20:48
PLAK!
PLAK!
Dua buah tamparan mendarat mulus di pipi chubby seorang gadis berbalut baju tidur.
"Ini apa!?!" Aren mencampakkan beberapa lembar foto berukuran 5r di depan wajah Nasya.
*Nasya berjongkok untuk melihat foto-foto itu. Bola mata Nasya melotot sempurna. Napasnya tercekat dengan dada yang bergemuruh hebat. Bagaimana, bisa Aren menemukan foto ini? Siapa, Siapa yang udah motoin gue!? Batin Nasya. *
Jemari lentik Nasya bergetar hebat menggenggam satu foto. Foto yang berpotret Nasya sedang berpelukan mesra bersama Alanza kemarin lusa di trotoar jala lalu.
"ANAK BODOH! NGGAK BERGUNA! BISANYA CUMAN BUAT MALU ORANG TUA!" teriak lantang seorang pria paruh baya yang masih mengenakan pakaian kantor.
"pah, ini salah paham Nasya, bisa jelasin," papar Nasya mencoba membela diri. "Ini... Ini nggak seperti yang..."
"Awsh, sakit pah." Nasya merintih kesakitan kala merasakan rambutnya di tarik kuat dari belakang.
"Sakit?" Aren tersenyum misterius. Membuat Nasya bergedik ngeri melihatnya.
Aren menggulung rambut Nasya di jemarinya, lalu menjambak rambut lembut milik gadis itu dan membenturkan ke dinding.
"Akh!" Nasya mengerang kesakitan. Tangannya mencekam tangan Aren agar berhenti menjambak rambutnya.
"Kenapa, kurang sakit hmm!?"
Nasya menggeleng cepat. Ayahnya sudah gila dengan senyuman di wajahnya. Kedua mata Aren seakan di butakan dengan bara amarah.
Bugh!
"Aakh." lirih Nasya kesakitan. Gadis itu melingkarkan tangannya di perut pipihnya. Mata Nasya terpejam merasakan sakit luar biasa di perutnya. Rintihan kesakitan seakan menjadi hal yang Aren suka.
"Masih kurang sakit!?" ujar Aren tersenyum seperti psikopat.
DUGH!
Badan Nasya terjatuh dengan kasar di atas lantai bermarmer. Pinggang gadis itu sengaja di terjang kuat dari belakang. Pria paruh baya itu bukannya merasa kasian dengan putrinya, Malahan ia dengan teganya menganiaya anaknya.
"Aaakh." Nasya memegangi tulang ekornya. Tendangan Aren lima kali lipat lebih sakit sampai rasanya tulang belakangnya ingin putus.
Aren sedikit berjongkok, menyamakan tingginya dengan sang putri.
"Pantas saja kau minta membatalkan pertunangan ini, ternyata pria itu alasannya," tutur Aren dengan tangan yang mengapit kuat sisi wajah Nasya. Memaksakan Nasya untuk memandangnya.
"Kau pantas di neraka," tuturnya dengan nada geram.
Perkataan Aren mungkin benar, mungkin juga salah.
"Jika aku tau bagaimana caranya ke neraka, maka aku akan melakukannya," balasnya Nasya dengan berani. Manik Nasya beradu tatap dengan mata coklat Aren.
Aren semakin menggeram dengan jawaban putrinya. Dia kira Nasya akan menangis tersedu-sedu memintanya untuk melepaskan diri, tapi kenyataannya Nasya malah menantang.
"Baiklah, aku akan membawamu ke neraka tanpa repot-repot gantung diri." Aren tersenyum misterius. Jika itu yang Nasya inginkan maka Aren dengan senang hati mengabulkan permohonannya.
Nasya tersenyum kecut. Dia sudah lelah dengan kejamnya dunia yang tidak berpihak padanya. Dia bosan dengan semua ketidakadilan Aren terhadapnya. Dia capek dengan kata-kata kasar yang hampir setiap saat Nasya dengar dari semua orang.
