NovelToon NovelToon

Hati Suamiku Milik Wanita Lain

Pertemuan pertama.

Ali Zein Ibrahim, pria 28 tahun itu kini tengah duduk menyendiri di balkon kamarnya. Beberapa puntung rokok sudah ia habiskan, ditambah lagi dengan dua gelas kopi hitam pahitnya yang semakin memperjelas suasana hatinya kini.

Ditinggal menikah? Tentu rasanya akan lebih sakit daripada ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, kan? Hmm, mungkin saat ini dia tengah memerankan lakon sebagai orang yang paling tersakiti di dunia ini. Drama ikan terbang lewat deh kayaknya. Sabar Li, ini ujian.

Ali, biasa ia disapa akan kembali menyesap lintingan tembakaunya, saat tiba-tiba sang ayah sudah berdiri di sampingnya kini.

"Sampai kapan kamu seperti ini Li? Annisa sudah lebih dua tahun lho menjadi istri orang. Ya, walaupun sampai saat ini mereka belum juga dikaruniai keturunan, akan tetapi mereka terlihat sangat bahagia."

Begitulah kalimat yang sering kali digaungkan oleh sang ayah terhadap putra sulungnya ini.

"Sampai jodoh Ali datang Yah," jawabnya, lalu berniat pergi meninggalkan sang ayah.

"Sampai Annisa udah punya cucu, iya?" ucap sang ayah seraya mencekal tangan Ali yang berniat pergi.

"Sampai Allah bilang, inilah saatnya ,Yah."

"Kamu itu laki-laki Li. Jodohmu itu dijemput bukan ditunggu! Memangnya ada wanita melamar pria?" protes sang ayah tak terima.

Ali menghela nafasnya panjang untuk kemudian ia hembuskan perlahan. "Ya, nggak gitu juga konsepnya Yah. Intinya sabar ajalah!"

"Kalau Ayah udah nggak ada, baru kamu akan mengerti artinya kesabaran Ayah ini, Li."

Ali terhenyak mendengar ucapan ayahnya.

"Kenapa dalam banget sih?" tanyanya bingung dalam hati. "Ayah ngomong apa? Ali pasti akan menikah Yah, dan Ayah akan ada di sampingku saat hari itu tiba!" pekiknya saat sang ayah melangkah keluar meninggalkannya.

Ali kembali duduk terpekur di kursinya. Ucapan sang ayah jelas tak bisa ia anggap hal main-main dan remeh temeh. Pikiran-pikiran buruk itu segera saja hadir dan terus berputar di ingatannya. Saat pikirannya sedang berkecamuk berat dengan semua kegalauannya, tiba-tiba saja Ali mendengar suara teriakan dari arah kamar orang tuanya.

"Ayah!"

Ali berlari secepat mungkin demi mendengar suara teriakkan ibunya. Ali terkejut saat membuka pintu kamar kedua orang tuanya, sang ayah sudah terbaring diam dalam pangkuan ibunya yang terus saja memanggil dan mengguncang tubuh suaminya itu.

"Ayah kenapa Mi?" tanyanya dengan ikut berjongkok di samping ibunya. Sang ibu hanya menangis tanpa menjawab tanya Ali.

Ali segera membopong tubuh ayahnya dan kini mereka sudah ada di dalam mobil milik Ali.

Ali mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan maksimum. Ia bahkan sudah tidak menghiraukan tepukan berkali-kali di bahunya dari sang ibu.

"Istighfar Li, istighfar," ucap sang ibu diantara suara isak tangisnya.

Mereka sudah tiba di rumah sakit. Noah Ibrahim segera dibawa menggunakan brankar menuju ruangan gawat darurat oleh beberapa perawat laki-laki di rumah sakit tersebut.

"Emm." Terdengar suara erangan dari bibir Noah Ibrahim. Ali segera mendongakkan kepalanya saat mendengar suara erangan sang ayah.

