Seperti hari-hari sebelumnya, jika setiap pagi Felica Mabela akan pergi ke sebuah toko bunga yang tidak jauh dari rumahnya.
Dia akan bekerja di sana untuk mencukupi kehidupan keluarga Pamannya yang bisa di bilang selalu menghamburkan uang.
Setelah kepergian kedua orangtuanya, Felica atau biasa di panggil Caca menjadi tulang punggung keluarga Pamannya. Dia harus merelakan untuk berhenti kuliah hanya untuk bisa mencari uang atas kemauan Paman juga Bibinya.
Sementara Pamannya, dia seorang pengangguran dan selalu judi bahkan mabuk setiap hari.
"Selama Pagi Bu Dinda" Sapa Caca saat sampai di Toko.
"Pagi Caca, kamu sudah sarapan belum Ca?"
"Belum Bu"
Dinda sangat tau kehidupan Caca selama ini, Caca bahkan tidak pernah sarapan setiap pagi dan akan langsung bekerja dan dia baru akan makan siang nanti. entahlah setelah sampai di rumah sudah pasti dia pun tidak akan makan karena Bibinya sama sekali tidak pernah memasak.
"Kamu makan dulu, Ibu baru saja masak Nak."
"Nanti Caca makan Bu, sekarang Caca beres-beres dulu."
Dinda mengangguk.
Caca sudah seperti anaknya, mereka sangat dekat apalagi Dinda sangat menyukai sikap jujur Caca dan selama bekerja dengan nya Caca selalu semangat dan tidak pernah mengeluh.
"Ca, setelah semua selesai tolong kamu antar pesanan bunga ini dan ini alamatnya."
Caca menerima sebuah kertas kecil, dia pun mengangguk dan menyimpannya.
"Siap Bu, setelah Caca selesai Caca antar bunga ini."
Dinda tersenyum dan kembali masuk, sedangkan Caca terlihat menata bunga-bunga dan sesekali mencium harum bunga Lili yang memang dia sangat suka.
Bunga Lili, bukan hanya dia saja yang begitu menyukainya namun dulu Mama nya pun begitu menyukainya bahkan mereka membuat taman yang begitu cantik dengan mekarnya bunga lili di halaman rumah mereka.
"Bunga Lili,, membuat aku teringat dengan Mama.
Dulu kami merawat taman bunga Lili bersama, tertawa bersama dan selalu berkebun. namun sekarang Mama sudah tenang di surga. Aku merindukan rumahku yang dulu."
Caca menghela napasnya, dia pun mengambil Buket bunga dan segera mengantarkannya.
Rumah peninggalan kedua orangtuanya pun sudah habis terjual oleh Pamannya akibat kalah judi.
Sebenarnya hanya itu kenang-kenangan dari Orangtuanya namun dia tidak bisa berbuat apapun karena sudah Pamannya jual.
Dengan mengendarai sebuah sepeda motor, Caca berhenti di depan sebuah rumah. Caca mengambil kertas yang di berikan Bu Dinda. Benar jika itu lah rumah yang memesan bunga.
Caca memarkirkan sepeda motornya dan berjalan masuk.
Tok..
Tok..
Tok..
"Permisi"
"Ya sebentar"
Ceklek,,
Pintu terbuka dan munculnya seorang wanita cantik menatapnya.
"Maaf apa benar ini rumah Nyonya Ananta?" Ucap Caca ramah.
"Iya benar, Saya Ananta."
"Saya mengantarkan pesanan Bunga Lili, silahkan tandatangan di sini Nyonya."
Ananta tersenyum membaca pesan yang berisi ungkapan cinta dan rindunya dari suaminya yang sedang berada di luar negeri.
"Pasti dari suaminya ya Nyonya"
Ananta tersenyum dan menatap Caca.
"Dia sedang di luar negeri, namun setiap hari selalu saja mengirimkan bunga seperti ini."
"Aduh romantis sekali suaminya, tapi pantas saja karena Nyonya begitu cantik."
"Kamu juga cantik"
Caca tersenyum.
"Saya permisi Nyonya dan terimakasih telah memesan di toko bunga Kami."
"Eh tunggu-tunggu."
Caca berhenti,,
"Ini untuk kamu" Ucap Ananta dengan memberikan uang sebesar seratus ribu kepada Caca.