Tidak bisakah Nasya merasakan yang namanya kebahagiaan? Tidak bisakah gadis malang ini beruntung walau tentang percintaan?
Kenapa dunia seakan menolaknya untuk bahagia? Mengapa semesta menciptakan hidup penuh kesengsaraan untuk Nasya?
"Aakh." Nasya mengerang kesakitan kala tanpa aba-aba Aren mencekik lehernya.
Nasya memegangi tangan Aren yang mencekiknya. Rasa tercekat dan napas terhenti membuatnya seakan benar-benar akan menghadap ilahi.
"Kenapa, bukannya kau ingin MATI!?!" Aren menekankan kata terakhirnya untuk menyadarkan Nasya.
"Nggak usah belagak enggan hidup jika kau ingin mati." Aren mengangkat tubuh Nasya dengan satu tangannya.
Nasya hampir kehabisan napas. Dia di ambang kematian jika saja sebuah telepon berdering nyaring di saku Aren.
Drtt
Drtt
Bunyi dering telepon berhasil mengalihkan atensi Aren. Pria itu berdecak sebal saat suara dering itu kian menjadi. Dengan malas dia merogoh handphonenya dan mengecek siapa yang menelpon.
Gery Atmadja.
Secara spontan dia melepaskan tangannya dari leher Nasya. Aren menggeser ikon berwarna hijau. Mendekatkan benda pipih itu ke telinganya.
"Halo Ger, ada ap--" belum sempat Aren melanjutkan ucapannya, Gery lebih dulu memotong ucapan Aren.
"Kembalikan dana yang telah aku transfer padamu." ujar Gery dengan nada dingin.
Aren menutup matanya. Inilah konsekuensinya jika Aren berani menghianati Gery.
"Loh, bukannya kau sudah sepakat tidak akan meminta dana yang kau berikan, karna anak kita sudah bertunangan?" tanyanya seakan-akan dia tidak mengetahui apa-apa.
Terdengar decihan sinis dari sebrang sana. "Sayangnya kesepakatan itu tidak berlaku karena anak mu sendiri yang membatalkan pertunangan itu."
"Itu artinya apa, Kau harus ganti rugi dana yang aku berikan. Jika kau tidak bisa mengganti dana itu dalam kurun waktu dua minggu, maka mau tidak mau aku akan mengambil alih perusahaan mu."
Bak petir di siang bolong, rasanya semua pembuluh darah di tubuh Aren terhenti. Tubuhnya seketika menegang ketika pria itu kembali berucap.
"Haruskah aku melipat gandakan dana yang sudah ku beri?" tawa Gery di seberang sana.
Ancaman Gery kian berhasil membuat mata Nasya membola. Benarkah ayahnya melakukan hal sejenis ini? Nasya pikir ayahnya memintanya bertunangan pada Lingga hanya agar pria itu mau menandatangani kontraknya.
"Aku mohon jangan Gery, aku sudah tidak memiliki uang sepeserpun untuk membayar dua kali lipat dana yang kau beri." Aren memohon dengan muka memelas, meskipun Gery tidak dapat melihat raut wajahnya.
Tawa nyaring terdengar keras dari sebrang sana. Sialan! Pria itu menertawakan dirinya yang bodoh. Itu semua karna tingkah laku bodoh anaknya, karna dia dirinya harus di tertawakan. Lihat saja kau anak sialan! Batin Aren.
Dengan nafas berat dan sedikit menahan geram Aren kian berucap. "Baiklah aku akan mengganti dana itu sebelum waktu yang kau berikan, kau tidak perlu khawatir karna aku akan mengganti dana mu dua kali lipat." ucapnya mencoba menyakinkan Gery, padahal dirinya saja tidak yakin dengan ucapannya.
Bagaimana bisa ia yakin, uang yang telah Gery berikan sudah habis ia gunakan untuk mengembalikan uang para investor-investor yang melaba rugi.
"Baiklah, aku tunggu ya, jangan sampai kurang satu perak pun."
