Pagi hari adalah waktu yang sibuk bagi semua orang untuk bersiap, tak terkecuali di Kediaman Huang milik jenderal tertinggi Huang Han Su. Salah seorang dari mereka adalah Huang Ling Xi, wanita cantik dengan kecantikan bagai bunga teratai yang mekar di pagi hari, harum mewangi dan cerah seperti pelangi, putih dan suci menyebarkan keanggunan. Dengan hanfu berwarna merah muda dan hiasan giok berwarna putih, Huang Ling Xi merias wajahnya sendiri dengan sangat telaten.
Membubuhkan serbuk yang membuat wajahnya putih alami, serta memberikan pemerah bibir yang menawan. Entah mengapa hari ini dia sangat ingin berdandan dengan cantik, mungkin juga karena hari ini tersiar kabar bahwa kasim istana akan mengirimkan surat dari Kaisar Jing.
“Nona, anda terlihat sangat cantik hari ini. Sungguh siapapun yang melihat pasti akan terpana dengan keanggunan anda, nona sangatlah luar biasa.”
“Saya yakin, hari ini adalah hari keberuntungan nona. Karena anda telah bersinar jauh lebih cerah dari matahari pagi. Dewa pasti telah memberkati anda!” puji seorang wanita muda berpakaian sederhana yang selalu mendampingi Huang Ling Xi.
Wanita yang sedang dipuji itu merona, dia tersenyum menatap pantulan wajahnya di sebuah cermin. “Kau terlalu memuji, Xu Li.”
“Aku hanya berdandan seperti aku biasanya.” jawab Huang Ling Xi lagi.
Xu Li bersimpuh, dia meletakkan kedua tangannya di meja rias sang nona dan bertumpu sambil menatapnya penuh puja. “Nona, anda sudah melakukan yang terbaik, saya yakin anda yang akan terpilih kali ini. Kaisar dan keluarga kerajaan, bahkan Putra Mahkota sangat senang melihat anda memainkan kecapi dan bernyanyi.”
“Bernarkah?”
“Iya nona, mereka sampai berdiri dan bertepuk tangan dengan sangat antusias.”
Huang Ling Xi tersenyum tipis, jemari tangannya yang lentik menari di atas laci tempatnya menyimpan tusun konde berbagai bentuk. Dia memilih mana yang cocok dengan penampilannya hari ini, dan telunjuknya jatuh pada sebuah tusuk konde berbentuk angsa yang sangat angun. Xu Li sigap membantunya memasang di rambut hitam sang nona, setengah dikepang dan digelung dengan cantik, setengah lagi dibiarkan terurai.
“Xu Li, bagaimana menurutmu dengan kakak?”
Xu Li mengerutkan keningnya, “Nona besar?”
“Iya,” Huang Ling Xi menganggukkan kepala, “Apa menurutmu kakak bisa menjadi putri mahkota? Penampilan kakak pada perjamuan bunga teratai sangat baik, aku khawatir dia akan diterima sebagai putri mahkota.”
“Jangan khawatir nona, anda sudah berusaha dengan baik, jadi tidak perlu risau.” jawab Xu Li menenangkan sang nona, “Lagi pula, nona besar sangat lemah dan kesehatannya tidak terlalu baik. Sudah pasti tidak akan diterima sebagai putri mahkota, karena kekaisaran pasti memilih wanita muda yang sehat dan cantik seperti anda.”
Itu benar, Huang Jian Ying, kakak tertuanya itu sangat lemah. Tidak mungkin kekaisaran akan memilihnya sebagai putri mahkota setelah rumor tersebar tentang betapa lemah kesehatan Huang Jian Ying. Ling Xi tersenyum puas, sang ibu pasti telah berhasil menghasut kabar hingga sampai di lingkungan istana, bahkan para nona di berbagai kediaman tahu tentang itu.
Setelah tusuk konde terpasang dengan indah di kepalanya, Huang Ling Xi berdiri dari meja rias. Dia tersenyum simpul tapi sangat anggun, “Aku yakin, aku yang akan menjadi putri mahkota.”
