NovelToon NovelToon

ADELINE

Pintu Ajaib

Memakan waktu sekitar satu bulan untuk Adeline menyusun strategi yang panjang dan rumit hanya untuk mencuri satu batang lilin dari ruangan yang dijaga ketat oleh prajurit. Lilin bukan sembarang lilin yang dicuri oleh Adeline. Lilin itu adalah lilin ajaib yang dilengkapi dengan kertas mantra untuk masuk ke dalam ruangan terlarang.

Berulang kali rencananya gagal karena kurang tepat waktu pelaksanaan pencuriannya sehingga sering kali ketahuan oleh prajurit yang berjaga di sekitar ruangan itu. Tapi Adeline tidak pernah menyerah untuk bisa masuk ke sana.

Hingga tiga hari lalu, Adeline berhasil membawa kabur tiga batang lilin sekaligus untuk berjaga-jaga takut satu lilin saja tidak cukup.

Dan akhirnya hari ini, strategi yang terakhir yaitu untuk masuk ke ruangan terlarang berhasil Adeline laksanakan. Adeline berhasil masuk ke dalam ruangan itu tanpa ketahuan oleh prajurit.

Bruk!

Pintu ruangan itu tertutup rapat kembali setelah Adeline masuk dengan tiga lilin, satu kotak korek kayu, dan satu mangkuk kayu di tangannya.

Kini Adeline berlutut di depan batu bata tebal tiga lapis yang tersusun rapi membentuk lingkaran besar dengan bunga-bunga segar yang berada di sekitarnya dan dua tiang tempat api di depannya. Adeline memperhatikan dengan lamat bangunan itu dari ujung kiri ke ujung kanan.

"Wow!" Kagumnya melihat bangunan cantik namun mematikan itu.

Mengingat waktu yang dipunya tidak lama sebelum ada yang mengetahui keberadaannya, Adeline cepat-cepat membakar sumbu lilin dengan api yang sudah menyala di korek kayu ke empat. Setetes lilin yang mencair menjadi penegak lilin di dalam mangkuk.

Mangkuk dengan sebatang lilin yang menyala di angkat hingga batas dada. Adeline termenung ketika melihat api pada lilin itu menyala dengan terang dan tenang. Ingatannya berputar pada kenangan semasa hidupnya di kerajaan Elston yang dibangun oleh nenek moyangnya.

"Aku harus pergi! Tapi Ratu? Aku tidak sanggup untuk meninggalkannya. Tapi Ratu memaksa aku untuk menikah dengan laki-laki yang tidak aku cinta. Tapi bagaimana Ratu jika tidak ada aku? Tapi Ratu tidak perduli dengan perasaan aku. Tapi... Tapi... Tapi..."

Terlalu banyak tapi dalam hati nya. Kini air mata Adeline berjatuhan dengan deras. Setengah hatinya memaksa untuk pergi, tapi setengah hatinya berat untuk meninggalkan dan mengubah semuanya.

Adeline menarik napas panjang, membenamkan matanya sejenak, lalu kembali mendongak.

Dengan perasaan sedikit lega, Adeline mulai membacakan mantranya. "Wahai pintu ajaib, terbukalah untukku, aku akan pergi ke dunia lain dengan meninggalkan raga ku di dunia ini."

Seperti pertunjukan sihir yang sering kali Adeline lihat di ruangan neneknya, asap berwarna hitam dan putih bermunculan entah dari mana asalnya menutupi bangunan batu bata itu. Adeline jelas panik, hatinya ragu ini akan berhasil atau gagal. Tapi Adeline tetap mengeratkan tangannya untuk memegang mangkuk dengan lilin yang apinya masih berkobar namun saat ini berkobar dengan tidak tenang seperti ada angin kencang yang meniup nya.

Semakin banyak asap yang bermunculan namun kini lebih dominan putih warnanya. Adeline takut. Konsekuensi yang harus didapatkannya sangat berat jika yang dilakukannya sekarang tidak berhasil. Namun Adeline berani menerima konsekuensinya jika ini gagal, karena Adeline sudah memikirkan resiko itu dari jauh jauh hari.