Tut! Tut!
Aren berbalik menatap tajam Nasya. "Anak sialan!"
PLAK!!
"Bikin malu!"
PLAK
"Bodoh!"
PLAK
"Tidak bisa diandalkan!"
PLAK
"Lebih baik kau mati!"
Tamparan keras yang bertubi-tubi itu, membuat Nasya hampir pingsan. Sudut bibirnya sudah mengeluarkan darah, pipinya yang putih bersih kini menampilkan tanda telapak tangan yang memerah.
*"Karena kau tidak jadi mati, maka aku akan buat kau di ambang kematian." *
Rasanya Nasya tidak kuat lagi sekedar berdiri. Gadis itu menyeka pelan sudut bibirnya yang terasa ngilu.
"Ku kira caramu membawaku ke neraka tanpa siksaan, tapi nyatanya caramu terlalu rendahan," ucap Nasya dengan berani. Entah datang dari mana keberanian itu hingga berhasil membuatnya berani melawan Aren.
"Anak kurang ajar seperti mu akan sangat di sayangkan jika mati tanpa siksaan."
***
Tolong Hargai karya penulis dengan memvote karyanya.
...'Berbicara dengan diri sendiri, bertanya dengan diri sendiri dan jawab sendiri. Adalah satu hal yang menyenangkan bagi mereka yang memiliki penyakit jiwa'...
.......
.......
.......
.......
Seorang gadis berbalut selimut tebal masih meringkuk di dalam kamarnya tanpa memikirkan deringan jam Beker di samping nakas. Deringan jam Beker seakan tidak mengganggu tidur nyenyak seorang gadis. Bahkan sinar matahari kini telah menampakkan dirinya. Manik biru laut itu seakan tidak terganggu dengan sinar matahari yang saat ini sudah meninggi menyilaukan matanya. Hingga satu suara berhasil membuat tidur nyenyak gadis itu terbangun.
'Brakk!'
"NASYA!! BANGUN LO!" suara cempreng itu sungguh memekakkan telinga gadis yang masih bergelut dengan selimut tebalnya.
Nasya berbalik membelakangi gadis itu dan menutup seluruh badannya dengan selimut.
Gadis yang baru saja membangunkan Nasya adalah Tasya, kakak kandungnya. Walaupun hubungan keduanya tidak begitu dekat namun, Tasya masih memiliki hati untuk membangunkan adiknya yang kebo ini.
Nasya tidak tahu apa jika hari ini adalah hari Senin? Hari di mana para murid harus datang tepat waktu karena akan melaksanakan upacara bendera.
Tasya menggoyangkan kuat lengan Nasya dengan harapan agar Nasya segera bangun."Bangun, pe'a'!!"
Nihil! Gadis itu masih setia membalut dirinya dengan selimut tebal. Kelihatannya Tasya akan mengambil langkah untuk Nasya agar kembarannya bangun.
"NASYAAAAA, BANGUN NGGGAK LO! GUE SIRAM PAKE AIR WC NTAR!" Tasya melangkahkan kakinya menuju WC di kamar gadis itu.
Nasya berdecak sebal. Kembarannya yang satu ini sungguh cerewet sekali. Dengan sangat terpaksa Nasya membuka selimut tebal yang membungkus tubuh mungilnya. Dia bersimpuh manis di tengah kasurnya. Nasya menatap sebal kearah kembarannya yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan membawa segayung air berniat akan menyiram dirinya.
"BANGUN!!"
Nasya mengerling matanya malas. "Resek!"
Walaupun Nasya sudah bangun namun ia masih tidak bergerak dari tempat tidurnya. Diam sambil Bengong mengumpulkan setengah nyawanya. Bahkan matanya masih enggan sekedar menyipit.
Tasya bersedekap dada. Menggoyang kepalanya ke kanan dan ke kiri. Sungguh adiknya ini tidak tahu waktu! Padahal sebentar lagi gerbang sekolah akan segera di tutup. Namun dia masih saja diam.