"Ayah," ucapnya dengan membantu sang ayah untuk lebih nyaman lagi pada posisi berbaringnya.

"Menikahlah, Ly! Sebelum Ayah benar-benar pergi," pintanya dengan suara lemah dan tatapan mata sendu. Namun, seutas senyum berhasil ia tampilkan di antara keriput di wajahnya.

Ali menengadah, menarik panjang nafasnya untuk kemudian ia hembuskan perlahan. Sungguh ini terlalu berat dan bahkan semakin berat.

"Ali mohon, jangan bahas masalah ini dulu Yah! Kesehatan Ayah tidak sedang baik-baik saja," ucap Ali seraya menggenggam tangan sang ayah, berharap agar ayahnya tidak melanjutkan kata-kata keramatnya itu. Namun, Noah Ibrahim justru melepas genggaman tangan Ali untuk kemudian membuang wajahnya tak lagi melihat putra sulungnya itu.

"Pulanglah! Temukan jawaban lewat istikharahmu. Jangan temui Ayah, sebelum kautemukan wanita yang akan menjadi tulang rusukmu!" ucap Noah dengan mengibaskan satu tangannya, meminta agar Ali segera keluar.

Ali menunduk pasrah mendapat penolakan juga pengusiran dari sang ayah, dia segera melangkah keluar dengan langkah gontai tak bersemangat. Saat dia sangat mengkhawatirkan keadaan ayahnya, akan tetapi sang ayah justru memaksanya untuk segera mengakhiri masa lajangnya.

"Semoga kamu segera bisa mewujudkan keinginan ayahmu, Li. Pulanglah!" ucap sang ibu sebelum Ali benar-benar keluar dari ruangan tersebut.

*

*

Di kediaman Ali Zein Ibrahim.

Setelah melaksanakan sholat sunnah istikharah, Ali tertidur di samping sajadah panjangnya. Tak ada nama wanita yang menjadi pilihan dalam doanya, karena memang dia tidak sedang mencintai siapa pun. Dalam hatinya memang masih tersisa setitik rasa untuk cinta pertamanya, Annisa Alfahri. Namun, jelas Annisa sudah terlarang untuk dirinya.

Ali terbangun saat mendengar suara wanita yang sepertinya sengaja menabrakkan tubuhnya kepada Ali. Namun, saat ia membuka matanya tak ada siapa pun di sini, dan dia masih pada posisinya tadi.

"Kok bisa sih gadis badas seperti itu hadir dalam mimpiku? Bahkan aku tidur dalam keadaan bersih," gumamnya, tanpa memedulikan makna dari mimpi setengah nyatanya barusan.

Ponsel Ali berdering. Tampaklah nama sang ibu di layar ponselnya.

"Ada apa Mi?"

"Ayah kritis lagi, Li. Segeralah ke rumah sakit!"

Ali segera memacu kencang kendaraannya. Kali ini ia memilih kuda besi, karena ia tahu jalanan akan lebih daripada parah macetnya di jam sibuk seperti sekarang ini.

Tiiiddd!

Hampir saja Ali menabrak seorang wanita yang juga berlari kencang kearahnya. Entah,apa tujuannya? Namun, nyatanya Ali harus ikut menjeda perjalannya yang sangat terburu-buru dan emergency ini.

Ponselnya terus berdering, dia yakin bahwa itu adalah panggilan dari ibunya. Namun, fokus Ali kini tertuju pada tiga pria berbadan kekar dengan pakaian serba hitam yang kini berjalan cepat kearahnya. Pandangan matanya kemudian beralih pada gadis cantik yang mengenakan beberapa tindik di telinganya.

Gadis itu tampak kepayahan mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.

"Tolongin saya dong Pak! Sekali ini aja. Saya janji akan menuruti semua permintaan Bapak," ucapnya dengan suara cepat dan wajah memelasnya.