"Siapa di dalam sana? Sedang apa kamu di dalam sana?"

Dug!

Dug!

Dug!

Ketakutan Adeline semakin meningkat ketika prajurit berteriak dan memukul pintu ruangan itu. Fokus Adeline sekarang terbagi menjadi dua.

"Wahai pintu ajaib, terbukalah untukku, aku akan pergi ke dunia lain dengan meninggalkan raga ku di dunia ini." Adeline membacakan mantra itu sekali lagi dengan suara bergetar. Air mata nya dibiarkan menggenang di pelupuk mata nya.

Berhasil!

Asap putih tadi kini menghilang dan memperlihatkan cahaya putih melingkar sesuai dengan bentuk bangunan tadi.

Adeline bernapas lega. Mangkuk dengan lilin yang apinya sudah mati diturunkan secara perlahan.

"Terbukalah, terbukalah, pintu ruangan ajaib." Suara yang Adeline sangat kenal yaitu suara Raja atau sang ayah menggelegar di luar sana.

Pintu ruangan itu perlahan terbuka. Adeline langsung berdiri dengan tangan yang meraih sekotak korek api. Adelin langsung melangkahkan kakinya dengan cepat menuju pintu ajaib bercahaya putih yang sudah dibacakan mantra tadi.

"Adeline!" Ratu Ameera atau sang ibu berteriak.

Sial.

Ada Raja dan Ratu dari keluarga Adeline juga Raja dan Ratu dari kerajaan Hilmar beserta beberapa prajurit, serta laki-laki yang Adeline sangat hindari yaitu Kagendra Maduswara yang berdiri di belakang Raja Hilmar dengan tatapan tajamnya.

Raja kelima Elston yang berdiri paling depan meluruskan tangannya ke samping sebagai tanda berhenti untuk beberapa orang yang ada di belakangnya.

Jika dilihat dari sudut ruangan, posisi mereka seperti prajurit yang akan berperang 1 VS 10. Adeline masih berdiri dengan kaki kirinya hampir menyentuh cahaya putih yang masih bersinar. Sedangkan yang lainnya berhenti di dekat pintu ruangan itu jauh dari Adeline.

"Jangan kamu coba-coba untuk masuk ke sana, Adeline!" Raja Elston melarang putrinya dengan posisi yang berdiri jauh dari cahaya putih itu. "Kamu tahu kan apa akibatnya jika kamu masuk ke sana?"

Adeline tersenyum. "Saya tahu yang mulia. Sebab dari itu saya melakukan semua ini."

"Untuk apa kamu melakukan ini? Kamu penasaran? Kamu ingin tahu bagaimana bentuknya setelah dibacakan mantra?" tanya Ratu Ameera.

"Tidak. Aku tidak penasaran karena aku sudah tahu, Ratu."

"Lalu untuk apa kamu di sana sekarang, Adeline?"

"Untuk apalagi? Untuk pergi ke dunia lain. Aku ingin pergi ke sana."

Ratu Ameera menampakkan wajah cemas nya. Hatinya sangat sakit seperti tertusuk pedang sakti. "Sudah gila kamu, Adeline!"

"Benar. Sepertinya aku begitu. Aku gila? Benar, sepertinya aku sudah gila sekarang. Aku gila."

Semua orang di belakang Raja dan Ratu Elston saling berpandangan namun mereka tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Mereka bingung ada apa sebenarnya dengan Adeline.

"Sebaiknya sekarang kamu menjauh dari sana, Adeline. Itu bahaya. Itu bukan mainan untuk kamu."

"Benar. Karena ini mainan untuk yang mulia. Yang menurutnya berkhianat akan dikirimkan ke sana tanpa didengarkan dahulu alasan dan permohonan ampun mereka. Termasuk Sambara, laki-laki polos yang tidak terlalu mengerti tentang perasaan itu malah dikirimkan ke sana hanya karena... dia mencintai aku." Air mata Adeline mengalir di pipi halusnya. Adeline teringat kembali pada Sambara, laki-laki baik yang tidak sengaja jatuh hati kepada wanita yang berbeda kasta dengannya.