***
Kasim utusan dari kekaisaran telah sampai di kediaman Huang, dia disambut oleh anggota keluarga lengkap di aula utama, ruang pertemuan itu akan menjadi saksi siapa dari dua putri Huang Han Su akan menjadi tokoh utama dalam istana. Di tengah ruangan itu, jenderal tertinggi Negeri Jing, Huang Han Su dan istrinya, Liu Ning Yu telah bersiap untuk mendengarkan keputusan dari kekaisaran.
Di sampingnya, ada Huang Ling Xi dan sang kakak yang tertunduk menunggu dengan sabar.
Hari ini akan menjadi penentunya, dia yang diambil oleh putra mahkota akan mencatatkan namanya sebagai pemenang. Ling Xi tentu sangat berharap untuk itu, sebab semua yang telah dia persiapkan dengan sang ibu sangatlah rumit.
Keringat dingin mulai terasa mengalir di dahi, kedua tangan saling bertaut dan merapal doa kepada para dewa.
“Ini adalah perintah dari Kaisar untuk Keluarga Huang!”
“Hormat Yang Mulia, semoga kaisar hidup seribu tahun!” jawab keluarga Huang serempak.
Kasim mengambil sebuah gulungan berwarna emas, membukanya dengan hati-hati dan memahami isinya. Dia dalamnya adalah mandat dari kaisar yang harus dia jaga dan lindungi dengan segenap hati dan pikirannya, sebuah perintah yang harus ditaati oleh siapapun. “Setelah perjamuan bunga teratai seminggu yang lalu, Yang Mulia Kaisar merasa sangat terpesona dengan nona-nona Huang. Atas kecantikan, keanggunan, dan bakat mereka yang luar biasa.”
“Setelah berbagai pertimbangan yang sangat mendalam, keluarga kekaisaran telah memilih salah satu dari putri Jenderal Tertinggi Huang Han Su, untuk menjadi pendamping putra mahkota.”
Hanya satu kalimat tersisa lagi, dan ini adalah penentunya. Jemari Huang Ling Xi saling bertaut dan meremas satu sama lain untuk menyalurkan rasa gugup yang luar biasa. Perasaan membuncah dengan debaran jantung yang luar biasa menggila, Ling Xi terus berdoa bahwa namanya akan tertulis disana.
Kasim sengaja memberikan jarak untuk mengetahui bagaimana ekspresi kedua nona Huang, karena salah satu dari mereka akan menjadi pendamping putra mahkota. Sudah dipastikan bahwa ini adalah keberuntungan besar bagi keluarganya. “Keluarga kekaisaran dan putra mahkota telah sepakat untuk memilih … Huang Jian Ying, sebagai pendamping putra mahkota.”
Jeduarrrr!
Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong, untuk beberapa saat tidak ada kata yang terucap dari Keluarga Huang. Selain helaan napas lega dari Huang Han Su dan putri tertuanya.
Ling Xi mulai mempertanyakan mengapa bukan dia? Padahal sudah jelas dia jauh lebih berbakat dan cantik dari sang kakak yang lemah dan sakit-sakitan.
“Terima kasih, Kasim Hong. Keluarga Huang menerima perintah kaisar dengan penuh rasa hormat. Semoga kaisar hidup seribu tahun!”
Huang Han Su memberikan penghormatan untuk kaisar, dia menatap sang putri dan tersenyum dengan perasaan lega. Jauh dalam lubuk hatinya dia menyampaikan puja untuk para dewa karena telah menitipkan Huang Jian Ying kepadanya.
Kasim beserta pengawal kekaisaran pergi.
“Selamat, Jian Ying, kau telah bekerja keras. Sekarang tanggung jawab besar telah ada di tanganmu, semoga kau tetap dalam keberuntungan yang tak terputus.” ujar Huang Han Su.
“Terima kasih, ayah. Ini semua berkat didikan yang baik darimu dan ibu.”
“Sekarang kau bersiaplah, jaga kesehatanmu sampai hari penjemputan tiba.” ujar sang ayah lagi, dia berdiri dan berjalan menghampiri Huang Jian Ying, “Mari, ayah antar kau ke kamarmu!”
“Baik ayah, sungguh sebuah keberuntungan bagi keluarga ini.”
Huang Jian Ying pergi bersama sang ayah, menyisakan Ling Xi yang tertunduk dalam. Tak lama, dia melirik dari ekor matanya bahwa sang ibu juga berdiri. Dan, dengan suara dingin dia berkata. “Temui aku, di kamarku!”
