Tahun 420—Kalender Magyarian.
115 Tahun setelah kehancuran Bangsa Magyar...
Di sebuah hutan yang di selimuti kegelapan malam, seorang pria tengah berjongkok memperhatikan sebuah jejak kaki di tanah sambil menggenggam pedang di tangan kanannya. Tidak ada satu pun suara selain bunyi rintik hujan yang turun di area itu, membuat suasana sekitar menjadi sedikit menyeramkan.
Pria itu berdiri lalu mulai berjalan menyusuri hutan, tatapan matanya fokus ke depan. Pegangan terhadap pedangnya ia perkuat karena mendengar sebuah suara langkah kaki dari arah depan dimana dia berdiri.
Pria itu kemudian dapat melihat sosok yang sedang ia cari di dalam hutan ini.
Tinggi sekitar dua meter, memiliki otot-otot yang besar di tangan dan dadanya, tubuhnya berwarna biru pucat, sebuah taring mencuat dari kedua sisi mulut dan tanduk yang tumbuh di dahi sosok tersebut. Sesosok monster humanoid pemakan wanita—Jagul.
"Groaarrr!"
Sebuah petir menyambar salah satu pohon ketika monster itu menggelegarkan raungannya. Membuat sosoknya itu tampak lebih mengerikan di hutan yang gelap ini.
Monster itu memukulkan kedua tangannya ke tanah, mencoba mengintimidasi pria di hadapannya. Namun, monster itu tidak mengetahui, bahwa pria dihadapannya itu bukanlah manusia biasa sama seperti yang sebelumnya dia hadapi.
Monster itu berlari, melesat ke arah pria di hadapannya. Matanya terlihat memerah dikarenakan sebuah hawa membunuh yang kuat merasuki jiwanya.
Monster itu melakukan sebuah tinjuan yang dapat dengan mudah dihindari pria itu. Ia kemudian menebaskan pedangnya, membuat tangan kanan monster itu putus terjatuh ke tanah.
Darah mengucur membasahi tubuh monster itu. Dia kemudian berjalan mundur, tangan kirinya refleks memegangi tangan buntungnya itu untuk menghentikan pendarahan yang dia alami.
"Groaarr!"
Monster itu menjerit kesakitan, urat di ototnya semakin jelas terlihat. Dia memukul sebuah pohon dengan tangan kirinya, melampiaskan rasa sakit yang dialaminya itu. Monster itu kemudian menatap tajam pria di hadapannya dengan penuh kebencian.
Makhluk mengerikan itu melesat kembali ke arah pria di depannya dengan kemarahan yang luar biasa. Meraung dengan bising bagaikan hewan buas yang sedang mengamuk.
Pria itu hanya diam saja di tempat, tidak gentar dengan intimidasi monster di depannya. Tangan kirinya memegang sebuah senjata api Flintlock model double barrel yang sebelumnya tersarung di pinggangnya. Ia membidik lutut dari monster yang tengah berlari ke arahnya.
-Dorr!
Lari dari monster itu terhenti, ia berlutut dengan satu kaki. Terdapat sebuah peluru bundar yang tertanam di lutut kanannya yang mulai bersimbah darah.
Pria itu berjalan perlahan mendekati monster itu tanpa rasa takut.
"Grrr!"
Sang Monster meraung pada Pria yang kini telah berada di hadapannya itu, mencoba menakutinya dengan intimidasi yang sia-sia. Pria itu adalah seorang profesional, raungan sesosok monster yang akan mati tidak mungkin membuatnya takut.
"Terbebaslah dari mimpi burukmu, wahai kau yang terkutuk," gumam Pria itu kemudian memenggal kepala monster yang ada di hadapannya.
Tubuh Monster itu roboh, cipratan darah mulai mengucur ke tanah. Pria itu kemudian memasukan kepala monster yang telah terpenggal itu kedalam sebuah karung.
"Well... Urusanku di sini telah selesai, mari kembali ke Kota untuk mendapatkan bayaran."
Pria misterius itu kemudian pergi keluar dari hutan meninggalkan jasad dari monster yang baru saja dia buru.
***
Benua Rutenia, tempat dimana para manusia, Elf, dan Dwarf hidup. Ras Elf dan Dwarf merupakan Ras yang tertutup. Elf hanya menetap di Hutan Arnwood yang terletak di sebelah barat Benua sedangkan Para Dwarf hanya menetap di pegunungan dan Labirin bawah tanah.
Ras Manusia yang paling dominan di benua, mereka membangun banyak negeri di seluruh penjuru daratan. Salah satunya Bangsa Magyar, sebuah bangsa yang dipimpin oleh seorang Raja.
Selama ratusan tahun, negeri-negeri ini selalu berkompetisi untuk menjadi yang paling dominan mempengaruhi seluruh umat manusia yang hidup di Benua Rutenia.
Bangsa Magyar saat itu sangat tertinggal baik dari segi ekonomi, sihir, maupun pengetahuan lainnya. Akan tetapi, sekitar 300 tahun yang lalu, tiba-tiba Bangsa Magyar memiliki sejumlah peningkatan pesat baik dari segi ilmu sihir maupun penyembuhan.
Kejadian ini membuat Bangsa Magyar yang awalnya Bangsa yang tertinggal, menjadi Bangsa yang paling berpengaruh di benua Rutenia dalam waktu dekat. Para warga mereka dihormati ke negeri manapun mereka pergi, Raja dan Pemimpin negeri lain akan selalu menyambut para bangsawan mereka walaupun di tingkat yang terendah.
