Pagi itu, diantara hiruk-pikuk orang-orang yang berlalu-lalang. Terlihat seorang wanita bertubuh sintal menyeret koper berwarna abu-abu sedikit kecoklatan memasuki lift yang lumayan penuh, dengan langkah tergesa.
Membuatnya seketika harus dihadapkan dengan kondisi yang cukup lumrah, pada jam-jam sibuk begini. Dengan cekatan, tubuhnya mencoba menjejal masuk untuk kemudian berdesak-desakan dengan beberapa orang. Yang kini menatapnya dengan berbagai macam pemikiran. Ada yang mencemooh karena melihat pakaiannya yang terlalu ketat, ada juga beberapa pria mata keranjang yang menatap tubuhnya lapar, seraya menelan ludah berat.
Sejujurnya bagi Gisel. Dia sudah terbiasa mendapatkan hal seperti ini. Meskipun terkadang, dia merasa sangat risih, mendapat perhatian begitu. Akan tetapi, karena sudah terlalu sering dan menjadi hal biasa. Gisel jadi tak mau repot-repot menanggapinya serius. Masa bodoh sajalah. Kecuali, jika salah satu dari mereka mulai kurang ajar dan berani menyentuh bagian belakang tubuhnya tanpa permisi. Mungkin, Gisel tak akan lagi hanya berdiri diam saja ditempatnya.
Hanya saja, Gisel tak mengira. Jika dia akan mendapatkan tindakan tak senonoh hari ini. Seperti sekarang, contohnya. Gisel tak menduga, cowok bertubuh tinggi yang berdiri tepat dibelakang tubuhnya akan melakukan hal memalukan begini. Yakni mencari kesempatan dalam kesempitan, hanya untuk menyentuh permukaan luar roknya yang memang saat ini begitu ketat.
Gisel bahkan bisa merasakan remasan ringan di atas permukaan kulitnya yang membuatnya ingin segera memaki dan menampar pria berkacamata hitam itu. Kalau saja, keadaan lift ini sepi.
Ah, atau mungkin dia bisa melakukan ini nanti. Tepatnya saat lift baru terbuka dan orang-orang di dalam lift ini mulai berjalan keluar.
Gisel akan menahan orang itu di depan pintu, kemudian menampar pipinya dengan keras, seperti adegan Ibu Jiya menampar wajahnya Pak Ferdi tempo hari.
Yah, pemikiran yang tepat. Siapa suruh pria berkacamata hitam itu dengan sesuka hati menyentuh tubuhnya. Meskipun Gisel tahu jika dandanan serta pakaian yang dia kenakan kadang mengundang nafsu para lelaki. Namun, Gisel sendiri bukalah cewek gampangan.
Tring!
Lift terbuka, tampak beberapa orang juga mulai keluar satu-persatu dari dalam sana. Kecuali Gisel dan pria asing yang masih meremas roknya tanpa tahu malu. Hingga karena sudah tak tahan lagi, Gisel lantas membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke arah pria itu. Kemudian berteriak keras di depan wajahnya.
"Anda benar-benar pria mesum! Bagaimana bisa, anda *******-***** bagian belakang rok saya ketika berada di tempat umum seperti ini? Jangan mentang-mentang karena lift ramai, Anda jadi bisa melakukan apapun seenaknya, yah!" teriak Gisel berapi-api dengan jari telunjuk yang sengaja dia arahkan langsung ke depan wajah pria berkacamata hitam itu.
Yang masih terdiam ditempatnya dan hanya memandangi perubahan muka Gisel dari balik kacamata hitamnya.
"Permisi?" celetuk seseorang tiba-tiba, yang membuat Gisel langsung menolehkan kepalanya ke arah seorang wanita cukup berumur dengan anak kecil yang bisa diperkirakan baru berusia 2-3 tahunan di dalam gendongannya itu.
"Ya?"
"Eum, sebelumnya saya minta maaf. Sebenarnya yang menyentuh rok Anda itu anak saya. Dia memang suka sekali *******-***** rok orang akhir-akhir ini. Saya juga sering mendapat perlakuan itu saat di rumah. Dan untuk pria disebelah saya. Saya pikir anda harus berterima kasih padanya. Karena sedari tadi, beliaulah yang melindungi Anda dari tatapan mata pria-pria hidung belang dan juga membantu menghentikan aksi anak saya." Wanita berumur itu menjelaskan pada Gisel panjang lebar.