“Baik, ibu.”
Splasshh!
Splasshh!
Huang Ling Xi memejamkan mata sambil menggigit bibir bawahnya, rasa perih dan panas mulai menjalari betis kala rotan panjang itu terus menyiksanya. Kedua tangan saling meremas ujung hanfu agar tidak turun, agar memudahkan sang ibu untuk memberinya sebuah hukuman. Selalu begini setiap kali dia membuat kesalahan, Ling Xi yang malang harus selalu mendapatkan cambukan rotan di betis atau punggungnya.
Ini sangat menyiksa, tapi tidak ada daya yang bisa ia lakukan.
Seandainya ada yang menolong, mungkin Ling Xi tidak akan merasakan darah segar mulai mengalir di betisnya. Alih-alih menangis, air mata seolah sudah kering karena mendapatkan hukuman keras ini selama hidupnya. Sejak kecil, Liu Ning Yu tidak menerima kesalahan sedikit pun, Ling Xi harus sempurna dan menjadi kebanggaannya.
Setelah puas, Liu Ning Yu, wanita paruh baya dengan hanfu berwarna biru itu meletakkan rotannya. Pelayan setianya langsung mengambil dan meletakkan di tempat yang seharusnya, tepat di sisi ranjang sang nyonya besar. Sekalipun ini sudah sering terjadi, tapi para pelayan yang melihatnya tidak tega pada nasib sang nona.
Liu Ning Yu menggebrak meja, perasaan marah tak tertahankan melihat gadis licik bernama Huang Jian Ying menang. “Kurang ajar!”
“Apa yang kurang darimu hingga kekaisaran lebih memilih Jian Ying yang penyakitan itu?!”
“Tidakkah mereka bisa melihat mana gadis yang dibesarkan dengan sangat baik dan penuh tata krama, alih-alih seorang gadis dari kalangan biasa seperti Jian Ying! Cih, dia sama saja seperti ibunya yang rendahan itu, selalu mengandalkan wajah polos untuk menutupi kelicikan.”
“Seharusnya ini tidak terjadi padamu!”
Huang Ling Xi hanya bisa tertunduk, dia duduk bersimpuh dengan kedua tangan mengepal untuk menahan perih di betisnya. Sepertinya luka yang lama belum sembuh, kini hadir kembali luka baru. Cara duduknya pun tidak bisa dikatakan baik, setiap kali bergerak, ia khawatir luka akan semakin menjadi. “Maafkan aku, ibu.”
“Iya!” Liu Ning Yu menganggukan kepala, “Kau memang bersalah, Xi’er, kau seharusnya meminta maaf atas kesalahanmu dan kegagalanmu.”
Ling Xi menghela napas dalam, “Ibu, aku sudah berusaha dengan baik. Aku sudah mengerahkan semua kemampuan yang aku bisa untuk memikat putra mahkota dan kekaisaran.”
“Kau seharusnya bisa mengalahkan Jian Ying dalam segala hal, apapun itu, kecantikan, keanggunan, pendidikan, bela diri, bahkan kecapi dan bernyanyi!” hardik sang ibu dengan sangat keras, “Kau seharusnya bisa lebih unggul dari dia, kenapa kau bisa tersisihkan?”
“Maaf ibu.” mohon Huang Ling Xi sambil menyatukan kedua telapak tangannya. “Aku … aku sudah melakukan yang ter---”
“OMONG KOSONG!”
Mendengar bentakan itu dia terdiam, selalu sia-sia tiap kali dia ingin membela diri. Yang bisa dilakukan nona Huang ini hanyalah diam dan mengakui jika ini salahnya. Sebab melawan hanya akan berujung pada hukuman yang lebih keras, sudah rasanya, sudah cukup betis dan punggungnya menjadi korban.
Liu Ning Yu bangkit, dia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Darah seolah mendidih di atas kepalanya, bergejolak dengan amarah. Saat menatap putri yang begitu disayanginya, dia berkacak pinggang. “Omong kosong, Xi’er, mana yang kau sebut sebagai melakukan yang terbaik? Mana yang kau sebut telah bekerja keras? Mana yang kau sebut telah melakukan segalanya dengan baik?!”
