai di tempat tujuan, ditatapnya gedung tinggi pencakar langit lainnya disini. Benar kata orang, Jakarta itu langitnya udah bolong! Karena terlalu banyak gedung-gedung tinggi, saking tingginya rasa gengsi Jani saja kalah saing.
Alisnya mengernyit silau, "ini kayanya!" ia masuk ke dalam setelah sebelumnya bertanya pada satpam dan menyerahkan bukti pesan dari pihak perusahaan.
Hawa dingin seketika menyeruak di dalam ruangan ini, akibat AC dan Jani naik ke lantai 10 dengan diantar security menggunakan lift.
Ia duduk sebagai tamu penting, meskipun awalnya sang manager melihatnya meneliti dari atas sampe bawah kaya liatin manusia silver di kota tua. Jani mengendus aroma badannya takut jika ada bau amis ikan yang tertinggal, namun nihil.
"Saudari Rinjani Odelia?"
Rinjani tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putih nan rapi miliknya, beruntung ama selalu melarangnya makan permen dan aromanis ketika masih kecil dulu, sebab tak punya uang, mungkin hanya sekali-kali saja ia dibelikan, sehingga hari ini ia bisa percaya diri tersenyum lebar, persis brand ambassador iklan pasta gigi close to you.
\*\*\*\*
Penandatanganan sudah, penjelasan pajak hadiah sudah, lalu serah terima pun sudah, termasuk penjelasan akomodasi yang diberikan pihak perusahaan beserta uang saku yang diberikan. Kini yang harus Jani lakukan adalah mempromosikan produk mereka sebagai pemenang hadiah utama.
Jani sudah terlihat segar nan cantik, wardrobe dan make up artis sempat memolesnya sedikit tadi biar ngga keliatan kucelnya karena akan menghadapi kamera.
"*Oke, camera roll and*...."
"*Action*!"
Degupan jantung tak tau lagi seberapa kencangnya, mungkin genderang perang saja kalah kencang saat ini, terang saja ia jadi model iklan dadakan begini! Yang akan ditonton satu negeri bahkan mungkin sampe luar negara.
Berasa jadi Tasya Kamila!
"Kamu ngga pede deket sama si dia?! Ngga usah risau...." Jani menggeleng dengan luwes dan natural di depan kamera.
"Ini solusinya, pasta gigi close to you! Dengan tambahan siwak untuk memperkuat kekokohan gigi, biar sekuat pondasi beton! Mencegah gigi berlubang, serta wangi mint yang segar!"
"Haaaaaa!" Jani menguarkan hawa nafasnya, yang sudah sikat gigi sebelumnya, animasi di dalam iklan nantinya akan membuat hawa sejuk macam kepingan salju menguar dari dalam mulut Jani, macam nafas naga!
"Mau one step closer sama si dia, sikat gigi pake close to you!"
*Cutttt*!
Bagusss!
"Mbak Jani, nanti disana ketemu sama kak Sisca, yang akan jadi tour guide mbak Jani. Dia akan jemput di bandara JFK. Sebelumnya mbak Jani transit dulu di negri tetangga, tapi akan ada pihak maskapai yang menemani."
Jani mengangguk paham lantas mencatat semua di otak dangkalnya dan masuk ke dalam maskapai.
Excited dan gugup bercampur menjadi satu, kali pertama naik pesawat terbang begitu mendebarkan, padahal banteran ia naik perahu dan mobil bak terbuka.
Ia mengulas senyumnya semanis madu, lalu menyenderkan punggung di sandaran bangku, melepas sejenak beban hidup untuk pergi berlibur.
Rinjani berlari kecil ketika pramugari mengatakan sebentar lagi mereka landing, karena itu artinya ia sudah berada di negri paman Sam.
Ia terkekeh renyah membuka gorden jendela pesawat dan menempelkan telapak tangannya persis yang dilakukan anak kecil.
"Ama, Jani udah di Amerika..." gumamnya lirih, coba tebak berapa orang rakyat jelata macam dirinya yang beruntung bisa menjejakan kaki di negri adidaya ini gratisan? Hanya beberapa saja termasuk dirinya.
...***Rinjani Odelia***...
...***Close to you***...
Sebuah papan nama atas nama dirinya terlihat kala Jani mengedarkan pandangan dan menyipitkan mata, seorang wanita berkaos hitam dengan rambut pendek mengangkat kertas itu setinggi dadha.
"Kak Sisca?"
"Rinjani Odelia?"
