CKIIT!!
BRAAAK!!
Mavra turun dari mobil dengan perasaan kesal. Dia baru saja pulang dari kuliah dan tiba-tiba ada orang yang terang-terangan menganggunya.
"Keluarlah! Apa mau kalian?" tanya Mavra dengan nada dingin. Sejak dia keluar dari kampusnya, dia sudah tahu jika mobilnya sedang dibuntuti. Mavra mengeluarkan auranya yang benar-benar mampu mengintimidasi siapapun yang berhadapan dengannya saat ini.
Tiga orang laki-laki berbadan tegap keluar dari mobil yang menabrak Mavra tadi. Mereka masing-masing membawa senjata.
"Kami mau kau ikut dengan kami."
"Bagaimana jika aku menolak ajakan kalian?" Mavra melipat kedua tangannya di depan dada, senyum miring tercetak jelas di bibirnya.
"Kami terpaksa memaksamu dengan kekerasan."
"Jika begitu silahkan saja gunakan cara paksa kalian. Aku ingin tahu sekuat apa kalian, tapi nanti jangan salahkan aku jika kalian cidera."
Tiga orang pria itu tertawa remeh, Mereka pikir, gadis ini hanya seorang gadis manja yang kebetulan mengusik seseorang yang salah.
"Nona, sebaiknya kau menurut saja pada kami. Kami akan memperlakukanmu dengan baik."
Mavra meludah di depan tiga orang tadi. Dia tidak cukup sabar untuk menghadapi 3 cecunguk itu, karena dia sudah memiliki janji ke bioskop dengan sepupunya.
Ketiga pria tadi langsung menatap Mavra dengan tajam. Dengan terpaksa mereka maju.
Awalnya mereka berniat bersenang-senang dulu pada gadis di depannya ini, sebelum menyerahkannya pada klien mereka. Akan tetapi, sayangnya Mavra justru memprovokasi mereka.
Pria pertama yang membawa pemukul, langsung mengayunkannya pada Mavra, tanpa diduga, sebelum pemukul itu mengenai Mavra, Mavra berhasil menahannya, pemukul itu sekejap mata sudah berpindah ke tangan Mavra.
Ketiga pria itu terkejut. Namun, belum sempat mereka bereaksi, Mavra sudah terlebih dulu mengayunkan pemukul besi itu ke arah 3 pria tersebut.
Mavra menyeringai, matanya yang semula tampak biasa saja, kini sudah memerah. Saat mencium bau darah, jiwa paikopatnya menggelagak. Ketiga pria di depannya tiba-tiba bergetar ketakutan. Salah satu dari mereka merasakan giginya rontok dan 2 lainnya merasakan rahang mereka terlepas.
Pukulan Mavra benar-benar tidak bisa diremehkan. Mereka adalah sekelompok pembunuh bayaran yang cukup terkenal di kalangan dunia bawah, akan sangat memalukan jika sampai mereka kalah dari gadis ini. Salah seorang dari ketiga pria itu berdiri sembari meraih batang besi yang tadi di bawanya. Pria itu bergerak secara acak dan brutal mengarahkan batang besi itu ke arah Mavra.
Mavra menghela napas panjang. Apa-apaan pria ini? Sungguh sangat menyebalkan. Mavra meloncat dan menapaki badan mobil para pria itu dan memukulkan pemukul yang dia bawa dengan sangat keras. Dua rekan pria tadi tertegun melihat tubuh temannya tumbang dengan bersimbah darah.
Tanpa belas kasihan, Mavra bergerak maju mengintimidasi dua pria lainnya. Dia menunjuk wajah mereka dengan tongkat pemukul di tangannya.
"Cepat katakan padaku, siapa yang membayar kalian?"
"I_itu, ka_kami tidak tahu." ujar salah satu dari dua pria tadi. Saat mendengar jawaban salah satu dari mereka, bibir Mavra kembali menyeringai.
"Baiklah, tidak ada gunanya mempertahankan mulut kalian." Mavra sudah mengayunkan tongkat pemukul ke atas, sebelum akhirnya, pria tadi bicara lagi.
"A_ampun .... namanya Beatrice Martinez. Kami hanya di suruh membawamu. Dia marah karena katanya kau telah merebut kekasihnya."
"Beatrice Martinez?"
"Y_ya. Aku mendengar dari bos namanya Beatrice."
