NovelToon NovelToon

Istri Diam-Diam Tuan Muda

1. Surga yang Telah Berubah jadi Neraka

Di sebuah desa, pedalaman India.

Seorang anak gadis berusia tujuh tahun tengah memegang sapu di tangannya sambil menangis terisak-isak. Tangan kecil gadis itu bergerak sesekali menyapu dedaunan yang mengotori halaman, tapi nampak jelas bahwa dia sedang tidak mampu lantaran tangisannya.

Nabila nama anak itu.

Yang hati kecilnya sedang merintih agar seseorang datang menyelamatkannya dari tempat entah di mana ini.

"SIAPA YANG NYURUH KAMU NANGIS?!" teriak sebuah suara yang membuat Nabila terkesiap takut.

Dengan tangan gemetaran Nabila kembali menyapu, melipat bibirnya ke dalam agar tidak ketahuan menangis. Ia berusaha cepat menyapu, tapi anak kecil itu hanya berusia tujuh tahun.

Alih-alih menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, kakinya justru tersandung, jatuh di atas permukaan tanah yang begitu panas.

"Dasar anak haram!" Wanita tua itu datang lagi bersama tongkat bambu di tangannya. "Saya nyuruh kamu nyapu! Siapa suruh kamu tiduran?!"

"Huaaaaaaaa!" Nabila menangis keras, meringkuk ketakutan.

Tangisan yang bukan membuat wanita itu kasihan tapi justru tampak semakin marah.

Diraih rambut panjang Nabila yang panjang, memaksanya untuk berdiri. Tanpa ampun pukulan rotan mengenai kaki-kakinya yang masih tampak membiru akibat pukulan kemarin dan kemarin-kemarinnya.

"Siapa yang nyuruh kamu nangis?!" bentak wanita itu, emosi.

Dia terlihat tidak peduli sekalipun Nabila memohon ampun. Ada dendam berkobar di matanya, seakan-akan anak tujuh belas tahun itu adalah pelaku yang menghancurkan hidupnya.

"KAMU ENGGAK BERHAK NANGIS! ENGGAK ADA HAK KAMU DI SINI! KAMU ENGGAK BOLEH NANGIS, ENGGAK BOLEH NGOMONG, ENGGAK BOLEH MINTA! KALO SAYA SURUH NYAPU, TUGAS KAMU CUMA NYAPU! PAHAM KAMU?!"

"Argg, sakit!" Nabila berusaha keras melindungi kakinya yang sudah lecet. "MAMA, PAPA!"

Emosi di mata wanita itu justru semakin berkobar. Dari bagaimana Nabila memanggil pertolongan orang tuanya justru membuat dendam itu semakin pekat.

"KAMU ITU ANAK HARAM!" Tamparan keras mendarat di wajah Nabila. "Papamu itu badjingan! Mamamu pelacur! Mereka yang bunuh anak saya! Sebelum Mama sama Papamu masuk neraka, kamu mesti nanggung kesalahan mereka di sini! Ngerti kamu?!"

Anak itu sama sekali tidak tahu apa yang dia katakan. Sejak awal ia datang, sejak awal ia dilempar ke sini, dia terus mengatakannya.

Berkata bahwa semuanya salah Mama dan Papa. Nabila tersiksa karena kedua orang tuanya berbuat dosa besar membunuh anak wanita ini.

Dan setiap kali kalimat itu keluar, pukulan demi pukulan menyakitkan akan Nabila terima.

Padahal hidupnya masih biasa saja beberapa waktu lalu. Semuanya baik-baik saja beberapa hari yang lalu.

"Papa mau pergi?" tanya Nabila pada papanya karena Papa tampak sangat rapi. "Papa enggak pulang besok? Papa pulang kapan?"

Papa langsung menggendong badan kecil Nabila, mendekapnya seolah ingin dunia tahu bahwa tidak ada yang boleh menyakiti anak itu. "Papa mau temenin Rose dulu. Bila baik-baik sama Mama sama Nenek, yah?"