"Jangan kamu bahas tentang laki-laki itu lagi dihadapan saya!" Raja Elston menaikkan nada suaranya.

"Lupakan tentang dia, Adeline. Lihat laki-laki ini." Ratu Ameera menarik dengan pelan lengan Kagendra. "Dia lebih mencintai kamu."

"Bukan dia yang aku mau. Aku hanya mencintai Sambara."

"Berani kamu menyebut namanya sekali lagi, saya akan menarik paksa kamu dari sana dan membawa kamu ke ruang hukuman."

"Tidak perlu yang mulia. Saya akan membawa jiwa saya ke ruang hukuman saya sendiri," ucap Adeline dengan penuh percaya diri membuat orang-orang yang ada jauh di depannya cemas.

"Sudah berulang kali aku memohon untuk dibebaskan dalam menentukan apapun termasuk pasangan hidupku, namun kalian tetap dengan keputusan kalian. Maaf aku tidak bisa. Maaf aku akan menyerah, aku mengaku kalah dan salah. Mungkin dosa akan menyertaiku di dunia ini. Terimakasih untuk semua yang telah kalian berikan kepada aku. Izinkan aku untuk menemukan kebebasan dan izinkan aku menemukan cinta ku yang hilang."

"Aku menyayangimu Raja dan Ratu. Terimakasih." Kedua tangannya ditumpuk di atas perut, lalu Adeline sedikit membungkukkan badannya sebagai salam penghormatan terakhir kepada kedua orang tuanya.

Adeline melangkahkan kedua kakinya masuk ke dalam cahaya putih. Asap putih kembali menyelimuti bangunan berbentuk lingkaran itu. Tidak lagi kelihatan wujud Adeline yang bernyawa membuat Ratu Ameera menjerit meneriakkan nama putri kesayangannya dengan air mata yang mengalir deras. Yang lainnya tentu juga meneteskan air matanya atas kepergian Adeline.

Sedangkan di balik asap putih, di tengah bangunan lingkaran, tubuh Adeline perlahan melemas hingga dalam hitungan beberapa detik saja raga itu jatuh dengan jiwa nya yang hilang.

Kini Adeline berpindah dunia.

Dunia Baru Adeline

"Tolong bangun, lin. Gue gak tau harus gimana kalo gak ada lo."

Dua kalimat yang pengucapannya asing di pendengaran Adeline, membuat Adeline kini membuka matanya perlahan. Sinar lampu yang terang dan atap dari sebuah ruangan adalah pemandangan pertama yang dilihat setelah kedua kelopak matanya benar-benar terbuka.

Adeline sadar, ini bukan lagi di dunia asalnya. Kini dirinya berada di dunia yang serba baru untuknya.

Adeline melihat sekelilingnya. Ruangan yang asing baginya, benda-benda asing yang dilihatnya, serta seorang perempuan asing yang menggenggam tangan kanannya dengan kepala yang tertunduk sembari menarik cairan yang berada di dalam hidungnya.

Tunggu... Perempuan itu menangis?

Kini perempuan itu mendongak. Matanya yang sembab, hidungnya yang merah menggambarkan betapa seringnya dia menangis.

"Lin, astaga lo bangun gak kasih isyarat dulu. Gue jadi malu ketahuan nangisin lo." Perempuan itu buru-buru mengusap mata dan hidungnya.

"Lin? Kamu kenal aku?" tanya Adeline karena orang-orang di kerajaan biasa memanggilnya dengan panggilan lin. Tapi Adeline bingung bagaimana orang asing di sampingnya itu tau namanya.

Perempuan di samping Adeline itu mengerutkan dahinya kebingungan. "Oh iya gue baru inget kemarin kata dokter ingatan lo bisa aja ada yang hilang," ucap perempuan itu sambil menjentikkan jarinya.