Mavra mengangguk. Tidak penting siapa yang membuat masalah dengannya. Justru dia merasa hasrah untuk melakukan sesuatu semakin besar.
"Terima kasih atas jawabanmu." Dengan gerakan yang cukup cepat Mavra mengayunkan tongkat besinya dengan keras hingga menghantam wajah pria pria tadi. Mereka seketika tergeletak.
Mavra melempar tongkat pemukul ke tanah. Beruntung jalanan saat ini sangat sepi. Mavra menghubungi kakak sepupunya Lionel dan meminta Lionel untuk membereskan kekacauan yang dia buat.
Lionel datang 10 menit kemudian. Dia menghela napas panjang melihat 3 mayat pria dengan kondisi mengenaskan.
Mavra dengan santainya bersandar di mobil dan menghisap rokoknya. Ya, dia jadi kecanduan nikotin sejak 2 tahun yang lalu ketika dia meninggalkan Los Angeles.
"Siapa lagi ini?"
"Entahlah, aku akan mencaritahu sendiri. Aku hanya ingin memintamu membereskan mereka. Jangan sampai uncle Jack tahu akan hal ini. Aku tidak mau ibuku menerorku lagi."
"Hmm, dasar anak nakal," ujar Lionel. Beberapa anak buah Lionel mulai bergerak menyingkirkan mayat-mayat itu.
Di tempat lain, Seorang pria berusia 30 tahun menggeram kesal saat mendengar laporan dari anak buahnya.
"Jadi mereka gagal membawa gadis itu?"
("Me_mereka tidak hanya gagal, Tuan Rocco. Akan tetapi, Nona itu bahkan menghabisi mereka bertiga dengan tongkat pemukul yang dibawa oleh Jill.")
Pria bernama Rocco itu menyeringai. Sangat menarik, aku jadi penasaran pada gadis itu.
"Cari tahu semua informasi mengenai gadis itu. Aku mau semua laporannya ada di mejaku malam ini."
Setelah sambungan terputus, Rocco lagi-lagi menyeringai sembari menatap foto Mavra yang diberikan oleh Beatrice.
...----------------...
Visual Mavra
Visual Enrique
"Kau terlambat datang, Mavra."
"Oh maafkan aku. Ada sedikit kendala tadi, tapi aku sudah menyingkirkan kendala itu tadi," ujar Mavra sembari memeluk sepupunya yang bernama Diandra. Usia Diandra saat ini menginjak 20 tahun, dia dua tahun lebih tua dari Mavra dan Marvel.
"Kau ada masalah, Mavra?" Tiba-tiba suara tegas penuh wibawa itu mengalihkan perhatian dua gadis keturunan Alexander itu. Itu adalah suara milik Jackson ayah Diandra.
"Hmm, tidak ada paman. Semuanya aman dan baik-baik saja."
"Kau yakin?"
"Sangat yakin," jawab Mavra dengan mantap. Dia tahu pasti salah satu orangnya ada yang melapor pada sang paman mengenai hal ini.
"Mommymu dan yang lain akan tiba malam ini. Dia cukup kecewa karena kau tidak mengangkat teleponnya terakhir kali," ujar Jack. Meski status Mavra hanya sebagai keponakan, tapi Jack memperlakukan Mavra sudah seperti putri kandungnya sendiri.
2 tahun yang lalu, Mavra datang ke mansionnya dengan mengendarai motor. Namun, ada luka yang terlihat di matanya. Dia datang dan mengatakan ingin tinggal di sana.
Sebagai seorang paman, Jack dan keluarganya menerima Mavra dengan tangan terbuka. Mereka tahu jika ada yang tidak beres dengan keponakannya itu. Selama seminggu tinggal di sana, Mavra lebih sering mengurung dirinya di kamar. Jack merasa cemas. Dia menghubungi Celine, adiknya sekaligus ibu dari Mavra untuk menanyakan masalah apa yang sedang Mavra hadapi.
Tidak ada yang ditutup-tutupi, cerita mengalir begitu saja dari mulut Celine. Jika kemungkinan Mavra sedang berselisih paham dengan kekasihnya. Namun, untuk menghargai keputusan Mavra, Celine dan anggota keluarga lainnya memutuskan untuk tidak ikut campur dalam hal ini.
Dan pada akhirnya sampai 2 tahun, kesalahpahaman itu sampai saat ini belum terurai. Mavra cukup pandai menyembunyikan diri dan juga semua keluarga tampak sangat melindunginya hingga mereka bisa menutupi keberadaan gadis itu.
