NovelToon NovelToon

Tawanan Cinta Duda Tampan

Eps 1 Penggrebekan

Cantik, manja serta punya masa depan cerah yang baru hendak ia rintis. Siapa yang tidak mengenal putri bungsu Shaka Buwana. Bidadari kecil itu kini menjelma menjadi gadis remaja yang penuh pesona, Geona Hanani Buwana.”

Sejak kecil menjadi primadona, bahkan setelah sudah punya pacar, Geona banyak digandrungi para lelaki bahkan ada yang nekat mendekatinya hingga membuat sang kekasih Devano Maheswara Adhitama sakit kepala.

Gadis belia itu sangat sempurna di mata banyak pria. Bukan hanya kaya, tapi kecantikan yang begitu terpancar dalam diri Geona menjadi daya tarik tersendiri.

Daya tarik Geona tak terelakkan lagi kala dirinya sedang di dekati kakak senior laki-laki di tengah lapangan begitu mereka dijemur karena hari ini sedang ospek.

Pria yang bernama Danu itu mendekat ke arah Geona seraya menampilkan senyum ketertarikkan yang sukses membuat Devano yang juga berada di sana sontak mengepalkan tangan, ia tak terima pacarnya digoda di depan matanya.

Di sebuah hotel….

“Kamu yakin ini kamarnya?” Tanya Dikta pada Evan yang tak lain adalah bawahan sekaligus sahabatnya itu.

Dikta kini berdiri di sebuah kamar hotel mewah yang akan membuktikan semuanya. Situasi di balik pintu kamar hotel itu akan memutuskan hendak bagaimana nasib pernikahan yang sudah berjalan selama lima tahun lamanya.

Dikta Anugerah Adhitama adalah pria berusia tiga puluh tahun itu merupakan putra sulung Ilham Adhitama dan Monita Maheswari Kusuma. Sudah hampir sebulan Dikta mencurigai gelagat istrinya yang tampak aneh. Bahkan ia mempercayakan Evan Mahendra untuk mengawasinya.

“Aku yakin Dikta.” Jawab Evan dengan yakin.

Tiga kali tendangan akhirnya pintu kamar tersebut terbuka lebar. Tak lupa sebelumnya Dikta melibatkan beberapa petugas hotel untuk melancarkan penggebrkan itu.

Suara pintu yang terbuka itu sontak membuat mata wanita yang ada di atas ranjang membulat sempurna. Seluruh tubuh wanita itu bergetar hebat bak kedatangan malaikat maut, wanita itu menutupi seluruh tubuhnya yang terekspos. Suaranya tercekat di tenggorokkan, ia berusaha menelan salivanya pahit. Wanita itu diam membisu karena malu hingga membuat tubuhnya seakan lumpuh. Perasaan malu kini menggerogoti batin wanita itu. Elsa Olivia, begitulah ia disapa, istri dari Dikta Adhitama presdir di PT Anugerah Jaya tengah tertangkap basah sedang bermain api.

“Jadi begini kelakuanmu di belakangku?” Tanya Dikta menahan amarah. Ia berjalan pelan dan berdiri di samping ranjang. Sorot tajamnya bak hunusan pedang yang siap menghujam jantung Elsa.

Sementara pria yang berada di sampingnya itu bergegas meraih bajunya yang teronggok di lantai. Namun Dikta dengan sigap menendang pakaian pria itu dan menyibak selimut yang dipakai kedua manusia tak berhati itu.

“Sepertinya kalian belum selesai, kenapa harus memakai baju?” Sarkas Dikta seraya menatap sinis ke arah sang istri yang nampak memerah menahan malu.

Sudah banyak yang menyaksikan kejadian penggrebekan oleh sang presdir perusahaan ternama kepada istrinya tersebut. Bahkan ada beberapa orang yang sempat mengambil gambar untuk mengabadikan moment yang tersaji di depan mata mereka.

“Mas, dengarkan penjelasanku dulu.” Elak Elsa mencoba mencari pembenaran.

“Bukan kah semua sudah jelas Elsa?”

