NovelToon NovelToon

AINA LARASATI

Bab 1

Aina merasa hidupnya kosong, sejak di nikahi Bima Bagaskara. Ia yang biasanya mempunyai segudang pekerjaan, kini hanya duduk berpangku tangan. Untuk membunuh waktu Aina mencoba menulis kembali. Hobi yang di tekuninya semenjak duduk di bangku sekolah menengah pertama, yang mengantarkannya menjadi juara menulis tingkat daerah. Suatu prestasi yang patut di acungi jempol, tetapi Ayahnya mencibir dengan mengatakan itu adalah pekerjaan yang sia-sia.

"Nanti malam, berdandanlah yang cantik. Kita akan mendatangi undangan, pesta pernikahan kolega ku" sebuah suara bariton, membuyarkan pikiran Aina, yang tengah duduk sambil mengetik di laptopnya.

Sebelum menjawab, Aina terlebih dahulu menutup alat kerjanya. "Baiklah, jadi apa yang harus aku kenakan malam ini? Supaya tuan Bima tidak menjadi malu, dan kehormatannya terjatuh."

"Huh!" dengus Bima kesal. "Kamu sudah pandai berkata-kata, apa karena kau sudah mulai bergaul dengan orang-orang sekitar mu?"

"Mereka tetangga kita, alangkah baiknya bila bisa dekat dengan mereka. Jika seandainya terjadi sesuatu, kita tak akan malu meminta pertolongan" ungkap Aina dengan bijak.

"Aku tak perlu mereka, pengawal ku banyak dan bisa menangani segalanya" ucap Bima angkuh.

"Dasar sombong!"

"Apa kamu bilang?"

"Tidak ada, kalau begitu aku harus ke salon. Kamu tak ingin, aku tampil seperti Upik abu, kan!?"

"Tentu, aku butuh perempuan mandiri juga berkepribadian menarik" balas Bima, dengan nada dingin. "Untuk itulah aku mengikat mu dengan pernikahan."

"Aku tau, hanya sebatas formalitas. Jangan takut, aku juga tidak mungkin mempermalukan mu" ucap Aina acuh. Ia berdiri dari tempat duduknya, merapikan anak rambutnya yang keluar dari cepolannya. Lalu menyeret langkahnya, menjauhi Bima yang berdiri dekat dengannya.

"Bawalah ini" Bima mengangsurkan sebuah black card pada Aina. Ia terpesona dengan tampilan sederhana istrinya, walaupun Aina hanya gadis desa yang lugu. Tetapi seiring waktu parasnya berubah menjadi cantik jelita, serta mempesona bagi yang melihatnya. Tak rugi bagi Bima membiayai Aina, agar tampilannya sesuai dengan keinginannya.

"Oke thanks, hubby!" senyum sumringah Aina terbit, ketika kartu ajaib itu berada dalam genggamannya. Ia sempat terkejut dengan kelakuan Bima, tak seperti biasanya yang bertampang cool. Suaminya mengalami perubahan signifikan, dalam memperlakukannya. Aina jadi curiga, jangan-jangan ada sesuatu yang di inginkan Bima!?

"Wait Aina! You forget something!?" ucap Bima, dengan seringai devilnya. Ia berjalan menghampiri Aina dengan gagah, seperti singa jantan yang tengah kasmaran.

"Apa lagi?" tanya Aina tak sabaran.

"Hug and kiss me" Bima merentangkan kedua tangannya, bermaksud memeluk sang istri.

Sesuai perkiraannya, suaminya menyembunyikan niat buruknya. "Sorry hubby, tubuh mu penuh bakteri. Aku perlu surat dari dokter yang menyatakan kau terbebas dari virus mematikan" balas Aina telak.

"Like what?" tanya Bima heran. Tangan yang terulur, menggantung begitu saja.

"Maybe raja singa atau HIV" jawab Aina menyindir.

"Semua perempuan yang tidur dengan ku, sudah di cek kesehatannya. Kalau kamu kurang yakin, segera aku akan dapatkan surat keterangan sehat dari dokter" janji Bima yakin.

"Usahakan, dari rumah sakit yang berkompeten. So, let me go" pamit Aina, membawa serta laptopnya. Di bawah tatapan menghujam Bima suaminya, Aina melenggang pergi dengan langkah kaki ringan.

"Tunggu aku, kucing liar. Kamu akan bertekuk lutut, di hadapan ku!" seru Bima geram, melihat tubuh perempuan semampai itu menghilang di balik pintu. "Arghh, sial!"