Dan untuk sesaat itu cukup membuat hati Gisel tersentak, karena salah tangkap. Namun bukannya meminta maaf, Gisel malah langsung pergi begitu saja meninggalkan kedua orang itu yang masih melihat kepergiannya dengan tanda tanya.
"Dasar wanita aneh," ucap pria berkacamata hitam itu setengah berbisik.
Di lain sisi, Gisel yang sudah kepalang tanggung serta malu. Memilih untuk segera pergi menuju kamar hotel yang sudah disiapkan untuknya.
Rasa-rasanya dia ingin mengumpat setelah sampai di dalam kamar. Kemudian berendam dengan air dingin untuk menyegarkan pikirannya.
Kalau dipikir-pikir, Gisel benar-benar sangat malu. Saking malunya dia sendiri tak berani melihat lagi wajah pria berkacamata hitam itu, yang hanya diam saja. Saat Gisel marahi di depan ibu-ibu dan anaknya barusan.
"Haish, Bagaimana bisa aku seceroboh ini, sih? Sudah begitu aku langsung menujuk wajahnya dan berteriak kalau dia pria mesum. Huwa, aku benar-benar malu. Semoga saja kami tidak pernah bertemu lagi!" monolog Gisel setelah sampai di dalam kamar hotelnya.
Terlihat dia meletakkan kopernya di dekat ranjang, sebelum memilih untuk langsung pergi ke kamar mandi dan berendam selama beberapa jam di dalam sana.
Karena tak sengaja tertidur saat berendam. Gisel jadi keluar kamar mandi saat hari mulai menggelap.
Dengan tubuh yang hanya mengenakan jubah mandi. Wanita seksi itu perlahan-lahan mendudukkan dirinya di atas kasur dan berniat untuk mengemasi barang-barangnya.
Hanya saja, saat tangan Gisel menemukan salah satu benda berwarna hitam yang kemudian dia angkat tinggi-tinggi untuk memastikannya. Wajahnya langsung berubah syok.
"Boxer?!" pekiknya keras seraya melempar benda itu ke arah pojok kamar hotelnya.
Tatapan mata Gisel berubah horor sekaligus panik bukan main. Dia juga langsung menggosok-gosokkan permukaan tangannya sendiri ke atas permukaan sprei ranjang yang kini berubah kusut.
"Gila! Gila! Sejak kapan aku punya boxer? Jelas-jelas kemarin aku membeli set lingerie lengkap dengan merek ternama yang jumlahnya sangat terbatas. Tapi kenapa hanya dalam hitungan beberapa jam sudah berubah menjadi boxer pria yang ... Arghhh! Bisa gila aku! Ayo fokus! Fokus dong Gisel. Jomblo sih jomblo, tapi jangan sampai tergoda hanya karena benda sialan itu," teriak Gisel sambil mencak-mencak tak jelas di dalam ruangannya.
Buru-buru dia mengambil gawai untuk menelpon Maya, salah satu temannya di kantor yang seorang janda beranak dua. Rencananya Gisel ingin menenangkan hati dan juga pikirannya setelah melihat boxer pria di dalam koper miliknya.
Terlebih lagi, kemarin yang membantunya berkemas adalah Maya. Jadi, Gisel ingin tahu, apa ini ulah Maya yang sengaja memberinya prank atau ada hal lain?
Cukup lama, dia menunggu dengan harap-harap cemas seraya mengigiti kuku-kuku jarinya sendiri. Berharap jika sambungan telepon yang dia hubungkan ke ponsel Maya, lekas wanita itu angkat.
Namun sampai detik ini, belum ada jawaban sama sekali. Yang membuat Gisel makin tak karuan saja.
"Apa aku cek kopernya lagi saja, yah? Siapa tahu Maya iseng." Monolog Gisel sedikit ragu.
Tapi tetap dia lakukan, untuk memastikannya. Detik itu juga, Gisel meletakkan ponselnya kembali di atas kasur. Kemudian menyeret kopernya mendekat ke arahnya sebelum dia buka selebar mungkin untuk diperiksa.
Dan betapa syoknya Gisel, saat dia tau isi koper abu-abu sedikit kecoklatan itu yang hampir semuanya berisi pakaian pria. Gisel hanya bisa meringis ditempat seraya ternganga saat melihat satu box benda yang paling sering Gisel lihat jika dia pergi ke supermarket. Karena benda itu biasanya dipajang berjejeran dekat dengan rak permen karet.