"Lo mau sampai kapan gitu doang?! Nggak liat apa udah jam berapa?!" teriak Tasya mengagetkan Nasya yang masih setengah menutup matanya.
Nasya berdecih sinis. Gadis itu mengeliat ke arah jam beker yang berada di atas nakas.
Matanya yang tadi setengah terbuka kini terbelalak kaget bahkan mulutnya menganga lebar saat melihat jarum jam yang menunjukkan pukul 06: 40 pertanda gerbang sekolah akan segera tertutup.
"Sial! Kenapa Lo nggak bangunin gue dari tadi sih?!" Nasya menyingkap selimutnya dan segera beranjak dari kasurnya.
"Heh! Gue dari tadi juga udah bangunin elo, 'ya emang dasar Lo nya aja yang kebo!!" teriak Tasya tidak terima.
"Gue bukan kebo!"
Brak!!
Hanya butuh lima menit untuk Nasya selesai mandi. Ralat bukan mandi. Dia hanya membasuh wajahnya dan menyikat giginya saja.
Tasya yang saat ini sudah merepet tidak jelas di depan pintu sambil bersedekap dada menatap garang Nasya. Bukannya bantuin malah marah-marah nggak jelas. Dasar kembaran durhaka! Batinnya.
"Buruan! gue tungguin di mobil!" Tasya berjalan dengan langkah gontai keluar rumah.
Nasya keluar dari kamar lalu menuruni satu persatu anak tangga dengan langkah mendugas. Kakinya berjalan mendekati meja makan dengan mengambil sepotong roti lalu menggigitnya tanpa di beri selai.
Nasya kemudian berjalan keluar dari rumah dan menghampiri mobil putih yang sudah terparkir di depan halaman rumah.
Setelah melihat kembarannya sudah masuk mobil, Tasya langsung saja menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jarak rumah dan sekolah memang cukup jauh, butuh 25 menit untuk sampai di sekolah. Hal itu yang membuat Tasya memarahi Nasya sepanjang jalan.
Padahal mereka tidak satu sekolah.
Itu tentu saja membuat Indra pendengaran Nasya panas karena harus mendengarkan ocehan gadis itu. Jengah dengan kembarannya, Nasya menyumbat telinganya dengan earphone.
°°°
Sebuah mobil Ferrari berhenti tepat di depan gerbang SMA Serbia. Terlihat jelas jika gerbang yang menjulang tinggi itu sudah tertutup rapat. Nasya pun menghela napas kasar. Cepat-cepat Nasya keluar dari mobil Tasya. Tasya meninggalkan Nasya yang masih terdiam menatap gerbang sekolahnya.
Dua saudara kembar itu memang tidak satu sekolah. Itu karena Aren yang tidak mau jika Tasya satu sekolah dengan Nasya entah apa alasan pria itu sehingga dengan tega memisahkan keduanya.
Tasya sendiri bersekolah di SMA Mervia, SMA terfavorit nomor satu di kota Bandung. SMA dengan fasilitas lengkap dan memadai. Tidak bisa sembarang orang yang bisa bersekolah di sana. Para murid yang bersekolah di SMA Mervia rata-rata anak dengan IQ yang tinggi. Tentu saja Tasya selalu di utamakan di banding Nasya. Tasya selalu lebih di sayang Aren di banding Nasya.
Nasya menggeret langkahnya menuju tembok belakang sekolah. Tanpa ada perasaan takut sedikit pun Nasya langsung memanjat tombok rata di bawah pohon mangga. Gadis itu memang sering sekali melewati jalan ini jika sudah terlambat. Maklum lah langganan terlambat.
Hap!
Kaki Nasya mendarat sempurna di atas tanah. Gadis itu celingukan mencari tas yang tadi dia lempar. Dahi Nasya berkerut ketika tasnya tidak di temukan di mana-mana.