Dikta tertawa hambar, sejak awal Dikta sudah mengetahui hal ini dengan beberapa bukti yang dia temukan, namun dia ingin kembali memastikan seberapa licik wanita yang sudah bertahun-tahun ini ia nikahi.

Elsa memakai bajunya secara asal dan bergegas menghampiri sang suami.

“Mas_”

“Jangan pernah menyentuhku!” Bentak Dikta seraya memundurkan langkahnya.

Dikta berusaha menahan amarahnya yang hampir meledak, andaikan Elsa bukan wanita yang sudah memberikannya seorang putra, mungkin saat ini wajah Elsa sudah hancur tak berbentuk karena serangan Dikta.

“Lima tahun aku berumah tangga denganmu! Bahkan aku mengabaikan mama hanya karena memilihmu! Tapi ini balasannya?!”

Mata Dikta berkaca, kini penyesalan menyeruak rongga dadanya hingga membuat ia kesulitan bernapas. Cintanya untuk Elsa memang masih sangat besar, namun pengkhianatan itu tak bisa Dikta terima sama sekali.

“Mas tolong dengar_”

“Stop Elsa!” Dikta memotong ucapan istri yang sebentar lagi akan jadi mantan istrinya itu. Dia muak sekali mendengar ocehan Elsa, terlebih membayangkan apa yang sering mereka lakukan di belakangnya.

Isakan tangis Elsa semakin jelas terdengar dan ia berlutut di hadapan Dikta.

“Maafkan aku mas, aku tau aku salah, aku khilaf dan aku janji aku tidak akan mengulangnya lagi.” Percuma Elsa mengelak, Dikta bukan pria yang gampang dibodohi.

“Ya Tuhan, apa kata mama nanti? Selama ini aku mengabaikan mama dan tidak menyukai mama karena seolah menjaga jarak dari Elsa, aku ingin menceraikannya, tapi bagaimana nasib Ansel? Pasti anakku akan kehilangan kasih sayang mamanya, tapi aku tidak sudi jika harus menjalani biduk rumah tangga ini bersamanya.” Batin Dikta yang sempat tenggelam dalam lamunan.

“Sudah berapa lama hubungan kalian?”

Suasana mendadak hening, Elsa sibuk dengan tangisnya namun dia tidak bisa lagi membohongi Dikta.

“Baru dua bulan mas, kita hanya berteman.” Jawab Elsa di tengah isakan tangisnya.

Dikta berjongkok, pria tampan nan gagah itu nampak redup dengan fakta ini. Lantas dia mengangkat dagu Elsa dengan satu jarinya hingga pandangan mereka terkunci.

“Berteman katamu?” Dikta memelankan suaranya.

“Berteman tapi sampai tidur di kamar hotel dan bertelanjang. Maaf El, aku tidak sebodoh itu. Rumah tangga kita cukup sampai di sini, aku talak kamu! Sampai bertemu di pengadilan agama!”

Bak di sambar petir, Elsa berhambur dan mendekap kaki Dikta.

“Mas aku minta maaf, aku tidak akan melakukannya lagi.” Elsa merengek agar Dikta iba.

Dikta menyeka air mata yang menetes di pipinya, ia terpaksa menelan pil pahit, rumah tangga yang sudah ia rajut selama bertahun-tahun ini harus hancur. Detik itu juga perasaan Dikta mulai pudar tertutup oleh rasa benci akibat pengkhianatan yang Elsa torehkan.

“Terima kasih karena sudah melahirkan Ansel untukku. Aku akan memberikan rumah dan hotel untukmu.”

Kali ini Evan terhenyak mendengar pernyataan Dikta. Aset sebesar itu diberikan pada Elsa, walau sebenarnya itu hanya sebagian kecil dari aset Dikta, tapi tetap saja sayang andai diberikan pada ratu bermahkota ular itu.

“Apa kamu yakin akan memberikan semua itu?” Bisik Evan memastikan lagi, barangkali sahabatnya ini khilaf.

“Yakin! Aku ikhlaskan rumah dan restoran asal aku bisa membawa Ansel pergi.”

Dikta yang berada di ambang pintu kembali berbalik dan menatap Elsa yang tengah berurai air mata.