"Sial, ini kan alat kontrasepsi?!" teriaknya terkejut, dengan wajah memerah bukan main.
Buru-buru dia mengacak-acak isi koper abu-abu sedikit kecoklatan itu. Sayangnya nihil, Gisel benar-benar tak menemukan sisa-sisa pakaian miliknya, yang seolah-olah langsung raib begitu saja hanya dalam hitungan jam.
Padahal dia ingat dengan jelas, sudah membawa koper yang benar dan tak sekalipun merasa kalau kopernya tertukar dengan koper milik orang lain.
Tapi, mengapa bisa seperti ini?
"Huwe, lingerie edisi terbatasku. Padahal aku sengaja membelinya kemarin, dan berniat unboxing hari ini. Tapi malah ilang? Udah gitu harganya mahal banget lagi. Huwe!" tangis Gisel frustasi, mirip anak kecil yang kehilangan permen kesukaannya.
Akan tetapi, ditengah-tengah ratapannya itu tiba-tiba ponselnya yang berada di atas kasur berdering. Yang kontan saja, langsung Gisel angkat setelah melihat nama Maya tertera dilayar benda pintarnya itu.
'Halo, Sel. Ada apa? Kok tiba-tiba nelpon, udah gitu, panggilan tak terjawab dari lo banyak banget. Apa terjadi sesuatu dijalan selama lo pergi?' tanya Maya dari seberang telepon.
Gisel sendiri masih terisak pelan, seraya membuang ingusnya keras, ditisu yang dapat Maya dengar dari sambungan telepon mereka berdua.
'Lo nangis? Ada masalah apa sih? Coba cerita?' tanya Maya lagi makin panik.
Apalagi setelah dia mendengar suara tangisan Gisel yang makin menjadi-jadi. Maya jadi semakin penasaran dengan apa yang temannya itu alami.
'Ko-koper gue kayaknya ilang deh, May.' Gisel berucap yang membuat Maya mengernyitkan sebelah alisnya, yang tentunya tak dapat Gisel saksikan.
'Ilang gimana? Bukannya koper lo itu cuma satu-satunya yah, yang ada di Indo? Secara lo kan suka ngoleksi barang-barang limited edition.' Maya menyahuti dengan nada suara yang tak begitu percaya.
'Mana gue tahu. Dan yang paling buat gue kaget, pas ngebuka isinya.'
'Emang isinya apaan? Organ-organ manusia?' kata Maya, sengaja meledek.
'Heh, kalau itu mah gue langsung lapor polisi. Bukannya nelpon lo!' Gisel menyahut ketus.
'Iya deh, iya. Emang isinya apaan?' Lagi Maya bertanya dari seberang teleponnya.
Membuat Gisel menarik napas dalam-dalam untuk beberapa saat, sebelum mengatakan apa yang dia lihat didalam koper itu secara mendetail.
'Baju-baju cowok, boxer sama alat kontrasepsi.'
Maya yang mendengar penuturan Gisel ikutan kaget dong. Apalagi dia tahu, kalau Gisel itu jomblo akut, meskipun dia pernah bilang sendiri pada Maya kalau cuma nama Pak Ferdi, bosnya yang akan selalu dihati. Sebelum akhirnya sahabatnya itu menyerah secara sepihak, setelah dia tahu kalau bosnya sudah menikah diam-diam, dan baru mengadakan acara resepsi pernikahan kemarin.
Gisel patah hati, dan semenjak itu dia memilih untuk tidak membuka hati lagi. Katanya. Tapi kenapa tiba-tiba kopernya berisi pakaian pria semua? Wah, Maya jadi curiga. Masa sih, diam-diam Gisel main belakang dan merahasiakan semua ini dari dirinya?
'Lo nggak main belakang kan, Sel?' tanya Maya akhirnya.
Gisel yang mendengar pertanyaan itu langsung mengernyitkan sebelah alisnya. 'Main belakang gimana sih, May? Lo kan tahu sendiri, meskipun gue cantik dan seksi tapi gue belum pernah sekalipun pacaran sama cowok di dunia ini.'
'Iya juga, sih. Tapi kok gue masih nggak yakin, kalau lo belum pernah pacaran sama siapapun sampai detik ini.' Maya menyahuti dengan penuh kecurigaan.