"Tapi Nyonya."
"Gapapa, ini karena saya sedang sangat senang dan juga karena kamu sangat ramah pelayannya."
Caca tersenyum dan menatap uang di tangannya.
"Terima kasih Nyonya"
"Sama-sama"
Caca kembali menuju sepeda motornya, dia pun melajunya dengan terus tersenyum.
Bahkan ini masih pagi, dan baru satu pesanan yang dia antar namun dia sudah mendapatkan uang sebesar itu.
"Alhamdulillah,, ini rejeki aku hari ini.
Aku akan tabung untuk biaya kuliah aku yang harus berhenti sekarang.*
Dengan penuh semangat Caca terus melaju menuju Toko bunga.
****************************
Sementara Dinda harus sabar menghadapi Mariska yang mencari Caca.
"Sudah Anda lihat bukan jika Caca sedang tidak ada di Toko, dia sedang mengantarkan pesanan Bunga ke tempat lain." Ucap Dinda saat Mariska memaksa masuk untuk mencari keberadaan Caca.
"Kapan dia akan kembali?"
"Saya tidak tau, Caca baru saja pergi."
Namun tidak lama terdengar suara motor, Mariska yang sudah hafal pun segera keluar.
"Caca"
"Bibi, Bibi kenapa ada di Toko.?"
"Saya menunggu kamu, dari mana saja kamu."
"Caca baru saja mengantarkan pesanan Bunga, ada apa Bi?"
"Saya butuh uang"
"Uang, tapi ini masih pagi Bi dan bagaimana Caca punya uang."
"Halah kamu baru saja mengantarkan pesanan, pasti kamu dapat tips kan? sini uangnya."
"Gak ada Bi, Caca beneran gak punya uang lagi."
"Tidak usah bohong kamu, saya tau." Ucap Mariska dengan menarik tas Caca dan mengambil uangnya.
"Bibi jangan"
"Ini apa, kamu bilang tidak punya uang hah."
"Ta -tapi itu untuk simpanan Caca Kuliah Bi."
"Halah kuliah, gak perlu kamu kuliah. Lebih baik kamu kerja pagi siang malam karena kamu butuh makan, dan juga Sela butuh kosmetik baju bagus."
"Satu lagi, bagaimana pun caranya saya mau nanti malam kamu pulang dengan membawa uang lima ratus ribu untuk Sela pergi bersama teman-temannya."
"Apa Bi, tapi bagaimana Caca mendapatkan uang sebanyak itu."
"Saya tidak mau tau, pokoknya kamu harus membawanya." Ucap Mariska pergi begitu saja tanpa mempedulikan Caca.
Dinda menghela napasnya dan berjalan menghampiri Caca.
"Kamu yang sabar ya Ca, mereka sangat keterlaluan bersikap sama kamu Ca."
Caca tersenyum dan menggenggam tangan Dinda.
"Gapapa Kok Bu, mereka kan keluarga Caca juga."
"Kamu benar-benar anak baik Ca, seharusnya mereka menyayangi kamu dan bukan malah menyuruh kamu bekerja seperti ini."
Caca tersenyum.
Selama ini Caca sudah menganggap Dinda seperti ibunya sendiri, begitu pun dengan Dinda yang sudah menganggap Caca sebagai anaknya.
"Ya sudah sekarang kita masuk, kamu tadi bilang belum sarapan kan. Kamu sarapan dulu di dalam ya Nak."
"Iya Bu, Caca masuk dulu Bu."
Dinda mengangguk dan menatap Caca yang berjalan masuk.
Hatinya selalu miris melihat kehidupan Caca yang tidak pernah bahagia. Dia harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga Pamannya, berhenti Kuliah dan juga menderita karena siksaan dari mereka.
Caca memang gadis yang sangat Kuat, dia mampu melewati kehidupannya yang seperti neraka di usianya yang masih sangat muda. belum tentu jika itu terjadi dengan gadis lainnya. Apa mereka akan bisa bertahan seperti Caca atau mereka akan menyerah.
*Saya yakin, suatu saat kamu pasti akan mendapatkan suami yang begitu mencintai kamu bahkan akan meratukan kamu Ca. Kamu telah hidup menderita dari dulu."