Jani tersenyum lebar dan mengangguk cepat, mirip boneka dashboard.
.
.
Ia menatap mendongak dengan cara memutar badan melihat segalanya di luar bandara, kampungan memang! Tapi inilah dia dengan segala ketakjubannya, takjub akan negara yang sedang ia jejaki, takjub dengan takdir Tuhan untuknya, takjub dengan pamor negri ini.
"Rinjani, akomodasi hotel untuk pemenang berkelas melati. Tapi tenang, ukuran hotel melati pilihan kami disini cukup bagus," ucap Sisca.
Jani mengangguk, dimana saja yang penting bisa memejamkan mata tanpa kehujanan dan kepanasan, "ngga apa-apa kak. Yang penting ngga di emperan toko!" jawabnya ngasal, Sisca terkekeh dan mempersilahkan Jani masuk ke dalam mobil sewaan.
Diantara ramainya kota di malam hari itu, Jani melihat gemerlap malam yang tak pernah mati. Sebagai orang pesisir, Jani tak jarang melihat turis mancanegara di dekat perkampungan bahkan tempatnya bekerja, namun rasanya beda. Disini mereka melayani Jani, macam supir yang kini tengah berbicara bahasa Inggris bersama kak Sisca.
Entah apa yang mereka bicarakan, sabodo amat. Sing penting sekarang, Jani adalah ratunya!
...***Manhattan Broadway hotel***...
Beberapa orang berseliweran keluar masuk, ada yang sekedar datang untuk makan di cafetaria ataupun menginap. Hotel yang tak mewah sekelas hotelnya raja Salman, namun pula tak buruk macam kandang ayam, termasuk seorang gadis bule cantik dengan dandanan biasa yang baru saja masuk diikuti beberapa pria di belakangnya yang diam persis orang bisu berwajah cool nan garang, berdiri di samping kak Sisca melakukan check in.
Jani tersenyum membungkuk sekilas ketika pandangannya beradu dengan salah satu lelaki, bukannya balas tersenyum ramah ia malah membuang muka jutek, benar kata orang, warga Indonesia adalah orang paling ramah, fix! Tak terbantahkan meskipun jarinya julid kelewatan.
"Jutek amat pak, di rumah ngga punya beras ya?" katanya membuang muka ke lain arah, "kayanya sih kebanyakan makan garem nih cowok." Lanjutnya bergumam.
Jani sempat melirik ketika gadis itu check in dan mengucapkan terimakasih, bahkan sampai ia ikuti pergerakannya yang masuk ke arah koridor, meski Jani menarik kembali lehernya ketika pandangan jutek lelaki tadi memergokinya tengah melihat si gadis, "slow mamen, Jani masih normal....masih suka pedang!" ucapnya pelan, namun terdengar oleh Sisca.
"Kenapa Jani?" tanya Sisca. Jani menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, "engga kak, ngeri ya disini, masa masuk hotel aja sampe rombongan gitu kaya mau arisan..." tunjuknya ke depan dengan jempol, sampai Sisca tertawa.
"Arisan?"
"Iya, arisan serabi..." bisik Jani meledakan tawa Sisca.
"Ayok ah, masuk! Istirahat," Sisca memperlihatkan kunci kamar mereka.
Jani mengangguk dan segera mengekori Sisca dengan cepat, membuang pandangan dari gadis barusan yang rupanya satu arah juga dengan Rinjani.
Tap-tap-tap-tap...
Langkah berjalan cepat seorang lelaki muda seraya membuang puntung rokok dan menggerusnya dengan sepatu.
Kemudian ia masuk ke dalam mobil mewah dan menutup pintunya rapat-rapat.
"Bagaimana?"
"Target terkunci, dia menginap disini, bos." lapor Stainley.
Sesosok lelaki yang baru saja meneguk wiski'nya itu membuka kancing jas yang terasa memeluk erat tubuh. Di usianya yang menginjak 30 tahun ini, ia sudah memiliki semuanya. Harta, kekuasaan di dunia kelam dan rasa segan dari orang-orang sekitarnya, mungkin lebih tepatnya rasa takut dan hormat, wanita? Hm, selama ia memiliki uang modelan wanita macam apapun bisa ia beli sebagai partner ranjangnya, keluarga? Yeah! Anak buah, kerabat, kartel miliknya adalah keluarganya sejak ia ditinggalkan di panti asuhan.
La Cosa Nostra, adalah julukan kartel mafia di negara Amerika, dan Loui Mackenzie menjadi pemimpin kartel ini.