Yang membuat Gisel mengembuskan napas jengah untuk beberapa saat. Kemudian memilih untuk mematikan sambungan teleponnya dengan Maya saat ada sebuah nomor tanpa nama tiba-tiba menghubungi dirinya.
'Halo?'
'Apa benar ini dengan Gisela?'
'Iya, ini dengan saya sendiri. Ada apa, yah?'
'Bisa bertemu sebentar? Saya kira koper kita berdua tidak sengaja tertukar saat di lift.'
Mendengar tentang koper. Kepala Gisel langsung mengangguk setuju. Kemudian dia langsung mengiyakan panggilan itu dengan cepat.
Beberapa waktu sebelumnya. Tepatnya di kamar hotel lain. Terlihat seorang pria berkacamata hitam yang tengah duduk di atas kasur seraya mengendurkan dasi yang terasa mencekik leher.
Tampak dia melepaskan semua jas dan pakaian yang melekat disekujur tubuhnya, sebelum akhirnya. Sosok itu berjalan menuju ke arah pintu kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tak lama kemudian, pintu kamar mandi itu terbuka kembali. Dan memperlihatkan seorang pria yang hanya memakai handuk kecil sebatas pinggang dengan rambut yang masih setengah basah, setelah keramas.
Jean--panggil saja dirinya begitu. Seorang CEO dari perusahaan manufaktur yang sangat terkenal hampir disemua kalangan. Bahkan untuk para wanita malam sekalipun.
Dirinya begitu digilai oleh setiap orang hingga terkadang membuatnya merasa muak. Bukan, bukan karena dirinya kurang kasih sayang. Hidup sebagai satu-satunya pewaris tunggal dengan harta yang tak akan habis selama tujuh turunan. Membuat Jean merasa bosan juga.
Baginya hidup kaya dan bergelimang harta tanpa adanya kasih sayang yang tulus serta cinta. Membuat Jean merasa sangat kesepian hingga sering kali menghabiskan malam-malamnya yang dingin dengan berbagai macam wanita dari bar. Hanya untuk penghangat ranjangnya selama semalam.
Namun ketika pagi tiba, dia akan langsung mengusir mereka tanpa ampun. Seolah-olah waktu semalaman mereka bercumbu dan bergelut satu sama lain, itu hanya mimpi semu belaka.
Sosoknya yang dingin sekaligus tak tersentuh ini membuat Jean menjadi CEO paling ditakuti oleh segala macam pihak. Sayangnya, dibalik sorot matanya yang tajam dan sulit untuk ditebak itu, dia benar-benar membutuhkan kasih sayang yang begitu mendalam.
"CK, lingerie?!" decihnya seraya mengangkat sepotong benda berwarna merah terang yang sangat-sangat dia tahu apa.
"Aku tak menyangka akan ada drama konyol seperti ini. Kira-kira siapa wanita yang punya ide gila dengan menukar kopernya sendiri hanya untuk tidur satu malam denganku?" monolognya sendiri, seraya menatap ke arah set lingerie berwarna merah terang itu yang masih memiliki bandrol harga.
"Ah, sialan ini benar-benar keterlaluan dan mengotori mataku."
Jean hampir membuang benda itu, namun matanya teralihkan pada sepucuk note yang tak sengaja jatuh di atas tumpukan pakaian wanita dalam koper.
'Semoga saja, dalam perjalanan bisnis ini aku segera menemukan jodohku.'
~Gisela
Tanpa sadar, sudut bibir Jean tampak tertarik sedikit ke atas hingga membuat sebuah lengkungan yang sangat tipis di wajahnya.
"Menarik, dia bahkan meninggalkan nomer teleponnya di sini."
Kembali ke waktu semula. Saat dimana Gisel sudah menunggu seseorang yang tadi menelponnya dan mengatakan jika koper mereka tidak sengaja tertukar saat berada didalam lift.
Gisel pun menunggu sosok itu di lobi hotel, dengan memakai kembali pakaian yang tadi siang dia pakai untuk datang ke tempat ini. Tentunya sedikit harap-harap cemas.
Jujur, dia memikirkan nasib set limited edition lingerie-nya. Karena jika hilang, Gisel akan merasa sangat rugi sekali. Terlebih lagi harganya begitu mahal. Kan, sayang gajinya selama ini.
