"Dasar perempuan murahan! Sudah jelek, barangmu juga bau bangkai! Cih, jijik aku sama kamu, dan gak bakalan sudi nyentuh kamu lagi. Dasar benalu, parasit, babi, bodoh!" Umpatan umpatan kasar terus keluar dari mulutnya Bimo pada Laras istrinya. Perempuan sebatang kara yang selalu dia rendahkan selama pernikahan mereka. Di mata Bimo, Laras tidak pernah ada baiknya, tidak pernah benar dan selalu di siksa lahir batinnya.
"Cukup, hentikan ucapan kamu yang tak punya hati itu. Ceraikan aku itu jauh lebih baik, aku sudah lelah terus kamu perlakukan hina begini. Untuk apa kita bertahan kalau hidupku selalu kamu hina dan sakiti. Sudah tidak mencukupi tapi mulutmu sedikitpun tidak punya etika. Ceraikan aku sekarang juga, Bimo!" Teriak Laras yang sudah tidak tahan lagi dengan sikap suaminya yang kasar. Bertahun tahun pernikahan mereka, sekalipun Bimo tak pernah bersikap baik pada Laras. Awalnya Laras bertahan, karena masih berharap Bimo bisa berubah. Namun yang terjadi justru sikap Bimo semakin menjadi dan semaunya.
"Hahahaaaaa, cerai katamu. Perempuan kere dan jelek sepertimu minta cerai? Hahahahaaaa!" Bimo justru mengejek Laras dengan tatapan merendahkan, bagi Bimo Laras hanyalah perempuan yang pantas untuk di tindas dan dimanfaatkan.
"Bisa apa kamu tanpa aku, Laras? Apa apa masih minta sama aku, sok sokan minta cerai, cih!" Sambung Bimo dengan wajah penuh kebencian dan tatapan jijik.
"Gak usah mikirin mau apa dan bagaimana hidupku nanti, karena itu urusanku bukan urusanmu. Aku hanya ingin hidup tenang dan lepas dari laki laki bajingan sepertimu. Urus selingkuhan kamu itu, aku tak perduli." Jawab Laras dengan dada naik turun karena emosi yang meluap.
"Yakin mau cerai?" Ejek Bimo dengan bibir terangkat.
"Ya, dan sekarang juga pergilah dari hadapanku. Ini rumah ibuku, kamu tidak punya hak apa apa disini, pergilah dan jangan pernah kamu injakan kakimu lagi di sini!" Sahut Laras tegas, sekuat tenaga menahan rasa sesak di dadanya.
"Oke, aku akan turuti mau kamu. Tapi urus sendiri surat cerainya, aku tidak sudi buang buang uang untuk hal yang gak penting!" Balas Bimo acuh, dengan langkah lebar Bimo meninggalkan rumah Laras tanpa perasaan bersalah. Bimo pikir, Laras tidak akan bisa mengurus surat cerai karena tidak punya uang. Laki laki yang sudah menikah siri di perantauan itu sangat menyepelekan perasaan istrinya yang seharusnya dia jaga dan lindungi sepenuh hatinya. Apalagi di pernikahan mereka sudah ada anak yang kini sudah beranjak remaja. Kaluna, anak perempuan yang memiliki wajah sangat mirip dengan Bimo, dan juga memiliki riwayat anak berkebutuhan khusus.
Laras menghapus air matanya yang terus menderas seiring rasa sakit yang kian menganga di lubuk hatinya. Bayangan bayangan pertengkaran dirinya dan Bimo terus berkelebat di setiap malamnya. Laras hanya bisa memendamnya sendiri, menyimpan semua luka dan deritanya sendirian. Karena, Laras tak lagi punya siapa siapa di dunia ini. Hatinya hancur, hidupnya penuh tekanan. Kesulitan demi kesulitan Laras lalu berdua bersama buah hatinya. Meskipun Kaluna terlahir berbeda, namun bagi Laras Kaluna tetaplah istimewa dan anak yang di cintai dan di kasihinya sepenuh hati dan jiwanya.