Selama 1 tahun pertama tinggal di San Francisco, sifat Mavra perlahan berubah. Gadis yang dulunya ceria dan sangat terbuka itu, kini menjadi sosok yang Introvert dengan segala kenakalannya.
Louisa istri Jack pernah menemukan botol minuman keras dan banyak puntung rokok di kamar Mavra. Karena khawatir, Louisa pun melaporkan semuanya pada sang suami, hingga Jack pun akhirnya memanggil Mavra.
Saat ditanya, Mavra hanya bilang jika dirinya sedang penat dan berjanji itu adalah pertama dan terakhir kalinya dia seperti itu. Namun, apakah janji itu ditepati? jawabannya adalah TIDAK. Mavra justru sering keluar malam setelahnya. Setelah Jack menelusurinya, rupanya sang keponakan sering datang ke sebuah Bar atau Klub malam untuk menyalurkan kesenangannya terhadap minuman keras.
Damian sempat marah saat itu mendengar laporan dari Jack. Dia terbang dari L.A ke San Francisco malam hari untuk memarahi putrinya. Ini kemarahan yang pertama yang ditujukan secara langsung oleh Damian. Damian mengancam akan menyeret Enrique untuk mempertanggungjawabkan semuanya pada Mavra detik itu juga. Dan ancaman itu berhasil menghentikan kegilaan Mavra. Meski kini Mavra tidak lagi minum minuman keras, tapi dia tetap tidak bisa lepas dari rokok. Untuk hal yang satu ini, Jack masih bisa mentolerirnya.
Kembali ke masa sekarang, Mavra terdiam sesaat saat mendengar jika keluarganya akan datang. Rindu, sudah pasti dia rindu, tapi ada hal lain yang dipikirkan oleh Mavra saat ini, Bagaimana jika sampai Enrique tahu keberadaannya?
"Kau takut dia akan datang?" tanya Jack.
Seluruh keluarga sudah tahu bagaimana kisah Mavra dan Enrique di masa lalu. Mavra menyukai Enrique sejak gadis itu berumur 4 tahun. Setelah mereka sama-sama sudah besar, keduanya memutuskan untuk berpacaran. Namun, seperti keterangan Enrique sebelumnya, Mavra sepertinya salah paham terhadapnya. Dan kesalahpahaman itu berlanjut sampai sekarang. Karena Mavra memang tidak berniat mengurai kesalahpahaman ini.
Mavra bukannya takut bertemu mantan kekasihnya itu, dia hanya khawatir rasanya masih terlalu kuat untuk pria itu, meski jelas-jelas dia sempat kecewa. Mavra sadar betul rasa kecewanya tidak lebih besar dari rasa cintanya. Hanya saja saat itu, Mavra merasa lelah berjuang sendiri karena Enrique adalah pria yang pasif, ditambah muncul kebohongan yang dilakukan Enrique pada hari itu. Mavra langsung menyerah memperjuangkan cintanya.
"Mau dengar saran paman?"
"Dad .... " Diandra menegur ayahnya saat melihat wajah sepupunya yang berubah murung.
"Daddy hanya ingin, Mavra mau menghadapi pria itu. Kesalahpahaman atau apapun itu sebaiknya segera diurai," ujar Jack dengan suara tegas, tapi terdengar penuh perhatian.
"Ini juga berlaku untukmu, Diandra. Berlarut-larut membiarkan masalah itu adalah tindakan seorang pengecut. Dan keluarga Alexander tidak boleh berlaku seperti itu. Selesaikan setiap masalah yang kalian hadapi."
Mavra menegang. Tidak ada yang salah dengan ucapan pamannya. Dia memang sangat pengecut karena terus menerus bersembunyi dari Enrique.
"I'm sorry," ujar Mavra lirih. Diandra yang ada di samping Mavra menoleh mendengar ucapan sepupunya. Suaranya terdengar bergetar penuh dengan emosi yang selama ini tertahan.
Louisa, istri Jack mendekat. Dia sejak tadi berdiri di belakang tembok mendengarkan ucapan suaminya. Dia mendekati Mavra dan memeluk gadis itu.
"It's oke, Honey. Kamu memiliki kami di sampingmu. Kami akan selalu mendukungmu. Hadapi masalahmu, ketakutanmu. Manusia memiliki ketakutan itu wajar, Sayang."