“Mengalahkan Jian Ying saja tidak sanggup, sementara aku telah mempersiapkan dan memberikan segalanya untukmu!”
“Mana bukti dari balas budimu untuk ibu?!”
“Ibu hanya ingin kau menjadi permaisuri negeri ini, apakah itu terlalu sulit bagimu?!” telunjuk sang ibu mengarah kepadanya Ling Xi, perasaan sedih dalam hatinya tidak lagi bisa diungkapkan dengan rangkaian kata. “Mengapa kau terlahir bodoh dan tidak bisa melakukan apa-apa, Xi’er, ibu sudah membuka jalan dengan sangat baik, tapi kau mengacaukan segalanya.”
“Sekarang pergilah! Renungi kesalahanmu!”
“Baik ibu, maaf telah membuatmu marah.”
Semua yang terjadi di dalam kamar sang nyonya besar telah terdengar sampai ke telinga Xu Li yang ada tepat di depan pintu. Mendengar perintah untuk sang nona pergi, Xu Li menghampus air matanya dan membuka pintu kamar. Persis seperti bayangan dalam benaknya, kali ini pun sang nona tidak baik-baik saja. Hanfu merah mudanya telah berubah warna menjadi merah pekat pada bagian kaki.
Kasihan sekali melihat nonanya terluka, namun tidak ada yang bisa dia lakukan. Xu Li segera memapah Huang Ling Xi untuk keluar dari kamar nyonya besar. Perlahan dan berhati-hati, dia semakin teriris tiap kali sang nona merintih karena luka di kakinya. “Nona, bagaimana kalau anda naik ke punggung saya, saya akan membawa nona ke kamar dengan cepat.”
Huang Ling Xi tersenyum simpul, “Aku tidak apa-apa, Xu Li.” jawabnya. “Ini sudah biasa bagiku, dan kau, bagaimana tubuhmu yang kurus dan lemah itu bisa menggendongku sampai ke kamar. Mana bisa, Xu Li?!” Ling Xi terkekeh.
“Tapi, nona, luka anda akan semakin parah jika terus dibiarkan.”
“Ini … shhh … ini hanya luka kecil.”
Kedua mata Xu Li bertelaga melihat sang nona, sekuat tenaga ia membantu Huang Ling Xi kembali ke kamarnya, agar cepat ia bisa memberikan salep luka. Kerendahan hati dan kebaikan Ling Xi selalu membuat Xu Li nyaman berada di dekat sang nona, sejak kecil mereka bersama dan dia selalu menjadi pelayan untuk sang nona.
Bagi Xu Li, sang nona sudah seperti kakak perempuan yang selalu bersikap baik dan menjaganya. Usia mereka tidak cukup jauh, dan banyak hal terlah mereka lalui bersama.
Sampai di kamar sang nona, Xu Li segera membaringkan Ling Xi di ranjangnya. Dia bergegas mengambil air untuk membasuh luka dan memberinya salep, racikan salep herbal dari tabib terkenal, nyonya besar yang memberikannya. Katanya ini bisa menyamarkan bekas luka dengan baik, tapi bagaimana kalau luka itu terus diberikan olehnya tanpa henti.
Xu Li sangat berharap sang nona menjadi pendamping putra mahkota, tak lain agar sang nona bisa bebas dari hukuman kejam Liu Ning Yu. “Shh … “
“Maaf, nona.”
“Tak apa, Xu Li, luka ini memang perih tapi aku bisa menahannya.” jawab Huang Ling Xi, dia tidur bertelungkup agar Xu Li lebih mudah mengobati betisnya. “Ini memang pantas diberikan kepadaku karena aku telah mengecewakan ibu.”
“Nona, jangan berkata seperti itu.” Xu Li merasa iba.
“Memang aku yang bersalah, aku tidak bisa membuat ibu bangga dengan menjadi pendamping putra mahkota.” Huang Ling Xi menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangan, “Seandainya bisa memutar waktu, pasti aku akan berusaha lebih keras lagi. Ibu sangat ingin aku menjadi permaisuri negeri ini, Xu Li, ibu … ibu begitu menyayangiku.”
“Nona, apa kau benar ingin menjadi permaisuri?”