Sampai beberapa menit kemudian, sosok yang Gisel tunggu akhirnya muncul juga. Yakni, seorang pria yang mengenakan setelan santai berupa kaos putih yang terlihat pas di tubuh dengan celana bahan yang sangat cocok dipadukan. Namun, begitu Gisel ingat. Mata wanita itu langsung membulat lucu setelah teringat kejadian saat di lift tadi siang. Apalagi, dirinya sempat meneriaki kalau pria itu mesum. Lagi-lagi hal itu membuatnya ingin menghilang dari tempat itu sekarang juga.
"Ya ampun, takdir macam apa ini?!"
"Ya ampun, takdir macam apa ini?!" lontar Gisel tanpa sadar yang masih bisa Jean dengar.
Membuat pria itu lantas menyunggingkan seutas senyum simpul yang malah dikira Gisel sedang menertawakan dirinya.
"Jika tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, bisakah Anda segera menyerahkan koper milik saya?" ucap Gisel dengan tatapan yang begitu tajam.
Entah mengapa, dia ingin sekali pergi dari hadapan pria ini secepatnya. Seolah-olah, Gisel merasakan firasat yang buruk jika keduanya terlalu lama bersama.
"Kenapa buru-buru sekali? Kita masih bisa mengobrol ataupun minum kopi bersama, yah hitung-hitung sebagai bentuk ungkapan terima kasih karena telah mengantarkan koper masing-masing dengan aman," balas Jean, yang langsung menghancurkan keinginan Gisel untuk pergi.
Tampaknya pria itu sedikit memiliki ketertarikan untuk semakin dekat dengan Gisel. Sayangnya, ajakan dari Jean harus ditolak mentah-mentah.
"Maaf, saya tidak punya waktu. Karena saya datang ke sini untuk melakukan pekerjaan bisnis, bukan untuk liburan ataupun minum kopi bersama dengan seorang pria tampan. Ups!"
Gisel buru-buru menutupi mulutnya sendiri. Haish, bisa-bisanya dia asal sebut begini.
"Tidak usah sungkan begitu, saya memang tampan kok." Jean berkata penuh percaya diri yang hanya dibalas decihan Gisel.
"Saya ambil kopernya dulu. Terima kasih dan semoga kita tidak bertemu lagi. Sekian."
Setelah mengatakan itu, Gisel benar-benar berjalan mendekat ke arah Jean untuk menukar kopernya kembali. Lantas, pergi begitu saja meninggalkan Jean yang terlihat mengangkat tangannya untuk mempersilahkan wanita itu pergi.
Tanpa Gisel tahu, diam-diam Jean tersenyum saat melihat punggung Gisel yang menghilang ditelan dinding hotel.
"Baru kali ini aku diabaikan seorang wanita. Padahal biasanya mereka akan melakukan segala macam cara untuk mendapatkan perhatianku. Tapi untuk wanita itu, kupikir dia berbeda." Jean menatap kepergian Gisel dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan.
Keesokan harinya, Gisel sudah bersiap-siap di depan cermin. Dengan tangan yang masih merapikan helaian anak rambutnya yang jatuh menutupi dahi. Gisel tersenyum lebar mirip cast iklan pasta gigi, setelah menjepitnya dengan jepit lidi, supaya rambutnya kembali rapih.
"Oke, semua sudah beres."
Merasa semuanya telah siap, wanita itu mulai beranjak pergi. Mengunci pintu hotelnya sebelum menunggu di depan lift yang pintunya masih tertutup, sambil sesekali bersenandung kecil.
Hanya saja, Gisel tak menduga jika dia akan bertemu dengan pria itu lagi. Seolah-olah takdir sedang mengerjainya habis-habisan beberapa hari belakangan ini.
"Hai," sapa Jean, tak terduga.
Padahal mereka baru dua kali bertemu. Tapi, dia sudah menyapa Gisel, seperti sudah saling mengenal cukup lama.
"Hm." Gisel membalas seadanya.
Kakinya yang jenjang, berjalan masuk ke dalam lift dengan cepat saat pintunya baru terbuka, yang membuat Jean lagi-lagi menyunggingkan seutas senyum simpul saat melihatnya.
Ah, entah karena wanita itu atau Jean yang merasa mood-nya sedang bagus. Pria itu pikir, dia jadi lebih sering tersenyum akhir-akhir ini.
Fyi, bicara soal wanita yang tampak menarik di mata Jean. Dia baru sadar kalau semalam setelah mengecek isi kopernya, pria itu menemukan satu benda yang hilang. Yakni, sebuah boxer berwarna hitam yang paling dia suka dan baru dibeli beberapa hari yang lalu, telah raib.