Sudah dua bulan, Bimo tak lagi ada kabar. Bahkan ingat anaknya pun tidak. Laras sudah tak lagi perduli. Dengan tekad dan keyakinannya, Laras berjuang sekeras mungkin untuk bisa mencukupi kebutuhan dirinya dan anaknya seorang diri dengan kerja banting tulang. Apa saja dia kerjakan, dari yang disuruh bantu bantu tetangga juga temannya bersih bersih. Laras juga jualan online jilbab, dan juga aksesoris untuk wanita. Bahkan Laras juga berjualan bunga hias yang dia pajang di depan rumahnya yang tak begitu luas.
Laras berusaha keras untuk tetap bisa menghasilkan dengan tetap bisa memantau anak istimewanya. Sejak Kaluna sudah menstruasi, Laras memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya di pabrik. Laras tak tega meninggalkan Kaluna sendirian tanpa pengawasan. Meskipun sulit, Laras berusaha yakin, jika akan selalu ada pertolongan dari Tuhan bagi hambanya yang ikhlas menjalani garis takdir NYA.
Hari Senin, selalu menjadi rutinitas yang paling menguras emosi Laras. Bagaimana tidak, Kaluna selalu menguji kesabarannya. Setelah sekolah libur di hari minggu, Kaluna yang sudah duduk di bangku kelas enam SD itu selalu mogok tidak mau masuk sekolah. Padahal sebentar lagi akan ada ujian. Meskipun Kaluna masuk di jalur khusus, yaitu inklusi. Tetap saja, dia wajib masuk tiap hari untuk mendapatkan nilai.
"Luna, ayo mandi nak. Ini sudah jam enam lewat, kamu harus sekolah biar tidak telat masuknya." Entah sudah berapa kali Laras menyuruh anak perempuannya untuk segera mandi, namun tak dihiraukan sama sekali oleh Kaluna yang asik nonton film kartun.
"Kaluna, jangan buat ibu marah ya, nak!" Tekan Laras dengan menekan emosinya, berusaha untuk tetap sabar menghadapi sikap Kaluna yang keras kepala.
"Berisik, aku gak mau sekolah Bu. Besok saja, nanti aku mau masuk les saja. Belajar sama pak Adam lebih enak, gak dimarahi." Ketus Kaluna dengan tatapan yang tak beralih dari layar datar berukuran tiga puluh inci itu.
"Sebentar lagi kamu ujian, nak. Apa gak mau bisa masuk sekolah SMP negeri nak?" Laras masih berusaha untuk membujuk putrinya yang istimewa itu. Laras paham betul bagaimana karakter anaknya itu, Kaluna tidak bisa ditekan apalagi di kerasi. Karena dia akan semakin tantrum dan berujung menyakiti dirinya sendiri.
"Kan ujiannya masih satu Minggu lagi, besok juga aku masuk sekolah kok. Hari ini pokoknya aku mau libur, capek aku Bu." Sahut Kaluna yang tak mau mendengarkan ucapan ibunya. Dengan menghirup udara sebanyak mungkin, Laras berusaha untuk tetap bersabar dan mencoba untuk mengerti anak perempuannya.
"Baiklah, tapi janji ya besok harus masuk sekolah." Akhirnya Laras mengalah dan membiarkan sang anak dengan dunianya yang sangat betah mengurung diri di dalam kamarnya. Meskipun kamar Kaluna tidaklah besar, namun sangat nyaman bagi Kaluna. Bagaimana tidak, Laras sudah menyediakan kebutuhan anak istimewanya di dalam kamar lumayan lengkap. Kasur empuk dan nyaman, telivisi, air galon, dan rak khusus yang di isi beraneka cemilan dan lemari baju juga kipas angin. Tak lupa juga ada laptop yang biasa untuk bermain game Kaluna dan handphone android. Meskipun bapaknya tak pernah mau tau dan perduli dengan anak perempuannya, Laras berusaha keras untuk tetap memenuhi dan mencukupi kebutuhan Kaluna dengan baik.