"Bila mau ikut juga, Papa."

Mama tertawa mendengar permintaan Nabila. "Mama aja enggak boleh ikut, apalagi kamu. Di sana banyak orang serem, loh."

"Ohya? Kalo gitu Bila enggak mau." Nabila balik memeluk leher papanya. "Tapi Papa pulang cepet yah. Jangan lama-lama perginya."

"Mana tahan Papa pergi lama ninggalin Bila."

"Hehe."

Lalu Papa mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Kartu hitam yang Nabila kenali sebagai kartu ajaib karena membuatnya bisa bebas beli apa saja.

"Nih, bawa sama Mama. Tapi buat Bila aja, soalnya Mama punya sendiri."

Mama pura-pura berbisik, "Nanti bagi Mama juga yah?"

Nabila menyengir lebar bersama tawa kedua orang tuanya.

Tak ia sangka bahwa itu adalah tawa terakhir sebelum dunianya tiba-tiba berubah jadi neraka.

"Hiks." Sekarang Nabila cuma bisa meringkuk sendirian, tak merasakan pelukan hangat Mama, tak merasakan dekapan aman Papa, tapi diselimuti oleh rasa sakit dari pukulan tanpa perasaan wanita yang tidak ia kenali.

Nabila ... ingin pulang.

*

"Ugh."

Nabila terbangun dari tidurnya—atau bisa disebut pingsan setelah dipukuli—dan menyadari bahwa ia masih di halaman. Wanita tua itu bahkan tidak menyuruh seseorang menggendong Nabila masuk ke dalam rumah dan membiarkannya tidur di sana hingga malam.

Nabila berusaha duduk. Hampir menangis lagi saat merasakan sakit di tubuhnya.

Anak itu menunduk, menemukan bekas-bekas darah kecil keluar dari betisnya yang dipukuli. Bibir Nabila bergetar, matanya berkaca-kaca, kasihan pada dirinya sendiri tapi tak bisa melakukan apa-apa.

Apa Papa dan Mama sudah melupakannya sampai mereka tidak datang menyelamatkan Nabila?

"Anak pelacur," panggil seseorang yang Nabila kenali sebagai pekerja rumah. "Kalo udah bangun buruan masuk! Banyak piring perlu dicuci!"

Nabila takut dipukuli lagi, jadi ia berusaha untuk berdiri walau berakhir jatuh. "Aku lapar," keluhnya polos. "Tante, kasih aku makan."

"Heh! Kamu kira aku ini mama kamu?!" Pembantu itu menarik telinga Nabila. "Jangan manja kamu! Buruan berdiri, cuci piring!"

"Argh!"

"Buruan! Kamu mau dipukul lagi?!"

Tapi Nabila lapar. Badannya tidak bisa bergerak karena tidak punya tenaga. Pada akhirnya Nabila menangis lagi.

"Emang dasar anak pelacur!" caci pelayan itu. "Kerjamu tuh nangis aja dari kemarin. Denger yah, kamu di sini bukan siapa-siapa. Jangan kira kalo kamu nangis Mama sama Papamu bakal dateng!"

"Huaaaaaa!"

"Berisik!" Pelayan itu melayangkan tendangan yang menbuat Nabila tersungkur.

Nyonya Rumah mengizinkan semua orang berbuat seenaknya pada Nabila. Terserah mau dipukul, dimarahi, apa pun asal dia hidup. Terlebih Fina, pelayan itu, tahu cerita dibalik dendam Nyonya.

Anak ini adalah anak pelakor yang merebut suami dari anak Nyonya Elis, hingga Sakura, anak sang nyonya memutuskan bunuh diri. Mereka sudah menunggu waktu bertahun-tahun membalas dendam kematian Sakura lewat anak ini.

"Enggak usah banyak omong kamu! Buruan masuk, cuci piring! Kalo laper, sekalian aja makan makanan kotor di piring bekas!"

