Liburan akhir tahun tiba, para konglomerat dari penjuru tanah air berkumpul untuk menghadiri pesta yang di adakan keluarga Arkatama, pengusaha tambang minyak asal Surabaya. Dalam daftar undangan pesta tersebut, keluarga Arkatama memasukan seluruh kolega bisnisnya.
Astara's Family. Arkatama mengundang seluruh keluarga Astara: Istri dan ketiga anak-anaknya. Banyu Sagara Astara, Bening Embun Pagi, dan Sukma Putih Astara.
Bening tak menggunakan nama belakang Astara sebab dia hanyalah anak tiri, ibunya menikah dengan Gemilang Astara ketika ia berusia dua tahun dan ayah kandungnya sudah meninggal dunia sejak ia masih dalam kandungan karena kecelakaan pesawat yang menimpanya.
Sementara Gemilang Astara sendiri, merupakan duda dengan satu anak bernama Banyu Sagara Astara yang kala itu berusia lima tahun. Istrinya meninggal pada saat melahirkan Banyu, pendarahan hebat yang terjadi pada istrinya membuat nyawanya tak bisa di selamatkan.
Setelah lima tahun menduda, Gemilang kembali menemukan cintanya pada Kidung Relung Hati. Mereka menikah dan di karuniai satu orang anak bernama Sukma Putih Astara.
Meski begitu, mereka bertiga sangat dekat dan akrab. Walaupun terkadang terjadi perkelahian kecil di antara mereka, terutama Bening dan Sukma. Sukma selalu saja meniru gaya berpakaian kakaknya, sementara Bening enggan terus di ikuti oleh adiknya.
"Mama!" seru Sukma. "Kakak tak membolehkan aku mengenakan gaun yang sama dengannya, kalau begitu aku tak ingin datang ke pesta." Sukma berderap pergi dengan marah. Dari banyaknya bunyi bantingan pintu yang pernah terdengar di kediaman mereka, rasanya bantingan pintu kali ini yang menurut Relung paling kencang.
Relung tak langsung menghampiri Bening untuk menegurnya, kedua putrinya selalu punya cara untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri tanpa ia harus turun tangan mengakurkan keduanya.
Sore hari menjelang pesta, mereka semua telah siap. Bening anak nomor dua yang usianya sudah menginjak 25 tahun, mengenakan gaun berwarna biru pucat yang menonjolkan rambut hitam lebat dan mata birunya, mata biru tersebut turunan dari almarhum ayahnya yang berkebangsaan Eropa.
Sukma, mengenakan gaun berwarna emas yang memantulkan cahaya dan seolah berkilauan ketika gadis berusia 22 tahun itu bergerak. Gaun indah itu di pilihkan oleh Bening, Bening membuktikan bahwa Sukma bisa lebih cantik tanpa harus meniru dirinya.
Ketika mereka berdua turun ke ruang depan, mereka melihat Kakak tiri mereka, Banyu Astara yang akan menemani kedua gadis-gadis itu sebab Gemilang dan Relung sendiri tak bisa hadir lantaran Gemilang harus cuci darah. Ya, sudah tiga tahun ini Gemilang berjuang melawan penyakit gagal ginjal yang di deritanya, dan Relung dengan setia terus mendampingi suami tercintanya.
Banyu menatap kedua adiknya lekat-lekat. "Kalian yakin mau mengenakan itu ke pesta?"
"Maksudmu?" tanya Bening.
Banyu melirik kesal, ia membuang wajahnya karena tak ingin melihat dada kedua adiknya. "Ya, seperti itu," ucapnya marah.
"Apa ada yang salah dengan lipstikku?" sahut Sukma.
"Atau perona pipiku?" Bening menambahkan.
Wajah Banyu kian memerah, menahan amarahnya. "Aku yakin kalian berdua tahu apa maksudku! Apa kalian yakin mau mengenakan pakaian seterbuka itu?"
"Model seperti ini sedang trend di kalangan anak muda," ucap Bening sembari menerima Sebuah syal dari pelayannya. "Lagi pula jika pakai syal seperti ini tidak terlalu terlihat terbuka."