“Kamu sudah bebas! Silahkan kau pergi bersama pria itu. Tapi jangan pernah menemui Ansel lagi.”

Dikta berjalan seraya merapikan jasnya, dia tengah berusaha menetralkan perasaannya yang tengah meletup-letup.

“Lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” Tanya Evan lagi.

“Aku akan membawa Ansel pergi, untuk sementara aku akan membawanya ke apartemen dulu sebelum ke rumah mama.”

Evan mengangguk tanda mengerti, sangat jelas dari raut wajahnya jika Dikta tampak hacur berkeping-keping. Elsa benar-benar bodoh berani mengkhianati pria sesempurna Dikta. Namun ia juga bersyukur, Dikta bisa lepas dari wanita ular itu. Tidak hanya keluarganya, Evan juga sangat membenci wanita licik yang bernama Elsa Itu. Sejak dulu dia sering melihat Elsa digandeng pria lain, tapi begitu dia memberitahu Dikta, pria yang kala itu bucin akut pada wanita setengah iblis itu tak percaya hingga membuat Evan dan keluarganya menyerah.

“Maafkan aku ma.” Lirih Dikta seraya menutup matanya begitu mereka sudah berada di dalam mobil.

“Akhirnya kau sadar juga! Pulang Dikta, pasti tante Monita tidak akan marah.” Batin Evan seraya menatap Dikta dari pantulan spion yang menggantung.

Dikta Anugerah Adhitama

Geona Hanania Buwana

Elsa Olivia

Evan Mahendra

Eps 2 Pulang Bersama Mama

Elsa sibuk merapikan pakaiannya serta menyisir rambutnya yang sedikit berantakan.

“Sayang, kamu mau kemana?” Tanya pria yang selama ini menjadi teman ranjang Elsa itu. Roki, begitulah ia disapa, pria bertato dengan wajah tampan yang tak seberapa itu adalah selingkuhan Elsa Olivia.

“Jangan panggil aku sayang! Semua ini gara-gara kamu! Kalau kau tidak memaksa aku untuk datang ke hotel ini menemuimu, Dikta tidak sampai menggrebekku.” Sesal wanita itu dengan emosi yang membuncah. Sudah tidak ada lagi hasrat dalam batinnya saat menatap sepasang netra teman ranjangnya itu. Yang ada hanya kebencian dan kebencian.

“Heh jangan berani menyalahkanku! Kau yang memulainya bahkan sejak awal kau yang mencari dan mendekatiku.” Tegas Roki dengan sorot tajam seakan hendak menguliti Elsa hidup-hidup. Dia mencengkram kuat tangan wanita itu.

“Saat ini rumah tanggaku lebih penting Roki, sedikit lagi baru kita akan menggapai impian kita.” Bujuk Elsa mulai melunak, sepertinya pria ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan.

Begitu mendengar Elsa berbicara soal harta, Roki langsung melunak.

“Baiklah, jangan lupa kirimkan aku uang ya.” Pria mata duitan, tentu saja bukan karena cinta pria itu mau menjalani hubungan terlarang dengan istri seorang presdir ternama di kota ini, tapi karena harta penyebabnya.

“Iya.” Jawab Elsa singkat padat dan tidak ikhlas sebenarnya. Dia sebal luar biasa, lama- lama pria ini seperti memerasnya. Namun terpaksa Elsa harus menurutinya agar supaya rahasia mereka tidak sampai ke telinga mertua Elsa. Bisa gawat kalau kedua mertuanya tahu, harapan Elsa untuk kembali pada Dikta akan pupus begitu saja.

Elsa berjalan terseyok-seyok menuju lantai dasar, tak peduli dengan hujatan banyak orang, anggaplah itu angin lewat.

Begitu sampai mobil, Elsa merogoh ponsel di dalam tasnya lalu menghubungi Dikta.

“Angkat mas!” Elsa berdecak sebal, yang ada di otaknya saat ini adalah bagaimana caranya agar Dikta luluh dan mau membatalkan gugatan yang hendak ia layangkan.

“Aaarggghh..” pekik Elsa dengan kekesalan yang tiada tara.

Ia menjambak rambutnya sendiri karena Dikta terus menolak panggilan telponnya.