"Bereskan cecunguk-cecunguk kecil pengikutnya, karena malam ini aku akan bersenang-senang, dengan adik dari hama kecil bernama Blue Anderson itu..." tak ada seringai apalagi tawa smirk darinya, hanya ucapan dingin dan datar tanpa ekspresi berarti.
"Ya, tuan."
.
.
.
.
Sesosok pria jangkung dan badan macho dengan stelan rapi khas Ralph Laurent turun dari mobil mewahnya, meski tatanan rambut bukan hasil kerja hair do ternama ia terlihat cool nan gagah, aura dingin nan macho jelas terlihat dari tulang rahang yang ditumbuhi sedikit rambut rapi, membentuk garis ketegasan jika ia seorang lelaki jantan, mirip-mirip david beckham lah!
Ia menggerus batangan tembakau, bukan rokok dengan merk kaleng-kaleng, bahkan bahan pencampurnya pun terdapat zat adiktif diantaranya.
God must be sleeping, adalah tatto tertulisnya di punggung tangannya, tepatnya di dekat telunjuk dan jempol. Jika biasanya tampilan seorang yang memiliki uang dan kekuasaan akan dipadukan dengan cincin berlian, maka tidak dengan Loui, ia hanya memakai arloji saja sebagai penunjang penampilannya.
Ia membuka satu kancing jasnya, membuat tata letak si roti kadet terlihat jelas di balik kemeja.
"Kamar berapa?" tanya Loui.
Stainley berbisik pada Loui, seketika aura dingin menyentuh dan memayungi kawasan Manhattan saat ia masuk.
Terlihat ia yang masuk tanpa terhambat oleh pertanyaan resepsionis, bahkan resepsionis saja tertunduk patuh melihat sosoknya. Tanpa harus dijelaskan ia sudah tau siapa dia.
Jani keluar dari kamarnya, mendapati jika pintu kamarnya diketuk orang dari luar, "permisi," sosok gadis dengan tinggi semampai dan hidung bangir juga baju sexy kini berdiri di depannya seraya memegang perut bagian bawahnya, "nona, apakah saya bisa menumpang ke toilet di kamar, anda?" ringisnya. "Toilet di kamar saya, bermasalah..."
"Silahkan, nona. Saya tidak keberatan" Jani menjawab, jangan sampe nih cewek pipis di depan kamarnya.
"Oh thank, God. Terimakasih nona!"
Lantas ia ikut masuk ke dalam kamar Jani, dan segera menuntaskan hajatnya. Toilet kamar di sebelah Jani rupanya sedikit bermasalah, membuat pelanggan gadis tadi harus berpindah ke kamar lain.
"Terimakasih nona," ucapnya sekali lagi. Baru saja Jani hendak memutar badannya, netranya menatap pemandangan seorang lelaki yang sejak awal terlihat mengikuti si gadis, berlari tergopoh-gopoh membuat alis Jani mengernyit dan terdiam sejenak di tempatnya berdiri.
"Apaan sih, pake bisik-bisik tetangga?!" ia menggidikan bahunya acuh dan masuk, tak ingin mengetahui urusan orang.
Rinjani memilih mandi sejenak, sebelum keluar untuk makan. Tadi sore, Sisca mengatakan jika mereka akan makan malam di cafetaria hotel mengingat rasa lelah keduanya.
Pasal makan, sudah pasti ia tak manja dan ambil pusing, terbiasa makan seadanya membuat Jani selalu survive tentang hidup.
Tak ada baju istimewa yang ia pakai saat ini, karena memang ia hanya membekali diri dengan pakaian miliknya yang menurutnya layak.
Mengingat saat ini sedang musim gugur disini, Jani membawa pakaian-pakaian hangat meskipun tak memberatkan dan menyerap keringat.
Swetter putih bertuliskan Jogja hasil oleh-oleh dari tetangganya dulu dan celana kulot ia pakai sebagai pakaian makan malamnya.
"Bentar, ini teh kantinnya dimana?" gumam Jani pelan menuruni tangga, orang-orang banyak berlalu lalang namun ia tak berani bertanya takut salah ucap. Si alnya ia dan Sisca berbeda kamar bahkan lantai.
Jani memiringkan badan ketika segerombol orang berpakaian bak paspampres melintas berpapasan dengannya, diantara koridor yang sempit Jani harus menghentikan langkah dan membiarkan mereka melintas duluan, rupanya negara ini tak menerapkan ladiest first!