Tidak ada satupun negeri lain yang tahu akan rahasia meningkatnya kemampuan Bangsa Magyar dalam bidang-bidang ini. Bangsa Magyar sendiri tidak pernah membeberkan pengetahuan mereka ke negeri lain.
Setelah tiga ratus tahun mendominasi benua Rutenia, suatu peristiwa terjadi pada Negeri para Magyar tersebut. Para warga di sana tiba-tiba mengalami sebuah kegilaan yang kemudian mengubah bentuk fisik maupun pikiran mereka seperti sesosok monster haus darah.
Para penyihir dan penyembuh di Kerajaan Magyar tidak dapat menemukan cara untuk mengembalikan para warga yang mengalami fenomena tersebut.
Para warga di Kerajaan Magyar mulai berpikir 'apakah ini hukuman para dewa terhadap mereka karena kesombongan mereka selama ini?' tidak ada yang tahu dan kejadian ini masih menjadi misteri sampai saat ini.
Setelah beberapa tahun melawan musibah kegilaan dan bencana penyebaran monster, akhirnya Kerajaan Magyar hancur. Dimana yang dulunya Negeri yang penuh kejayaan kini berubah menjadi sarang monster. Hanya daerah perbatasan saja yang kini ditinggali oleh sisa-sisa penduduk Kerajaan Magyar.
Bencana ini menandakan awal mulanya para monster mulai menyebar dan meneror seluruh negeri yang ada di benua Rutenia. Para negeri lain yang menjadi korban serangan monster Magyar ini kemudian menciptakan sebuah organisasi yang bernama Workshop.
Organisasi ini merupakan tempat dimana seseorang dilatih dan diberi peralatan khusus untuk membunuh monster dan makhluk astral yang meneror di berbagai negeri manusia. Mereka yang telah lulus dari pelatihan khusus ini akan mendapatkan sebuah julukan—Hunter.
Namun, para Hunter memiliki reputasi yang buruk di kalangan umat manusia. Ini dikarenakan oleh para Hunter yang mengalami kegilaan karena terlalu sering memburu para monster.
Belum dipastikan alasan mereka mengalami kegilaan ini. Namun sudah dipastikan, Hunter yang telah mengalami kegilaan mempunyai sebuah Mark di wajah mereka.
***
Malam harinya, di sebuah kedai yang berada di Kota Bourbon—Kerajaan Meroving. Para warga sedang membicarakan tentang misteri hilangnya para wanita akhir-akhir ini.
"Para Patrol Guard telah melakukan investigasi kemarin malam namun... " Suara pria itu tertahan mengingat kondisi para Patrol Guard yang berhasil keluar dari hutan. "Hanya empat dari sepuluh orang yang kembali dari para Patrol Guard yang masuk ke hutan itu."
Mendengar hal ini, para warga yang mendengarkan kesaksian dari pria itu mulai ketakutan. Sudah dipastikan mereka yang tidak dapat kembali itu mendapatkan nasib yang buruk.
"Pagi tadi, aku bersama beberapa warga yang lain sedang mencari kayu bakar di sekitaran hutan itu. Kami menemukan enam jasad para Patrol Guard yang hilang kemarin malam. Kondisi mayat mereka sudah hampir tidak bisa dikenali," ungkap salah satu warga lainnya.
Mereka mengenali lencana Patrol Guard yang mereka temukan dari sisa-sisa mayat tersebut. Setelah itu, mereka bergegas melaporkan penemuannya ke Kantor Patrol Guard terdekat.
"Aku sudah menyewa seorang Hunter untuk menginvestigasi hutan itu."
Obrolan mereka terhenti, seorang pria mengenakan seragam Patrol Guard kota menghampiri mereka. Dilihat dari lencanya, dia adalah seorang Kapten—pemimpin para Patrol Guard di sebuah kota.
"Anda menyewa para orang gila itu, Kapten?" tanya salah satu warga, terdengar mempertanyakan keputusan Sang Kapten.
Sang Kapten kemudian menyeruput bir yang sedang dia pegang lalu berkata, "tidak semua dari mereka seperti itu. Hunter Gila mempunyai sebuah Mark di wajah mereka."
Namun para warga yang hadir di sana masih meragukan apakah Hunter yang disewa oleh Sang Kapten mampu untuk membunuh apapun yang telah mengalahkan regu Patrol Guard sebelumnya masuk ke hutan itu.
-Brak!
Tiba-tiba pintu kedai terbuka, seorang pria memakai topi stetson dan jas mantel berwarna hitam memasuki kedai. Dia berjalan ke arah meja para warga yang sedang berdiskusi sambil membawa sebuah karung.
"...!"
Sebuah kepala monster humanoid berwarna biru pucat jatuh ke meja para warga yang sedang berdiskusi itu, membuat mereka syok bahkan sampai ada yang menjerit.
"Uwahhh!"
"Apa kau sudah gila!?"
Tidak menghiraukan para warga yang ketakutan karena ulahnya, Pria itu berjalan ke arah meja pemilik kedai. Dia duduk lalu mengeluarkan beberapa Kuper, sebuah koin terbuat dari tembaga yang menjadi salah satu mata uang di benua Rutenia.
"Tolong segelas birnya, Mister."
...----------------...
......Author Note : Zolta The Beast Hunter......