Ali tercengang, tatapan matanya membeliak menatap heran juga bingung terhadap permintaan gadis di depannya itu.

"Tunggu! Tolongin? Saya harus tahu apa maksud permintaan Anda, Nona?" ucapnya coba membaca situasi yang juga tak kalah gentingnya ini.

"Apa kamu pikir, saya tidak memiliki urusan yang lebih penting dari ini?" gerutunya lagi. Namun, hal tak terduga yang kini dialami oleh Ali.

Tanpa aba-aba, satu, dua dan tiga, gadis itu pun naik keatas kuda besinya. Mengambil alih kemudi dari tangan Ali, lalu tancap gas sekencang-kencangnya.

"Hei!" Ali berteriak saat gadis itu akan menabrak apa saja yang menghalangi jalan mereka, termasuk ketiga pria dengan pakaian serba hitam tadi.

"Nona Ayana!" pekik ketiga pria itu yang tak diindahkan oleh si wanita.

Permintaan Noah Ibrahim.

"Nona Ayana!" Begitulah teriakkan yang sama sekali tak diindahkan oleh gadis yang masih belum berniat mengendurkan laju kuda besi milik Ali.

Setelah beberapa menit kuda besi itu melesat dan dirasa ketiga pria dengan pakaian serba hitam tadi sudah tak lagi mengikuti mereka, gadis itu pun menepikan kendaraan milik Ali tersebut.

Ali masih bergeming. Dia masih menunggu, kalimat apa kiranya yang akan meluncur dari bibir mungil nan merahnya itu.

"Maaf," ucapnya dengan sorot mata nanap menatap Ali. Ali masih diam, menunggu kalimat selanjutnya.

"Terima kasih, sudah bersedia menolongku," ucapnya lagi dengan menampilkan senyum setipis sutra, namun manisnya sungguh mampu membuat Ali hampir tersedak salivanya sendiri. Ekhem!

"Bahkan saya belum mengatakan jika saya bersedia menolong Anda tadi, kan? Ini pemaksaan!" Ali membuang pandangannya ke samping saat gadis dengan mata bulat itu menjelangak menatapnya.

"Sekali lagi, maafkan aku, Pak." Ali akan protes dengan sapaan yang disematkan gadis itu untuk dirinya. Kenapa harus Bapak? Ibunya saja memanggil dirinya dengan sapaan Mas. Lah, ini kok Bapak.

Baru dia akan membuka mulutnya, tiba-tiba ponsel-nya berdering.

"Ayah manggilin kamu, Mas. Ibu harap kamu segera datang ke rumah sakit sekarang juga!"

"Ali segera datang, Bu," jawab Ali sebelum menyudahi panggilan suaranya terhadap sang ibu.

Ali bergegas naik ke atas roda duanya dan sepertinya dia melupakan kehadiran gadis yang sudah membuat sedikit drama kolosal hari ini untuk dirinya. Namun, tiba-tiba Ali mengernyit seolah mengingat sesuatu kini. Dan benar saja, Ali ternyata teringat ucapan azimat sang ayah dan pandangan matanya pun langsung tertuju pada gadis yang sama sekali belum ia ketahui Identitasnya itu.

"Masih ingat dengan janji yang Anda ucapkan tadi, Nona?" tanyanya dengan tatapan tajam.

Gadis itu pun mengangguk tanpa melihat kepada Ali yang masih betah memandangi dirinya.

"Baiklah, ikut saya, sekarang!" titahnya.

Tanpa bertanya ke mana dan untuk apa, gadis itu langsung naik ke kuda besi milik Ali.

Tak butuh waktu lama, kini keduanya sudah tiba di rumah sakit tempat sang ayah dirawat.

"Saya mohon jadilah mitra terbaik saya untuk saat ini," ucap Ali dengan penuh penekanan dan dijawab dengan anggukan kepala oleh si gadis.

