Sekolah Sma Negeri Garuda 113.
Langit biru memenuhi angkasa, yang di-isi dengan awan-awan putih, saling bergerak sesuai hukum alam yang berlaku. Sinar matahari sangat menusuk di wilayah ini, rasanya seperti dipanggang dengan suhu yang sangat-sangat tinggi. Musim kemarau memang tidak ada habisnya, di daerah kering kerontang.
kembali lagi. Kedua burung itu bertengger di pohon, saling berkicau, membuat anak remaja, kini terbangun dari tidur di salah satu rooftop sekolah yang sepi.
"Haduh, berisik sekali." Dia terbangun sambil mengusap area rambut yang kusut.
Kedua burung tadi, segera terbang menjauh darinya. Tak nyaman berdekat dengan anak lelaki di atas gedung. Setelah dirinya asyik tertidur nyaman, membolos di pelajaran kedua.
"Ada apa dengan kepalaku? seperti habis dihantam batu. Kenapa sih, aku ini". Aku terbangun disini.
Dia berlekas berdiri, memegang kepala nya itu. Alisnya mulai mengkerut, sebal. Ia segera bergerak mencari pintu di dekatnya. Membuka dan memasuki pintu yang tak dikunci rapat oleh security. Menyusuri beberapa anak tangga kemudian sampai di lobby sekolah.
Terlihat kerumunan siswa, sibuk berlalu lalang dengan teman sebaya-nya. Asyik mengobrol entah apa yang dibicarakan. Sambil membawa jajanan enak yang juga ditawarkan ke teman lainnya.
Abimana melirik sana-sini, sebelum akhirnya dia pergi menjauh.
Murid yang bernama Rio Dewantoro dirangkul oleh salah satu teman di samping, tak sengaja mengamati murid yang familiar itu dari kejauhan.
Matanya melotot, alis hitam itu mengerut.
"Abimana?". hatinya seolah berbicara. Penuh pertanyaan.
Tristan, di sampingnya mulai menatap temannya yang tegang, "Ayo masuk!". Dengan paksa, Tristan seolah mencekik leher Rio. Tapi, dia tak bisa berontak.
Mereka berdua memasuki kelas IPA.
Abimana keluar dari gedung A. Lapangan rerumputan hijau menghiasi sekolah dengan berbagai tanaman serta bunga cantik bermekaran.
Abimana melangkah kedua kaki, menghampiri patung besar.Tentu saja, patung kepala sekolah sedang berdiri di tengah lapangan ini, memegang tongkat kayu dengan senyuman bahagia.
"Kenapa tak dipindahkan saja patung ini? Merusak suasana saja". Aku menikmati karya di lapangan sekolah.
Aku meninggalkan patung di depanku. Mencari gedung sekolah di seberang. Dan ternyata tak jauh dari tempatku yang berpijak.
Lariku semakin mantap. Aku yakin kelasku di sana. Gedung B terletak tak jauh dari gedung A. Hanya beberapa orang saja masuk-keluar dari gedung itu.
Aku memasuki pintu utama, dengan Lobby yang kosong. Tidak ada penjaga disini, namun suara suara berisik memenuhi kedua telinga ku.
"Tapi, kelas ku dimana?" aku menggaruk kepala. Entah mengapa, rasanya aneh. Tidak gatal, namun refleksi dari jari jemariku yang menyuruh seperti ini.
Ingatan Abimana yang memudar itu, memunculkan kembali firasat bahwa ia memang anak pelupa.
"Bodoh! Bodoh aku." Dirinya menampar keras pipi tembam.
Dia merasa aneh pada seluruh tubuhnya, setelah mendapat tamparan tadi. " Mengapa tubuhku menjadi dingin?" Abimana meraba-raba secara terus menerus, merasa ada yang salah. Jika dilihat seksama, seharusnya dalam udara panas harus keringatan. Tapi, ini tidak.
Sekali lagi, ia kebingungan. Dia segera mencari pertolongan disekitar.
Disisi lain, seorang guru yang sedang melangkah sambil membawa beberapa berkas yang akan diberikan kepada murid muridnya, menjadi berhenti.
Bibirnya mulai datar, tak lagi tersenyum sumringah. Kedua mata yang cantik seketika melotot yang tak berkedip. Ia terdiam sementara di tempat itu. Memandang anak yang kebingungan di hadapan, tergelatak tidur diluar dengan cuaca panas, seolah membakar wajah Abimana.
"Tidak mungkin." Dalam lubuk hati, ia mengobrol sendiri.
" Ti-tidak mungkin ", dalam lubuk hati, ia bercakap.
Ia sempat gemetar, sampai tak sengaja dirinya kehilangan keseimbangan dan jatuh. Tanganku lagi-lagi tidak bisa mengontrol dengan baik.