Benua Rutenia penuh dengan misteri, salah satunya adalah tentang kematian. Manusia, ketika mereka mati dengan meninggalkan sebuah penyesalan, dendam, cinta, maupun emosi lainnya yang sangat besar, maka emosi itu akan termanifestasi menjadi sebuah sosok makhluk astral yang dapat mempengaruhi dunia yang hidup.
Belum ada yang dapat dengan detail menjelaskan mengenai fenomena supranatural yang unik ini. Jika emosi yang ditinggalkan sangat besar sampai para Dewa yang ada di dunia ini bersimpati dengan kematianmu, rumor mengatakan, akan tercipta sebuah kutukan dan mimpi buruk di dunia nyata
Ketika hal yang tidak dapat dijelaskan oleh logika ini terjadi, para warga akan menyewa seorang Hunter untuk membasmi para makhluk astral yang menggangu warga maupun kutukan yang menimpa daerah tertentu.
Zolta namanya, seorang Hunter berusia 21 tahun. Dia sudah menjalani profesi ini selama empat tahun. Sebelumnya, dia menjalani latihan yang sangat keras bersama mentornya selama lima tahun untuk menjadikannya seorang Hunter profesional.
Ketika dia sampai di Kota Bourbon—Kerajaan Meroving—sebuah negeri yang terletak di bagian selatan benua, dia ditawari oleh Kapten Patrol Guard sebuah kontrak untuk menginvestigasi kasus menghilangnya beberapa warga di sekitaran hutan yang tak jauh dari Kota.
Setelah berhasil menyelesaikan kontraknya, dia diberi imbalan sebesar 50 keping koin Silver—salah satu mata uang yang berlaku di benua Rutenia. Mempunyai nilai yang setara dengan 100 koin Kufer.
"Persedian perlengkapan berburuku menipis," gumam Zolta sedang merapikan peralatannya yang berada dalam sebuah koper hitam. "Kurasa Aku harus kembali ke Workshop untuk melakukan suplai ulang."
Zolta memutuskan untuk meninggalkan Kota Bourbon untuk kembali ke markas para Hunter, sebuah Workshop yang berada di Kota Danzig—Kekaisaran Salian.
Zolta kemudian pergi ke gerbang utama Kota Bourbon. Di sana, terlihat banyak sekali kereta kuda yang mana menjadi salah satu alat transportasi darat manusia yang ada di benua ini.
Beberapa penumpang memandang Zolta dengan sinis, membuat Zolta sedikit ragu untuk menaiki kereta kuda dan berubah pikiran untuk melakukan perjalanan dengan jalan kaki.
"Naiklah di depan, Hunter. Jangan hiraukan pandangan dari orang-orang bebal itu," ucap Sang supir, membuat para penumpang yang berada dalam kereta berhenti menatap Zolta.
Zolta mengangguk kemudian menaiki kereta kuda duduk berdampingan dengan Sang Supir. Kereta kuda yang dinaiki Zolta kemudian mulai bergerak pergi meninggalkan Kota Bourbon.
"Mau kemana tujuanmu, Hunter?" tanya Sang Supir.
"Perbatasan," jawab Zolta singkat.
Mendengar jawaban Zolta, Sang Supir kemudian diam sejenak sebelum bertanya kembali. "Kau akan berhenti sejenak di desa Edoin, kah?"
Merespon pertanyaan Sang Supir, Zolta hanya mengangguk. Dari sana dia akan berjalan kaki menuju perbatasan setelah mensuplai ulang bekal perjalanan yang dia bawa.
"Bisakah kau mengunjungi Baron Meyer di sana?" Nada suara Sang Supir mulai berubah ketika Zolta mengkonfirmasi pertanyaannya.
"Mengapa harus demikian?" tanya balik Zolta.
Sang Supir kemudian mengeluarkan nafas panjang sebelum menjelaskan maksud dari pertanyaannya. "Adikku tinggal di desa itu, dia bilang, desanya sedang dikutuk."
'Kutukan' Kata yang keluar dari Sang Supir ini membuat Zolta tertarik dengan apa yang ingin dibicarakan oleh Sang Supir. Selama karirnya menjadi seorang Hunter, Zolta hanya pernah sekali saja menangani kasus yang berhubungan dengan sebuah kutukan.
"Dikutuk? Apakah telah terjadi peristiwa yang besar di sana akhir-akhir ini?" tanya Zolta memastikan. Sebagian kasus sebuah kutukan yang pernah Zolta baca, sering kali mencakup area yang sangat besar seperti sebuah desa, kota, bahkan satu kerajaan.
Sang Supir terdiam sejenak, dia terlihat sedang mengingat-ingat sesuatu di kepalanya. "Seingatku tidak ada, dan orang-orang di sana tidak pernah membicarakan sebuah peristiwa besar terjadi setahun ini."
"Begitu, kah? Kurasa aku harus menginvestigasi secara langsung keadaan desa itu," ucap Zolta yang berharap, kasus yang dia akan ambil ini bukanlah tentang sebuah kutukan. Dia masih memiliki ingatan yang buruk mengenai kasus kutukan yang pernah dia ambil sebelumnya.
Mendengar perkataan Zolta, Sang Supir bernafas lega. "Aku sangat menghargainya, Hunter. Sebagai rasa terima kasih, aku akan memberikan tumpangan kesana secara gratis."
***
Setelah melakukan perjalanan selama 4 jam, Zolta telah sampai di desa Edoin pada tengah hari. Dia lalu berpisah dengan sang supir yang kembali melanjutkan perjalanan ke Kota berikutnya.