"Ibu!" perempuan paruh baya dengan rambut disanggul satu kebelakang itu tampak berdiri saat melihat kedatangan Ali yang ternyata tidak sendiri.

"Bagaimana keadaan Ayah, Bu?" tanya Ali seraya menggenggam kedua tangan ibunya yang terasa dingin di bagian telapaknya.

"Ayah kritis lagi, Mas. Berkali-kali Ayah memanggil namamu."

"Maafin Ali, Bu. Ada insiden kecil di jalan tadi." Sang ibu pun mulai memperhatikan gadis yang kini berdiri di belakang sang putra.

"Dia siapa, Mas?" tanyanya dengan tatapan nanap tak berkedip dan juga alisnya yang berkerut seolah memperjelas pertanyaannya barusan.

Sementara Ali dengan wajah terkejut dan terlihat gelagapan itu tampak bingung kini. "Arrggh! Aku bahkan belum bertanya siapa namanya, kan?" monolognya dalam hati.

"Saya Ayana Isadia, Bu," ucap si gadis dengan berjalan mendekat lalu mencium punggung tangan sang ibu.

"Huh!" Rasanya seperti orang puasa yang baru saja mendengar adzan magrib berkumandang dengan segelas es buah yang segar di depannya. Rasanya nyess, adem banget.

"Dia benar-benar mempraktikkan ucapanku tadi." Ali menatap gadis cantik itu yang baru ia tahu namanya adalah Ayana Isadia yang ternyata juga tengah menatapnya.

"Calon istrinya Ali?" tebak sang ibu tanpa basa-basi lagi.

"Uhuk, uhuk!" Gadis yang bernama Ayana itu tampak terkejut atas ucapan Halimah Ibrahim, ibunda Ali.

"Eh, kenapa? Gak usah gugup. Ibu sangat bahagia karena akhirnya Ali bisa memenuhi permintaan ayahnya yang kini tengah berjuang di dalam sana," tunjuk Halimah Ibrahim pada ruangan yang bertuliskan ICU di bagian pintunya itu.

Ali mengangguk menatap kembali kepada Ayana. Coba berbicara lewat pandangan matanya, berharap Ayana mengerti dan paham.

"Kenapa baru sekarang, Mas? Saat ayahmu sedang,,." Halimah tak mampu melanjutkan kalimatnya. Sesak di dadanya semakin menjadi saja jika melihat kondisi sang suami, Noah Ibrahim. Air matanya telah lebih dulu berbicara.

"Ayah pasti bisa melewati masa-masa kritisnya, Bu. Percaya sama Ali." Sang ibu tak menanggapi ucapan putranya itu. Ia mendongak menengadahkan wajahnya menatap langit-langit rumah sakit ini. Dapat Ali lihat betapa khawatirnya dia saat ini melihat belahan jiwanya terbaring tak berdaya dengan selang infus di tangan dan juga beberapa alat medis yang kini menempel di tubuhnya yang terhubung pada layar monitor.

Noah Ibrahim tampak menggerakkan jari tangannya, lalu mencoba membuka matanya perlahan. Ali bergegas mendekat kepada sang ayah dengan membawa serta Ayana. Sedangkan Halimah sudah terlebih dulu duduk di samping sang suami.

"Ayah," ucap Ali pelan dengan lebih mendekatkan wajahnya. Sang ayah merespon melalui bahasa matanya.

"Dik." Ali menghelap

"Dik, Adik?" tanyanya dalam hati merasa heran lalu menatap kepada sang ibu yang juga tengah menatapnya.

"Aku di sini, Bang. Ada apa?" tanya Halimah. Ali mulai mengerti sekarang, mungkin ini adalah panggilan sayang di antara mereka berdua. Akan tetapi, mengapa?