Kamar Huang Jian Ying tampak sepi senyap seperti biasanya, tidak ada hal menarik dan mewah disana, sang nona selalu tampil dengan sederhana. Berbanding terbalik dengan Huang Ling Xi, dia suka mengoleksi giok dan menata kamarnya dengan sangat cantik. Ling Xi suka bunga, dia sangat senang memandang taman di depan kamarnya. Tapi pagi ini, dia memutuskan untuk pergi menemui sang kakak. Tujuannya adalah untuk memberinya hadiah karena telah memenangkan pertarungan sebagai pendamping putra mahkota, tak hanya dengan Ling Xi tapi juga dengan seluruh nona-nona dari keluarga terpandang di Negeri Jing.
Saat sampai disana, Xin Yang, pelayan setia Huang Jian Ying menyambut. “Salam nona kedua, ada hal apa yang membuat anda datang ke kediaman nona besar?”
“Aku ingin bertemu dengan kakak, apa dia ada di dalam?”
“Ada.” jawab si pelayan, “Tapi untuk apa anda datang menemuinya?”
Huang Ling Xi merotasikan bola matanya, “Kau tidak perlu tahu, ini bukan urusanmu!”
“Tapi, tapi, tuan jenderal melarang siapapun yang tidak berkepentingan untuk menemui nona besar.” Xin Yang menahan langkah Huang Ling Xi, mengingat perangai sang nona yang sangat tempramental dan tindakannya yang selalu di luar nalar. Si pelayan jadi takut kalau Huang Ling Xi akan melampiaskan kekalahannya pada Jian Ying.
Xin Yang diam untuk beberapa saat, “Nona, ini masih pagi. Nona besar sedang bersiap untuk dijemput oleh kekaisaran, bukahkan tidak hormat kalau anda mengganggunya?”
“Kau berani memerintahku?”
“Nona--- tapi”
“Minggir! Kau menghalangi jalanku!”
Bukannya segera menepikan diri, si pelayan justru merentangkan kedua tangannya. “Tidak, nona, saya tidak akan membiarkan anda melukai nona besar.”
“Cih, memangnya kau pernah melihat aku melukainya?” sarkas Huang Ling Xi, dia masih tenang dan anggun menghadapi tikus kecil itu. “Aku ingin memberinya hadiah, itu saja. Kalau kau tidak percaya maka lihatlah sendiri, Xu Li, tunjukkan hadiahnya!”
Xu Li yang sejak tadi berada di belakang Huang Ling Xi langsung menunjukkan sebuah kota berwarna putih yang diberi ukiran cantik, dia membuka kota itu untuk memperlihatkan isi di dalamnya. Setelah melihat sendiri, Xin Yang segera menepi untuk memberi jalan.
Huang Ling Xi membuka pintu kamar sang kakak, setelah meletakkan hadiahnya di atas meja, dia meminta Xu Li untuk pergi. Sayangnya begitu sampai disana, dia tidak mendapati Huang Jian Ying disana.
Kemana perginya sang kakak?
“Kakak, ini aku, aku datang untuk menemuimu.”
“Kakak?”
“Kakak?”
“Siapa itu?” suara lembut mengalun dari arah yang berlawanan, derap langkah terdengar semakin jelas. Sambil bersedekap, Ling Xi menatap sang kakak yang baru datang entah dari mana, tapi di tangannya ada sehelai kain yang sepertinya baru disulam. “Ling Xi?”
Huang Ling Xi memutar bola matanya, “Benar ini aku, memangnya siapa lagi yang memanggilmu kakak selain aku.” sarkasnya.
“Maaf, aku tidak mendengarmu, aku sedang menyulam di belakang.” jawab Huang Jian Yin lembut, “Ada apa kau datang menemuiku?”
“Aku ingin memberimu hadiah.” jawab Ling Xi ketus.
Kedua mata sang kakak berbinar, dia meletakkan kain sulamnya dan berjalan menghampiri meja. Tempat dimana sebuah kotak asing diletakkan disana, dia duduk berhadapan dengan Ling Xi. “Apa ini?”
“Itu adalah hadiah untukmu.”
“Adik, kau seharusnya tidak perlu repot begini. Bukankah kau tidak suka dengan kekalahanmu ini? Kenapa kau repot sekali memberiku hadiah?”