Untuk yang pertama kalinya Mavra menangis. Suasana hatinya sejak pagi tadi sudah buruk dan ditambah hari ini dia menghabisi nyawa 3 orang sekaligus tanpa ampun. Energinya, emosinya seperti sedang dikuras habis-habisan oleh keadaan.
Diandra ikut berlinang air mata melihat sepupunya yang kuat, kini menjadi rapuh.
Celine dan Damian serta kedua putranya yang tiba lebih awal untuk memberi kejutan pada Mavra. Akan tetapi, mereka justru dibuat terkejut melihat Mavra menangis dipelukan Louisa.
"Sayang, apa yang terjadi padamu?" Celine melepaskan handbag seharga 1 miliarnya begitu saja di lantai dan berjalan cepat mendekati putrinya. Mavra menegakkan tubuhnya mendengar suara ibunya.
"Mom," panggil Mavra dengan suara serak.
"Ya, Sayang. Ini mommy. Apa yang terjadi padamu, kenapa menangis, hmm?" Celine memeluk putri pertamanya itu dengan erat. Hatinya ikut sakit melihat putrinya menangis seperti ini.
"Aku merindukanmu, Mom," jawab Mavra mengalihkan pembicaraan.
"Kau hanya rindu dengan mommy?" Suara Damian terdengar tidak terima, tapi itu semua termasuk salah satu cara untuk menghibur putrinya. Dan benar saja, Mavra tertawa mendengar protes ayahnya.
"Kau tidak merindukanku, Kak?" Helios adik bungsu Mavra yang berusia 14 tahun ikut protes. Saat Celine melepaskan pelukan Mavra, Mavra merentangkan tangannya, Damian dan kedua putranya mendekat dan memeluk Mavra bersamaan.
"I'm miss you all, so bad."
"Kenapa tidak pulang jika kau merindukan kami?" tanya Helios terus terang. Celine tersenyum dan mengusap kepala Helios dengan lembut.
"Aku sibuk."
"Kau pikir aku bodoh. Aku bahkan tahu jadwal kuliahmu, Kak," ketus Helios. Setelah pelukan mereka terlepas, Mavra mencium pipi Helios dengan gemas.
"Kau sangat pintar, terlalu pintar sampai-sampai ingin meretas satelitku." Wajah Helios langsung memerah mendengar tuduhan sang kakak. Semua orang tertawa melihat reaksi Helios.
...----------------...
Malam ini Mavra tidur ditemani oleh Celine. Gadis berusia 18 tahun itu terlihat begitu lelap di dekapan ibunya. Celine benar-benar menyayangkan sikap keras kepala putrinya. Mavra masih menolak untuk bertemu dengan Enrique. Malah sebaliknya, gadis itu berniat memperkenalkan pacar barunya pada keluarganya.
Celine bertukar pesan dengan suaminya. Dia mengatakan jika putrinya sudah terlelap. Celine meminta agar tidak mengatakan apapun pada Enrique mengenai Mavra. Dia tidak ingin nantinya Mavra kecewa dan justru malah mencari tempat perlindungan lain, karena merasa keluarganya sendiri tidak bisa dipercaya.
Setelah berkirim pesan dengan sang suami, Celine membetulkan posisi kepala Mavra dan dia pun merebahkan kepalanya di samping putri pertamanya itu.
"Mom," lirih Mavra, sepertinya dia sedang mengigau. Celine mengusap pipi Mavra dengan sangat pelan agar tidak membangunkannya.
Esok harinya, Mavra sudah kembali ke setelan pabriknya. Diam dan tidak banyak berinteraksi. Dia turun mengambil selembar roti di dapur dan langsung pergi begitu saja. Dia sepertinya juga lupa jika semua anggota keluarganya sedang berkumpul di sana.
"Kau sudah membangunkan Mavra?" tanya Damian.
"Mavra sudah berangkat 15 menit yang lalu, Uncle," jawab Diandra.
Celine tentu saja terkejut, karena tadi saat dia meninggalkan kamar, Mavra masih tidur nyenyak.
"Sudah berangkat? Kenapa tidak berpamitan padaku?"
"Mungkin dia lupa jika semalam kalian datang," jawab Diandra terlalu jujur. Raut wajah Damian berubah serius ketika melihat kekecewaan di wajah istrinya.