"Ada presiden kunjungan, apa gimana ini? Masa presiden kunjungan ke hotel melati?!" bingungnya, banyak sekali kejutan dari orang Amerika yang bikin Jani syok lahir batin.
Pandangan matanya bertemu dengan sorot mata menusuk milik Loui meskipun secara singkat. Heran saja Jani, itu mata ngga lagi ngacungin golok! Tapi ia lebih menusuk jantung ketimbang golok si pitung!
Ia sampai memutar kepala ke belakang demi melihat punggung para calon anggota legislatif yang baru saja lewat, dan sedikit tertawa ngeri-ngeri sedep!
"Apa juga otak Jani ini, mana ada anggota dewan pake tatto, itu mah lebih mirip mafia..." lirihnya berlalu sambil bergidik ngeri, jangan sampai ia memiliki urusan dengan orang-orang seperti itu.
Lantas ia bergegas turun mencari cafetaria, hingga waktu berjalan semakin larut Jani kembali ke kamarnya untuk berisitirahat.
Loui menghentikan langkahnya di depan kamar Rinjani bersama para anak buahnya.
"Ini kamar Belle," tunjuk Stainley, sebelumnya ia telah memastikan pada resepsionis tentang kamar dimana Belle menginap.
"Ia sempat menginap di samping namun toilet di samping bermasalah, salah satu anak buah kita melihatnya masuk ke dalam kamar ini...." jelas Stainley.
Oscar melirik Stainley, "bawa anak buahmu pergi dan berjaga. Jangan datang jika belum ku suruh..."
"Baik."
"Tuan, jika butuh sesuatu. Saya akan berada di kamar," ujar Oscar, asisten pribadinya itu telah mengabdi pada Loui sejak Loui masihlah menjadi tangan kanan pemimpin sebelumnya.
"Selamat bersenang-senang..." seringai Oscar dibalas senyuman smirk dari Loui, dengan mudahnya Oscar membuka pintu kamar Jani.
Jani yang terlelap dan sudah bermimpi di atas awan bersama para cowok ganteng itu bahkan sampai mendengkur pelan tanda jika ia benar-benar lelah, ditambah kasur empuk menunjang tidur nyenyaknya.
Jangankan kamar hotel kelas melati begini, ruang kantor presiden saja bisa ia masuki dengan mudah. Loui melihat seseorang terbaring di bawah selimutnya, meskipun dalam penerangan yang bisa dikatakan hampir gelap, dapat ia lihat jika yang berada di depannya adalah sosok seorang gadis.
Ia mendengus sumbang, "mulai sekarang hidupmu dan hidup kakakmu itu akan hancur. Inilah akibatnya, jika kakakmu macam-macam denganku."
Loui membuka seluruh pakaian yang menempel di badannya dimulai dari jas dan kemeja lalu turun menjatuhkan celananya, seraya tatapan yang tak lepas dari sosok Jani.
Mata elang itu seolah sedang menatap mangsanya. Jani menggeliat pelan disana tanpa sadar jika seseorang telah berada di kamar bahkan di depan tubuhnya.
Hanya sepersekian detik saja, ia merasa hawa dingin menyerang kulit.
"You are mine," bisik seseorang membuat Jani seketika membeliak, "aaaa!" ketika merasakan seseorang mengungkung dan menguasainya.
Kedua tangannya terasa terkunci, diantara sadar yang baru saja menghinggapi, Jani merasakan seseorang sedang membuka pakaiannya, bukan...bukan membuka lebih tepatnya merusak karena ia membukanya dengan kasar.
"Aaa, help me! Who are you?!" teriak Jani membentak memberontak, dengan jelas ia mencium aroma maskulin memabukan yang memastikan jika itu seorang lelaki.
"Sweetie, you must remember me...." jawab Loui semakin membuat Jani yakin jika dia seorang lelaki. Jani sudah hampir menangis dibuatnya, ia takut....di negri orang ia tak bisa apa-apa.
"Ama tolong Jani! Jangan! Jangan!" Jani berusaha melawan namun entah tenaga apa yang lelaki ini punya, karena sedikit pun ia tak berpindah dari atas tubuh Jani.
Air mata semakin mengalir, "breng sek!!!" pergelangan tangannya sakit, karena Loui benar-benar mencengkramnya kuat.
Mimpi apa ia kemarin, liburan impian berubah menjadi kejadian mengerikan begini.
Jani mengangkat kepalanya dan menjedotkan itu ke arah siluet kepala Loui berharap hal itu dapat menolongnya, dughhhh!