Sekilas, desa ini sama dengan desa pada umumnya dan tidak ada yang spesial. Namun, semakin Zolta berjalan masuk ke pemukiman warga, dia semakin merasakan suasana negatif yang biasa ditimbulkan oleh sebuah rasa takut di desa ini.
Sebagai seorang Hunter, Zolta dilatih untuk bisa membaca suasana dan memperkuat instingnya agar bisa menghindari kebingungan di lingkungan manapun ketika melakukan perburuan.
Para warga desa terlihat sedang memperhatikan Zolta, bukan hanya karena dia seorang Hunter saja, tetapi mereka memiliki alasan lain. Mungkin hal ini menjadi penyebab dari suasana negatif yang dia rasakan di desa ini.
Zolta kemudian menghampiri seorang pemuda yang hendak menuju ke arah sebuah menara lonceng. "Apa kau tahu dimana kediaman Baron Meyer?" Dia bertanya pada pemuda tersebut.
Pemuda itu berbalik lalu menatap tajam mata Zolta. "Ada urusan apa kau dengan Baron Meyer, Hunter?" Dari nada bicaranya, pemuda itu sepertinya tidak bersahabat kepada Sang Hunter.
"Aku mendengar tentang kondisi desa ini dari seorang supir kereta kuda yang membawaku ke sini," jawabnya terus terang.
Mendengar jawaban Zolta, pemuda itu hanya merespon dengan mengarahkan jari telunjuknya ke arah sebuah Manor yang terletak di dekat sebuah danau.
"Terima kasih, Tuan," ucap Zolta yang kembali berjalan ke arah yang ditunjukan pemuda tersebut.
Zolta kemudian mencoba mengamati warga Desa untuk mencari informasi lebih. Menurut pengamatannya, Desa Edoin memiliki populasi sekitar tiga sampai empat ribu orang yang mana sangat standar untuk desa sebesar ini.
Setelah berjalan beberapa saat, Zolta telah sampai di pintu gerbang kediaman Baron Meyer. Terlihat dua orang penjaga gerbang perlahan menghampirinya. "Berhenti di situ, Hunter. Ada urusan apa kau kemari?" tanya salah satu penjaga.
Sedari tadi, orang lain dapat dengan mudah mengenali Zolta sebagai seorang Hunter karena mereka melihat sebuah medali yang dikalungkan pada leher Zolta. Medali ini merupakan simbol resmi para Hunter yang telah lulus pelatihan dengan mentor mereka.
"Aku mendengar tentang masalah yang desa kalian hadapi, kurasa Baron Meyer mempunyai pekerjaan untukku," jawab Zolta datar.
Dua penjaga itu kemudian membukakan pintu gerbang. Zolta kemudian diantarkan ke sebuah bangunan di samping sebuah gudang senjata. Pelayan yang membawa Zolta kemudian keluar untuk memberitahukan kedatangan Zolta kepada Sang Baron.
Tidak lama kemudian, seorang pria paruh baya dan pelayan tadi memasuki bangunan dimana Zolta berada. "Sudah lama sekali sejak terakhir kali desa kami kedatangan seorang Hunter," sapa pria tersebut. "Ada urusan apa seorang Hunter di desa kecil-ku ini?"
Zolta kemudian berbalik lalu menundukkan kepalanya sebagai gestur hormat kepada seorang Bangsawan. "Aku mendengar dari seorang supir kereta kuda, di sini terdapat sesuatu yang dapat ku kerjakan," jawab Zolta, mengutarakan tujuannya datang ke desa ini.
"Ah... Ramon, kah? Silahkan duduklah terlebih dahulu, Hunter. Ini akan menjadi sebuah diskusi yang panjang." Sepertinya Baron Meyer mengenal Sang supir yang memberikan Zolta tumpangan ke desa ini.
Baron Meyer kemudian memberitahukan apa yang sedang terjadi di desanya kepada Zolta.
Dua bulan yang lalu, terjadi peristiwa bunuh diri setelah sekian lama tidak terjadi hal seperti ini di Desa Edoin. Korbannya adalah seorang pria muda yang berusia sekitar 17 tahun.
Awalnya, para warga desa tidak terlalu memikirkan kejadian ini. Namun, setelah berselang enam hari, seorang pria ditemukan meninggal dengan keadaan yang sama seperti kasus sebelumnya—mati dengan melompat dari bangunan yang tinggi.
Patrol Guard Desa mulai menyelidiki kasus ini. Akan tetapi, bukannya mereka menemukan sebuah petunjuk, mereka malah menemukan jasad pria berikutnya yang tenggelam di danau dekat kediaman Baron Meyer.
Patrol Guard menanyai keluarga korban, mereka bilang, sehari sebelum kematiannya, korban selalu terlihat berbicara sendiri di kamarnya.
Korban terus bertambah setiap enam hari ke depan. Kini jumlah korban mencapai sepuluh orang. Warga mulai takut dan khawatir mengenai nasib mereka. Apakah mereka akan menjadi korban selanjutnya? Kapankah peristiwa ini akan berakhir? Hal ini membuat aktivitas warga sedikit terganggu karena dihantui oleh pikiran paranoid.
"Jika terus seperti ini, banyak orang yang akan menjauhi dan meninggalkan desa ini. Kumohon Hunter, bisakah kau menyelesaikan kasus ini?" pinta Baron Meyer, nada bicaranya terdengar pasrah.