"Lo nyari ini?" suara berat itu berhasil membuat Nasya mendongak ke atas. Nasya mengepal kuat jemarinya.
"Nggak usah ngambil tas orang bisa nggak!?" teriaknya menahan kesal.
"Nggak usah terlambat bisa, nggak!?" Pria itu mengikuti nada bicara Nasya. Oh tak lupa dengan raut wajah datarnya yang amat menjengkelkan itu.
Nasya benci situasi ini. Dia benci saat dirinya terlambat dan harus di hukum oleh pria sialan di depannya.
Dia, Alanza Andromeda, Ketua OSIS di SMA Serbia. Nasya jelas saja membencinya setelah berkali-kali dia terlambat dan tidak di hukum. Tapi kini setelah Alanza yang menjabat sebagai ketua osis baru jadi langsung menargetkan Nasya.
“Lo terlambat 5 menit 45 detik."
Penuturan Alanza berhasil membuat Nasya menjatuhkan rahangnya. "Lo ngitung detik nya juga?"
"Gue sebagai ketua osis harus mendisiplinkan siswi nakal kayak elo." Ucapan Alanza sukses mendapatkan decakan sebal dari Nasya.
Enak saja dia ngatur-ngatur memangnya siapa dia. Batin Nasya dalam hati.
"Heh, Ketua osis baru jadi! Gue seumur-umur sekolah di sini baru kali ini gue di hukum." Nasya bersedekap dada memandang sinis Alanza.
"Jelas lah mereka nggak hukum elo, orang Lo Php-in," balas Alanza sarkasme.
Nasya tidak bisa mengelak. Ucapan Alanza memang benar tapi Nasya bukan php seperti yang di artikan orang-orang. Lagi pula Nasya hanya meminta hadiah bukan php. Bukan salahnya dong jika Nasya tidak mengakuinya sebagai pacar. Lagi pula dari mana juga pria ini tahu.
"Lo!" Alanza menunjuk Nasya dengan jari telunjuknya. "Berdiri hormat di tiang bendera sampai istirahat!"
Bola mata Nasya melotot sempurna. "Heh! Lo mikir lah kalo ngasih hukuman! Lo pikir gue capek apa berdiri di depan tiang bendera."
Nasya jelas tidak terima jika Alanza harus menghukumnya dengan hormat di tiang bendera. Hukuman macam apaan itu? Pikirnya.
"Se minimalnya jangan sampai istirahat lah! Nggak tau panas apa? Bisa gosong muka mulus gue," ujar Nasya tidak terima.
Sedangkan pria datar itu, pedulikah? Ohh jelas tidak. pria itu hanya menatap datar gadis di depannya. Jika Alanza pacar Nasya maka bisa di pastikan pria ini akan Nasya putuskan detik itu mereka jadian.
'Dih! Apaan dah otak gue mikirnya begituan.' batin Nasya melempar jauh-jauh pemikiran itu. 'Lagian cewek mana yang bakalan tahan sama sifat cool-nya, Alanza' batin Nasya kembali.
Sadar jika ternyata mereka saling pandang, Nasya berdeham. Detak jantungnya berdegup tidak normal. Entah perasaan Nasya saja atau memang bener, jika Alanza memberinya tatapan begitu dalam.
'mungkin perasaan gue doang! Iya perasaan lo doang, Na!' batin Nasya.
"Woy!" Nasya melambaikan tangannya ke depan Alanza. Dia masih setia dengan tatapan dalamnya.
"Kalo lo diam doang gue pergi nih! Berasa ngomong sama batu gue, sumpah!" Kakinya kemudian berbalik, berniat untuk ke kantin karena tadi pagi ia hanya makan roti sepotong.
Alanza menajam ketika gadis itu berniat menghindar dari hukuman yang telah ia berikan "Lo pergi berarti lo pengen dapat surat panggilan orang tua dari kepala sekolah!"
Sial. Mana berani Nasya jika ancamannya sudah orang tua yang datang ke sekolah. Bisa-bisa dia sudah kena hajar sebelum berbicara. Dengan tangan terkepal kuat Nasya berbalik menatap wajah menyebalkan Alanza.