“Aku harus ke pengadilan! Mas Dikta tidak boleh menceraikanku.” Elsa berujar tanpa dia ketahui bahwa, Dikta sudah sampai ke pengadilan terlebih dahulu.

Wanita itu menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya membelah hujan siang itu.

Sementara di rumah, beberapa menit begitu ia baru sampai dari pengadilan, Dikta memeluk tubuh mungil putranya menyalurkan kasih sayang yang takkan tergantikan. Ketakutan Dikta semakin nyata, dia tidak ingin anaknya hidup bersama Elsa yang nantinya akan menikah dengan pria lain. Dikta hanya takut kasih sayang pria itu tidak akan sama dengan kasih sayangnya pada Ansel.

Sesayang itu dia pada Ansel, putra satu-satunya yang ia dapatkan dari pernikahannya bersama Elsa.

“Kau yakin kita akan ke apartemen?” Tanya Evan sekali lagi. Bukan kah lebih baik Dikta pulang ke rumah orang tuanya?

“Iya Van.”

“Siapa yang akan ke apartemen?” Tanya seorang wanita yang tiba-tiba muncul dari ambang pintu.

“Mama.”

“Pulang ke rumah mama, bawa sekalian cucu mama.”

Dikta tercengang, pasalnya selama ini Dikta tidak berani membawa Ansel di kediaman mama dan papanya karena dia pikir mama akan menolaknya.

Sesaat kemudian, mata mama Monita menangkap sosok Ansel yang berada dalam dekapan Dikta. Ia tersenyum hangat kemudian mendekat ke arah Dikta, untuk meraih cucunya.

“Yuk sama oma.”

Ansel yang merasa asing dengan sosok yang di hadapannya kini tidak menggubris. Ali-alih menggubris mama Monita, anak kecil itu hanya menatap datar wanita yang hingga kini masih terlihat cantik, bahkan sebagian orang tidak akan percaya jika tau mama Monita punya anak sedewasa Dikta.

“Dia tidak mau!” Monita tersenyum getir. “Ini semua salah kamu Dikta! Kamu tidak membiasakan dia datang ke rumah mama.”

“Maaf ma. Dikta pikir mama akan menolaknya seperti mama menolak Elsa.” Dikta menunduk dengan sejuta sesal yang sukses membuat jiwanya terguncang.

“Anak tidak bersalah Dikta. Kau pikir mama sekejam itu? Dia cucu pertama mama.”

“Ya sudah, ayo kita pulang sekarang.” Ajak mama Monita seraya mengayunkan kakinya menuju mobil.

Dikta pun mengangguk pasrah dan mengikuti langkah mamanya dari belakang.

Begitu mereka berada di dalam mobil, Elsa terlihat turun dari mobilnya lalu kemudian menggedor-gedor kaca jendela.

“Mas! Buka pintunya mas. Aku ingin bicara dengan Ansel. Tolong jangan ceraikan aku mas! Kasihan Ansel.”

Mendengar itu Dikta menurunkan kaca mobilnya, rupanya ucapan Elsa tadi sedikit menelisik indera pendengarannya.

“Kasihan Ansel katamu? Lantas di mana belas kasihmu saat berselingkuh dengan badjingan itu Elsa?!” Tanya Dikta meninggi. Nurani wanita ini sepertinya tak berfungsi lagi, dia mengasihani Ansel padahal dirinya berselingkuh. Rasa sakit itu mengendap ke dalam relung hati Dikta dan membunuh rasa cinta yang selama ini dia limpahkan untuk Elsa.

“Mas, aku mohon, jangan bawa Ansel. Kalau kau ingin menceraikanku, tolong biarkan aku bersama Ansel.” Bujuk Elsa dengan raut memelas.

“Sudah lah Elsa, saya tidak rela cucu saya tinggal bersamamu. Saya khawatir kau tidak mampu mendidik Ansel dengan baik dan akan mencemari otaknya hingga memiliki pribadi yang buruk sepertimu.” Tidak pernah bicara, tapi sekalinya bicara mampu membuat dada Elsa bak di hujam ribuan anak panah.