Mendengar permintaan Sang Baron, Zolta mengeluarkan secarik kertas lalu menulis beberapa kata di sana. Setelah selesai, dia kemudian memberikan kertas itu pada Sang Baron.
"Satu Gulden?" tanya Baron Meyer keheranan." Sebesar itukah imbalan yang kau inginkan, Hunter?" Satu koin emas Gulden memiliki nilai yang setara dengan 100 keping koin Silver
"Kemungkinan besar desa Anda sedang diteror oleh Makhluk Astral, Baron. Satu Gulden adalah upah minimum seorang Hunter untuk memburu makhluk itu," jawab Zolta.
Setelah mendengar alasan Zolta, Baron Meyer menandatangi secarik kertas itu."Kontrak telah dibuat. Besok, aku akan mulai melakukan Investigasi."
Setelah urusannya selesai, Zolta kemudian meninggalkan kediaman Baron Meyer untuk mencari tempat menetap di desa selama dia melakukan perburuan di sini.
.
.
.
Malam harinya di Desa Edoin, seorang pemuda tengah menikmati hembusan angin malam di sebuah lonceng menara. Pria ini adalah orang yang menunjukan arah kediaman Baron kepada Zolta tadi sore.
Kabut malam mulai muncul, membuat jarak pandang di sekitar desa menjadi pendek. Kebanyakan warga desa sudah tertidur pulas. Terlihat samar cahaya lampu lentera dari dua orang Patrol Guard di jalanan desa.
Waktu berlalu, pria itu masih berada di atas lonceng menara. Masih menjadi misteri, apa yang sedang pria ini cari atau tunggu di atas tempat tinggi itu. Tidak lama kemudian, pria itu berdiri hendak membuka pintu menara untuk kembali turun ke jalanan.
"...!"
Pria itu terkejut melihat sesosok wanita yang cantik ketika dia membuka pintu menara. Rambut pirang, pakaian yang elegan layaknya Bangsawan dan senyumannya yang mempesona membuat hati pria itu berdegup kencang.
"Ahh Roan, mau kemana terburu-buru?" Wanita itu tersenyum yang membuat Pria bernama Roan itu tersipu.
"Ah, tidak Lady. Kupikir, kau tidak datang malam ini." Suaranya sedikit bergetar karena masih terkejut dengan peristiwa tadi.
Wanita itu kemudian masuk melewati Roan. Dia berjalan-jalan di pinggiran menara. "Mana mungkin aku melupakan malam spesial ini, Roan."
Melihat wanita itu merentangkan tangannya, Roan mendekat menggapainya kemudian memeluk tubuh wanita itu. "Lady, malam ini kita akan bersatu?"
Wanita itu kemudian tersenyum bahagia lalu menjawab, "ya, akhirnya kita akan benar-benar bersatu, Roan." Suara lembut wanita itu membuat hati Roan sangat tenang dan damai.
Roan menutup matanya, memeluk wanita yang dia cintai itu dengan erat. Tubuhnya terasa melayang menerima sensasi hangat dari pelukan wanita impiannya itu. Sungguh, ini adalah saat yang paling bahagia selama Roan hidup di dunia ini.
.
.
.
Keesokan paginya, sebuah mayat ditemukan tepat di bawah lonceng menara. Identitas pria itu adalah... Roan. Kepalanya pecah karena menghantam tanah dengan cukup keras.
...Author Note : Desa Edoin...
Kabar mengenai peristiwa di lonceng menara menyebar ke seluruh desa. Para warga menjadi semakin ketakutan dan lebih memperhatikan keluarga mereka. Beberapa bahkan mulai menyiapkan barang-barang mereka untuk meninggalkan desa untuk sementara waktu.
"Desa ini sudah dikutuk! Kita semua akan mati seperti mereka!"
"Habislah kita semua!"
Zolta melihat keadaan desa mulai memburuk. Para warga mulai paranoid, mereka bahkan kesulitan untuk tidur malam karena ingin menjaga keluarga mereka dari peristiwa yang serupa.
Sebenarnya, desa ini tidaklah mendapatkan kutukan apapun. Penyebab fenomena bunuh diri yang terjadi akhir-akhir ini di desa di dalangi oleh perwujudan Makhluk Astral dari warga desa yang telah meninggal.
Setidaknya, itulah dugaan sementara yang didapat oleh Zolta setelah mendapatkan keterangan dari Baron Meyer kemarin.
Zolta hari ini mulai melakukan investigasinya, dia sedang berada di kediaman salah satu warga. Dari bentuk dan luas rumahnya, terlihat yang mendiaminya termasuk keluarga yang berada.
"Ah— kau seorang Hunter, ada urusan apa kau di rumahku?" Seorang pria paruh baya membuka pintu rumah lalu menanyai kepentingan Zolta berada di kediamannya.
"Mister Radan, aku ingin menanyai beberapa hal tentang mendiang putri Anda—Sefina."
Radan merupakan seorang saudagar kain. Dia mempunyai reputasi yang baik di Desa Edoin. Dia dan keluarganya tinggal di Kota Bourbon sebelum pindah ke sini dengan alasan ingin mendapatkan suasana yang lebih tenang di pedesaan.
"Aku tidak suka membicarakan kematiannya, cepat katakan apa yang kau perlukan," ucapnya dengan nada suara dingin.
"Bagaimana keadaan Sefina beberapa hari sebelum kematiannya?" tanya Zolta tanpa basa-basi.