"Oke, gue hormat di tiang bendera." finalnya lalu berjalan menuju lapangan. Berdiri di depan tiang bendera untuk 3 jam kedepan, lebih baik di banding harus mendapatkan surat panggilan dari kepala sekolah.
"Awas aja kalo Lo sampai kabur." Alanza memandangi punggung Nasya yang berjalan menuju lapangan.
"Hmm," balasnya dengan deheman singkat.
"Udah sono Lo ngapain mantengin gue!?" Kesal Nasya saat Alanza malah mengikutinya dan menatapnya dari depan
"Awas! ntar lo naksir lagi sama gue," ucap Nasya dengan pd-nya lalu mengibas rambutnya ke kebelakang.
Alanza menatap jengah gadis itu. "Nggak usah ke pede-an! Gue cuma nggak mau Lo kabur dari hukuman aja."
Malu. Satu kata yang mendominasi Nasya.
"Udah sono lo, gue jamin sama lo kalo gue nggak bakalan kabur dari hukuman." Nasya mengibas-kibas kan tangannya seolah mengusir Alanza.
Yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Alanza. Pria itu segera pergi menjauh dari hadapan Nasya.
Sedangkan gadis itu sudah misuh-misuh tidak jelas sembari menghentakkan kakinya kesal. "Ketos SIALAN! Gue sumpain istrinya cabe-cabean!"
***
* Nasya Audrey Mahesa
*when Nasya kalo mode kalem
* Alanza Andromeda
Alanza mode serius
...Jangan terlalu berekspektasi terlalu tinggi pada seseorang yang bahkan tidak mencintai mu....
.......
.......
.......
.......
Pagi ini kelas XI MIPA 3 sedang jamkos. Hal itu tentu saja membuat para penghuni kelas bersorak kegirangan. Ada yang berjoget tiktok ada juga yang bermain game dan ada yang sedang kejar-kejaran. Seperti halnya Nasya yang saat ini mengejar Revan--- pria serek yang selalu menggangu Nasya.
"Revaaaaaaan! Hapus potonya!"
"Kalo gue gak mau gimana, dong?" ejek pria yang di ketahui bernama Revan.
"Lo resek banget sih, hapuss lho, Revaaaaaan!"
Tangan lentik Nasya mencoba meraih benda pipih di tangan Revan. seakan mengejek Nasya, tubuh gadis itu yang lebih pendek di banding Revan yang jangkung.
"Coba aja ambil kalo lo bisa," ejek Revan menjinjitkan kakinya agar Nasya tidak bisa menggapai ponselnya.
"Makanya tumbuh tuh ke atas bukan ke samping! dasar pendek," seru Revan dengan nada mengejek yang begitu kentara.
Walaupun begitu Nasya tau itu hanya candaan semata yang jelas tidak benar. Karena pada dasarnya Nasya itu gadis dengan kaki jenjang yang tingginya mencapai 167 cm dan berat badan 60. Badan yang sangat ideal untuk gadis seumurannya. Jadi ucapan Revan hanyalah bualan semata yang jauh dari kata fakta.
"Heh! Sementang badan Lo tinggi kek tiang listrik Lo gak usah ngejek-ngejek gue!" Nasya tidak lagi merebut benda pipih milik Revan. Gadis itu berkacak pinggang dengan raut wajah sebal.
"Lo kira badan Lo itu bagus? Badan cungkring nggak berotot aja belagu Lo!" cetus Nasya dengan nada tak santai.
"Dih, ketimbang lo pendek udah gitu gendut lagi itu ikan buntal apa badan?" ucap Revan berhasil membuat seisi kelas tertawa terbahak-bahak.
Nasya menggeram. Gadis itu menatap nyalang Revan. Giginya bergemelatuk dengan tangan terkepal kuat.