Wanita paruh baya yang masih terlihat segar ini ternyata berani mengatainya. Selama ini mama Monita tidak pernah berucap yang sekiranya akan menyakiti hati Elsa, dia menolak Elsa dengan diamnya.

Elsa tak berani berkata-kata lagi kala sesepuh sudah mulai angkat suara. Elsa membeku dengan hatinya yang teramat bengkak. Matanya membasah, dan merenungi perbuatannya di kamar hotel itu. Dia tidak menyangka, satu jam bersama Roki di hotel, nyatanya akan merubah statusnya dari istri menjadi mantan istri.

Semua hancur, namun Elsa tidak akan menyerah. Baginya Dikta masih suaminya, dia tidak ingin menganggap perceraian itu ada. Intinya sampai detik ini mereka masih suami istri yang sah, batin Elsa.

“Papa? Kenapa kita meninggalkan mama?” Tanya Ansel yang sejak tadi melihat keributan itu. Putra Dikta ini ternyata tidak begitu dekat dengan mamanya sehingga begitu melihat mamanya meraung seperti tadi, Ansel tak berkutik sama sekali.

Dikta mendaratkan kecupan bertubi-tubi di pipi gembul anak berusia lima tahun itu dengan air mata yang tertahan di pelupuk matanya. Dikta berusaha kuat, dia tidak boleh lemah saat di hadapan Ansel.

“Ansel dan papa akan tinggal di rumah oma.” Jawab Monita dengan lantang.

“Tanpa mama? Apa mama sibuk di luar kota?” Tanya Ansel seperti yang dia ketahui selama ini. Mamanya memang bukan wanita karir, tapi sibuknya melebihi wanita karir. Elsa kerap minta izin untuk menginap keluar kota demi menemui orang tuanya dan meninggalkan Ansel di rumah bersama pengasuh.

“Mulai sekarang, Ansel jangan cari mama lagi, mama tidak akan pernah ikut.”

Evan yang berbicara. Dia tidak ingin membohongi anak kecil ini dengan memberikan harapan palsu. Karena pada kenyataannya, Elsa tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.

Ansel mengangguk mengerti dan kembali tidur di pangkuan Dikta. Sesantai itu dia kala berpisah dengan mamanya, hubungan mereka memang tak seerat itu, meski mereka adalah ibu dan anak.

****

“Nana.”

“Hm?” Geona tersenyum hangat kala matanya menangkap wajah teduh itu yang kini sudah berada di hadapannya.

“Ini minumnya.”

“Terima kasih Devan.” Geona tersenyum sembari meraih botol minuman yang baru saja Devano beli dari supermarket.

“Oh ya Na, aku tidak suka loh kakak senior tadi menggodamu seperti itu.” Devano mencoba mengeluarkan uneg-uneg yang sejak tadi ia tahan.

“Tapi kan tidak nana respon juga Dev.”

“Iya, tapi tetap saja aku tidak suka. Saking kesalnya, begitu di luar kampus aku sengaja menemui lelaki itu dan memberikannya peringatan.”

Geona terkejut hingga tak sengaja menyemburkan kembali minuman yang sempat ia tenggak beberapa detik lalu.

Devano juga ikut terkejut lalu menepuk pelan punggung Geona demi menenangkannya.

“Pelan-pelan dong minumnya.”

“Kamu sih bikin kaget saja, lagi pula untuk apa kamu memberi peringatan segala pada kak Danu. Nanti kamu kena masalah Dev.” Keluh Geona tak habis pikir dengan tingkah pacarnya ini. Posesif yang tidak pada tempatnya, tak mengenal siapa pun itu, Devano yang cemburu buta suka seenaknya jika sang pujaan hati digoda pria lain.

“Aku tidak takut! Lagi pula itu kan di luar kampus, kalau masih di dalam kampus baru aku salah by.”

“Lalu? Apa kata kak Danu setelah itu?” Tanya Geona masih dengan wajah masamnya.

“Katanya selama janur kunig belum melengkung, artinya kamu masih milik umum. Aku kesal lah mendengar itu, lantas karena emosi yang membuncah, aku membungkam mulutnya dengan bogem mentah.”