"Ini kenapa?" Sebuah suara mengejutkan Fina hingga menoleh. Keterkejutannya bertambah saat mengetahui itu adalah suara Rahwana, anak dari Nyonya-nya yang berusia satu tahun lebih tua dari Nabila.

"Tuan Muda." Fina membungkuk. Lalu ia menjelaskan, "Nyonya nyuruh saya manggil anak ini cuci piring, tapi dia enggak mau."

Nabila lagi-lagi meringkuk di tanah. Masih sulit baginya intuk bersikap kuat di tempat yang seakan-akan hanya ingin menyiksanya ini.

"Aku lapar," rintihnya pilu. "Mama, Bila lapar."

Fina mendelik. "Anak pelacur diem aja!" Sebuah tendangan lagi-lagi mengenai tubuh Nabila.

Rahwana berdecak. "Berisik," gumamnya, yang terdengar ke telinga Fina.

"Maaf, Tuan Muda, emang dia ini masih susah diatur. Nanti saya pukulin biar dia mau denger."

Rahwana tidak menjawab, hanya melihat gadis kecil itu meringkuk di tanah seperti serangga.

Anak itu berjalan melewati mereka, masuk ke rumahnya. Namun tak lama dia keluar lagi, memegang selembar roti bakar yang kemudian dilemparkan ke tanah.

"Nih, makan. Jangan nangis mulu."

*

2. Disiksa Sampai Tak Bisa Bersuara

Teriakan histeris seorang anak nampaknya sudah terbiasa didengwrkan dari kediaman megah itu. Semua penghuni rumah bahkan tetap melanjutkan aktivitas mereka tanpa peduli bagaimana anak kecil itu meminta ampun dan pertolongan agar tubuh kecilnya selamat dari rasa sakit.

"Siapa yang nyuruh kamu pecahin piring!" Elis melipat jemari kecil anak itu, memberinya rasa sakit baru setelah betisnya dibuat berdarah-darah. "Kamu itu disuruh cuci piring! Bukan malah pecahin piring! Kemarin kamu juga pecahin! Emang sengaja kamu kan?!"

Nabila menjerit histeris.

Ia berusaha menjelaskan bahwa ia tidak sengaja. Ia tidak tahu kenapa bisa menjatuhkannya. Tangan Nabila terasa lemas dan tiba-tiba piring itu jatuh.

Namun alih-alih menjelaskan, mulut anak itu hanya terus mengeluarkan teriakan sakit, permohonan ampun, dan air mata yang seolah tak mau kering.

"AKU MAU PULANG!" teriak Nabila di antara kewarasannya yang nyaris pecah. "AKU MAU MAMA! MAU MAMA! PAPA, TOLONG BILA!"

Plak!

Elis menanpar wajah anak itu penuh dendam. Matanya melotot lebar, merasakan amarah yang memuncak tak peduli berapa kali ia melihat anak ini.

Elis kemudian berjongkok, menarik telinga Nabila sampai rasanya ingin robek.

"Kamu mau tau siapa yang salah?" bisik Elis di wajahnya. "Semuanya salah mamamu. Mamamu yang pelacur itu salah. Siapa suruh dia lahirin kamu. Dia pikir dia berhak bahagia habis bikin anak saya menderita?"

"MAMA! PAPA!"

Elis mencubit lengan Nabila sangat kuat. "Sebut lagi Papamu, ayo sebut. Mulai sekarang kalo saya denger kamu nyebut Mama atau Papamu, saya cubit kamu satu badan."

Nabila sudah terlalu sakit sampai ia buru-buru menutup mulutnya kuat. Tapi karena sakit juga, anak itu tidak bisa berhenti menangis.

Dia terus menangis sampai tubuhnya lelah dan lagi-lagi tak sadarkan diri.

*

Nabila sudah tidak tahan. Ia tidak ingin lagi dipukuli atau dicubit atau ditendang atau dibentak-bentak. Nabila ingin pulang. Ia merindukan Mama, Papa, Paman, Nenek, Kakek, semua orang yang tidak pernah menyakitinya.