"Apakah kakak tidak ingin melihat kami tampil modis?" Sukma menggandeng tangan kiri Banyu, sementara Bening menggandeng tangan kanan kakanya.
"Well, ya.. Aku...."
"Bagus, kalau begitu kita sepakat," Sukma menarik kakanya melangkah. "Kita berangkat sekarang."
Seperti yang sering terjadi, Banyu memang kerap kualahan menghadapi kedua adik tirinya. Meski sembari menggerutu karena tak menyukai pakaian adik-adiknya yang terlalu terbuka, ia tetap berjalan menuju teras dan masuk ke mobil bersama kedua adiknya.
...****************...
Kediaman Arkatama yang begitu megah, penuh sesak hampir tak ada ruang untuk bergerak. Walau begitu, semua mata berpaling pada kakak adik Astara. "Seperti biasa, semua pria terpesona pada kalian berdua," bisik Grace, sahabat baik Bening.
"Konyol," sahut Bening. "Aku yakin mereka hanya berpura-pura terpesona untuk menghormati orang tua kami."
"Apa sekarang kau menyadari jika gaun potongan rendah itu tak ada gunanya?" Banyu mengejek.
Bening melirik sinis ke kakak tirinya, ia dan Sukma sudah di ajak menghadiri perjamuan para kolega bisnis orang tua mereka sejak kanak-kanak. Saat ini mereka berdua sudah seharusnya menerima salah satu lamaran dari pria-pria yang menatapnya penuh pesona, namun sayangnya Bening dan Sukma belum memikirkan pernikahan, mereka berdua masih fokus pada pendidikan.
"Oh tidak!" ucap Sukma, meraih tangan Bening. "Kakak harus mencegat pria itu."
"Siapa?" tanya Banyu, berdiri di samping Bening menatap kerumunan para tamu.
"Tuan Jenggala," bisik Sukma. "Dia sedang berjalan ke arah kita."
"Mendatangimu, maksudmu?" ujar Bening seraya menggandeng tangan Banyu dan Grace. "Kita harus melarikan diri jika tak ingin terperangkap pada percakapan yang membosankan. Sampai jumpa, Sukma."
" Kak Bening!"seru Sukma, namun mereka bertiga sudah terlebih dahulu pergi sembari tertawa meninggalkannya sendiri bersama Tuan Jenggala yang begitu bersemangat menghampirinya.
Ketika Banyu berdansa bersama Grace, Bening berkeliling sendirian. Di tengah kerumunan banyak orang matanya tertuju pada Tuan Surya Magenta, pengusaha perkebunan teh asal Bandung. Bening menghembuskan napas lega ketika pria yang di kenal arogan dan kaku itu sama sekali tak meliriknya.
Bening justru dikejutkan dengan Tuan Aksara Gibran yang tiba-tiba membungkuk di hadapannya. "Nona cantik, maukah kau berdansa denganku," pria itu mengulurkan tangannya.
Bening tersenyum, ia sempat mengenal Tuan Aksara sebelumnya. Pria itu di terkenal bukan hanya kesuksesan bisnisnya saja, melainkan keramahannya. "Kau pandai sekali memuji, Tuan." dengan senang hati Bening menerima ajakan Aksara.
"Wanita secantik dan sepintar dirimu, pantas mendapat pujian yang tiada henti."
Bening tertawa, mereka berdua berputar kemudian melangkah ke kanan dan ke kiri menikmati alunan lagu, sembari mengobrol dengan hangat. Aksara pria yang sangat menyenangkan sehingga tak sulit menemukan banyak topik obrolan dengannya.
Di tengah keseruannya berdansa sembari mengobrol dengan Aksara, mata indah Bening kembali melihat Surya Magenta, pria itu terlihat semakin tidak bersahabat dengan siapapun.
Dua tahun kemudian
Bening memutuskan untuk tinggal di Bandung, ia mencoba peruntungannya dengan membuka coffee shop di depan Gereja Bethel. Tak hanya menjual kopi, Bening juga menjual aneka pastri yang ia buat dengan tangannya sendiri.