     ****

Aina Larasati, seorang anak yatim yang ditinggalkan oleh ayahnya Harman Sanusi. Ketika itu, usianya tujuh belas tahun dan baru menamatkan SMU. Ayahnya meninggal di lokalisasi pelacuran, dengan mulut berbusa akibat mengkonsumsi obat kuat. Selain suka menyiksa Ibunya, Ayah Aina yang seorang pekerja pabrik mewarisi hutang menumpuk untuk keluarganya. Hutang, akibat judi dan main perempuan.

Dua tahun anak dan Ibu bahu-membahu mencari rejeki untuk melunasi hutang. Dengan berjualan keliling komplek perumahan, Halimah Ibu Aina menjajakan dagangannya. Sementara Aina menerima jasa cuci, dan gosok di rumahnya. Tetapi semua kerja keras mereka tak membuat hutang berkurang, malah semakin berlipat karena mereka hanya mampu membayar bunganya saja.

Bima Bagaskara seorang pemilik perusahaan tempat ayah Aina bekerja, sudah lama menaruh hati pada putri Harman. Ia memasang jerat guna menarik perhatian Aina, dengan memberi hutang untuk di pakai berjudi. Rencananya berhasil, Harman yang sudah ketagihan dengan dunia malam terlilit banyak hutang. Hingga ia mulai gelap mata, dan sering melakukan kekerasan terhadap istrinya.

Nahas bagi Harman malam itu, ia yang ingin tampil perkasa menelan obat kuat melebihi dosis. Sehingga kelakuannya, membuat malu seluruh keluarga. Laki-laki yang bergelar Ayah Aina, menghembuskan nafasnya di pelukan seorang psk. Aina dan Ibunya, di kucilkan lingkungan sekitar serta di jauhi saudara-saudaranya.

Tak cukup sampai di situ, Ibu dan anak mengalami banyak penindasan. Hingga ketika Bima menawarkan perlindungan pada keluarga kecil itu, mereka dengan sukarela menerima. Tetapi Aina bukan perempuan bodoh, ia mengajukan beberapa syarat yang harus di penuhi Bima. Dan dengan entengnya, ia mau mengabulkan permintaan Aina.

Kini Bima hanya dapat memandang kepergian perempuan yang diam-diam ia suka, dengan hati dongkol. Pupus sudah keinginan bercinta dengan istrinya, tetapi Bima tak perlu kecil hati ia bisa memintanya pada salah satu gundiknya.

"Darma!" teriak Bima keras.

"Ya tuan" jawab laki-laki bertubuh gempal itu, tergopoh-gopoh berlari menghampiri.

"Panggil Sherly kemari, aku butuh penyegaran" ucapnya tegas.

"Baik tuan."

"Darma, tunggu sebentar!" sebuah suara nan lembut, memasuki gendang telinga sang bodyguard. Perempuan dengan tampilan berkelas, muncul dari balik pintu yang terbuka. Ia tampaknya gerah, dengan kelakuan suaminya yang hobi main perempuan.

"Iya, Nyonya" Darma berhenti di tengah ruangan, ia terlihat salah tingkah.

"Jangan bawa perempuan itu ke sini, aku jijik dengan tingkah lakunya" ucap Aina, berdiri tak jauh dari suaminya.

Darma hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya, ia bingung perintah mana yang harus di turuti?

"Darma, cepat laksanakan perintah ku!" suara menggelegar Bima, membuat tubuhnya seketika bergerak pergi.

"Berani kamu keluar dari pintu itu, Darma? Maka, segera tinggalkan rumah ini."

"Bagaimana ini, tuan?" tanya Darma salah tingkah, maju kena mundur juga kena. Benar-benar serba salah, Darma yang tinggi besar tertunduk didepan dua orang tuannya.

"Aina, apa kamu bermaksud menggantikan Sherly?" tanya Bima, dengan menelentangkan kepalanya menggoda.

"Kamu tau syaratnya, kan!?vJadi, jangan macam-macam dengan ku. Aku mau menuruti keinginan mu, tetapi turuti juga keinginan ku."

"Oke baby. Seandainya tidak di rumah ini, masih boleh kah?"

"Terserah!"

"Aku tau kamu marah, baby."

"Yuhuu...Bima, i'm coming!" suara cempreng perempuan dewasa berpenampilan seronok, terdengar memasuki telinga mereka.