"Mata lo aja yang katarak! badan spek Ariel Tatum lo bilang ikan buntal buta lo?!" sewot Nasya. Dengan sedikit memamerkan bokongnya.
"Lho lho lho gak bahaya ta?" kelakar Revan kembali membuat seisi kelas tertawa.
"Sadar neng, sadar! Kalo berekspektasi jangan berlebihan!" Kekeh Revan.
"Awsh sakit, Na" Revan meringis kesakitan saat Nasya menjewer telinga pria itu.
"Rasain! Siapa suruh Lo menghina gue, memangnya situ sempurna?"
"Gak ada yang sempurna Na, Yang sempurna itu cinta gue ke elo."
"Kyaaa, ampun Na, ampoooon." Revan menyatukan kedua tangannya kedepan, memohon ampun pada Nasya agar melepas jewerannya.
"Gak usah ngegombal Lo, gombalan Lo itu basi!"
"Iya deh gue gak nge gombalin Lo lagi, tapi Lo lepas dulu nih."
"Hapus dulu Poto gue tadi baru gue lepasin," Ancam Nasya semakin menguatkan jewerannya.
"Iya, iya ntar gue apus tapi Lo lepas dulu ini sakit, bjir."
"Siniin hp Lo." Nasya menengadahkan tangannya ke depan Revan.
Revan merengut sebal. Mau tak mau Revan pun terpaksa memberi benda pipih miliknya pada Nasya.
"Nahh gitu kek dari tadi, 'lan gue gak bakalan jewer elo." Nasya melepas jewerannya dan beralih fokus pada handphone Revan. Mencari sumber-sumber aib yang ada pada benda tersebut.
Naasnya belum sempat ia menghapus semua poto aibnya, Revan lebih dulu menggambil benda tersebut dan berlari keluar kelas agar Nasya tidak bisa mengejarnya lagi.
Nasya yang kecolongan pun kian mengejar Revan yang saat ini berada di luar kelas.
"Revaaaaan, berhenti Lo!" Nasya mengejar Revan yang berlari menuruni anakan tangga.
Nasya mencoba mengejarnya dengan berhati-hati agar dia tidak terjatuh. Kan berabe kalau dirinya sampai terjatuh dari tangga.
Saat Nasya sudah selesai menuruni anakan tangga dan akan berbelok ke kanan, tiba-tiba saja ada seseorang di depannya yang menghalangi jalannya.
Brak!
"Awsh, kalau jalan tuh pakai mata dong!" Nasya meringis ketika keningnya bertambrakan dengan dada bidang seseorang.
"Dimana-mana jalan tuh pakai kaki!" Sindir pria itu.
Nasya mendongakkan kepalanya menatap siapa orang yang menabraknya.
"Lo lagi, Lo lagi. Eneg gue liat muka sok cool lo itu." Nasya menyilang tangannya di depan perutnya.
"Lo kira Lo doang yang eneg? Gue juga!" ujarnya lalu pergi dari sana.
"Dih! Apaan dah. Sinting kali." Monolog nya pada diri sendiri.
°°°
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 30 menit yang lalu. Tapi seorang gadis dengan berbalut seragam SMA masih saja setia duduk di halte. Sepertinya sedang menunggu seseorang.
"Lingga, mana sih? Dari tadi di tungguin nggak datang-datang."
Gadis itu menghela napas berat, Nasya menghidupkan benda pipih berloga Apple tergigit. Membuka aplikasi chat dengan jemarinya yang berkenala mengetik nama seseorang. Berniat akan mendial nomor itu.
Lingga tunangan
Nasya beralih menekan ikon call pada namor itu. Sambungan berdering tetapi tidak tiangkat oleh pemiliknya, malahan panggilannya di matikan oleh pria itu.
"Lo kemana sih, Ga?" Nasya berdecak sebal, Namun tak urung ia kembali mendial nomor itu. Hampir 10 kali Nasya mendial nomor Lingga. Dan 10 kali juga dia menolak panggilan Nasya.