Sang ibu tampak mengelus lembut punggung tangan sang ayah. "Ali Zein Ibrahim putraku, kemarilah, Nak!" pintanya. Dan Ali merasakan sesuatu yang buruk melalui panggilan dengan nama lengkapnya yang diucapkan oleh sang ayah, seolah menyiratkan sebuah kesedihan.

Ali kembali mendekatkan wajahnya. "Ali di sini, Ayah ingin apa?" tanyanya pelan. Namun, ada gejolak luar biasa yang dirasakan oleh Ali saat kedua netra mereka saling bertatap bersirobok. Ali menyingkir saat sang ayah menepuk pelan lengannya.

"Siapa gadis cantik yang ada di belakangmu, Ly? Apakah calon menantu Ayah?" Ali langsung menatap Ayana dan dibalas dengan senyuman oleh sang gadis. "InsyaAllah, Yah. Apa Ayah meridhoinya?" tanya Ali terlihat pasrah. Sesungguhnya niat awalnya membawa Ayana ke sini tidaklah sejauh ucapan yang baru saja meluncur bebas dari bibirnya itu.

Noah Ibrahim tersenyum menanggapi pertanyaan Ali dan dia pun lalu mengangguk pelan.

"Niat baik harus disegerakan, Ly! Apalagi yang kautunggu? Segera hubungi Ustad Musa untuk menjadi saksi pernikahan kalian!"

Ali terhenyak. "Kenapa harus secepat ini? Apa Ayah pikir gadis di sebelahku ini adalah seorang anak yatim piatu yang tidak membutuhkan izin untuk menikahinya? Bahkan jika pun benar seperti itu kenyataannya, setidaknya dia masih memiliki saudara yang harus kumintai izin. Dan aku yakin dia berasal dari keluarga yang cukup berada, dapat kulihat dari ketiga pria yang memanggilnya dengan sapaan Nona sewaktu di jalan tadi," monolognya dalam hati.

Namun, semua tanya dan keberatan Ali atas permintaan sang ayah tadi seolah terhempas sejauh-jauhnya saat Ayana mengangguk menyetujui permintaan Noah Ibrahim.

"Kamu bersedia menjadi istri Ali Zein Ibrahim, Nak?"

Sah.

Ali menjelangar, tercenung memikirkan ucapan sang ayah yang malah langsung diangguki oleh Ayana. Sang ayah bahkan sudah tak terbata lagi saat mengucapkan kalimat tanya tadi kepada Ayana.

Ayana kembali mengangguk saat Ali membeliak menatapnya. "Apa-apaan mereka ini? Main lamar-melamar dan langsung iya saja! Lalu aku dianggap apa, orang-orangan sawah, kah?" Ali memandang secara bergantian antara Ayana dan sang ayah yang kini tersenyum menatapnya.

"Tunggu apa lagi, Ly," ujar Noah Ibrahim kembali mendesak putra sulungnya itu.

"Ali belum ada persiapan sama sekali, Yah. Bahkan untuk mas kawinnya saja Ali belum menyiapkannya," ucap Ali coba melanjutkan rasa keberatannya atas kesepakatan yang baru saja dibuat oleh Ayana dengan sang ayah.

"Apa pun yang akan Mas berikan kepadaku sebagai mas kawin, aku akan menerimanya dengan senang hati. Apa pun itu." Kembali Ayana berbicara, kalimat yang bagaikan hujaman anak panah yang menembus tepat di jantung Ali.

"Apa pun yang aku punya, katanya? Oh, ayolah! Aku pria mapan dan tampan. Lalu, tadi apa? Menyedihkan sekali, seperti orang yang ketangkap basah sedang nina-ninu lalu dipaksa menikah, kan gak lucu!"

"Ali minta waktu untuk bicara dengan Ayana, Yah," pinta Ali dengan menarik satu tangan Ayana.

"Apa yang ada di otak cantikmu itu, Nona? Kenapa main setuju, iya-iya saja dengan permintaan ayahku, tak bisa, kah meminta pendapatku terlebih dulu?" tanya Ali dengan memandang tajam terhadap sang gadis. Sementara Ayana tampak memandangi tangannya yang masih digenggaman oleh Ali.