Zolta sedang menyelidiki tentang kematian beberapa wanita dalam kurun waktu dua sampai tiga bulan sebelumnya. Dia menelusuri emosi siapa yang tertinggal dari tiga wanita yang meninggal dalam kurun waktu itu. Emosi yang begitu besar sehingga dapat termanifestasi menjadi makhluk astral setelah kematian tubuh fisiknya.
Zolta menduga, pelaku utama dibalik peristiwa yang terjadi di desa ini adalah sesosok Makhluk Astral Wanita jika dilihat hanya seorang pria Single saja yang menjadi korban.
"Aku tidak begitu dekat dengannya karena terlalu sibuk dengan pekerjaanku, tunggu sebentar di sini." Radan lalu masuk kembali ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, dia kembali membawa sebuah buku diari. "Ini diari mendiang putriku, sekarang pergilah dari kediamanku, Hunter."
Setelah memberikan buku itu pada Zolta, Mister Radan kemudian masuk ke dalam dan menutup pintu rumahnya.
Menurut laporan Patrol Guard, Sefina meninggal karena sebuah kecelakaan dua bulan yang lalu. Akan tetapi, detail mengenai kejadiannya tidak dijelaskan. Setelah menerima buku diari itu, Zolta kemudian kembali menyusuri desa, mencari kediaman keluarga dua wanita lainnya.
Tidak lama kemudian, dia sampai di sebuah rumah biasa di dekat kebun bunga. Terlihat seorang wanita dan seorang pria yang tengah mengobrol di sana. Di lihat dari ekspresi ceria keduanya, mereka nampak tidak terpengaruh dengan suasana negatif yang sedang ada di desa akhir-akhir ini.
"Maaf mengganggu waktu kalian, Tuan dan Nona," sapa Zolta.
Keduanya terkejut melihat kedatangan Zolta. Sang Pria menatap tajam kontras dengan Sang Wanita yang kemudian tersenyum lembut padanya.
"Ah, Tuan Hunter. Apa yang membuatmu datang kemari?" tanya Sang Wanita.
"Anda Miss Adler, benar? Aku ingin menanyakan beberapa hal tentang mendiang adik Anda—Sara."
Mendengar pertanyaan Zolta, ekspresi Miss Adler berubah drastis. Melihat wajah Miss Adler yang menjadi murung, tiba-tiba pria di sampingnya maju mendekati Zolta, mengarahkan jari telunjuk ke wajahnya. "Pergi kau Hunter, Adler masih berkabung dengan kematian Sara! Jangan mengganggunya dengan topik ini!" bentak pria itu pada Zolta.
Miss Adler kemudian memegang tangan pria itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Jorge, aku baik-baik saja. Bisakah kau kembali di lain waktu?"
Mendengar ini, pria yang bernama Jorge menghela nafas lalu meraih tangan Miss Adler. "Aku mengerti, sampai jumpa, My Lady." Dia kemudian menatap tajam Zolta sebelum meninggalkan Zolta dan Miss Adler berdua.
Setelah pria yang bernama Jorge pergi, Miss Adler mengundang Zolta masuk ke dalam panti asuhan dan menawarinya segelas teh. "Lalu, apa yang ingin Anda tanyakan mengenai Adikku, Tuan Hunter?"
"Bagaimana kondisi Sara di hari-hari terakhir sebelum kematiannya?"
Miss Adler kemudian mulai menceritakan tentang Adiknya—Sara. Dia mengatakan, adiknya sedari masih kecil mempunyai tubuh yang lemah dan sering sakit-sakitan. Dia selalu ceria dan nampak sering iri dengan kakaknya.
"Iri mengenai hal apa, jika saya boleh tahu?"
"Dia bilang 'Aku juga ingin mempunyai seseorang kekasih yang memanggilnya Lady' begitu katanya fufufu..., " ungkap Miss Adler sambil tertawa kecil mengenang Adiknya.
Dia melanjutkan ceritanya, setengah tahun yang lalu, kondisi tubuh Sara memburuk. Miss Adler sudah sekali membawa Sara ke Kota untuk menemui penyembuh namun sayang, nyawa Sara tetap tidak tertolong. Miss Adler bilang, dia meninggal dengan sebuah senyuman di wajahnya.
Setelah mendengar cerita tentang Sara dari Miss Adler, Zolta kemudian pamit lalu pergi menuju rumah dari keluarga wanita selanjutnya—kediaman Baron Meyer.
Ya, anak perempuannya termasuk dalam wanita yang meninggal dalam kurun waktu dua bulan sebelumnya. Zolta mengetahui informasi ini pagi tadi ketika mendengarkan percakapan para warga ketika sedang sarapan di kedai minuman.
Sesampainya di kediaman Baron Meyer, Zolta diberitahu oleh pelayan bahwa, Sang Baron sedang berada di pemakaman desa. Sesampainya di pemakaman, Zolta melihat Baron Meyer sedang berdiri di depan sebuah makam.
Zolta berjalan mendekatinya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Menyadari kehadiran seseorang, Baron Meyer menolehkan kepalanya.
"Ah Hunter, bagaimana dengan investigasimu?"
"Mendapatkan progres yang cukup baik, Baron."
Setelah berbalas sapa, hening kembali terjadi. Keduanya tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun setelah itu. Beberapa saat kemudian Sang Baron lah yang pertama memecah keheningan. "Kau kemari untuk menanyai tentang mendiang putriku—Rainira, kah?"