Woah, Devan bukan sembarang Devan. Geona sampai terperangah mendengarnya, kelakuan Devan tidak berubah juga setelah dua tahun mereka menjalin kasih. Dan ini bukan kejadian pertama kali dalam hubungan mereka. Devano kerap ringan tangan jika sudah menyangkut Geona.

“Kamu berlebihan Dev. Aku tidak suka, kalau sampai dia kenapa-kenapa, nanti kamu yang masuk penjara.” Bukannya apa-apa, Geona justru mengkhawatirkan Devano, dia tidak mau Devano masuk penjara karena berbuat kekerasan pada anak orang.

“Aku lebih kaya dari dia Na, mana berani dia! Lagi pula, kalau sampai itu terjadi, papa pasti akan menebusku dengan uangnya.”

Lihat! Percaya diri sekali dia. Dia pikir papanya akan melindunginya walau dia sudah main tangan begitu. Dalam hal ini jelas saja dia yang salah karena berani menyerang lebih dulu, membelah anak yang melakukan kekerasan pada orang lain bukan gaya Ilham sama sekali.

Pria itu selalu menanamkan tanggung jawab meski ia sering menempatkan diri seolah teman bagi putranya. Memang Ilham juga kerap mengajarkan anak-anaknya agar jangan takut menyerang orang yang menyerang lebih dulu, namun siapa sangka ajaran itu digunakan Dikta dan Devan di segala aspek kehidupan. Dan dalam hal ini, menyerang yang dimaksud Devan adalah Danu yang lebih dulu mencari masalah dengan menggoda pacarnya.

“Aku tidak suka ya kamu sombong begitu Dev.” Tegur Geona dan sontak membuat Devano tersenyum sembari menampakkan gigi-gigi rapihnya dengan menunjukkan angka dua menggunakan jari sebagai isyarat permohonan ampun.

Menjalin kasih selama dua tahun lamanya bukan berarti sudah kenal dengan orang tua masing-masing. Dua-duanya masih takut untuk berterus terang di depan orang tua mereka. Geona masih di kekang ayahnya dan dilarang pacaran dulu sampai dia menyelesaikan kuliahnya, sementara Devano berbeda. Ilham dan Monita tidak membatasi Devan, tapi justru sang kakak lah yang mengekang hidupnya agar tidak pacaran lebih dulu.

Devano Maheswara Adhitama

Eps 3 Duka Keluarga Adhitama

Sebulan kemudian pasca Dikta mendaftarkan perceraiannya di pengadilan agama, pergumulan itu akhirnya sudah ada di titik selesai. Kini dia sudah sah menyandang status duda beranak satu. Bukan hanya itu, Dikta bahkan memenangkan hak asuh Ansel.

Setelah sebulan lamanya menetap di rumah utama keluarga Adhitama, mama Monita dan oma Nancy sudah berhasil merebut perhatian Ansel. Mereka sering bermain bersama Ansel, agar supaya putra Dikta itu tidak merasakan kehilangan kasih sayang seorang ibu. Namun hari ini dua wanita itu absen bermain dengan Ansel karena oma Nancy yang harus ke rumah sakit untuk berobat dengan diantar oleh Monita. Hari ini Ansel bermain bersama pengasuh di halaman depan rumah.

Sore ini hujan sedikit lebat, selesai dari bertemu Devano di supermarket, Geona harus buru-buru ke bandara untuk menjemput mama dan papanya. Queen dan Samudra tidak sempat menjemput karena kesibukan masing-masing, Samudra sedang berada di luar kota sedangkan Queen sedang meeting bersama para petinggi perusahaan, ya kedua anak Shaka itu kini sudah terjun ke perusahaan masing-masing dengan harta yang dibagi sama rata.

Setelah puluhan tahun lamanya, akhirnya hari ini papa Shaka dan mama Amira pulang ke Indonesia.

Mereka pulang tanpa nenek Emely, karena sepuluh tahun silam nenek Emely tutup usia setelah menjalani berbagai pengobatan di Jerman.

Geona pulang sendiri karena dia menolak tawaran Devan untuk mengantarnya ke bandara dengan alasan, takut ketahuan papa.