"Maaf," ucap Ali setelah menyadari akan hal itu, lalu melepas genggaman tangannya terhadap Ayana secara perlahan.

"Aku pernah merasakan kehilangan dan juga penyesalan secara bersamaan yang hingga saat ini terus saja menyertai langkah kakiku," ucap Ayana dengan ujung mata yang mulai mengembun dan mulai berkaca-kaca.

"Maksudmu?"

"Saya tidak ingin Anda mengalami hal yang sama seperti yang pernah kualami, Tuan. Saat sesuatu yang beliau pintakan sudah tak berguna lagi untuk kita realisasikan, hanya kata sesal yang bisa kita gaungkan."

Ali masih belum mengerti dengan penjelasan Ayana dan bermaksud untuk bertanya lagi. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara teriakkan dari kamar perawatan Noah Ibrahim.

"Abang!"

"Ayah!" Ali segera berlari menuju ruang perawatan sang ayah. "Ada apa, Bu? Ayah kenapa?" tanyanya dengan raut wajah khawatir saat beberapa tenaga kesehatan tampak berjibaku di atas tubuh ayahnya.

"Pasien kembali kritis, Dok. Bagaimana ini?" Dokter tersebut tampak menatap kepada Ali dan juga sang ibu.

"Pasien kembali kritis. Apakah beliau mengalami tekanan sebelum ini?" Halimah menatap Ali yang kini tertunduk lesu menyadari kesalahannya yang tidak langsung mengabulkan permintaan sang ayah.

"Pesan saya, saat nanti pasien sudah siuman, buatlah indah semua keinginannya." Itulah pesan sang dokter sebelum keluar dari ruang perawatan Noah Ibrahim.

Halimah tertunduk lesu di samping ranjang suaminya yang kembali terdiam.

"Ali akan segera menikahi gadis itu, Bu. Hari ini juga," ucap Ali dengan bergegas melangkah keluar untuk menemui Ayana yang kini tengah menatap mereka di sebalik kaca pembatas ruangan itu.

"Ayana!" ucap Ali dan gadis itu pun tersenyum tanpa menyahut panggilannya.

"Sekarang aku paham maksud dari ucapanmu tentang penyesalan tadi. Jadi seperti ini penyesalan yang kaurasakan?" tanya Ali yang dijawab dengan anggukan kepala oleh sang gadis.

"Siapa? Ayah, Ibu?" tanya Ali, lagi.

"Mamaku," jawabnya dengan suara bergetar.

"Apakah permintaannya sama dengan yang dipinta oleh ayahku?"

"Ya, sama persis. Hanya saja aku sudah dijodohkan dan aku menolaknya."

"Ayana." Kali ini Ali membawanya untuk lebih dekat lagi melihat ayah dan juga ibunya yang kini ada di dalam ruang perawatan rumah sakit ini.

"Apakah kau bersedia menjadi pendamping hidup, dunia dan juga akhiratku?" ucap Ali dengan kembali meraih tangan Ayana lalu pandangan keduanya sama-sama tertuju kepada orang tua Ali.

"Apa perlu saya ulangi lagi jawab atas pertanyaanmu itu, Tuan?"

"Ali, panggil aku Ali, hanya Ali, tanpa embel-embel Tuan di depannya," ucap Ali protes terhadap panggilan yang disematkan Ayana untuk dirinya.

"Ali? Hanya Ali?" ucap Ayana dengan menahan tawanya karena merasa aneh dengan permintaan dan penolakan Ali.

"Iya!"

"Aku bersedia menjadi pendamping hidupmu, dunia dan akhiratmu dalam kebaikan." jawab Ayana tanpa ragu.