"Angkat dong, Ga." Nasya kembali mendial nomor itu dengan penuh harap. Dan kembali di tolak.
"Pliiss kali ini aja Lo angkat Ga." maniknya memandang langit yang kian menghitam. Pertanda akan segera turun hujan. Angin kencang nan dingin berhasil menyapa kulit Nasya.
"Sial! Lo jahat banget sih, Ga." benda pipih itu mati akibat kehabisan baterai.
"Lo janji bakal anter gue tapi nyatanya Lo bohong sama gue!" Decakan sebal keluar dari bibirnya.
Nasya menatap lingkungan sekolah yang kini telah sepi bahkan satpam sudah pulang karna sebentar lagi akan turun hujan.
"Cowok sialan!" butir bening kini jatuh membasahi pipi bulatnya. Tangannya mencengkram erat benda pipih di genggamannya.
Nasya mengeder pandangan ke atas berharap bulir bening itu tidak turun. Ia terlalu lemah jika harus menangisi pria brengsek seperti Lingga.
Selalu saja. jika sudah berjanji pasti Lingga akan mengingkarinya. Sudah bosan tapi masih betah bertahan. Karna apa? Karna terpaksa. Semua hal yang dia lakukan hanya semata agar agar ayahnya tidak menghajar dirinya lagi. Karna semua itu akan menguntungkan ayahnya jika Lingga dan Nasya bertunangan.
Liquid bening itu turun tanpa di minta. Andai saja Nasya tidak harus bertunangan dengan Lingga maka dia tidak akan terjebak di situasi macam ini. Situasi yang begitu tersiksa dan Nasya benci itu.
Air hujan yang turun kian semakin deras sampai jalan di ujung sana memutih akibat derasnya hujan yang turun dari langit.
Langkah kaki Nasya kian melambat dia sudah terlalu lama berjalan di bawah guyuran air hujan. Sehingga tubuhnya hampir menggigil kedinginan. Mau neduh tidak mungkin berteduh di bawah pohon beringin.
"Neduh di sana sama aja nyari mati." Nasya menghela napasnya berat.
Gendang pendengaran Nasya perlahan mendengar suara deru mobil yang mendekat ke arahnya. Nasya tidak memperdulikan siapa pemilik mobil itu baginya mana akan ada yang bakal mengantarnya dengan suka rela ke rumah dalam keadaan yang sedang basah kuyup.
Mobil sport berwarna merah berhenti tepat di sampingnya. Nasya mengalihkan atensinya ke arah mobil itu dia sangat tahu siapa pemiliknya.
Pemilik mobil membuka mobilnya, keluar dengan tangan yang memegangi payung hitam. Pria itu sedikit berlari menghampiri Nasya yang sudah menggigil kedinginan.
Nasya menatap datar ke arah pria di depannya. tidak ada raut bahagia mau pun marah di wajahnya. Bibir pucatnya seakan enggan untuk sekedar membuka.
"Jangan hujan-hujanan nanti sakit." tangan kekarnya memayungi tubuh Nasya. Ia menggenggam erat tangan Nasya yang mengkriput seakan memberi kehangatan pada Nasya.
Lingga membawa Nasya ke dalam dekapannya. Dada lebar Lingga mampu menghangatkan tubuh Nasya yang kedinginan. Sesaat Nasya merasakan kehangatan di dalam dekapan Lingga.
"Jangan bodoh! Lo punya hp seharusnya mesen taksi bukan main hujan di sini," cetus Lingga sangat bertolak belakang dengan perlakuannya.
JDERR!
Baru saja Nasya terbang dengan perlakuan manis Lingga. Tapi sedetik langsung di patahkan oleh kenyataan. Nasya terlalu berharap padanya padahal dia tahu jika Lingga tidak benar-benar tulus.
"Masuk! Nyusain aja Lo!" Lingga menyeret Nasya seperti kambing.
***
* Revano Mahendra
Revan kalo nggak di mode nyebelin ganteng.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!