Akhirnya Devano mengalah dan terpaksa pulang karena permintaan Geona. Kini tinggal lah Geona sendiri berdiri di depan supermarket yang kebetulan berada tak jauh dari rumah Devano.

Dalam hidup, kita tidak bisa memprediksi kejadian apa yang akan menimpah ke depannya, begitu pun dengan Geona. Di saat gadis cantik itu berjalan ke arah mobilnya, tiba-tiba tasnya yang berisi laptop serta beberapa tugas penting dari salah satu dosen terkiler di kampusnya dirampas jambret di depan supermarket itu.

Karena panik, tugas yang harusnya dikumpulkan besok pagi pada pak Jeremy terpaksa harus Geona rebut kembali. Bagaimana tidak, tugas yang terlanjur banyak itu selesai dalam tiga hari, tidak mungkin dia kembali memulai dari awal, sementara tugas pak Jeremy harus dikumpul besok. Karena tidak memungkinkan jika hanya mengejar pakai kaki, Geona mengejar jambret itu menggunkan mobil karena jambret itu lari menggunakan motor.

Geona menancap gas, melajukan mobil dengan kecepatan penuh dalam keadaan emosi. Matanya begitu fokus menatap ke depan demi mempertahankan kewarasannya.

Ini adalah rekor tercepat Geona berkendara, jalanan yang tampak lengang sore ini membuat ia puas berkuasa.

Semakin panik, semakin cepat lah ia berkendara. Hingga tanpa sempat Geona sadari, di depannya ada seorang anak yang tengah menyebrang jalan. Geona yang panik berusaha menghindar, namun karena kecepatan yang luar biasa tinggi membuat mobilnya menabrak anak itu dalam hitungan detik saja.

BRAAAKKK

“Papa…”

Dentuman keras memecah keheningan sore itu, tabrakan maut yang tidak dapat terhindarkan lagi hingga membuat anak laki-laki berumur 5 tahun itu terpental jauh ke jalanan.

Sirene ambulance memekakkan telinga, dengan pandangan yang mulai gelap dia masih bisa melihat darah yang mengalir di tubuh anak yang terpental beberapa meter di sana. Geona hanya bisa melihatnya dari kejauhan, batinnya terpanggil untuk menghampiri anak itu namun ia tak bisa. Ya, Geona juga pingsan setelah kepalanya terbentur setir mobil sebab mobil kesayangannya menabrak pohon begitu Geona usai menabrak anak itu.

Geona tidak tau apa yang terjadi kini, tenaga medis bergerak cepat. Beberapa orang yang hanya menjadi saksi kecelakaan itu hanya bergidik ngeri begitu melihat kepala anak itu mengeluarkan banyak darah bergumpal karena membentur aspal dengan aroma darah yang menyeruak rongga hidung Geona.

“Papa, Nana takut.”

Detik berikutnya dunia Geona mendadak gelap usai memanggil papanya. Geona tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya, yang jelas saat ini orang-orang tengah berusaha mengeluarkannya dari dalam mobil.

Benturan yang terlampau keras menyebabkan korban meninggal di tempat. Mereka hanya mengurut dada begitu melihat darah yang kian menyebar di jalanan aspal tersebut.

“Kasihan sekali cucu pertama keluarga Adhitama.”

Begitu sampai di rumah sakit, pria itu menatap nanar tubuh anaknya yang terkapar tak berdaya di brankar. Tak pernah ia sangka, kejadian tragis ini akan menimpah anaknya, padahal beberapa menit sebelum kejadian dia sempat melakukan panggilan virtual bersama anaknya dan bersenda gurau di sana.

“Selamatkan anakku!” Titahnya dengan suara dingin tak terbantahkan, dokter yang berada di sisinya hanya saling pandang dan tak bisa berbuat apa-apa.

“Apa kalian tuli? Tulang anakku patah, kenapa kalian diam saja?!” Dengan emosi yang berapi-api, dia membentak dua dokter itu. Matanya mulai membasah dan tak lepas dari tubuh anaknya dengan luka yang sudah dijahit.