Aku ikut menoleh cepat. Mendengar suara berisik di dekat tempatnya. Ia melihat guru didepannya, terjatuh dengan kertas kertas yang terbuang begitu saja. Berserakan sekali.
Abimana menghampiri dengan larian yang cepat. Salah satu sepatunya ikut terlepas darinya. Napasnya tak karuan. Keringat deras mengucur.
Abimana memegang bahu guru itu, dengan tatapan melotot seakan mengecek keadaan. " Ibu, baik-baik saja kan?! ".
Namun, guru itu tak memberi respon. Ia hanya menggeleng cepat, seperti sesuatu yang menakutkan terjadi. Wajahnya tegang, dengan tatapan kosong seperti ingin dirasuki setan. Aku mencoba menyadarkan, dengan menepuk keras salah satu pundak itu. Tetap saja tidak ada jawaban.
Saat itulah, aku mencoba membereskan barang-barang miliknya. Mengambil kertas-kertas yang berserakan di lantai. Dan itulah, dia mulai sadar kembali.
Aku terus saja bertanya, " Ibu, gak papa kan? ".
Guru itu terus saja mengangguk, dan segera berdiri sambil merapikan baju lusuh tadi.
Ia meninggalkan anak itu dengan terburu-buru, melangkah kaki yang berisik.
Lelaki tadi kebingungan. " Dia kenapa, ya? ".
Abimana terus menggaruk rambut yang gatal. Tentu saja dia bingung dengan sikap aneh gurunya yang baru saja ditemui. Ia seperti korban yang sedang disandera penculik di rumah besar yang ingin meminta uang.
Tapi, ia menghiraukan.
" Sepertinya aku familiar dengan wanita itu. Tapi siapa?Yasudah, aku kemana dulu ini? " Abimana memikirkan strategi.
Ia berpikir keras sambil menatap langit langit gedung dengan lampu yang menyala terang.
Namun tetap saja dalam pikiran seorang Abimana, ia tetap kebingungan sejak kejadian tadi. Seolah setelah bangun dari tidurnya itu tak mengingat apapun yang terjadi. Dia hanya mengingat namanya. A-B-I-M-A-N-A.
" Ah, keluar saja deh ". Sahut dia yang berjalan meninggalkan gedung B. Membuka pintu utama yang tadi dimasuki. Sekarang dia keluar dan berada di sekitar gedung B.
Hanya lapangan yang sepi, tidak ada siswa yang ber-olahraga ataupun berlalu lalang mencari jajanan. Lenggang dan sepi.
" Kemana semua orang? ". Abimana celinguk memperhatikan dari kejauhan, sesekali menggeleng geleng, dengan mata yang mulai mengantuk sedikit.
Terik matahari pun semakin menyengat. Tubuhnya mulai lemas. Pandangan di matanya mulai kabur, perlahan menghitam. Napasnya tak karuan, sangat cepat.
" Gubrrakk! ".
Tubuhnya terjatuh cepat. Matanya menutup.
...»»--⍟--««...
Guru berkacamata berjalan cepat. Suaranya keras dengan heels yang dipakai. Membenarkan kacamata yang sesekali terperosok jatuh, karena gerakan yang cepat.
Dirinya saling menyapa anak murid maupun guru lainnya di dalam gedung dengan senyuman tipis.
Saat itu, ia hendak meninggalkan gedung A. Berjalan cepat untuk menemui anak murid di dalam gedung B dalam pengajaran nya.
Namun, ia harus terhenti. Seorang anak murid dengan seragam sekolah tergeletak begitu saja di lapangan yang super panas.
Dia berlari, membuat salah satu heels yang dipakainya mulai terlepas. Matanya melotot dengan mulut yang menganga.
Ia memegang pundak Abimana itu. Menepuk cepat. "Nak! Bangun! ".
Tetap saja Abimana kehilangan kesadaran nya.
Suara suara berisik itu, mulai menghilang. Terutama guru berkacamata yang menepuk tubuhnya. Menggeser-geser supaya aku cepat bangun.
Tapi ternyata, tetap saja aku tak sadarkan diri. Dalam ketidaksadaran yang terjadi barusan.
Siang hari itu sangat panas. Teriknya seolah membakar dedaunan menjadi layu. Halaman sma menjadi tandus, memasuki kemarau panjang.
" Teng... Teng... Teng... ".
Lapangan sekolah yang tadinya sepi, mendadak ramai. Warga sekolah berbondong-bondong meramaikan lapangan, entah hanya berbasa-basi mengatakan seseorang di belakang, atau bermain basket sesuai hobby yang dimiliki.
Anak itu mulai membuka kedua matanya yang samar samar buram, menatap kipas angin bergerak di hadapan kemudian kembali jelas penglihatan nya.
" Rrrrr.... ". Suara kipas yang berisik berputar, mendinginkan ruangan.
" Aku dimana? ", ujarnya dalam batin.