Dengan perasaan gak enak dan malu, Laras menghubungi guru pendamping Kaluna di sekolah, meminta ijin jika putrinya tidak mau masuk sekolah. Dan juga tak lupa menghubungi wali kelas Kaluna. Dan karena memang Kaluna masuk jalur khusus, semua guru memaklumi sikap Kaluna.
"Hari ini aku ada pesanan beberapa bunga dan harus mengantarkan ke pembelinya, sekalian harus belanja buat pesanan nasi kotak untuk besok. Apa Kaluna akan nurut dirumah saja kalau aku tinggal nanti?" Laras termenung di dapur sambil melanjutkan acara memasaknya yang tengah menggoreng tahu telur. Dengan menarik nafas dalam-dalam, Laras berusaha untuk yakin jika hari ini akan berjalan dengan baik tanpa harus ada drama anak istimewanya. Setelah selesai memasak, Laras langsung mengambil nasi dan lauk pauknya ke piring lalu pergi ke kamar putrinya untuk menyuapi belahan jiwanya.
"Luna, nanti ibu akan pergi buat ngantar pesanan bunga dan belanja buat pesanan nasi kotak. Kamu gak papakan ibu tinggal sendirian di rumah? Berani?" Tanya Laras dengan tatapan iba pada putrinya, antara tega dan gak tega.
"Berani kok Bu, nanti pintunya aku kunci dari dalam. Aku mau nonton tivi sama main game." Sahut Luna dengan wajah sumringah.
"Janji sama ibu ya, gak boleh kemana mana. Harus tetap di rumah saja. Ibu juga sudah belikan kamu jajan yang banyak, jadi gak usah pergi keluar rumah buat beli jajan. Ibu janji gak akan lama. Nanti ibu akan telpon buat mastiin anak ibu nurut sama omongan ibu, paham nak?" Balas Laras dengan tatapan teduh, hatinya bergejolak. Antara sedih dan bangga dengan kemandirian putrinya yang di mata orang lain selalu di tatap remeh itu, padahal Kaluna adalah anak yang tegar dan mandiri juga baik.
"Iya ibu, ibu tenang saja. Aku gak akan kemana mana, tapi nanti pulangnya belikan aku es susu maktam ya?" Sahut Kaluna dengan antusias, matanya berbinar membayangkan susu murni dari sapi perah yang di padu dengan pasrah coklat dan Boba kesukaannya.
"Iya sayang, pasti. Tapi Luna harus nurut sama kata kata ibu ya nak. Ibu keluar bukan main, tapi cari uang buat Luna, anak kesayangan ibu." Balas Laras lembut sambil mengusap pelan pipi putih putrinya yang cantik.
"Bu, ayah kok gak pernah pulang, apa ayah sudah gak sayang sama kita lagi?" Deg, dada Laras berdegup kencang mendengar ucapan putrinya yang tidak biasa, karena selama ini Kaluna hampir tidak pernah menanyakan ayahnya sama sekali. Bahkan saat ayahnya pulang pun, Kaluna terkesan enggan mendekat bahkan di di dekati ayahnya tidak pernah mau. Ya, Kaluna begitu membenci ayahnya.
"Bu, ayah kok gak pernah pulang, apa ayah sudah gak sayang sama kita lagi?" Deg, dada Laras berdegup kencang mendengar ucapan putrinya yang tidak biasa, karena selama ini Kaluna hampir tidak pernah menanyakan ayahnya sama sekali. Bahkan saat ayahnya pulang pun, Kaluna terkesan enggan mendekat bahkan di di dekati ayahnya tidak pernah mau. Ya, Kaluna begitu membenci ayahnya.
Sejak bayi, Bimo tidak pernah perduli pada Kaluna. Apalagi sejak mengetahui perkembangan anaknya yang memang tidak seperti anak pada umumnya. Bimo semakin acuh dan tak perduli dengan putrinya.
"Apa Luna merindukan ayah?" Laras berusaha untuk tetap baik baik saja menanggapi pertanyaan putrinya. Padahal di dalam hatinya terbakar kebencian dan amarah untuk laki laki yang bergelar suaminya itu.