Adeline tidak mengerti maksudnya. Sebab ingatan sebenarnya tidak ada yang hilang, dia tau siapa namanya, siapa keluarga nya, darimana dia berasal, dan apapun itu tentang hidupnya.

"Jelas gue kenal lo dong, Ayline Namora Ilza, kan lo sahabat gue satu satunya," lanjutnya dengan menyebutkan nama asing bagi Adeline.

Adeline pasti tau tentang dirinya, tapi Adeline tidak tau apa-apa tentang raga yang ditumpanginya.

Ayline Namora Ilza, nama seorang perempuan yang raganya kini ditumpangi oleh Adeline. Pemilik raga itu sudah pergi meninggalkan dunia ini bertepatan saat jiwa Adeline hilang dari raga aslinya. Namun perempuan di samping Adeline ini lah yang menjadi alasan raga itu kembali diisi dengan jiwa. Walaupun, bukan lagi jiwa seorang Ayline Namora Ilza, melainkan jiwa seorang Adeline Brisena yang berasal dari dunia lain.

"Eh!"

Adeline kembali berfokus kepada perempuan di sampingnya.

"Lo kenal gue gak? Takutnya lo lupa gue siapa."

Jujur saja, Adeline tidak mengenal sama sekali siapa perempuan di sampingnya itu. Lantas Adeline menggeleng pelan. "Aku gak tau kamu siapa."

"Anjir!" Perempuan itu menepuk salah satu pahanya sendiri dengan kencang lalu bangkit dari duduknya. "Padahal tadi gue cuma bercanda ego, lin," ucapnya dengan perasaan tidak terima karena dilupakan oleh sahabat satu satunya.

"Maaf. Aku minta maaf."

Merasa tidak hati mendengar sahabatnya sampai mengucapkan kata maaf, perempuan itu kembali duduk. Perempuan itu menghela napas lalu tersenyum sembari mengulurkan tangan sebelah kanan.

Adeline tau rasa hormat kepada orang lain. Dengan cepat Adeline membalas uluran tangan perempuan itu.

"Gue Agatha Melyan Agisni. Biasanya lu manggil gue Atha," ucapnya sembali menggerak-gerakan jabatan tangannya dengan Adeline.

Kini Adeline tau. Agatha Melyan Agisni atau Atha lah nama perempuan asing di samping nya itu. "Baik Atha. Salam kenal."

Agatha melepas jabatan tangan mereka. "Udah kayak anak SD baru masuk sekolah aja," gumamnya yang masih dapat terdengar oleh Adeline.

Adeline kembali memperhatikan sekelilingnya. Semuanya masih asing di pengelihatannya, terutama pada selang bening yang mengalirkan cairan putih dari kantong bening yang tergantung di tiang berbahan stainless steel hingga sampai ke dalam tubuh nya melalui jarum yang tertancap di punggung tangan kiri nya.

"Agatha." Yang dipanggil langsung menengok lalu mengangkat sebelah alisnya. "Ini kita ada dimana ya?"

"Masa iya lo lupa sama tempat ini? Lo sesering itu bolak-balik ke sini karena kebiasaan buruk lo itu." Agatha menarik kursi yang diduduki nya untuk lebih mendekat ke Adeline atau yang Agatha kenal adalah Ayline. "Ini rumah sakit. Gue udah sering banget bilangin lo buat jangan sering datang apalagi nginep di sini,"

"Enam Minggu belakangan ini lo udah bisa nurut apa yang gue bilang. Gue seneng banget selama itu lo gak masuk rumah sakit sama sekali karena tiba-tiba pola hidup lo jadi teratur tanpa gue paksa. Gue udah seneng lu gak masuk rumah sakit karena penyakit lambung lo itu, eh malah masuk rumah sakit gara-gara ketabrak truk. Heran gue sama lo, lin,"

"Lo gak punya otak kah? Gue tau lo frustasi karena gak dapat-dapat kerja, tapi lo jangan serahin diri kepada yang kuasa dengan cara gak betul kayak kemarin anjir. Malaikat juga gak ada yang mau ngangkat lo, soalnya lo masih keberatan dosa, lin."