Malam ini Nabila akan diam-diam pergi. Ia pernah melihat Mama pakai taksi. Paman supirnya tinggal diberitahu ingin ke mana lalu mereka akan mengantarnya ke rumah. Nanti di rumah baru Nabila minta uang pada Mama untuk membayar taksinya.

Anak itu berlari keluar ketika seluruh orang di rumah sudah tidur, persis saat malam begitu gelap. Walau takut, Nabila lebih takut pada rasa sakit.

Kakinya melangkah tanpa alas, berusaha keras menarik pintu gerbang agar terbuka. Nabila terus berlari kencang, meyakinkan dirinya bahwa sebentar lagi pasti ada jalan besar, ada banyak mobil, dan orang-orang yang bisa dimintai tolong mengantarnya pulang.

Tanpa gadis kecil itu sadari Rahwana mengikutinya. Sebagai anak yang lahir di sekitaran sini, tentu saja Rahwana hafal ke mana Nabila mau pergi.

Itu hutan.

Anak itu bukan sedang berlari ke jalan raya tapi hutan. Jika Nabila mencari jalan raya yang sering dia lihat, dia harus naik bus menuju kota dulu. Jika dia ingin pulang ke rumah, dia harus pergi ke bandara dulu.

Rumah yang dia impikan berada jauh di benua lain.

Makanya ketika Nabila sadar bahwa ia justru masuk ke hutan, gadis itu cuma bisa berteriak-teriak.

"MAMA! PAPA! BILA DI SINI! JEMPUT BILA!"

Rahwana mengangkat alisnya heran. Diam menyaksikan Nabila duduk, memeluk dirinya sendiri dan menangis lagi.

"Mama," rintih dia sambil terisak-isak. "Mama mana? Bila takut, Ma. Bila sakit."

Rahwana menghela napas. Memutuskan buat mendekat karena dia terus berteriak-teriak seperti orang bodoh.

"Oi."

Nabila tersentak. Menoleh ketakutan karena berpikir dia akan dipukul atau dicubit. Barusan Nabila menyebut Mama dan Papa.

Tapi ketika Rahwana di depannya, melihat gadis kecil itu melindungi dirinya secara menyedihkan, bocah lelaki itu cuma mendengkus.

"Mama Papa kamu udah enggak ada," kata Rahwana.

"Enggak! Mama sama Papa ada di rumah! Bentar lagi mereka jemput Bila!"

"Enggak bakal." Rahwana menatapnya tegas. "Kamu enggak bakal bisa pulang."

Nabila semakin terisak. "MAMA PASTI JEMPUT BILA!"

"Kalo kamu keras kepala, Mamaku bakal pukul kamu pake besi."

Nabila tertegun takut.

Namun Rahwana hanya mengatakan apa adanya. Tadi ia melihat Mama memegang sebatang besi yang katanya akan dipakai memukul Nabila jika Nabila tidak mau mendengarkan.

"Kalo kamu enggak mau sakit, kamu harusnya dengerin kata Mama. Makin kamu nakal, makin Mama nyiksa kamu."

"Hiks."

"Terserah kamu sih kalo enggak mau denger." Rahwana berbalik. "Toh yang sakit kamu sendiri."

Nabila ketakutan sampai tangannya mencengkram baju Rahwana, spontan berharap bantuan darinya.

Rahwana yang terkejut langsung menepis tangan Nabila, menatapnya kesal. "Mama ngelarang aku megang kamu!" tegasnya. "Mama bilang kamu penyakitan!"

"Bila mau pulang, hiks. Tolong."

"Aku bakal tolong kamu. Tapi bukan pulang ke rumah. Kamu ikut aku, kita pulang ke rumah aku. Soalnya kalo Mama tau kamu di sini, besok kamu bakal dipukulin lagi."

Nabila menggeleng, tidak mau pulang ke rumah menakutkan itu lagi.

Rahwana yang merasa sudah melakukan sebisanya pun berbalik, berjalan pulang ke rumah untuk melapor.