"Benar sekali," jawab Zolta singkat.
Baron Meyer memandang batu nisan dimana putrinya dikuburkan sebelum menarik nafas dalam-dalam. "Dia adalah anak yang baik, selalu tersenyum dan tak pernah kenal menyerah."
Rainira de Edoin—Putri kedua Baron Meyer de Edoin. Seorang gadis tomboy berambut pirang yang memiliki cita-cita untuk menjadi seorang Ksatria Kerajaan. Akan tetapi, walaupun sudah berusaha dengan sangat keras untuk mengejar cita-citanya itu, Rainira tidak lolos ujian masuk untuk menjadi kadet di Akademi Ksatria.
Rainira juga bersikeras, agar Ayahnya—Baron Meyer untuk tidak ikut campur dengan menyuap para instruktur penguji dengan menggunakan pengaruhnya sebagai seorang Bangsawan. Melihat tekad anaknya yang begitu kuat, Baron Meyer hanya bisa pasrah.
Waktu berlalu, Rainira telah menginjak umur 15 tahun. Namun, setelah tiga kali mengikuti ujian masuk, Rainira tetap gagal lolos memasuki akademi. Ini dikarenakan tubuh Rainira yang lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata tubuh yang dimiliki oleh peserta lainnya, membuatnya lebih sulit untuk lulus dalam seleksi.
Menerima kenyataan pahit ini, Rainira menangis dan mengurung diri di kamarnya selama beberapa hari. Baron Meyer yang menyaksikan ini serasa teriris hatinya tak kuasa melihat putrinya mengalami kesedihan yang sangat mendalam.
"Ayahanda, maafkan Rainira yang selalu bersikap keras kepala." Setelah beberapa hari mengurung diri, Rainira keluar kamar menghadap Ayahnya untuk meminta maaf karena sikapnya beberapa hari belakangan ini.
Melihat ini Baron Meyer terkejut, mengapa demikian? Karena Rainira—putrinya yang dikenal tomboy ini akhirnya mau mengenakan pakaian layaknya putri Bangsawan wanita pada umumnya. Kali ini, Rainira terlihat lebih feminim dan lebih imut dari biasanya.
Melihat Rainira yang seperti ini hanya pernah Baron Meyer bayangkan di dalam mimpinya saja. Matanya mulai berkaca-kaca seraya dia berjalan mendekat ke putrinya itu.
"Tidak apa, Nak. Kau adalah putriku, kau bebas untuk memilih apapun jalan hidup yang ingin kau ambil," ucap Baron Meyer seraya mengusap-usap rambut pirang putrinya itu.
"Terima kasih, Ayahanda." Tak kuasa menahan tangis, Rainira kemudian memeluk dan membenamkan wajahnya di pelukan Baron Meyer.
Dua tahun berlalu, Rainira kini berusia 17 tahun. Wanita yang dulunya tomboy itu kini sudah berubah menjadi wanita bangsawan yang mempesona. Menjadikannya wanita kebanggaan warga Desa Edoin.
Terlihat Baron Meyer yang penuh senyum melihat putrinya itu dari kejauhan. Dia lalu mendengar suara langkah kaki dibelakangnya. "Sepertinya, sudah saatnya kita memilihkan calon pengantin untuk putri kita, Suamiku."
Senyum Baron Meyer kemudian menghilang seketika, dia berbalik menatap tajam kepada wanita di hadapannya. "Rainira lah yang akan menentukan jalan hidupnya sendiri!" tegasnya dengan nada bicara yang dingin.
Tidak ada satupun orang yang boleh mengganggu kebahagian Putriku bahkan Kau—Ibu kandungnya sendiri!
Beberapa bulan kemudian, Rainira mulai menampilkan kembali sifat tomboynya, dia kini bergaul dengan para kelompok sirkus yang kebetulan sedang berada di desa.
"Rainira! Bisakah kau lebih hati-hati Nak!" Baron Meyer sedang menyaksikan Rainira melakukan sebuah atraksi berjalan di sebuah seutas tali dengan membawa sebuah tongkat sebagai penyeimbang.
Rainira tertarik dengan atraksi ini karena membuat adrenalinnya terpacu. Dia memang tidak bisa melawan akan sifat aslinya itu, berani, enerjik dan suka akan sebuah tantangan.
Perlahan tapi pasti, Rainira sedikit demi sedikit berjalan untuk mencapai ke tepian sambil menyeimbangkan tubuhnya di atas tali dengan tongkat yang ada di tangannya itu.
"Yay aku berhasil! Ayah, apa kau melihatku!?" Rainira tersenyum kegirangan setelah berhasil menyelesaikan tantangan tersebut.
Melihat senyuman anaknya yang sedang bahagia, Baron Meyer ikut tersenyum. Memang tidak ada yang lebih penting baginya selain kebahagiaan putrinya itu bagi Sang Baron.
Beberapa hari kemudian, para kelompok sirkus itu akan melakukan pertunjukan di alun-alun Desa. Rainira akan ikut tampil untuk memperlihatkan aksinya berjalan di seutas tali seperti yang sering dia lakukan di hari-hari sebelumnya.
Rainira akan berjalan menempuh jarak sejauh 40 meter dari atas lonceng menara menuju Kantor Desa. Jarak ini dua kali lebih panjang dari pada yang pernah Rainira lakukan selama latihan di hari-hari sebelumnya.