Pernah kuliah di jurusan baking and pastry art di Australia, membuatnya lihai dalam menyajikan aneka roti dan pastri dengan kualitas dan cita rasa tinggi, tak heran di hari Sabtu dan Minggu coffee shopnya selalu di penuhi pengunjung, yang sebagian besar jemaat Gereja.
Coffee shop itu memiliki dua lantai, dan di lantai dua itulah tempat ia tinggal. Bening memilih lokasi yang sangat dekat dengan Gereja dengan alasan agar dia bisa berdoa setiap hari, berdoa ke Gereja di rasa lebih formal ketimbang berdoa di rumah.
Untuk itulah setiap sore, tepat pukul enam Bening menutup coffee shopnya. Orang-orang di dekat Gereja tahu bahwa Bening adalah wanita yang sangat tepat waktu, sampai-sampai penjaga Gereja menyetel jam Gereja dengan waktu kedatangannya.
Selesai memanjatkan doa harian, Bening kembali ke coffee shop. Ia menikmati semangkuk sup di temani lagu-lagu rohani, sembari membuka handphonenya yang seharian ia tinggal bekerja.
Sukma:
Tuan Jenggala baru saja melamarku, kami merencanakan pernikahan. Apa kau tidak keberatan jika aku melangkahimu?
Bening membaca pesan itu dengan tangan yang gemetar, bayangan akan mitos dilangkahi adik perempuan menikah sektika muncul dalam benaknya, ia tak ingin jomblo seumur hidup, ia takut dengan label 'Perawan Tua' yang nantinya di sematkan kepada dirinya karena tak kunjung menikah, terlebih saat ini usianya sudah mencapai 27 tahun, usia yang cukup ideal untuk menikah.
Di tengah rasa frustasi yang melandanya, tiba-tiba saja tetangga samping coffee shop datang untuk meminjam gayung kepadanya. 'Tetangga yang aneh,' batin Bening, namun dengan murah hati ia tetap meminjamkan gayung miliknya kepada Diana dan meminta wanita yang usianya lebih muda darinya tiga tahun itu untuk tidak mengembalikan gayung tersebut karena Bening sedang tak ingin diganggu.
Tentu saja Diana sangat senang, wanita itu mengucapkan terima kasih dan terus mengoceh sebelum meninggalkan coffee shop. Dia mengatakan bahwa besok Gereja Bethel akan kedatangan seorang pengusaha yang baru saja memenangkan tender project taman hiburan terbesar di Indonesia.
Taman hiburan yang di gadang-gadang akan menyaingi Universal Studio di Singapore itu akan ada di Bandung, dan pengusaha yang berhasil memenangkan project tersebut tak lain adalah Aksara Gibran, pria yang sangat Bening kagumi.
"Katanya dia akan menyumbang, 5 miliar untuk Gereja," tutupnya, sebelum wanita itu pergi dari coffee shop.
Saat itulah Bening mendapatkan rencana sempurna untuk menarik Aksara Gibran masuk ke perangapnya. "Dua tahun yang lalu kau memujiku setinggi langit, tapi kau seolah menggantungku. Kini saatnya, kau menjadi miliku, Tuan Aksara Gibran," gumam Bening, ia harus menikah dengan Aksara sebelum Sukma melangkahinya.
...****************...
Semua sudah siap, coffee shop di seberang Gereja sudah di tutup pada jam enam sore. Ada cukup banyak orang yang datang ke Gereja malam ini, untuk berdoa bersama dan menyaksikan tim paduan suara. Bening tahu, Aksara akan keluar setelah pertunjukan dari tim paduan suara.
Bening berdiri di seberang coffee shopnya mengamati Aksara yang ternyata tidak sendiri, pria itu bersama Surya Magenta. Si pria kaku itu berjalan masuk ke Gereja bersama dengan Aksara dan para pendeta.
'Tidak masalah,' batin Bening. Malam ini akan tetap menjadi malam yang akan merubah hidupnya, ia akan menanggung skandal besar yang akan menjadi perbincangan banyak orang, tapi bagi Bening hal itu tidak menjadi masalah daripada ia harus di langkahi oleh adiknya.