"Habiskan makananmu, jangan bicara lagi," ujar Lionel. Dia tahu suasana di ruang makan sudah berubah tegang setelah mendengar ucapan adiknya.
Jack, Louisa dan Jasson si anak bungsu baru bergabung. Mereka belum tahu topik pembicaraan di meja makan. Jack mengerutkan alisnya melihat wajah sedih adiknya.
"Ada apa ini?"
"Tidak apa-apa, Kak. Aku hanya tadi bertanya mengenai Mavra."
"Dia sudah pergi?" tebak Jack. Celine mengangguk. Dia tak kuasa menahan kesedihannya hingga air matanya mengalir.
"Apa setiap hari dia selalu begini?" tanya Celine dengan suara bergetar. Damian lekas berdiri dan mengusap punggung sang istri dengan lembut.
Marvel yang kebetulan juga sudah ada di ruang makan itu pun menatap keluarganya dengan perasaan campur aduk. Marah, kecewa, sedih semuanya membuat perasaannya bergolak. Dulu keluarganya begitu bahagia dan sangat harmonis. Hanya gara-gara kesalahpahaman antara Mavra dan Enrique, masalah justru menyebar kemana-mana.
"Aku sudah selesai, Mom. Aku akan keluar dulu untuk menemui temanku." Marvel gegas berdiri dan mendekati ibunya. Dia mengusap pipi Celine dengan lembut.
"Mommy jangan bersedih. Aku akan membuat Mavra kembali seperti dulu lagi."
Setelah mengatakan hal itu, Marvel mencium puncak kepala Celine dan pergi meninggalkan ruang makan. Dia akan menemui saudara kembarnya sekarang juga. Masalah ini tidak akan dia biarkan berlarut.
Sementara itu, Mavra baru saja sampai di kampus. Dia berjalan dengan santai di sepanjang koridor.
"Sayang." Seorang pria mendekati Mavra.
Mavra melihat ke arah jamnya, dia lalu mengernyit.
"Ini sudah tanggal 1, Claude. Kau tahu kan apa artinya?"
Ya, Mavra selalu memberi batas 1 bulan untuk setiap pria yang menjadi kekasihnya. Bahkan sebagian gadis di kampus sangat membenci Mavra karena terlalu sok dan sombong.
"Tidak bisakah kita tetap bersama?" tanya Claude sembari menatap Mavra penuh kasih.
Namun, sayangnya Mavra sudah terlanjur buta perasaannya. Bahkan sampai saat ini tidak ada seorang pun yang bisa menggeser nama Enrique di hatinya. Bodoh memang, tapi itulah dia.
"Bersamamu terlalu berbahaya untukku. Kemarin mantan kekasihmu Beatrice mengirim pembunuh bayaran untuk menyerangku. Aku tidak mau terluka hanya karena laki-laki seperti kalian," ujar Mavra dengan nada penuh kesombongan.
Mavra segera meninggalkan Claude yang masih tercenung. Tangan Claude mengepal setelah mendengar ucapan Mavra.
"Tunggu saja, aku pasti akan bisa memilikimu seutuhnya Mavra."
Tiba di kelasnya Mavra meletakkan tasnya dengan kasar hingga mengejutkan teman di sebelahnya.
"Mavra, tidak bisakah kau lebih berhati-hati?"
"Tidak. Aku memang sengaja membangunkanmu, Viora."
"Ah, aku ngantuk sekali. Semalam Kaylee mengajakku party. Aku mencoba mengajakmu, tapi mengapa nomormu tidak aktif?"
"Aku sedang tidak enak badan, Viora."
"Kau bisa sakit juga ternyata?"
"Tentu saja bisa. Apa kau pikir aku ini monster?" Viora tertawa mendengar nada bicara Mavra yang mulai kesal. Viora Jansen adalah seorang putri pejabat yang memiliki perangai cukup unik. Dia tidak suka memiliki banyak orang di sekitarnya, tapi dia suka dengan pesta.
Saat Viora akan berbicara lagi, Dia dibuat terdiam melihat kedatangan sosok pria tampan yang berjalan ke arahnya dengan tatapan tajam. Mavra langsung menoleh, melihat ke arah pandangan Viora. Matanya langsung membulat sempurna.
Belum sempat Mavra buka mulut, Dia sudah ditarik dengan keras. Mulut Viora ternganga.