Ali tersenyum. Dia memantapkan niatnya untuk menikahi gadis yang baru ia sadari jika dialah wanita yang hadir dalam mimpi setelah sholat istikharahnya.

Jalan hidup Ali memang sedemikian uniknya. Jodohnya datang dalam waktu dan tempo sesingkat-singkatnya.

Ustad Musa sudah hadir di antara mereka saat ini. Dengan pakaian seadanya, jas kerja dan celana bahan dengan warna senada Ali mantap mengucapkan kalimat sakral yang diharapkannya hanya akan terucap satu kali seumur hidupnya.

"Alhamdulillah, sah!" Itulah kalimat pamungkas dari acara ijab dan qabulku bersama Ayana Isadia, istriku.

"Ali, Ayana." Suara lirih Noah Ibrahim membuat keduanya segera mendekat kepada sang ayah.

"Selamat berbahagia Anak-Anakku. Jaga dan sayangilah ibumu saat Ayah sudah tak mampu lagi melindungi dan menjaganya. Jangan buat ibumu menangis, karena tangan Ayah sudah tak mampu lagi untuk menyeka air matanya. Maafkan Ayah." Itulah kalimat terakhir yang diwasiatkan Ayah kepada Ali dan juga Ayana sebelum akhirnya menutup mata untuk selamanya.

*

*

*

Sudah satu bulan sejak kepergian Noah Ibrahim.

Ali dan Ayana tinggal di kediaman Noah Ibrahim, tentu saja selain karena Ali adalah anak mereka satu-satunya, keadaan sang ibu, Halimah Ibrahim juga belum cukup baik untuk ditinggalkan seorang diri di rumah berlantai dua itu.

Malam itu setelah menikmati makan malam, Ali dan Ayana berbincang santai di balkon kamar mereka.

"Ay, " sapa Ali saat tiba-tiba keduanya hanya terdiam.

"Apa Mas," jawabnya dengan membenahi posisi duduknya menghadap Ali kini.

"Besok aku akan mulai bekerja. Perhatikan Ibu, jangan biarkan beliau terlalu lama duduk atau mengerjakan sesuatunya seorang diri."

Ayana tersenyum mengangguk. "Kamu terlalu berlebihan, Mas. Beliau ibuku juga sekarang, jadi rasanya kurang tepat jika Mas Ali meminta hal seperti itu kepadaku. Hal yang pasti akan kulakukan tanpa harus kamu memintanya."

Pernikahan keduanya masih terbilang biasa saja. Bahkan selama satu bulan pernikahan, mereka belum pernah sekali pun menunaikan kewajiban mereka sebagaimana pasangan pengantin baru pada umumnya. Alasannya tentu saja karena mereka menikah tidak dengan didasari rasa cinta.

Ali tidak ingin memaksa Ayana untuk secepat itu menerima dirinya. Bukankah cinta akan tumbuh karena seringnya bersama? Semoga saja!

"Kamu gak sarapan dulu, Mas? Aku udah masakin masakan kesukaan kamu lho." Ayana segera berjalan cepat menhampiri Ali yang bersiap masuk ke mobilnya. Ayana berjalan dengan menenteng lunch box di tangannya.

"Aku buru-buru, Ay. Nanti saja saat makan malam, tolong masakin orak-arik tempe dan tumis kangkung ya," pintanya tanpa memperhatikan kotak makanan yang ada di tangan istrinya.

"Aku udah siapin ini untuk kamu. Dimakan pas jam makan siang nanti ya," ucap Ayana dengan menyerahkan bekal makanan kepada Ali. Ali meraihnya masih dengan perasaan canggung.

Ayana melangkah gontai masuk ke dalam rumah saat mobil yang dikendarai oleh Isa sopir pribadi suaminya itu sudah keluar dari pagar rumahnya ini.

"Sikapnya masih dingin dan kaku kepadaku. Apakah dia memiliki masa lalu yang belum usai saat memutuskan untuk menikahiku?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!