Kalau dibiarkan nanti dia malah tenggelam di sungai.

Dan sesuai kata Rahwana, begitu orang-orang menemukan Nabila, anak itu dibawa pulang, dipukuli oleh besi, lalu dikurung di dalam kamar gelap sampai dia tidak punya tenaga lagi untuk berteriak.

Semua itu hanya Rahwana saksikan. Anak itu tidak benar-benar paham kenapa Nabila disiksa, tapi Mama berkata orang tuanya Nabila telah membunuh kakaknya Rahwana dan membuat mereka tidak bisa bebas lagi.

Katanya kelahiran Nabila adalah sebuah penghinaan dan kesialan. Dia memang lahir untuk menderita. Orang tuanya sudah tahu anak itu kutukan tapi orang tuanya tetap memaksa dia ada.

Begitu yang Rahwana dengar.

"Oi." Meski Rahwana tidak tahu kenapa ia merasa agak kasihan.

Diam-diam ia pergi ke ruangan Nabila, membawakannya banyak roti dan air.

"Nih, makan."

Nabila mungkin kelaparan setelah dipukuli dan menangis hingga dia langsung melahapnya seperti binatang. Rambut dia yang panjang mendadak hampir botak digunting-gunting berantakan. Pipinya bengkak, matanya juga, dan jangan tanya badannya bagaimana.

"Kamu harusnya enggak lahir," kata Rahwana kasihan. "Semuanya salah Mama sama Papamu."

Nabila tampak kosong ketika dia mengangguk.

Rasa sakit telah memecahkan seluruh kewarasannya. Rasa sakit telah membuatnya mengerti bahwa ia tidak seharusnya lahir.

Semuanya salah Papa dan Mama.

"Mulai sekarang jangan nyebut Papa sama Mamamu lagi. Mungkin lama-lama Mama enggak bakal marah lagi."

Nabila mengangguk.

"Nama kamu siapa?" tanya Rahwana karena memang belum tahu.

Dia hanya sering dipanggil anak sialan, anak pelacur, anak haram.

Nabila menggeleng.

"Aku tanya nama kamu siapa?"

Mulut gadis kecik itu terbuka namun kemudian terturup lagi.

Dia berusaha untuk bilang bahwa dia tidak bisa mengeluarkan suaranya, entah kenapa.

*

Ramalan Rose sama Olivia akan jadi realita di sini.

3. Sudah Takut Berbuat Salah

Di tempat yang seharusnya Nabila berada.

Olivia membuka matanya setelah mendengar cerita Nabila, anak Abimanyu, diculik oleh seseorang. Tatapan Olivia bergeser pada Rara, ibunya Nabila, yang kini sudah tenang setelah meraung-raung ketakutan akan keadaan putrinya.

Dia bilang dia mendengar suara Nabila minta tolong setiap kali dia terpejam.

"Enggak mau," kata Olivia, membuat semua orang di sana terbelalak. "Enggak sudi gue nyelametin."

Olivia adalah kepala dari divisi intelejen di bawah kendali Rose. Mereka semua tahu orang yang menculik Nabila bukanlah sekadar penculik yang meminta tebusan uang namun seseorang yang dendam, disokong oleh organisasi internasional. Karena itu butuh seseorang sejenis mereka mencarinya. Bukan sekadar polisi, apalagi modal sekoper uang.

"Olivia!" Abimanyu menggebrak meja, tapi hampir bersamaan dengan Olivia menendang kursi.

"Selametin sendiri!" teriak wanita itu. "Urusin sendiri anak lo! Lo Abimanyu, lo juga Rara, ngelahirin dia tanpa mau dengerin saran gue sama Rose kan? Nah, sekarang rasain! RASAIN! Cari tuh anak lo yang perlu dikasihanin karena punya orang tua macem lo berdua!"