"Hei, kau tidak bisa sembarangan berbuat kasar terhadap seorang wanita," ujar Viora. Beberapa teman Mavra melihat adegan itu dan tidak ada yang berani bersuara.
"Ini urusanku dan dia. Jangan ikut campur."
"Tidak apa-apa, Vior. Dia saudaraku."
Mavra hanya diam saat Marvel membawanya keluar dari kelas. Marvel mengangkat Mavra naik ke atas motor sport. Dia dengan penuh perhatian memakaikan helm untuk saudari serahimnya.
Marvel pun segera naik dan memacu kuda besinya membelah jalanan kota San Francisco. Mavra tidak banyak bicara karena tahu suasana hati saudara kembarnya.
Mereka tiba di tepi pantai. Marvel menurunkan Mavra dan melepaskan helmnya. Marvel bahkan merapikan rambut kakaknya dengan lembut. Meski mereka jarang berinteraksi, tapi kedekatan mereka secara naluri terbentuk. Ikatan antara mereka begitu kuat, bahkan sampai-sampai Marvel bisa merasakan apa yang dirasakan oleh kakaknya.
"Kenapa membawaku ke sini?"
"Kenapa tidak berpamitan pada mommy saat berangkat tadi?" Marvel mengembalikan pertanyaan Mavra dengan pertanyaan.
"Aku terlalu malu," jawab Mavra. Dia duduk di atas bebatuan dan menatap hamparan laut dengan sendu.
"Malu?"
"Ya, aku malu. Seharusnya sejak awal aku tidak bertingkah kekanakan dan membuat mommy juga Daddy kepikiran. Aku tahu selama ini kalian mengkhawatirkanku."
"Jika kau tahu itu kenapa kau menghindari kami? Apa kau masih menganggap kami keluarga?"
"Marvel, hatiku sakit sekali. Aku lelah, setiap saat rasanya aku ingin mati," lirih Mavra.
Marvel segera menarik Mavra ke dalam pelukannya. Inilah yang dia khawatirkan. Sejak kecil Mavra sudah sangat mandiri bahkan diusianya yang masih terbilang muda. Dia terbiasa untuk menyimpan semuanya sendirian. Menyembunyikan perasaannya dengan bersikap ceria. Hanya satu hal yang tidak pernah dia sembunyikan, yaitu perasaan cintanya pada Enrique. Namun, pada akhirnya dia hanya mendapatkan kekecewaan.
Marvel awalnya juga sangat kecewa dengan Enrique karena dia sudah membuat saudara kembarnya terluka, tapi lama kelamaan rasa kecewa itu berubah, setelah dia melihat kegigihan Enrique untuk menemukan keberadaan Mavra.
"Kau masih memiliki kami, hilangkan perasaan itu."
"Setiap hari aku selalu ketakutan, Monster dalam diriku seperti ingin menguasaiku. Aku takut tidak bisa mengendalikan diriku sendiri."
Ketakutan Mavra jelas mengacu pada jiwa psikopatnya. Bahkan jika dirunut dari awal, Sejak Mavra merasa dikecewakan oleh Enrique, dia semakin menggila dan menganggap nyawa setiap laki-laki tidak lah penting. Mereka manusia dengan penuh tipu daya. Jadi hasrat ingin membunuh pun semakin besar.
Bagaimana pun juga saat itu, Mavra hanyalah seorang gadis 16 tahun yang memiliki perasaan cinta yang terlalu meluap pada Enrique. Kenyataan bahwa Enrique berbohong padanya, langsung menjadi pukulan telak untuk Mavra. Terlebih kebohongan itu berkaitan dengan wanita lain.
Wanita mana yang rela diduakan pas lagi sayang-sayangnya? Tanpa sadar hal itu membangkitkan jiwa Mavra yang selama ini berusaha dia tekan. Dan Mavra sepertinya terlalu frustasi menghadapi kekejamannya sendiri.
Berada dalam pelukan adik laki-lakinya membuat Mavra merasakan ketenangan yang selama ini dia rindukan. Perlahan mata sayu itu terpejam, Mavra kehilangan kesadarannya.
Marvel mengangkat Mavra dan membawanya berjalan cukup jauh menuju villa di pinggir laut, milik Jack.
"Tuan muda, saya sudah menyiapkan kamar untuk anda dan nona."
"Tolong panggilkan dokter, Paman. Kakakku pingsan."
"Baik, Tuan muda."
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!