Hari pun sudah sore namun Caca belum ingin melangkah pulang ke rumahnya, bagaimana pun dia masih ingat dengan Ucapan Mariska jika dia baru boleh pulang setelah mendapatkan uang lima ratus ribu. Bagaimana bisa dia mendapatkan uang sebanyak itu dari mana dan harus kemana dia mencarinya. sementara hari sudah akan gelap.
Caca menyusuri jalanan sembari terus berpikir. Dia tidak mau jika paman dan bibinya kembali menyiksanya. Mereka pasti akan marah dan menghukum nya jika kemauan mereka tidak di penuhi.
Namun, seakan doanya di dengar Caca melihat sebuah warung yang terlihat sangat ramai pembeli bahkan banyaknya piring-piring kotor yang tergeletak di sana membuat Caca tersenyum dan berjalan mendekat.
"Permisi Bu, sepertinya Ibu keteteran. Apa saya boleh bantuin cuci semua piring-piring itu?"
"Kebetulan Pelayan saya tiba-tiba tidak masuk, kamu bisa menggantikan. dan cuci semua piring dan gelas-gelas kotor itu."
"Baik Bu."
Caca dengan semangat menggulung kaos panjangnya dan mulai mencuci semua piring-piring kotor di sana.
Bahkan seakan tidak mengenal lelah Caca terus mencuci semuanya. Dia bahkan melupakan rasa laparnya setelah pulang dari Toko Bunga.
Padahal Bu Dinda sudah memintanya untuk makan lebih dulu namun Caca menolak karena dia harus mencari uang itu sebelum jam 7 malam.
"Akhirnya selesai semuanya, lelah juga ternyata." Gumam Caca mengusap keringatnya.
"Oya ini bayaran kamu karena telah membantu Saya, Terima kasih karena kamu datang tepat waktu padahal saya sedang bingung bagaimana mencuci piring sebanyak itu sementara masih banyak yang membeli makanannya."
Caca tersenyum.
"Saya yang seharusnya berterima kasih Bu, karena di ijinkan untuk bekerja di sini."
"Oya ini juga ada sedikit makanan untuk kamu, kamu pasti belum makan Bukan ?"
Caca mengangguk.
"Terimakasih Bu, kalau begitu saya permisi."
Caca keluar dengan membawa kantung plastik hitam, dia pun melihat upah yang sudah dia dapatkan.
"Syukurlah aku sudah mendapatkan uang ini, lebih baik aku pulang karena tubuh ku sudah sangat lelah."
Dengan tersenyum Caca berjalan melewati lorong hingga hampir sampai di Rumahnya. Namun matanya melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam baru saja keluar dari halaman rumahnya. Dia tidak tau siapa pemilik mobil.
Caca masuk ke dalam rumahnya, dan terlihat Mariska bersama Johan masih berdiri dan mereka terlihat kebingungan.
"Paman, Bibi, tadi Caca lihat ada mobil keluar dari sini siapa mereka?"
Mariska menatap Caca,,
"Bukan urusan kamu, mana uang yang saya minta?" Ucap Mariska.
Caca mengeluarkan selembar uang seratusan lima lembar, Mariska yang Melihatnya pun segera mengambil.
"Gini kan enak, jadi Sela bisa keluar bersama teman-temannya.
Sayang, ini uangnya kamu bisa pergi bersama teman-temannya kamu." Teriak Mariska meninggalkan Caca yang masih berdiri di sana.
"Paman, apa terjadi sesuatu? siapa orang-orang tadi?"
Johan menatap Caca, dia pun berjalan mendekat.
"Kamu gak perlu tau, yang harus kamu tau kamu harus mendapatkan banyak uang setiap harinya. karena semua kebutuhan naik." Ucap Johan akan berjalan pergi namun matanya menatap bungkusan di tangan Caca.
"Apa ini ?"
*Ja - jangan Paman, itu untuk Caca."
"Halah, kamu cari makan lainnya karena Saya juga sangat lapar." Ucap Johan merebutnya dan berjalan pergi.
"Astaga terus aku makan apa, mana perut aku perih." Gumam Caca.
Selama ini Mariska memang tidak pernah memasak, dia akan memesan makanan online bersama Sela putrinya. Menurut mereka lebih baik pesan makanan online dari pada harus capek-capek memasak.