Saat tim paduan suara bernyanyi, Bening meminta seorang anak kecil untuk memberikan surat kepada Aksara. Setelah memberi permen kepada bocah itu, Bening bergegas kembali ke coffee shop tanpa memantau bocah itu memberikan suratnya pada Aksara.
Ketika Bening melintasi halaman Gereja, ia menyadari bahwa rencananya ini akan merendahkan harga dirinya, ia akan melakukan manipulasi yang sangat hina. Tapi seumur hidupnya Bening tak pernah merasa seputus asa ini.
Bening meraih gagang pintu coffee shop, sebelumnya ia sudah mematikan seluruh lampu, sehingga Bening hanya tinggal membiarkan pintu coffee shopnya terbuka sedikit untuk memudahkan Aksara ketika masuk.
Jantung Bening berdegup dengan kencang, sampai-sampai ia bisa mendengar sendiri detak jantungnya, namun ia berusaha untuk tetap tenang merapihkan rambutnya sembari menunggu.
Tak lama kemudian ia mendengar suara langkah kaki Aksara, melintasi halaman Gereja. Aksara melangkah cepat dan penuh tekat, hal itu membuat dada Bening terasa sesak.
Ia menelan ludah dan berjuang keras untuk mendengarkan langkah kaki Aksara, ia mendengar Aksara berhenti di depan pintu. Bening berusaha meredakan ketegangan dirinya.
Namun kedengarannya Aksara seperti akan pergi, pria itu menjauhi pintu. Bening membayangkan pria itu berubah pikiran, namun Aksara kembali, ia muncul dalam kesunyian.
Bening tak dapat menenangkan tubuhnya yang gemetar ketika pria itu mendorog pintu. Sebuah udara dingin dan lembab menyapu wajahnya, napasnya pendek seolah ia nyaris pingsan. Tangannya bertaut begitu erat sehingga samar-samar ia menyadari kuku-kuku jarinya menusuk kulitnya.
Aksara melangkah dengan hati-hati melewati ambang pintu. "Disini," ujar Bening dengan gugup. Askara langsung berpaling menuju suara Bening, dalam moment kepanikan Bening langsung menerjang pria itu.
Ia berharap Aksara mengucapkan sesuatu, namun pria itu tak bergeming, seolah Bening telah mengejutkannya. Namun Bening tak ingin mengabaikan moment ini, ia melingkarkan tangannya di leher Aksara dan pria itu melingkarkan tangannya di pinggang Bening.
Entah bagaimana, Bening bisa menemukan bibir Aksara dalam kegelapan. Bibir itu lebih lembut dari dugaannya, rasa bibir itu begitu hangat, tebal, basah, dan..... Aksara membalas ciuman Bening dengan lapar.
Bening tak menduga akan menerima ciuman penuh semangat itu, ia tak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata, tapi yang jelas darah Bening seolah mendidih dalam pembuluh darah yang mengalir deras. Perasaannya meluap-luap dan ia sangat menyukainya.
Lidah Aksara menyelinap masuk ke mulutnya, dan Bening terguncang merasakan hasrat yang timbul. Anehnya Bening merasa bebas, ini sama sekali bukan seperti dirinya. Ciuman Aksara begitu menggairahkan, hingga tanpa Bening sadari ia menempelkan tubuhnya pada pria itu tanpa memikirkan reputasinya.
Mendadak Aksara mengangkat tubuh Bening hingga wanita itu terpekik dan terkejut di bibirnya. Aksara mendudukan Bening di meja, sembari terus membelai bibirnya dan membuat Bening hampir gila. Bening seperti menyusuri jalan yang penuh kenikmatan, ia terlalu panas dalam pakaiannya, setiap kali lidah Aksara membelai mulutnya dengan lembut.
Tiba-tiba Aksara bergerak, bibir pria itu berada di leher gaun Bening yang rendah, jemari pria itu menekan gaun. Bening merasa seharusnya ia menyudahi ini semua sebelum terlalu jauh, namun pria itu menemukan kaki Bening, dan sekarang berada di balik gaunnya.