Huang Ling Xi mengendikkan bahunya acuh, “Sebagai adik yang baik, sudah sepantasnya aku turut berbahagia dengan keberhasilanmu. Kau telah membawa nama baik bagi keluarga, maka aku pun akan merasa bangga. Aku memang tidak begitu menyenangi kekalahanku, tapi bagaimana pun kau tetap kakakku.”
Huang Jian Ying tersentuh, perasaannya yang begitu lembut bagai teraliri sejuk hingga membuat matanya bertelaga. Sudah sejak lama dia ditinggalkan oleh ibundanya, bahkan dia tidak pernah tahu bagaimana rupa sang ibu, tidak ada potret lukisan sebab sang ibu berasal dari kalangan biasa. Berbeda dengan Liu Ning Yu yang berasal dari keluarga bangsawan.
Tangan lentiknya bergerak lembut untuk membuka isi kota itu, satu set cangkir porselen untuk minum teh beserta tehnya. Huang Jian Ying mengangkat satu cangkir yang sangat cantik, “Adik, ini pasti berharga tinggi. Aku tidak bisa menerima benda mahal ini, kenapa kau begitu bermurah hati?”
“Ini tidak mahal, ini untukmu, aku akan sedih jika kau tidak menerimanya.” jawab Huang Ling Xi, tidak ada senyuman atau wajah sendu, dia hanya berucap dengan ekspresi wajah yang datar. “Kau senang minum teh, kakak, aku ingin kau mengenangku dengan cangkir itu. Cangkir itu terukir bunga mawar yang indah, sebagai lambang dari cinta dan ambisi, mawar sangat indah dan harum mewangi. Tapi, dia juga bisa melukai.”
“Benar adik, mawar ini memang sangat indah.” Huang Jian Ying membenarkan kelopak mawar yang menjadi ukiran pada cangkir porselen mahal itu.
“Uhhuk … uhhukk!”
“Hei, kau tak apa?” Huang Ling Xi terkejut saat sang kakak tiba-tiba batuk, kali ini cukup hebat hingga dia harus menuangkan air untuknya.
Bukan lagi rahasia jika Huang Jian Ying memiliki fisik yang lemah, dia sering sakit dan pingsan tanpa sebab yang jelas. Begitu batuknya reda, sang kakak menerima air dari si adik. Kelembutan hati dan ketulusan yang selalu ia hargai, sekalipun Ling Xi selalu menutupinya dengan ego. “Apa kau masih meminum teh itu?” tanya Ling Xi.
“Teh?”
“Bukankah itu teh pemberian ibu?” Ling Xi menunjuk sebuah teh herbal yang diletakkan di nakas tempat biasa Huang Jian Ying menyimpan cangkir teh.
Sang kakak menganggukkan kepala dengan polos, “Iya, itu pemberian ibu, bagaimana aku tidak meminumnya. Rasanya sangat cocok denganku, maka aku rajin meminumnya setiap hari. Karena ibu akan bersedih kalau aku tidak meminumnya.”
Mendengar jawaban sang kakak, sorot mata sang nona kedua meredup. Dia tahu tentang teh itu dan kisah dibaliknya, mungkin dia lebih tahu dari Huang Jian Ying. Liu Ning Yu memberikannya setiap minggu, teh itu ada kandungan racun di dalamnya, meskipun dalam jumlah yang sedikit, tapi jika dikonsumsi dalam waktu yang lama dan terus menerus maka itu bisa merusak kesehatan. Persis seperti yang dialami Huang Jian Ying. Secara tidak langsung, sang ibu penyebab nona besar menjadi sakit-sakitan.
“Uhhuk … uhhukk!”
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Ling Xi ketus, “Jangan terus batuk seperti itu!” kesalnya.
Jian Ying tersenyum tipis, “Aku tak apa, ini sudah biasa karena fisikku memang lemah sejak lama. Minum teh akan meredakan sakitku, dan sekarang aku bingung harus meminum teh yang mana, dari ibu atau darimu.”
Sang nona kedua bangkit, dia berjalan pergi begitu saja tanpa berpamitan pada sang kakak. Sebuah hal yang biasa dilakukannya, datang dan pergi sesuka hatinya. Tapi sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu, dia berhenti. “Sebaiknya kau tidak perlu meminum teh lagi.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!