"Eh Si Upik udah pulang?" Ucap Sela berjalan keluar.
Sela terlihat begitu cantik, bahkan hampir setiap hari Sela membeli pakaian baru.
"Kamu mau kemana Sel, ini sudah malam loh." Ucap Caca
"Siapa Lo ngatur-ngatur gue."
"Tapi ini sudah malam, gak baik perempuan keluar malam-malam."
"Eh Upik, apa masalahnya dengan Lo. Gue gak mau juga ya hidupnya kayak Lo yang hanya di rumah aja tanpa bergaul dengan orang-orang di luar sana."
Caca menggeleng.
Bagaimana pun sikap Sela, tetap saja Caca menyayangi Sela dan menganggap Sela sepeda adiknya walaupun sebenarnya umur mereka hanya beda beberapa bulan saja.
Caca menghela napasnya, dia berjalan masuk dapur mencari makanan yang ada di sana.
Namun tidak ada apapun di sana, Caca mengusap perutnya dia harus kembali menahan rasa laparnya malam ini.
Dia pun hanya mengambil gelas dan meminumnya. Berharap dengan minum dia bisa kenyang.
###############
Sela bersama teman-temannya kini berada di sebuah Mini Bar, mereka terlihat terus tertawa.
"Kayak gini dong teman kita, sering-sering traktir." Ucap salah satu perempuan yang bersama Sela.
"Gue iri dengan Lo Sel, tiap hari Lo bisa traktir kita. pasti Uang jajan Lo gede ya."
Sela tersenyum.
Ini lah yang dia inginkan. Dia ingin semua temannya tau jika dia adalah anak dari orang kaya.
"Apa sih kalian gak usah berlebihan, lagian cuma gini doang."
Sela tersenyum dan kembali meneguk minumannya, namun matanya menatap seorang laki-laki berbadan tinggi putih bahkan terlihat jika sebelumnya tidak ada laki-laki setampan itu yang datang ke tempat itu.
Alvaro Vernando,
Laki-laki keturunan Italia berusia 27tahun terlihat datang menemui Sahabatnya.
"Akhirnya Lo datang juga" Ucap Daniel
"Lo ngapain ngajak gue ke tempat seperti ini."
"Astaga Varo, sekali-kali Lo harus liburan. Jangan terus berpikir tegang dengan urusan kantor."
Alvaro sama sekali tidak menggubris Daniel, dia pun duduk di sana dengan pandangan menatap sekeliling. Menurutnya buang-buang waktu dia harus datang ke tempat seperti itu apalagi dengan kesibukan nya.
"Hai Daniel." Sapa perempuan dengan memakai pakaian **** seakan kekurangan bahan. karena dadanya yang terlihat hampir menyembul keluar.
"Hai Agatha, Lama gue gak lihat Lo" Ucap Daniel tersenyum.
"Biasa lah."
Sementara Alvaro sama sekali tidak melirik perempuan yang bersama Daniel, berbeda dengan Agatha yang tampak terus mencuri pandang ke arah Alvaro.
Siapapun akan terpesona dengan ketampanan Alvaro yang bak pangeran timur tengah.
"Dan, siapa dia?" Bisik Agatha membuat Daniel menatap Alvaro.
"Kenapa Hem?"
"Gue penasaran, apalagi tubuhnya. pasti akan terlihat **** jika kemejanya di buka."
Daniel menggeleng dengan ucapan Agatha.
Dia sangat tau siapa Agatha. Dia sudah banyak bermain dengan para Pengusaha kaya raya. Pantas saja dia di juluki Primadona Bar. bukan hanya karena wajahnya yang cantik namun Tubuhnya pun bak gitar spanyol.
"Lo mau coba?" Bisik Daniel
Agatha beranjak bangun dan berjalan menghampiri Alvaro.
Alvaro menautkan kedua alisnya, apalagi Agatha terlihat tersenyum dan dia akan duduk di pangkuannya, Alvaro langsung beranjak bangun dan menatapnya dengan tatapan tajam.
Setelah membersihkan rumah dan memasak makanan untuk Paman, Bibi juga Sela Caca bersiap untuk bekerja ke toko Bunga milik Dinda.