Aina hampir tertawa terbahak-bahak, melihat bagaimana selera suaminya!?

"Bwaha-ha-ha! jadi seperti ini, perempuan idaman suami ku?" tanya Aina dengan sisa tawa di bibirnya.

"Siapa kamu, berani berkata seperti itu?"

"Tanya lah, lelaki yang sudah menyewa mu. Siapa aku, sebenarnya?"

"Honey, siapa perempuan lancang itu?"

"Dia istri ku, cantik bukan!!"

"What!? Jadi beneran, kamu sudah menikah honey."

"Ya Sherly, tapi sayangnya aku menikahi anak macan..."

"Hihihi! Aku takut, honey" Sherly terkikik geli, mendengar penuturan Bima.

"Hah! Pergilah kalian semuanya, honey bunny atau sweet. What else!" usir Aina, mendorong kasar perempuan itu. Begitu semua sudah keluar dari ruangan, Aina membanting pintu dengan kasar.

"Blaam!"

     ****

Bab 2

Dengan diantar sopir yang merangkap sebagai bodyguard, Aina pergi ke salon langganannya yang ada di pusat kota. Ia melakukan body treatment untuk menjaga penampilannya, agar senantiasa cantik paripurna. Mungkin bagi sebagian wanita, hidup Aina sungguh bahagia. Mempunyai suami kaya pemilik perusahaan ternama, yang bisa memanjakannya setiap saat. Tetapi sesungguhnya hatinya kosong, tak ada cinta di dalamnya hanya ada pernikahan semu.

"Setelah ini, Nyonya bermaksud ke mana lagi?" tanya sang sopir pada majikannya yang tengah melamun, sambil melirik sekilas lewat kaca spion tengah.

"Panggil aku Aina, Ram" jawab Aina, mengabaikan pertanyaan dari sopirnya. Wanita cantik itu agak tersentak, saat lamunannya terganggu.

"Saya tidak berani, Nyonya" balasnya, dengan mata tertuju pada jalanan di depannya. "Tuan Bima, bisa marah besar pada saya kalau tau."

"Kamu harus bisa, kita teman semenjak kecil. Suami ku tak perlu tau, cukup sebagai rahasia kita berdua."

"Baiklah, mudah-mudahan tuan Bima tak menyadarinya."

"Oke, sekarang antarkan ke rumah Ibu, ku dengar beliau tensi darahnya naik" ucap Aina memberi perintah.

"Iya Aina."

"Nah itu baru benar, nama ku Aina seperti yang kamu tau" senyum kecil, tersemat di bibir sewarna ceri itu.

Mobil melaju cukup kencang, meliuk diantara kepadatan lalu lintas. Hanya memerlukannya waktu sekitar satu jam, tempat yang di tuju sudah tampak. Sebuah hunian sederhana, yang letaknya di tengah-tengah kampung di pinggiran kota besar. Tempat Aina dulu di besarkan, dan menghabiskan masa kecil hingga remaja di sini.

Pintu berwarna putih itu segera terbuka, begitu mobil memasuki halaman rumah. Sesosok wanita paruh baya dengan gamis berwarna cream, keluar sambil tersenyum sumringah. Ia menyambut kedatangan putrinya tercinta, dengan gembira dan hati bahagia.

"Aina, putri Ibu" pelukan hangat, sang Ibu terasa sampai ke dalam hatinya. "Apa kamu sehat, Nak?"

"Alhamdulillah Bu, Aina sehat. Bagaimana dengan Ibu? Aku dengar dari suster Nina, Ibu naik lagi tensinya" lanjut Aina dengan wajah khawatir.

"Ibu sehat, suster Nina saja yang terlalu berlebihan" ucapnya, sambil menuntun putrinya untuk duduk di kursi teras. "Diantar siapa, Aina ke sini?" tanya lagi, mengedarkan pandangannya ke arah mobil yang terparkir.

"Seperti biasanya dengan sopir, Bu" jawab Aina, duduk sambil menumpangkan sebelah kakinya.

"Keterlaluan sekali suami mu, istrinya di biarkan pergi sendiri" Halimah tampak sedikit kecewa, dengan menantunya.

"Aku sudah besar Bu, Bima sedang banyak pekerjaan. Jangan berharap banyak Bu, pernikahan ku tidak seperti biasanya."

"Ibu tau, tapi setidaknya Bima bisa datang sekali-kali ke sini. Ibu ingin mengucapkan terimakasih, karen suami mu sudah menyediakan seorang tenaga medis untuk memantau kondisi Ibu."