"Enggak kok, cuma pengin tanya saja. Lagian aku tidak suka sama pak Bimo. Dia bukan ayahku, pak Bimo jahat." Sahut Kaluna enteng dan terlihat api dendam di sorot matanya.
"Luna, gak boleh bilang begitu ya nak. Bagaimanapun dia ayahnya Luna, orang tua yang wajib Luna hormati. Luna anak pinter, anak shalihah, Luna mengerti ya sayang, gak boleh benci sama ayah." Laras berusaha untuk tetap memberikan pengertian dan nasehat yang baik untuk putrinya. Meskipun di dalam hatinya dia memaklumi sikap Kaluna, karena memang Bimo sendiri yang tak pernah punya cinta dan kasih sayang pads putrinya. Apalagi selama ini Bimo selalu berkata dan bersikap kasar pads Kaluna.
"Ayah macam apa yang lebih sayang anak haramnya dan lebih memilih pelakor jelek itu." Sungut Luna dengan mata tajam. Laras terpaku, detak jantungnya seakan mau berhenti. Tak menyangka jika Kaluna akan sampai bicara sesuatu yang harusnya tidak di ucapkan.
"Luna, kok ngomongnya begitu, nak?" Lirih Laras lembut, dadanya semakin sesak. Tubuhnya bergetar, rasa cemas dan sakit akan mental anaknya semakin membuatnya kalut.
"Aku tau semua, Bu. Pelakor itu hamil sebelum di nikahi sama ayah. Jadi benar kan kalau dia itu anak haram. Aku cari tau di google soalnya." Sambung Kaluna dengan wajah polosnya.
"Iya nak, tapi cukup tahu saja ya sayang. Sudah, gak usah bahas ayah lagi. Kaluna masih punya ibu, ibu akan menjaga, mencintai, melindungi dan menyayangi Kaluna sampai kapanpun. Karena bagi ibu, Kaluna adalah permata dan harta paling berharga ya ibu, ibu sayaaaang banget sama Kaluna." Sahut Laras sambil menggenggam jemari tangan putrinya erat. Senyum Kaluna mengembang lalu berhamburan memeluk ibunya erat.
"Terimakasih Bu, aku akan tetap bersama ibu. Apapun keadaan kita, Luna akan tetap bersama ibu. Luna sayang ibu, sayaaaang banget." Balas Kaluna yang membuat hati Laras menghangat dan bahagia. Meskipun Kaluna terlahir istimewa, tapi soal kepekaan Kaluna nomor satu. Kaluna mengidap disleksia, namun bagi Laras Kaluna tetaplah bintang di hatinya.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Laras berangkat membawa beberapa pit bunga yang di taruh di motor matic miliknya. Kaluna yang sudah biasa di tinggal sendirian, tak lagi takut. Setelah ibunya pergi, Kaluna mengunci pintu dari dalam lalu kembali melanjutkan acara menonton TV hingga nanti sang ibu pulang. Kaluna dan Laras seperti hidup berdua tanpa keluarga. Sejak kematian ibu dan adiknya Laras, Laras merasa hidup sebatang kara. Masih banyak kerabat namun tak ada satupun yang perduli karena keadaan ekonomi Laras yang miskin di mata mereka. Bagi Laras tak masalah, dia sudah terbiasa sepi meskipun berada di dalam keramaian. Terasing tanpa terlihat siapapun karena keadaan yang memang tak berpunya.
Pukul tiga sore, Laras susah sampai di rumah. Dengan membawa barang belanjaan untuk pesanan nasi kotak. Kaluna yang mendengar suara sepeda motor ibunya, dengan cepat langsung membuka pintu dan menyambut kepulangan sang ibu tercinta.
"Sayang, bantuin ibu bawa belanjaan masuk ke dalam rumah ya, nak." Ucap Laras lembut, lega karena putrinya mendengarkan nasehatnya untuk tetap di rumah saja sampai dia kembali.
"Iya Bu." Sahut Kaluna, lalu membantu ibunya membawa kantong kantong kresek je dalam rumah dengan penuh semangat. Laras merasa sangat beruntung, meskipun Kaluna berbeda, tapi dia begitu pengertian dan rajin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!