Baron Meyer sudah membujuk anaknya untuk tidak gegabah melakukan aksi tersebut. Namun, sifat keras kepala Rainira kembali kambuh. Baron Meyer juga sudah bersumpah untuk tidak mencampuri jalan hidup yang akan ditempuh Rainira. Untuk itu, dia mengizinkan Rainira untuk melakukan aksinya yang lebih berbahaya kali ini.
Atraksinya dimulai, walaupun langit terlihat sedikit gelap saat itu, Rainira mulai berjalan dengan pelan di atas seutas tali sambil membawa sebuah tongkat sebagai alat untuknya menyeimbangkan diri. Suara tepuk tangan dan teriakan semangat mulai terdengar dari para penduduk desa, tinggal beberapa meter lagi Rainira dapat mencapai ke tepian.
-Jedarrr!
Suara petir menggelegar mengagetkan para warga yang menyaksikan atraksi. Akan tetapi, tidak hanya para warga saja yang terkaget, Rainira yang sedang melakukan aksi pun demikian. Dia kehilangan keseimbangan sebelum mencapai ke tepian yang hanya tinggal berjarak dua meter saja.
"Tidak, tidak, tidak!" Baron Meyer bergegas berlari menuju anaknya.
Rainira terjatuh namun masih bisa bernafas, darah mengucur di kepalanya, mulutnya memuntahkan banyak darah dan sebagian tulang yang ada dalam tubuhnya patah.
"Ayahh... Aku tidak dapat merasakan seluruh tubuhku....," ucapnya lirih.
"Bertahanlah Nak, Ayah janji semua akan baik-baik saja! Kau akan sembuh dan dapat berjalan kembali!" ucap Baron Meyer seraya menggenggam tangan Rainira agar putrinya tidak merasa takut.
"Ayah... Maafkan Rainira... " Pandangan mata Rainira mulai kabur dan dia sama sekali tidak bisa mendengar suara dari Ayahnya yang sedari tadi berteriak.
"Terima kasih... Kau selalu mengerti akan keinginanku, Ayah." Air mata mulai membasahi pipi Rainira. "Terima kasih... Ayah, telah mengizinkanku untuk hidup sesuai dengan keinginanku."
Mendengar kata-kata putrinya itu, air mata Baron Meyer mulai berjatuhan membasahi pipi Rainira.
"Ayah..., " bisik Rainiria seraya mengusap air mata Ayahnya." Aku menyayangimu... "
Tangan Rainira terkelai lemas, dia menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengucapkan salam perpisahan untuk Ayahnya yang sangat dicintainya itu.
Mata Baron Meyer yang sekarang berada di hadapan makam Rainira mulai dibanjiri dengan air mata. Dia berbalik menghadap Zolta yang sedari tadi mendengarkan kisah putrinya itu.
"Hunter...," panggil Sang Baron lemah. "Menurutmu, apa aku sudah menjadi seorang Ayah yang baik untuknya?" tanya Baron Meyer terdengar putus asa. "Aku hanya mengharapkan yang terbaik untuk Rainira... "
Tubuh Sang Baron bergetar, kematian putri tercintanya itu masih menjadi memori kelam di dalam hatinya.
"Apakah kematiannya itu adalah kesalahanku...?"
Mendengar pertanyaan Baron Meyer, Zolta hanya terdiam tanpa berkata apapun untuk sejenak. "Kalian saling mengerti satu sama lain dan memiliki cinta yang sama sebagai Ayah dan Anak," ucap Zolta dengan nada melankolis. "Tidak banyak manusia yang memiliki hubungan seindah Anda dengan putrimu itu, Baron Meyer."
Mendengar jawaban Zolta, Baron Meyer hanya tertunduk lesu. Dia kemudian berjalan keluar area pemakaman meninggalkan Zolta sendirian di sana.
.
.
.
Malam harinya, seorang Patrol Guard desa sedang melakukan tugas patroli di sekitaran area Desa Edoin. Seharusnya dia ditemani dengan satu rekannya yang lain. Akan tetapi, rekannya itu sedang izin cuti karena istrinya akan melahirkan.
Cuaca desa kembali di penuhi dengan kabut, suhu sekitar juga menurun karena sudah hampir memasuki musim dingin. Patrol Guard itu mengarahkan lenteranya ke sebuah jurang.
Dia melihat sesosok wanita berambut pirang yang sedang melihat ke dasar jurang. Mendapat firasat yang buruk, Patrol Guard itu kemudian bergegas menghampiri sosok itu. "Nona, apa yang sedang Anda lakukan malam-malam di tempat seperti inj?"
Wanita itu kemudian berbalik, terlihat sekitaran matanya memerah seperti baru saja menangis. "Tidak apa-apa, Tuan. Hanya saja, aku sedikit sedang depresi," ucap Wanita itu lemah.
Patrol Guard itu meletakkan lenteranya ke tanah, tangan pemuda memegang kedua bahu wanita tersebut. "Dimana rumah Anda, Nona? Apakah Anda memiliki keluarga di sekitar sini?"
Wanita itu hanya menggeleng-gelengkan kepala saja merespon pertanyaan pemuda itu.
"Kalau begitu, maukah Anda menetap di rumah saya terlebih dahulu? Anda akan kedinginan jika terlalu lama berada di luar sini," tawar pemuda itu. Nada suaranya terdengar khawatir.
"Iya... Terima kasih atas kebaikan Anda, Tuan."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!