Dia akan bekerja setiap hari karena dengan seperti itu dia bisa melupakan semua yang terjadi di rumah.
Caca berjalan menyusuri jalanan, memang Caca akan berjalan menuju Toko karena untuk naik kendaraan dia pun tidak memiliki uang. Semua gaji nya sudah di serahkan kepada Mariska.
"Caca" Teriak seseorang dari Jalan seberang membuat Caca menoleh.
Laki-laki berbadan tinggi tampan terlihat berjalan menghampiri.
"Kak Bastian"
"Kamu baru mau berangkat Ca"
"Iya Kak, Kak Bas ngapain di sini ?"
Bastian tersenyum.
"Kebetulan lewat, aku antar aja yuk lagian juga panas gini sayang sama kulit putih kamu Ca."
"Apa sih Kak" Ucap Caca tersenyum.
"Ya udah Yuk, sekalian aku juga lewat toko kamu kok Ca."
Caca terdiam, namun akhirnya pun mengangguk.
Mereka berjalan menuju Mobil Bastian di seberang.
Tin..
Tin..
Tin..
"Awas Ca." Ucap Bastian menarik tangan Caca.
Sebuah mobil sedan mewah melaju, jika saja Bastian tidak menarik tangan Caca sudah pasti akan tertabrak.
"Maaf Kak, aku gak lihat ada mobil tadi." Ucap Caca yang juga merasa ketakutan.
Bastian menghela napasnya dan mengangguk.
"Gapapa Kok, Yang penting Kamu gapapa."
Caca mengangguk dan mereka masuk ke dalam mobil.
Namun di seberang jalan terlihat seorang laki-laki berjas hitam dengan kaca mata hitamnya menatap ke arah mereka.
Ya disalah Alvaro yang kebetulan melewati jalan itu dan dia melihat apa yang terjadi dengan Caca.
"Jalan." Ucap Alvaro
"Baik Tuan."
Caca kini sudah mulai bekerja setelah diantar Bastian, seperti biasanya dia selalu mengirim pesanan juga membuat buket. Caca bekerja dengan sangat semangat.
Tidak melanjutkan kuliah karena tidak memiliki biasa tidak membuat Caca menyerah, dia yakin jika suatu saat dia akan bisa kembali melanjutkan kuliahnya dan mengejar cita-cita.
"Sudah siang, kamu sudah makan belum Ca?" Ucap Dinda menghampiri Caca.
"Belum Bu"
"Kamu makan dulu, nanti malah sakit. Ibu sudah masak sup iga kesukaan kamu."
"Wah, serius Bu"
Dinda mengangguk.
"Caca selesaikan buket ini dulu, setelah itu Caca makan."
"Ya sudah."
Dinda terus menatap Caca.
Walaupun usianya masih sangat muda tapi semangat bekerjanya sangat tinggi.
Dinda tau, jika selama ini Caca menyimpan sedikit gajiannya untuk bisa melanjutkan kuliah.
"Permisi."
Dinda menolak, terlihat seorang laki-laki berjas hitam masuk ke dalam toko.
"Silahkan ada yang bisa di bantu."
"Saya mencari Bunga Lili putih."
"Sebentar."
Dinda mengambil buket bunga lili putih dan memberikannya.
"Berapa?"
"Tiga ratus ribu."
Setelah membayarnya Laki-laki itu pun keluar, namun dia terlihat melirik ke arah Caca yang masih sibuk.
"Maaf Tuan ini Bunganya, dan benar saja perempuan itu bekerja di toko ini."Ucap Laki-laki itu saat masuk ke dalam mobil.
"Jalan."
Alvaro menatap bunga Lili putih yang begitu cantik, dia teringat dengan mendiang Ibu nya yang begitu menyukai Lili putih.
Bahkan di mension nya pun masih ada taman lili yang terawat.
Alvaro selalu meminta Maid di sana untuk merawat dan menjaganya.
"Kita ke makam Sekarang."
"Baik Tuan."
Mobil melaju menyusuri jalanan Ibu Kota yang sangat padat dan juga terik matahari yang begitu menyengat.
Alvaro yang baru saja sampai memakai kaca mata hitamnya dan berjalan masuk ke sebuah pemakaman Elit.