Padahal hanya dengan satu pertanyaan singkat, tapi Adeline berhasil mendapatkan tiga informasi penting sekaligus walaupun sedikit pusing mendengarkan ocehan dari Agatha.

Informasi penting pertama yang Adeline dapatkan adalah nama tempat dia berada sekarang, yaitu rumah sakit. Adeline wajar merasa asing dengan tempat ini. Karena di dunia asalnya tidak ada tempat yang namanya rumah sakit. Tempat nya sama untuk menyembuhkan seseorang, namun namanya berbeda. Di dunia asalnya, Adeline lebih mengenal dengan Penyembuhan Elston yaitu rumah kedua milik nenek nya yang dipenuhi dengan banyak ramuan buatan, makanan penyembuh, serta benda benda sakti lainnya yang bentuknya beda sekali dengan benda benda sakti di rumah sakit ini. Bahkan dari segi ranjang juga berbeda. Di penyembuhan Elston tidak ada ranjang yang cukup nyaman seperti ranjang yang sedang ditiduri oleh Adeline sekarang. Di sana ranjang nya hanya terbuat dari batang pohon besar yang di potong dan diletakkan di tengah rumah.

Informasi yang kedua adalah penyakit yang sering diderita oleh Ayline. Penyakit lambung yang sering kumat karena kebiasaan buruk Ayline yaitu lupa makan. Padahal makan menjadi salah satu aktivitas yang paling ditunggu-tunggu oleh Adeline pada saat masih di dunia asalnya. Karena setelah aktivitas makan, semua orang yang ada di dalam kerajaan diberikan waktu kebabasan walaupun hanya diperbolehkan bebas di dalam istana.

Dan informasi yang ketiga adalah penyebab jiwa sang pemilik raga yang menghilang dan digantikan dengan jiwa Adeline, yaitu kecelakaan yang dibuat oleh dirinya sendiri. Alasan Ayline dan Adeline sama. Mereka sama-sama menyerah dengan hidupnya karena tidak kunjung mendapatkan apa yang sangat mereka butuhkan.

"Aku tidak menyangka ternyata di dunia lain, di waktu yang sama, Ayline memilih keputusan akhir yang sama dengan aku. Aku fikir hanya aku yang bodoh, ternyata aku tidak sendiri," ucap Adeline dalam hati.

Suara decitan kursi yang di dorong ke belakang oleh Agatha menghamburkan lamunan Adeline. Agatha meraih botol minum yang berada di atas nakas. "Lo minum dulu. Gue mau panggil dokter," ucapnya sembari memberikan air minum di tangannya kepada Adeline.

Ditinggalkan bersama sebotol air mineral oleh Agatha membuat Adeline merasa bersyukur hadirnya dia di dunia yang baru ini disambut oleh orang sebaik Agatha. Adeline berjanji pada dirinya tidak akan mengecewakan Agatha seperti dirinya mengecewakan orang tuanya.

Kini Adelin siap menghadapi dunia barunya.

Pulang

Satu hari dua malam waktu yang cukup panjang menurut Adeline untuk tetap diam di atas ranjang rumah sakit bersama obat yang terus mengalir di selang bening yang ada di tangannya. Makan dan tidur menjadi aktivitas yang Adeline benci pada hari itu padahal Adeline sangat menyukai dua aktivitas itu.

Namun hari ini akhirnya dokter menyatakan pasien bernama Ayline Namora Ilza sudah boleh untuk pulang.

Bruk!

Tas ransel berwarna putih Agatha lempar ke atas ranjang rumah sakit setelah berhasil tertutup rapat dari susahnya menyusun beberapa pakaian milik Ayline di dalamnya. "Besok beli lah tas yang gede, lin."