“Maaf pak, anak anda sudah_”

“Omong kosong! Sejak tadi kalian tidak melakukan apa-apa, kalian hanya menatapnya, putraku tidak butuh selimut hingga menutupi wajahnya!” Dia mengguncang tubuh pria berjas putih di sana, sejak datang dia sudah tahu jika tubuh yang berada di hadapannya ini sudah tak berjiwa lagi.

“Cepat dokter! Berapa pun akan saya bayar asal dokter bisa menyelamatkan anak saya.”

Susah payah dia memohon agar dua pria itu tersentuh, saat ini tidak ada yang ia butuhkan selain anaknya. Namun nyatanya dokter itu hanya diam hingga akhir.

“Sayangnya papa, ayo bangun nak, kita tidur di rumah ya, tempat tidur ini keras nanti badanmu sakit.” Pria itu menangis sendu, bagaimana pun hatinya perih bak diiris sembilu.

Putranya diam begitu saja, setelah beberapa menit Dikta memanggilnya tanpa henti.

Seluruh keluarga Adhitama sudah tiba di rumah sakit, mama Monita dan oma Nancy menangis pilu begitu melihat tubuh Ansel terbujur kaku di brankar.

****

Semua stasiun televisi menayangkan berita kematian putra tunggal Dikta Adhitama. Peristiwa naas itu mengguncang jiwa Dikta sebrutal ini. Pria tampan itu hanya menatap nanar tanpa arah begitu dia melempar ponselnya ke tembok hingga hancur tak berbentuk. Bagaimana tidak berita kematian putranya bertebaran di mana-mana. Suaranya tercekat, wajahnya sudah pucat sejak malam itu anaknya menjadi topik utama sampai berhari-hari.

“Ansel!!!!!”

Batinnya sudah sangat sakit begitu ia harus menerima kepergian anaknya yang mendadak itu. Kini media tak henti-hentinya membahas kejadian tragis itu. Terlebih Elsa selaku ibunya baru datang setelah Ansel selesai dikuburkan, benar-benar miris. Bahkan dengan tak tau malunya, perempuan itu berontak menyalahkan semuanya karena tidak mengabarkan dirinya padahal sudah dikabari, hanya saja kontaknya tidak bisa dihubungi.

Salah Elsa sendiri, kabar duka itu sudah berpendar di mana-mana. Hampir semua berita menayangkan kematian Ansel mulai dari kejadian berdarah itu, hingga prosesi penguburan Ansel selesai. Namun Elsa tak kunjung datang. Nyatanya dia sering mengabaikan berita mengenai kecelakaan dengan alasan bosan saja melihatnya, wanita itu lebih asyik menonton tayangan tidak penting hingga berita kecelakaan maut itu dia skip begitu saja tanpa tau kalau sebenarnya itu berita putra kandungnya sendiri.

Lagi pula Elsa tau kabar kematian Ansel dari Roki selingkuhannya. Itu pun setelah Roki melakukan panggilan sampai dua puluh kali percobaan.

Betapa terpukulnya jiwa Dikta atas musibah yang menimpah putranya. Bahkan Dikta sempat menolak agar prosesi pemakaman itu tidak dilangsungkan dengan harapan agar anaknya dihidupkan kembali.

“Kembali lah nak, papa tidak bisa hidup tanpamu.”

Dikta menangis pilu seraya memeluk foto dirinya bersama Ansel. Seorang Dikta Adhitama berurai air mata, pria itu meraung meminta Tuhan membawa serta dirinya.

“Pembunuh! Jika kau tidak bisa mengembalikan anakku maka akan aku hancurkan duniamu anak kecil!” Dikta menatap tajam sekitarnya, rahangnya mengeras dengan tangan yang terkepal hingga buku tangannya memutih.

Dikta beranjak setelah berdiam diri cukup lama di kamar, wajar dia terpukul, putra tunggalnya pergi tanpa aba-aba. Apa lagi begitu mengingat kondisi kepala anaknya yang bersimbah darah dengan robekan yang luar biasa besar itu. Beberapa tulanganya patah, dan hal itu semakin membuat dada Dikta kian memanas.

“Bastian! Kemari!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!