'Hentikan sekarang juga, Bening!' batinya, ia hanya ingin terpergok sedang berpelukan bukan bercinta dengan penuh gairan seperti ini, adegan ini seharusnya akan di lakukan setelah ia berhasil menikah dengan Aksara nanti.
'Dimana gerangan Diana? Kenapa wanita itu tak kunjung datang untuk memergokinya?' sayangnya Bening tak mampu bersuara atau lebih tepatnya tak ingin bersuara, sebab Aksara memberikan kenikmatan yang begitu luar biasa.
Bening membenamkan jemarinya di rambut Aksara, ketika pria itu mencium payud*r*nya di balik gaun. Bening tak percaya rencananya berhasil, ia akan bahagia bersama Aksara jika ini yang ia dapatkan di masa depan.
Aksara membebaskan payud*ra Bening dengan menarik gaunnya, sensasinya begitu mengejutkan dan membangkitkan gairah. Aksara mengeram di p*yudara Bening dengan suara yang penuh gairah, tangannya semakin tinggi bermain di paha Bening.
Bening merasa tak mengenali dirinya sendiri, dengan berani ia mengangkat kakinya. "Tadinya aku tak yakin kau datang," bisik Bening di telinga Aksara.
Pria itu hanya diam, ia berpindah ke payud*ra satunya. Bening belum pernah meraskkan sensasi ini sebelumnya, rasanya begitu meluap-luap membuat setiap jengkal kulitnya menggelenyar.
Segalanya mulai memburuk, sebab Bening melupakan tipu dayanya karena tubuhnya begitu mendamba sentuhan Aksara, sehingga ketika sinar senter mendadak menerangi coffee shopnya, Bening terkejut dan terpekik.
Aksara merentangkan jasnya untuk menutupi tubuh Bening.
"Tuan!" seru Pendeta, suaranya penuh kecaman dan kegusaran "Apa yang kau lakukan?"
Dengan panik Bening meningat perannya dalam sandiwara ini "Kumohon..." ujarnya, ia tak melanjutkan kalimatnya sebab tersadar bajunya masih terbuka, dengan panik Bening mencoba merapihkannya.
"Tuan, ini tidak bisa dibiarkan!" seru sang pendeta. "Anda dengan kejam mengambil keuntungan dari gadis ini."
"Bening, apa kau di sakiti?" tutur Diana, sembari menyalakan lampu. Wanita itu terkejut melihat pakaian Bening yang berantakan. "Mari aku bantu!" ia bergegas menghampiri Bening dan membatunya merapihkan pakaiannya yang berantakan.
"Demi Tuhan, Tuan Surya Magenta, aku tidak menyangka kau sanggup melakukan pemerkosaan! Aku akan menghubungi pihak yang berwajib!"
Pemerkosaan? Surya Magenta?
Jantung Bening serasa berhenti berdetak. Tidak. Tidak mungkin Surya Magenta?
"Demi Tuhan, Tuan Surya Magenta, aku tidak menyangka kau sanggup melakukan pemerkosaan! Aku akan menghubungi pihak yang berwajib!"
Pemerkosaan? Surya Magenta?
Jantung Bening serasa berhenti berdetak. Tidak. Tidak mungkin Surya Magenta? Bagaimana mungkin ia melakukan kesalahan bodoh yang mengerikan seperti ini? Ini tidak mungkin terjadi.
Bening berbalik untuk menghadap pria yang telah membangkitkan gairahnya... Jantungnya serasa mencelus, ia bisa merasakan darahnya mengalir deras di seluruh bagian tubuhnya. Bening bukan menjebak Tuan Aksara yang ramah, seperti yang ia rencanakan kemarin. Ia sudah melemparkan diri pada Tuan Surya Magenta, pengusaha yang di kenal paling ketus dan arogan.
Bening harus memperbaiki ini semua. "Dia tidak menyakitiku," pekiknya panik. Ada keinginan terus melanjutkan sandiwara ini agar ia tak di langkahi oleh adiknya, namun ada juga kengerian yang membayanginya. Bening tak bisa membiarkan ini terjadi. Tidak bisa! Dimana Aksara Gibran?