Pandangan matanya tertuju pada kipas yang bergerak memutar. Menatap tembok putih di hadapan lelaki yang terbaring di ranjang UKS.
Pelan, tangan Abimana mulai bergerak menghampiri kening yang mulai dingin. Mengusap kening yang terbalut dengan perban yang terlilit, lemah lembut. Di iringin tubuhnya yang perlahan membenarkan posisi, mode duduk di atas ranjang yang empuk.
"Apa yang terjadi sebenarnya?", Pinta Abimana yang terus saja mengelus-elus perban yang terlilit. Wajahnya memucat setelah tragedi yang tak di-ingatnya kala itu. Perasaanya gundah, campur aduk layaknya es campur yang mantap diminum saat udara panas.
Namun, tak berselang lama...
" Kriekk... ", pintu bergeser, seseorang memasuki kamar yang ditinggali Abimana.
Pegawai staff muda menggunakan masker medis, berpenampilan rapi dengan cempolan rambut memasuki kamar UKS. Mata suster itu melengkung keatas, seperti tersenyum riang walau ditutup oleh masker tak membuat jelek.
" Eh, kamu sudah bangun? ". Tanya suster yang melihat kondisi Abimana.
Aku mengangguk kecil, dengan senyum tipis.
Perawat tadi menghampiri ranjang lelaki yang terbujur lemas. Mengeluarkan stetoskop yang melilit di leher suster. Memasang di kedua daun telinga, satunya lagi ditempatkan di perut anak itu, " jangan gerak dulu ya. Rileks aja ya ".
Aku tak berkutik. Tubuhku tegang setelah alat itu mengenai dadaku. Gerakan nya membuat geli.
Semenit berlalu, alat tadi mulai berhenti mengecek. Suster UKS sekolah selesai mendengar detak jantung yang diperiksa.
Sus, apa yang terjadi tadi? ". Aku memandang wajah suster di samping.
Ia melilit kembali stetoskop di lehernya.
" Tadi adik mengalami dehidrasi yang cukup parah, serta benturan keras dihasilkan saat adik terjatuh dan pingsan di lapangan sekolah ".
Pernyataan tadi membuat wajah Abimana semakin pucat. Matanya melotot seketika.
" Tapi tenang saja, semua akan kembali normal ".
Suster muda mulai meninggalkan Pasien uks. Menghampiri troli medis yang berada di kejauhan. Menggiring kembali, menuju ranjang Abimana di depan.
" Apa ini, sus?, " Pinta Abimana yang menunjuk ke arah rantang di samping. Suster tadi membungkuk, sibuk mengarahkan kedua tangan, mempersiapkan sajian menu diatas meja Abimana yang kosong.
Dia tak bercakap. Hanya senyum cerah yang tersembunyi di balik masker medis itu, di iringi suara suara peralatan makan yang disiapkan.
"Cepat dimakan, supaya sembuh, " Suster itu berdiri kembali, sambil mendorong troli menjauh dari kediaman Abimana.
" I-iya, makasih Sus, " Ujar Abimana yang terbata-bata.
" Kalau begitu, jika ada sesuatu adik bisa tekan bell yang berada di sisi kasur, " Suster membuka gagang pintu, dengan menggeret troli keluar.
Aku memperhatikan gerak gerik suster tadi.
Nampak ,ruang UKS ini kembali sepi. Suara bising kipas angin sangat jelas didengar dari kedua kuping Abimana yang tergeletak di atas ranjang.
" Ugh! Sakitnya!, " Abimana memegang kepala yang diperban itu. Sesekali memejam karna rasa sakit yang diderita. Mukanya semakin merengut.
Ia mulai mengulurkan tangan,memegang pelan sendok di depan. Tubuhnya pun ikut bergerak maju. Memposisikan untuk bersiap makan.
Aku menghela napas lelah.
»»--⍟--««
Suara langkah kaki terdengar di sekitar ruang UKS tempat Abimana terbangun dari pingsan.
Lorong penghubung UKS dan gedung A, tempat Rio Dewantoro menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar, kini mulai sepi. Bel sekolah yang tadinya mati, kini mulai menyala menyuruh semua murid kembali ke kelas masing-masing.
Rio Dewantoro, saat itu kembali dari ruang kantin dengan membawa jajanan pesanan teman kelasnya. Satu kantong plastik kresek dengan jajanan manis dan asin, melewati ruang UKS di samping.
Saat ia melewati tempat itu, tak sengaja dirinya melirik ke arah pintu UKS yang terdapat kaca kecil untuk melihat siapa saja yang berada di dalam ruangan.
Betapa terkejut dia melihat sekilas anak yang dilihatnya. Matanya melotot, tak berkedip sedikit pun.
Abimana yang tak sengaja niat anak tadi, ikut kaget. Melihat sesuatu yang mengamati dirinya di balik pintu.
" Siapa itu?! ", tanya lelaki yang terbaring di ranjang, penuh kekhawatiran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!