"Ibu apa kabar, Maaf Al baru bisa menemui Ibu sekarang."
Alvaro meletakkan bunganya di samping Makam, dia pun menatap nisan bertuliskan Bertha Alexander.
Alvaro di tinggalkan oleh Ibunya di Usia 15tahun setelah karena penyakit yang di Derita Bertha.
Perceraian orang tuanya membuat Alvaro bersikap dingin juga kejam. Apalagi Ayahnya yang berselingkuh dengan Sekretaris nya sendiri membuat masalah di keluarganya.
Terpuruk, Apalagi saat Alvaro yang masih sangat muda harus melalui hidup sendiri di tinggal Ayahnya yang lebih memilih perempuan lain, tidak lama Ibu nya malah meninggal.
Setelah beberapa lama, Alvaro beranjak menuju Mobilnya.
"Silahkan Tuan."
Alvaro masuk dan melepas kaca matanya, dia menatap keluar jendela.
Rasa sedihnya kembali terasa, di saat dia melewati hidup sendiri tanpa adanya orang tua. di saat dia harus bertahan hidup dan mencari makan setiap harinya.
Namun semua kini berubah, Kini Alvaro hidup sebagai seorang Pengusaha Sukses Nomor 1 di Dunia.
Bahkan begitu banyaknya Orang-orang yang kini bersujud kepadanya hanya untuk bisa bekerjasama dengannya.
Namun, Alvaro bulan lagi laki-laki kecil yang penurut. Dia tumbuh besar menjadi pria yang kejam juga dingin. Tidak segan melukai atau bahkan membunuh siapapun yang mengusik hidupnya.
"Ada apa?" Ucap Alvaro saat Asisten kepercayaan nya membaca sebuah tablet di tangannya.
Kini Alvaro sudah sampai di Perusahaan besar.
Perusahaan yang menjual dalam hal properti juga penjualan senjata ilegal.
"Ada satu nyamuk yang kembali membuat keributan karena dia tidak bisa membayar hutang juga bunganya." Ucap Miko.
"Urus nyamuk kecil seperti mereka."
"Baik Tuan."
Miko berjalan keluar meninggalkan Alvaro yang masih berkutat dengan Laptop miliknya di dalam sebuah Ruangan besar dengan dinding Kaca yang menampilkan suasana Keramaian Ibu Kota.
"Kalian, urus orang ini." Ucap Miko kepada pengawal yang selalu ada di sana.
"Baik Tuan."
***********
Hari semakin sore,
Sudah waktunya Caca pulang, namun dia akan selalu merapikan semuanya lebih dulu sebelum pulang.
"Ca"
"Ya Bu"
Dinda berjalan mendekat,
"Ini untuk kamu."
Caca menatap sebuah amplop putih dan menerimanya.
"Ini Apa Bu"
Dinda tersenyum dan mengusap wajah Cantik Caca.
"Sedikit rejeki untuk kamu tabung, Ibu tau kamu masih ingin kuliah tapi semua gaji kamu bahkan di minta oleh paman juga bibi kamu."
"Tapi Bu, Caca sudah gajian setiap bulannya."
"Gapapa Ca, ini rejeki kamu. Kamu simpan ya Nak."
Caca menatap amplop di tangannya.
"Makasih ya Bu, Bu Dinda selalu baik dengan Caca." Ucap Caca yang langsung memeluk Dinda.
"Sama-sama, Ibu sudah menganggap kamu seperti anak ibu sendiri. Tapi kamu ingat kamu harus menjaga uang ini jangan sampai Bibi atau paman kamu tau."
"Baik Bu."
"Ini makanan untuk kamu makan"
"Makasih Bu Dinda, Caca pamit pulang dulu."
*Hati-hati Nak."
Caca keluar dengan wajah bahagia.
Dia terus menatap amplop di tangannya, dia akan menyimpan nya untuk biaya kuliahnya kembali.
"Aku harus menyimpannya, jangan sampai Paman atau Bibi bahkan Sela tau kalau aku punya uang. Bisa mereka minta lagi.
Tidak tidak,, aku ingin melanjutkan kuliahku yang tertunda. mengejar cita-cita ku selama ini."
Caca menyimpan uangnya dan berjalan menyusuri jalan untuk pulang ke rumahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!