"Nona, diamlah!" sang pendeta memperingatkan Bening. "Aku tidak akan membiarkan dia mengintimidasimu!"
Tatapan mata Surya yang dingin menembus diri Bening. Wajah pria itu muram, ekspresinya marah, dan Bening merasa tubuhnya di rambati ketakutan yang menggelisahkan.
"Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya," ujar Surya kasar.
"Sudah seharusnya!" balas sang pendeta tajam, ia menoleh ke arah Bening dan menatap rambutnya yang berantakan dan pakaiannya yang kusut. "Ya, Tuhan!" kata sang pendeta, suaranya mendesis, ekspresinya benar-benar ngeri. Dia melemparkan tatapan ngeri pada Surya. "Ini tidak bisa di biarkan! Anda sudah mencemari wanita ini. Anda akan membayarnya!" tatapan Pendeta itu beralih ke Diana. "Tolong temani wanita ini, kami akan mendiskusikan masalah ini dengan Tuan Budi," sang pendeta menyebut salah satu hakim setempat.
"Ini bukan tindak kejahatan," Bening mencoba mencegah mereka pergi. "Aku yang sudah..."
"Diam!" bentak sang pendeta, ia dan Surya akhirnya keluar dari coffee shop .
Sementara itu Diana menggandeng Bening menuju lantai dua. Bening berjalan terseret-seret, napasnya pendek dan dangkal. Sungguh ia telah melakukan sesuatu yang keji, ia ingin muntah rasanya.
"Oh Bening, percayalah! Pendeta akan memastikan Tuan Surya mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatannya."
"Dia tidak melakukan kejahatan apapun," pekik Bening putus asa. "Akulah yang membuat dia melakukan ini! Aku yang merayunya."
"Bening kau tidak perlu membela dia," ucap Diana. "Dia sudah memanfaatkanmu."
Keesokan harinya beberapa pria datang ke coffee shop, Bening mencoba menjelaskan kepada mereka bahwa kejadian itu akibat dari perbuatannya, namun ketika di desak alasan kenapa ia melakukan itu, Bening tak bisa mengungkapkan alasan yang sebenarnya.
Para pria itu beranggapan Bening tak dapat memberikan alasan yang memuaskan tentang alasannya melakukan perbuatan tercela karena ia berbohong, Bening di anggap berbohong sebab takut pada Surya Magenta.
Ya, bening memang takut pada Surya Magenta. Ia belum pernah mendengar siapa pun mengatakan hal yang positif tentang pria itu. Surya Magenta di kenal suka menyendiri, arogan dan selalu memandang rendah orang lain. Namun pria itu tak pantas menerima apa yang sudah Bening timpakan padanya.
...****************...
Surya Magenta terus mondar-mandir di ruang kerjanya, hal itu ia lakukan untuk menghilangkan bayangan akan dirinya bercumbu dengan seorang wanita di coffee shop kemarin. Bayangan vulgar itu terus menghantui dirinya setiap saat, hingga ia tak bisa berkonsentrasi membaca laporan hasil perkebunannya.
Selama ini Surya Magenta berusaha keras menjauhkan dirinya dari perbuatan tak bermoral, ia tak pernah mengenal wanita apa lagi bermain-main, sebab ia begitu menjunjung tinggi reputasinya. Tapi kejadian kemarin membuat segalanya hancur, ia telah menjatuhkan dirinya dalam kekacauan sebab tak dapat menahan hasratnya.
Surya menyalahkan Aksara, ia mengutuk sahabat baiknya yang selama ini skandalnya selalu ia tutupi. Tanpa di ketahui publik, Aksara pernah menghamili dua orang wanita dan enggan bertanggung jawab pada kedua wanita tersebut, bahkan hingga keduanya mengalami keguguran.
Semalam saat Surya kembali dari kamar kecil untuk menyaksikan pertunjukan paduan suara, ia melihat seorang wanita memberikan sepucuk surat dan permen kepada seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun, bocah itu memberikan surat tersebut pada Aksara.