Adeline tidak merespon ucapan Agatha. Adeline sibuk memperhatikan pakaian Ayline yang terpasang di tubuhnya. Menurutnya pakaian yang sedang dia pakai sangatlah aneh. Celana jeans dan kemeja berwarna biru muda tidak pernah ada di dunia asalnya. Biasanya Adeline mengenakan gaun berwarna putih dipadukan dengan coklat yang design nya berbeda-beda setiap harinya.

"Ayline!" Panggil Agatha dengan nada cukup keras sembari menepuk lengan Ayline, membuat Adeline yang jiwanya sudah sepenuhnya di dalam raga Ayline merasakan sakitnya tepukkan itu. "Kenapa sama pakaian lo? Mau ganti?" tanyanya.

Adeline menggeleng. "Tidak perlu. Aku suka dengan pakaian ini."

Perempuan berambut pendek di depan Adeline itu menghela napas, tangan kanannya di luruskan ke ranjang rumah sakit dijadikan sebagai penompang tubuhnya. "Gini deh..." Agatha kembali menegakkan tubuhnya.

"Semenjak lo bangun setelah kecelakaan, gaya ngomong lo tuh baku banget. Lo sadar gak?"

Adeline menggeleng. Emang begitu gaya bicaranya.

"Gue udah kayak ngobrol sama kamus KBBI tau gak sih. Mungkin itu efek dari dicium truk kali ya? Tapi kalo sama gue jangan lah ngobrol sebaku itu, lin. Lo biasanya suka ngomong kasar dan campuran bahasa daerah, aneh aja tiba-tiba kayak princess dari kerajaan."

Adeline tidak mengerti, mulutnya ternganga karena bingung sepanjang Agatha berbicara.

Agatha menghela napas. Tangan kanannya terulur memegang bahu Adeline. "Gue itu adalah aku. Lo itu adalah kamu. Terus ngomong yang lainnya juga jangan ngikutin saran KBBI." Agatha menundukkan kepalanya antara ingin tertawa dan lelah dengan Adeline yang raut wajahnya masih kebingungan.

"Gue minta maaf ya, Agatha," ucap Adeline membuat Agatha mendongak dengan raut wajahnya yang senang. "Gue akan coba lagi pelan-pelan ya."

Agatha tepuk tangan tiga kali setelah mendengar kalimat yang diucap Adeline. "Gue bakal bimbing lo setiap hari. Sampe gaya bicara lo kembali absurd kayak biasanya."

Adeline tersenyum melihat Agatha sangat bahagia padahal hanya karena hal kecil darinya. Adeline langsung dirangkul oleh Agatha setelah mengambil tas ransel putih tadi.

"Ayo pulang!"

Pulang kata Agatha. Adeline hanya bisa mengikuti Agatha yang membawanya pergi entah kemana nantinya. Namun Adeline percaya Agatha akan membawanya ke tempat yang baik untuknya.

Sepanjang jalan di koridor rumah sakit tidak ada pembicaraan sama sekali antara mereka. Agatha fokus menuntun Adeline sembari sesekali melirik ruangan yang dilewati. Sedangkan Adeline menoleh ke samping kanannya untuk memperhatikan orang-orang terluka yang memejamkan matanya di atas brankar yang didorong oleh perawat. Bahkan Adeline sampai tiba-tiba berhenti dan memutar badannya hanya untuk memperhatikan pasien laki-laki dengan luka parah di tubuhnya yang kini sudah masuk ke dalam ruangan.

Agatha mencolek lengan Adeline membuat fokus Adeline kembali lagi untuk berjalan keluar dari rumah sakit itu.

Saat sampai di pintu utama rumah sakit itu, mata Adeline berbinar melihat pemandangan yang ada di depannya. Bangunan-bangunan tinggi yang berdiri di atas tanah dengan lampu-lampu dari dalam bangunan itu dan juga lampu jalan yang menyala menjadi sesuatu yang membuat Adeline terkagum. Langit berwarna jingga menambahkan kesan indah untuk pemandangan yang Adeline lihat.