"Iya, nanti Aina sampaikan keinginan Ibu. Tapi aku gak janji ya, Bu" sambil menggenggam tangan Ibunya, Aina berucap lembut.

"Eh, ada Non Aina" seorang wanita bertubuh gempal, keluar dari dalam sambil membawa nampan.

"Iya, Mbok Jum" balas Aina riang. "Mbok Jum, betah tinggal di sini?" tanya Aina, membantu mengambil cangkir yang di bawa pembantu Ibunya.

"Betah sekali, di sini hawanya adem" jawabnya jujur.

"Titip Ibu ya, Mbok. Kalo ada apa-apa, secepatnya hubungi saya."

"Baik Non, Mbok permisi dulu."

"Silahkan, Mbok Jum!"

"Suster Nina kemana Bu? Dari tadi, kok gak kelihatan."

"Dia lagi ke apotik, nebus obat yang di berikan dokter Reni" balas Halimah, sembari mengangkat cangkir tehnya. "Di minum dulu, nanti keburu dingin."

"Iya Bu."

"Nak, Ibu sepertinya pernah melihat sopir mu itu. Tapi di mana, ya?" tanya Halimah, memperhatikan lelaki muda yang tengah membersikan mobil.

"Dia Rama Gustian, teman ku waktu SD anak Bude Murni. Masa Ibu lupa, sama anak yang suka manjat pohon jambu kita" tutur Aina tersenyum menatap lekat wajah Ibunya.

"Lho dia Rama toh, Ibu pangling liatnya. Panggil ke sini, sekalian ngopi bareng" pinta Ibu Aina.

"Rama!" teriak Aina keras, sambil melambaikan tangannya agar mendekat.

Orang yang di panggilnya, segera datang menghampiri. Sebelumnya, Rama sudah selesai mencuci mobil tuannya. Berjalan cepat ia mendatangi tempat Ibu dan anak, yang sedang bercengkrama.

"Iya, ada apa Nyonya?" tanya Rama, sembari menundukkan pandangannya.

"Aku Aina, Rama" protes Aina kesal.

"Kamu Rama, anaknya Murni bukan?" tanya Halimah, menyela ucapan Aina, wanita paruh baya itu menatap wajah Rama lekat-lekat.

"Iya Bu, Saya memang putra Ibu Murni" jawab Rama penuh hormat.

"Duduk, dekat sini" bujuk Halimah, sembari mengangkat tangannya menunjuk kursi di depannya.

Dengan ragu-ragu Rama mau menuruti keinginan Halimah, ia duduk menunduk di hadapan mereka.

"Bagaimana kabar Ibu mu, Rama?"

"Ibu sudah meninggal, Bu."

"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un, kapan Murni meninggal?" tanya Halimah syok.

"Setahun yang lalu, Bu."

"Sakit apa, Ram?"

"Lambung kronis, juga diabetes."

"Ya Allah, Murni mudah-mudahan di terima di sisi Tuhan yang maha esa" doa tulus Halimah, untuk temannya.

"Aamiin!"

      ****

Aina meninggalkan rumah Ibunya, ketika hari menjelang sore. Ia teringat dengan janjinya pada sang suami, yang akan menghadiri pesta pernikahan salah satu kolega bisnisnya. Rumah dalam keadaan sepi, ketika Aina memasukinya. Langsung ia menuju kamarnya di lantai atas, melewati kamar Bima suaminya. Mereka memang tidurnya terpisah, karena Aina benci dengan suaminya yang suka main perempuan.

Aina tau Bima ada di rumah, itu terlihat dari mobil sportnya yang terparkir didepan rumah. Ketika ia akan mengetuk pintu, terdengar suara-suara menjijikkan dari dalam.

"Yes baby! Ugh...nikmat sekali, once more again" ******* laknat terdengar keras, di pendengaran Aina. Ia langsung naik pitam, Bima ternyata melanggar janjinya untuk tidak bercinta di rumahnya.

"Braak!" Aina menendang pintu kamar hingga terbuka, ia terbelalak lebar melihat suaminya yang sedang mendesah-desah keenakan. Karena rudalnya di hisap oleh perempuan, yang entah perempuan sundal yang mana lagi.

"OMG, kalian berani mengotori rumah ini!" pekik Aina keras. "Pergi kamu, jangan pernah kembali!" ancamnya, sembari melemparkan baju-baju milik perempuan gatal itu.