Aksara terlihat membacanya sepintas kemudian mer*mas dan membuang surat itu ke lantai, lalu pria itu bergegas keluar dari gereja mengejar sang gadis. Dengan rasa penasaran Surya memungut surat itu, dan membacanya.
Aku tunggu kau di seberang gereja.
Surya mengantongi surat itu dan mengikuti Aksara melintasi halaman gereja, ia ingin memergoki sahabatnya itu berkencan dengan seorang gadis. Setelah keluar gerbang, Surya memang tidak lagi melihat Aksara lagi, namun ia melihat sebuah Coffee Shop dalam keadaan galap dan pintu terbuka sedikit. Surya menyakini bahwa sahabatnya itu ada di sana, tapi ketika tiba di depan pintu, Surya sempat ragu sebab tak ada suara apapun di tempat itu.
Surya melihat sekeliling nampak sepi, ia kembali yakin bahwa Aksara tak akan mungkin ke tempat lain selain ke Coffee Shop itu. Begitu Surya masuk ke tempat itu, ia langsung mendapatkan serangan bibir yang begitu memabukan hingga ia kehilangan akal sehat dan membuka pakaian Bening.
Surya memejamkan matanya untuk mengusir bayangan yang mengerikan itu dari benaknya. Baju Bening yang terkoyak, mata birunya yang membelalak terkejut. Sambil mengerang, Surya menekan pelipisnya keras-keras, ia sudah menyakiti wanita itu di luar batas.
"Tuan."
Surya tersentak ketika mendengar suara Toto, asisten pribadinya. "Ya?" sahut Surya.
"Tuan Budi, pendeta Crish, dan dokter Leo ingin menemui Anda."
Surya mendesah. Mungkin mereka akan menjadi penyelamatnya atau mungkin juga mereka bertiga akan memasukannya ke penjara. "Suruh mereka masuk!" ia kemudian duduk di sofa ruang kerjanya dengan gelisah.
"Aku tidak akan memperpanjang masalah pelik ini," ujar Tuan Budi ketika mereka bertiga sudah duduk di sofa. "Kami sudah menemui Nona Bening dan menanyainya, dia tidak mengajukan tuntutan dan berkeras bahwa ini adalah kesalahannya."
"Akan tetapi dia setuju bahwa ini adalah hal yang memalukan," sambung sang pendeta. "Oleh karena itu satu-satunya pilihan untuk menutup maslah ini adalah melimpahkan semua kesalahan padamu dengan dugaan pemerkosaan atau..."
Perut Surya melilit, meski ia seorang pengusaha terpandang, ia tetap tak bisa lepas dari jerat hukum.
"Atau kalian menikah, menghindari skandal yang akan dapat merugikan kalian berdua."
Surya menelan ludah, sembari menghitung kancing sang pendeta. 'Penjara, menikah, penjara, menikah...' batinnya.
"Kami sudah menasehati Nona Bening, bahwa menikah dengan pria kejam berarti menerima kekejaman seumur hidup," lanjut sang pendeta.
Surya tak menyahut, kancing keenam menikah. Mendadak bayangan tubuh Bening kembali merasuki pikirannya.
"Namun Nona Bening berkeras akan mengambil resiko itu untuk menyelamatkan nama baik keluargamu dan keluarganya."
Surya tak ingin menikahi Bening, tapi ia tak punya pilihan lain. "Siapa keluarga besar wanita itu?" ia memandangi pria-pria itu bertukar pandang, mereka terlihat muak karena Surya tak mengenali siapa wanita yang semalam ia nodai.
"Astara's Family, Adik tiri dari Banyu Sagara Astara."
Ya Tuhan, Sekarang Surya ingat dua tahun lalu ia melihat gadis itu tengah berdansa dengan Aksara. Entah mengapa dari sekian banyak pasangan yang berdansa saat itu hatinya begitu kesal melihat gadis itu berdansa dengan Aksara, ia sampai tak sanggup untuk menoleh ke arah mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!