Bertahun-tahun lalu, Olivia sudah memperingatkan dan sampai detik ini ia sudah tidak pernah lagi bicara apa-apa. Sudah ia bilang jangan. Sudah ia bilang anak itu akan menderita. Tapi masih saja mereka keras kepala.

Anak itu tidak salah telah lahir. Itu salah kedua orang tuanya melahirkan anak itu saat mereka tahu dia akan menderita. Anak itu tidak seharusnya menderita, tapi begitu dia lahir, dia pasti akan menderita karena jauh lebih mudah menyiksa anak kecil tidak berdaya daripada orang tuanya.

Padahal sebelumnya mereka bisa memilih tidak membuatnya. Kalau menggugurkan kandungan, Olivia tidak akan setuju. Tidak boleh membunuh anak bahkan ketika dia belum punya jiwa di perut. Tapi Nabila adalah anak yang direncakan ada saat Abimanyu dan Rara sudah tahu bahwa hidup mereka menolak keberadaan anak itu.

"Olivia—"

"Kenapa gue mesti susah, hah? Kenapa gue perlu ngurusin hal yang gue aja enggak digaji? Lo berdua kan ngerasa bisa ngelindungin dia. Silakan. Hidup kalian bukan hidup gue."

"Tante." Abirama beranjak. Mendekati wanita yang telah berperan sebagai ibu dalam hidupnya selama ini. "Bukan buat Papa atau Tante Rara, tapi buat Bila. Tante tega biarin Bila?"

"Tante tega?" Olivia menunjuk dirinya sendiri. "Tante kamu bilang tega? Terus mereka gimana? Kasihan? Enggak salah? Abirama, dunia enggak diciptain buat muasin perasaan siapa pun. Mau punya anak bukan berarti harus punya anak. Tante kasian sama Nabila, tapi urusan Tante udah putus waktu mereka nolak saran Tante."

Olivia menunjuk Abimanyu.

"Gue bilang ke elo dulu, Brengsek. Gue bilang! GUE BILANG! GUE. BILANG. KE. ELO! GUE JELASIN SEJELAS-JELASNYA KE ELO BERDUA!"

"Tapi wah, lo berdua enggak ngerasa harus dengerin. Fine, terserah! Jadi jangan pernah berani minta gue ngapa-ngapain lagi sekarang. Lo berdua yang ngelakuin, lo berdua yang tanggung jawab."

Olivia beranjak pergi.

Abirama berusaha menyusulnya untuk membujuk, sedangkan Rose di meja hanya tersenyum kecil.

"Aku akan meminjamkan orang-orangku pada kalian untuk mencari anak itu, tapi aku tidak akan memaksa mereka. Jika Olivia menolak, itu sepenuhnya hak Olivia."

Abimanyu mengusap kasar wajahnya. Otaknya berputar memikirkan bagaimana cara ia menemukan putrinya, bersama penyesalan yang diam-diam menyusup.

Apakah membiarkan Nabila lahir ... adalah bentuk kekejam Abimanyu dan Rara terhadap anak itu?

"Hiks hiks, Bila, Sayang. Kamu di mana?" Rara kembali menangis.

Abimanyu menghela napas. Tidak. Ia tidak boleh memberi waktu tubuhnya beristirahat sedetik saja sebelum putri kecilnya kembali. Anak itu pasti sedang menangis menunggu papanya datang.

Abimanyu beranjak, pergi menyusul ke tempat Olivia pergi. Ada hal yang tidak bisa Abimanyu lakukan bahkan kalau ia bisa membayar banyak orang dan menggunakan otoritasnya sebagai ajudan perdana menteri.

Ada hal yang hanya bisa dilakukan oleh Olivia saja.

"Tante, Rama mohon. Kalo Tante marah sama Papa sama istrinya pun terserah Tante. Tapi Bila enggak ada urusan sama itu."

Suara Abirama terdengar masih memelas.

"Tante, Bila adek aku satu-satunya. Satu-satunya di dunia. Tolong. Buat aku."

Abimanyu mendorong pintu ruangan mereka.