"Hei! Kamu mengganggu kesenangan ku, sayang" ucap Bima santai, ia segera menaikkan kembali celana boksernya. "Apakah kamu jadi penggantinya?" tanyanya dengan seringai mesum.

"In your dream" kata Aina ketus, sembari berkacak pinggang. "Tuan Bima, anda sudah melanggar point pertama dari perjanjian kita. Hati-hati, dua kali lagi terjadi pelanggaran maka we broke up."

"Huh, terserah kamu!" dengus Bima kasar. "Kamu memang istri bar-bar, yang selalu mengganggu privasi ku."

"Sedemikian miskin kah tuan Bima? Sehingga berkencan di rumah, carilah hotel berbintang di luar sana" sindir Aina jijik. Mata beningnya, memindai penampilan perempuan yang di sewa suaminya. "Sebenarnya kamu cantik, tapi sayangnya di jual murah" perhatian Aina kini beralih, pada perempuan muda yang berdandan seronok.

"Jangan, ikut campur Aina!" seru Bima, langkah kakinya menghampiri perempuan itu. "Jenny, kita lanjutkan di tempat biasa. Tunggu aku sebentar lagi, Kamu bisa pesan taksi online ke lokasi tujuan" katanya dingin.

"Ya, pergilah ke neraka! Tempat, yang layak buat kalian berdua" Aina berkata penuh amarah, sambil keluar dari kamar Bima.

     *****

Bab 3

Bima Bagaskara merasa tertipu, dengan penampilan lugu Aina. Ia tak menyangka, gadis muda itu begitu cerdas. Mampu menjungkirbalikkan dunianya, yang tadinya tentram menjadi jumpalitan. Kalau akhirnya jadi begini, lebih baik ia mencari wanita lain sebagai pengganti Aina. Tetapi sayangnya hatinya sudah tertuju pada Aina, gadis bar-bar dengan sejuta pesona. Ia menentang keinginan ke dua orangtua, yang menginginkan seorang menantu dari kalangan seperti mereka. Walaupun mendapat tekanan dari sana-sini, tak menggoyahkan pendiriannya.

Untuk membuat Aina tampil cemerlang, tak sedikit uang yang di keluarkan oleh Bima. Hasilnya sungguh luar biasa, tetapi juga malah menjadi bumerang bagi dirinya. Aina Larasati yang dulunya sederhana, menjelma menjadi cantik jelita dengan sejuta pesona. Banyak lelaki yang tertarik padanya, bahkan sahabat dekatnya bertaruh bahwa ia akan bertekuk lutut tanpa syarat pada perempuan kampung itu.

"Melamun terus kerja mu, bro!" sebuah kotak rokok, mendarat diatas meja kerja Bima. Ia tersentak seketika, dan menatap wajah jahil orang yang baru masuk.

"Bukan urusan mu, urusi diri mu sendiri!" sentak Bima pada Doni. Ia melihat sahabat sekaligus asisten pribadinya, tertawa kecil menyaksikan kekagetannya.

"Makanya cepat-cepat istri cantik mu itu, di bikin klepek-klepek dengan kehebatan mu bercinta" sindir Doni tepat sasaran.

"Huh!" dengus Bima agak kesal. "Ternyata aku menikahi anak macan, bukan wanita yang terpesona dengan ketampanan ku" keluhnya, sembari mengambil sebatang rokok.

Dengan sigap Doni merogoh saku celananya, dan mengeluarka korek api sekaligus menyalakannya. Api menyala terang membakar batang rokok, serta merta Bima menghisapnya dalam-dalam. Kepulan asap putih membentuk lingkaran, melayang-layang di udara.

"Don, handle pekerjaan hari ini. Aku rasanya malas mengerjakan sesuatu, setelah kemarin kucing liar itu mengganggu kesenangan ku" ucap Bima dongkol.

"Kenapa bro? Apa yang di lakukan Aina?" Doni melontarkan pertanyaan, dengan mengerutkan dahinya.

"Istri cantik ku itu, mengusir Jenny dengan kasar."

"Oh ya, bagaimana bisa begitu?"

"Aku udah gak kuat, sampai mengajak Jenny bercinta di rumah. Tetapi ternyata Aina memergoki kelakuan kami, dan bisa di tebak dia mengamuk sejadi-jadinya. Bahkan mengancam ku dengan point-point perjanjian pra nikah, yang sudah ku tanda tangani."