"Njirrr sakit..." rintih Jani sejenak.
"Damn!"
Bukan hanya Loui yang merasakan sakit, namun pula Jani. Sedikit bisa mengendur, Jani tak membuang kesempatan itu untuk bangkit meski kepala kleyengan, bahkan dapat ia rasakan jika pakaian atasnya sudah koyak.
Sayang seribu sayang, Loui kembali menangkapnya sebelum Jani benar-benar bisa turun dari ranjang, "siapapun tidak akan bisa lari dariku."
Loui melempar Jani dengan kasar ke atas ranjang, "siapa kamu?!" dengan suara yang sudah bergetar Jani berucap, sementara di bawah sana harga dirinya sudah terurai tak bersisa. Loui sudah berhasil melucuti bagian bawah Jani, hingga kini gadis itu telan jang sempurna.
"Seorang ja lang tidak perlu tau nama pelanggannya, begitupun kamu." Jawabnya.
Meski gelap, dapat Jani lihat siluet lelaki dengan pahatan wajah yang tegas yang sedang berada di atasnya. Dan sedetik kemudian kakinya di paksa terbuka lebar, "nikmati aku bersama kehancuran yang akan datang padamu dan kakakmu setelah ini."
"Aaa!" teriak Jani merintih sampai melengkungkan punggungnya saat hujaman menyerang, memaksa dan merobek sang dewi perawan. Sesuatu yang besar dan keras benar-benar mendobrak miliknya.
Ia terpejam, dengan refleks air matanya keluar, hatinya sakit, begitupun bagian bawahnya.
"Aargghhh, damn! Kamu sungguh menjepit swettie."
Ia mengendurkan perlawanan yang berubah jadi rasa kecewa mendalam, diantara lenguhan dan rintihan Jani menangis.
"Stop it! Ahhhh, eunghhh...." Tangannya mencari tempat untuk bertumpu, dan Loui dengan nalurinya membawa tangan Jani untuk mencengkram bo kongnya.
"Yeah! Tak akan ada yang selihai aku bukan..." ucapnya jahat, Jani tak lagi peduli dengan semua ucapan yang baginya terkesan ngawur, karena sejujurnya ia tak mengerti apa yang terjadi, kenapa bisa begini, apa maksud dari semua ucapan lelaki yang malam ini merebut kehormatannya itu.
Yang Jani inginkan, kejadian malam ini cepat berakhir....jika bisa ia mengubah waktu, maka akan ia tukar liburan ini dengan pemenang lain.
Loui benar-benar menghabisi gadis tanah air ini, tanpa tau jika ia sudah salah sasaran. Bunyi peraduan di tengah malam itu berasal dari kamar Jani.
"No! Aa----" Jani benar-benar sudah tak punya harga diri lagi, lelaki asing yang tak tau siapa ini menikmati tubuhnya dengan rakus, di bagian bawah Jani terus dipompa dan dihujam dengan ritme cepat, sementara bagian atas pria asing itu tak mau kalah menyesap gunung ranumnya dengan rakus.
Apa jadinya saat esok hari datang? Apakah ia sanggup mengetahui kalau dirinya di per koosa orang lain yang tak tau itu siapa di negeri orang? Bagaimana kalau ama tau? Salahnya yang begitu mendambakan liburan ini.
Loui menikmati setiap inci tubuh gadis yang sedang ia kerjai. Aneh....bukankah Belle sudah tidak gadis lagi?! Bukankah adik dari blue Anderson itu sering bergonta ganti pasangan dan tak jarang bermain di atas ranjang? Tapi gadis yang sekarang sedang bermain dengannya seperti seorang, virgin? Baru kali ini Loui merasakan kenikmatan memompa.
Loui menepis semua keraguan, tak mungkin anak buahnya salah orang. Otak cerdasnya mabuk ketika merasakan betapa nikmatnya gadis di bawahnya.
Selama ini, yang selalu menemani ranjangnya jika ia membutuhkan, kebanyakan adalah wanita malam yang memang sudah sering berganti pasangan, ia sudah hafal bagaimana elastisitas dewi mereka yang begitu kentara perbedaannya dengan gadis yang saat ini sedang bermain bersamanya, membuat Loui sepertinya tak akan pernah puas dengan tubuh Jani.
"Berenti....stop! Aaaaa badji ngannnn! Jani bunuh kamu sekarang!" teriak Jani bersama tangisan lirihnya di sisa-sisa tenaga dan keringat yang sudah banjir.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!