"Lo benci sama gue, Liv?" tanyanya pelan. "Lo bakal puas kalo gue menderita? Lakuin yang lo mau. Apa aja terserah lo. Lo mau cabutin kuku gue satu-satu juga terserah lo."

"...."

"Asal bukan Bila."

Anak itu saja. Anak tersayangnya. Abimanyu rela memberikan apa saja, bahkan kepalanya ini secara sukarela kalau itu bisa membawa putrinya pulang ke pelukan ibunya.

"Liv."

"Tante."

Olivia menatap Abimanyu tajam. "Cuma buat anak lo."

Itu sudah lebih dari cukup.

*

Pintu kamar tempat Elis mengurung Nabila akhirnya dibuka setelah dua hari ia dibiarkan. Setiap kali mengingat kematian Sakura, putri satu-satunya, Elis sedikitpun tidak merasa kasihan menyiksa anak Abimanyu dan Rara itu.

Bahkan Elis justru ingin mengumumkan pada dunia, pada Abimanyu dan pada istri pelacurnya itu, bahwa lihat! Lihat di sini putrinya tersiksa sebagai hukukan telah menyiksa Sakura.

Rasakan siksaan yang Elis rasa ketika ia melihat putrinya menjadi istri pria kejam itu, lalu semakin terluka karena kedatangan pelacur tak tahu malu itu.

Lihat lalu menangis darahlah karena Elis akan terus menyiksanya.

"Sini kamu!"

Dari dalam kamar, Nabila buru-buru datang, menahan rasa sakit di badannya agar tidak ditambah lagi.

"Udah jera kamu kabur? Hah? Udah ngerti kamu di sini harus ngapain?!"

Nabila mengangguk. Otak kecilnya menyuruh ia untuk selalu patuh agar tidak merasakan sakit itu.

Badannya sudah biru-biru. Nabila takut sampai rasanya jantung ini mau copot dari tempat. Kalau menurut membuatnya tidak dilukai, Nabila akan menurut.

"Sana ke dapur bantu-bantu! Awas kamu kalo mecahin piring lagi!"

Nabila mengangguk lagi, berlari menuju dapur cepat-cepat. Linu di kakinya terasa sangat sakit tapi Nabila tidak menangis lagi.

Anak itu pergi ke sisi pembantu dewasa, menarik-narik pakaiannya sebagai isyarat ia akan membantu.

Dengan tangan kecil yang penuh lebam, Nabila mengulurkan tangannya. Minta apa saja yang harus ia kerjakan agar nanti diberi makan.

Lina, pembantu Elis yang juga dibawa dari negaranya, meringis melihat tangan Nabila. Tidak seperti Fina, Lina tidak benar-benar mendukung tindakan tuannya. Lina hanya tidak bisa berbuat baik karena Elis pasti akan marah.

"Kamu bisa kupas bawang, kan?" tanyanya ragu.

"Lina, ngapain kamu?" tegur Elis di ujung pintu dapur. "Udah kasih aja. Kalo dia salah nanti ditegur, biar jera dia bikin salah."

Nabila menerima pisau dan mangkuk berisi bawang untuk dikupas. Nabila tidak pernah mengupas bawang sebelumnya tapi ia akan mengerjakan apa pun jika itu bisa melindungi dirinya.

"Tangan kamu berdarah." Suara Rahwana tiba-tiba terdengar di belakangnya.

Nabila spontan menyembunyikan tangannya, takut-takut melirik Elis karena mungkin dia akan marah jika bawangnya terkena darah.

"Rahwana, enggak usah kamu liatin." Elis merangkul anaknya pergi. "Dia itu penyakitan. Kalo kamu deket-deket nanti ketularan."

"Iya, Mama."

Nabila menggigit bibirnya, berusaha keras tidak sedih.

Dalam hati ia ingin sekali berkata kalau ia tidak penyakitan. Tapi mulutnya terkunci rapat dan otaknya berkata jika ia bicara maka dunianya akan semakin terasa neraka.

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!