Semuanya terlihat seperti lukisan. Adeline ingin sekali pamerkan apa yang dilihatnya sekarang kepada Sambara, karena dulu laki-laki itu sangat berharap bisa melihat kota modern sesuai dengan apa yang ada di bayangnya.

Adeline teringat pada lukisan yang dilukis langsung oleh Sambara di depannya mengenai gambaran kota modern yang ada di bayangnya. Gambaran Sambara nyaris mirip dengan kota modern nyata yang dilihat Adeline saat ini.

"Nah itu mobilnya." Agatha menunjuk sebuah mobil hitam yang terparkir di luar rumah sakit membuat Adeline melepaskan pandangannya sebentar dari bangunan-bangunan itu. Kemudian Agatha menarik kembali tangan Adeline untuk menghampiri ojek mobil yang telah dipesan melalui aplikasi di handphone nya.

Agatha duduk di kursi penumpang depan untuk mengarahkan sang pengemudi ke arah mereka pulang. Sedangkan Adeline duduk di kursi penumpang belakang sendirian.

"Sudah bisa berangkat, mba?" tanya supir sembari membenarkan sabuk pengamannya.

Agatha menolehkan kepalanya ke arah Adeline. "Gak ada yang ketinggalan kan, lin?" tanyanya kepada Adeline yang sedang fokus melihat ke depan dan langsung mendapatkan gelengan sebagai jawaban. "Berangkat, pak."

Setelah mobil bergerak 500 meter, pengemudi mobil itu menekan tanda mulai pada pemutar musik yang ada di depannya. Lantunan piano langsung terdengar dari sana membuat Adeline tiba-tiba merindukan sang ibu yang menguasai kunci-kunci piano dari lagu kesukaannya.

Senja, lampu kota, dan lantunan piano menjadi satu perpaduan yang sangat tenang. Adeline meneteskan air matanya mengingat kenangan bersama orang-orang di dunia asalnya. Setiap orang di istana punya kenangan manis yang tersimpan di dalam hatinya.

Berbicara tentang senja, Adeline juga ingat betapa sering dirinya melihat orang tuanya yang menatap indahnya langit berwarna jingga itu melalui jendela besar yang ada di dalam kamar mereka. Siluet orang tuanya yang saling merangkul tiba-tiba muncul di bayangannya membuat air mata Adeline kini berjatuhan lebih deras. Adeline buru-buru menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Temannya nangis, mba," ucap pengemudi mobil itu kepada Agatha yang mengintip keadaan Adeline dari kaca spion.

Agatha menoleh sedikit ke belakang. Bukannya panik atau bingung melihat Adeline yang tiba-tiba menangis, Agatha malah menarik napasnya dan buru-buru menghapus air matanya yang juga ikut jatuh.

Bukan. Bukan Agatha tau apa yang sedang Adeline pikirkan. Namun Agatha tau betul alasan Ayline yang suka tiba-tiba menangis. Sahabatnya yang telah pergi itu semasa hidupnya sering menangisi hidupnya sendiri tanpa peduli jika dilihat oleh orang lain. Menangis adalah salah satu cara ampuh untuk menenangkan pikiran Ayline. Maka dari itu saat Ayline menyerah dengan menabrakkan dirinya ke sebuah truk besar yang sedang melintas di jalan Samudra, air matanya juga ikut serta dalam ketenangan terakhir dalam hidupnya.

Itu terlalu menyakitkan untuk Ayline yang sudah tenang di dunia abadinya.

Pengemudi yang tidak tau harus apa melihat dua penumpangnya menangis hanya bisa mengendarai mobil itu dengan tenang di tengah kemacetan lalu lintas. Baru kali ini dirinya mendapatkan orderan yang suasananya seperti ini.

Perjalanan itu membawa suasana kesedihan. Pengemudi mobil itu bersumpah tidak akan menyalakan lantunan piano lagi saat membawa penumpang sampai ke tujuan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!