Awalnya, dia mengira jika benda itu terselip diantara tumpukan baju yang lain. Namun, setelah Jean cari lagi, benda itu benar-benar tak ada batang hidungnya sama sekali. Jadilah, Jean membuat kesimpulan jika wanita dihadapannya ini yang menyembunyikan benda itu.
"Ngomong-ngomong, saya tidak habis pikir Anda akan mengambil salah satu barang pribadi milik saya," celetuk Jean saat mereka berdua sudah berada di dalam lift.
Kontan saja, Gisel langsung menolehkan kepalanya sedikit ke arah pria itu. "Maaf? Maksudnya barang yang mana?"
Melihat raut wajah penuh tanya Gisel. Jean berdeham sebentar sebelum mendorong tubuh Gisel hingga sedikit terhimpit dipojok lift.
"A-anda mau apa? Jangan macam-macam, yah!" teriaknya yang membuat Jean tersenyum dan makin ingin menggoda wanita dihadapannya ini.
Apalagi saat Gisel begitu ketakutan, serta mulai berkeringat dingin. Bagi, Jean pemandangan itu cukup seksi. Sial, bisa gila dia kalau terus-terusan begini.
Sayangnya itu hanya halusinasi Jean saja. Karena pada kenyataannya, Gisel sudah pergi keluar lift terlebih dahulu meninggalkan dirinya yang masih mematung di tempat, beberapa detik yang lalu.
"Cih, pikiran konyol macam apa tadi?" monolog Jean seraya mengusap permukaan wajahnya kasar.
Gisel yang sudah keluar dari lift merasa bebas. Habisnya, berdua saja dengan pria asing semacam pria mesum itu membuat dirinya tak tenang. Yap, berhubung Gisel tidak tahu nama asli pria itu. Dia akan menyebutnya si pria mesum berkacamata.
Eum, bicara soal pria itu. Untungnya Gisel tak harus keluar lift bersama. Tadi juga, dia sengaja pergi lebih dulu supaya tak perlu basa-basi dengan pria mesum itu.
Terlalu banyak pikiran, terlebih tentang si pria itu. Gisel tak sadar jika dirinya sudah sampai di tempat rapat.
Sebelum masuk ke ruangan itu, dia sempat bertekad untuk tidak memalukan nama baik perusahaan. Apalagi dia di sini untuk mewakili Pak Ferdi. Jadi Gisel harus berusaha sebaik mungkin.
Meskipun cintanya kandas, atau lebih tepat disebut bertepuk sebelah tangan. Tapi itu tak membuat Gisel membenci bosnya.
"Haish, Pak Ferdi. Ternyata kita ini ibarat langit dan bumi. Coba saja, dulu saya yang ketemu bapak duluan, mungkin sekarang bapak berstatus jadi suami saya? Asli beruntung banget Bu Jiya." Gisel meratap sendu saat teringat kedua insan itu.
"Sel?" panggil Pak Soleh, tiba-tiba.
Rupanya pria tua yang omongannya tak sesoleh ucapannya itu hadir juga. Padahal Gisel berharap sekali, kalau cuma Bima saja yang datang. Pak Soleh nitip salam saja. Namun nyatanya, hm ...
"Eh, iya Pak?" sahut Gisel akhirnya.
Dia memutuskan untuk menjawab panggilan dari Pak Soleh. Daripada nanti jadi bahan ghibah si pria tua itu, kalau pas ditegur tak menjawab.
Kan, nggak lucu. Baru saja sehari ikut rapat, masa namanya sudah menjadi buah bibir dimana-mana.
"Loh, kamu datang sendiri? Memang Ferdian kemana?" tanyanya lagi. Yang mau tak mau harus Gisel jawab juga.
"Pak Ferdi lagi nggak enak badan Pak, jadi dia nyuruh saya buat datang ke acara ini untuk menggantikan posisinya sementara sebagai perwakilan dari perusahaan."
Tampak kepala Pak Soleh mengangguk-angguk. Lantas, terlihat pria itu mengambil secangkir kopinya yang masih mengepul di atas meja untuk dia minum.
"Kasihan banget, kamu jadi sendiri. Padahal di sini banyak cowok hidung belang loh, kamu nggak takut gitu, jadi santapan salah satu dari mereka?" ucap Pak Soleh santai yang membuat Gisel mengepalkan tangannya kuat-kuat seketika.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!