"Wow hebat juga, tuan Bima Bagaskara tunduk di bawah telapak kaki istri kecilnya. Hahaha!" Doni begitu takjub dengan tindakan Aina, ia sampai tertawa kecil.

"Hei, kamu teman terlaknat yang ku punya. Seharusnya kamu ikut bersimpati, dengan kejadian itu" ucap Bima gusar. Ia mematikan rokoknya, pada asbak di depannya.

"Sorry bro, bukannya gak bersimpati tapi itu sih sial namanya."

"Tok...tok...tok!"

"Masuk!" teriak Bima keras.

Pintu terbuka lebar dari luar, seraut wajah nan cantik muncul dengan senyuman manisnya. Aina Larasati datang membawa Tote bag, berisi makan siang untuk suami mesumnya.

"Halo, apa aku mengganggu diskusi kalian?" tanyanya melenggang masuk.

"Hai Aina, kamu sudah selesai membahas pekerjaan" Doni membalas sapaan istri bosnya. "Apa kabar mu?"

"Aku baik-baik saja, tapi entah nanti. Mungkin, aku bisa mati berdiri?"

"Oo ya, apa yang di lakukan suami mu?"

"Dia bercinta di sembarang tempat, seperti laki-laki miskin" sindir Aina dengan acuh.

"Aina Larasati! Jangan bawa-bawa urusan rumah tangga, ke tempat kerja" sentak Bima gusar.

"Makanya jangan bawa gundik-gundik mu ke rumah, sewa hotel atau apartemen mewah mu saja yang bertebaran dimana-mana."

"Cukup Aina!"

"Oke, oke!"

"Sorry, aku gak ikutan" celetuk Doni sembari ngeloyor pergi, takut kena getahnya.

"Bodo amat!" teriak keduanya kencang.

"Aku juga mau pulang, suntuk di sini" Aina bersiap-siap untuk pergi sembari membawa kembali tote bagnya, tetapi Bima menghentikan langkahnya.

"Tunggu, tinggalkan makan siangnya. Aku belum makan, perut ku keroncongan" ucap Bima, dengan wajah melas.

"Jadi, masih butuh makanan ini" Aina mengacungkan bawaannya.

"Iya, terus buat apa kamu bawa pulang lagi?"

"Buat aku berikan pada security, di depan sana" jawab Aina acuh.

"Tega sekali kamu, pada suami mu..."

"Suami ku pun, tega berbuat nista dan barusan membentak ku" putus Aina cepat.

"Sorry, aku kelepasan."

"Nih, nikmati selagi aku baik hati" Aina meletakkan kembali bawaannya.

"Thanks my wife" ucap Bima, membuka Tupperware berisi aneka masakan sang istri.

"Dari tampilannya, sepertinya enak."

Aina tak menggubris perkataan Bima, ia sibuk memainkan game di gawainya. Sementara Bima menikmati hidangan makan siangnya, dengan lahap. Tiba-tiba pintu terbuka pelan, suara high heels terdengar di ruangan yang sunyi. Ke duanya lalu mendongak, melihat siapa yang datang.

"Diandra" gumam Bima pelan.

"Bima, apa kabar mu?" tanyanya, dengan suara mendayu.

"Ba... baik" jawabnya gugup. "Kamu, gak mau peluk aku" lanjutnya lagi.

Bima hanya menggaruk kepalanya, sambil melirik Aina yang terlihat cuek.

"Wow, udang asam manis keliatan menggoda nih!" serunya lagi, mengabaikan tatapan Bima. Tangannya terulur hendak menjangkau Tupperware, yang sedang di nikmati isinya oleh Bima.

"Hei tunggu dulu, siapa kamu?" Aina langsung berdiri, ketika perempuan asing itu hendak mengambil makanan yang di bawanya.

"Aku Diandra, tunangan Bima" jawabnya singkat.

"Baru tunangan, kan!? Aku istrinya" balas Aina.

"Istri!? sejak kapan, kalian menikah?" tanya Diandra, terkejut.

"Bukan urusan mu!" dengan ketus Aina menjawab, lalu membereskan makanan yang belum di habiskan suaminya.

"Aina, aku belum selesai makan" ucap Bima, berusaha merebut Tote bag dari tangan istrinya. Tetapi Aina sigap menghindar, kemudian meninggalkan mereka berdua.

"Beli sendiri! Bukankah, Uang kamu banyak!?"

"Aina Larasati, i hate you!" teriak Bima, yang melihat istrinya melenggang pergi dengan acuhnya.

"Up to you!"

      ****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!