'Arion kalender Damian anak sulung dari Aksa Damian pengusaha pakaian ternama yang berlogo I&D fashion dikabarkan batal menikah dengan tunangannya anak dari seorang pengusaha produk kecantikan, Jessica laudya. Padahal kabar yang didengar pasangan yang terlihat serasi itu sudah memilih gedung untuk acara pernikahan mere-'
Suara berita gosip dari salah satu acara televisi terdengar sayup-sayup di telinga Valentina Maudy Aditya saat kakinya melangkah turun dari kendaraan umum. Ia tidak peduli pada isi berita yang disampaikan. Kakinya terus melangkah maju menuju pintu masuk rumah sakit.
Suara derap langkah kaki beralas sandal jepit menggema di selasar rumah sakit yang penuh sesak dengan orang-orang. Kakinya terus melangkah mengabaikan keriuhan disekitar dengan kedua mata memburam. Isak tangis tak dapat ia tahan ketika kedua kakinya sampai pada sebuah pintu yang tertulis kamar jenazah.
Bermenit-menit lamanya ia hanya berdiri di depan pintu merasa belum siap dengan apa yang akan terjadi di belakang pintu itu. Ia menelan salivanya dengan susah. Detak jantungnya bergemuruh dengan sangat cepat begitu juga isi kepala yang menyangkal semua dengan apa yang baru saja terjadi. Semoga kabar yang ia dengar itu tidak benar adanya. Setelah bermenit-menit lamanya ia berdiri, akhirnya tangan yang gemetar terulur membuka pintu yang tertutup. Kerongkongannya terasa kering ketika netra matanya menatap seorang wanita dengan perut buncit sedang menangis begitu sangat pilu di samping jenazah yang tertutup kain putih dengan seorang anak laki-laki berusia 4 tahun di sisinya. Dia adalah Kakak iparnya yang bernama Dwi Pratiwi.
Kakinya melangkah tertatih dengan air mata yang terus mengalir di kedua pipinya. Kedua tangan ia angkat untuk menutup mulut. Ia tampak terkejut dengan apa yang ia lihat saat ini. Badannya lemas. Wanita itu terus menggelengkan kepalanya menyangkal semua yang saat ini ia lihat.
"Kakak!" serunya memanggil lirih ketika dua manik matanya menangkap sosok yang ia cari.
Wanita yang di panggil kakak itu menoleh, menatap orang yang baru saja memanggilnya. "Valen," gumamnya dengan isak tangis yang begitu pilu bila di dengar.
"Itu bukan Kak celvin 'kan?" tanyanya memastikan.
Sayangnya tidak ada jawaban yang ia dengar, hanya ada isak tangis yang keluar dari mulut itu.
Kaki wanita yang bernama Valen seketika lemas, tulang persendiannya seakan tidak kuat menopang berat tubuhnya yang akhirnya membuat ia jatuh terduduk.
Pundak Valen berguncang seirma isak tangis yang begitu kencang. Kenapa orang satu-satunya yang ia miliki di dunia ini harus pergi untuk selama-lamanya juga dan menyisakan ia seorang diri. Apa tidak cukup kedua orang tuanya yang sudah di ambil terlebih dahulu? Kenapa harus kakak laki-laki nya juga? Valen merasa Tuhan tidak adil terhadapnya. Kenapa dari sekian banyak manusia di dunia ini ia lah yang merasa paling sial.
Dalam kekalutan pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya, sebuah tangan kecil mengelus lembut pipi yang sejak tadi basah. Menyadarkannya.
"Ante jangan nangis."
Valen mendongak, menatap wajah kecil yang begitu polos lantas menarik sudut-sudut bibirnya tinggi memperlihatkan sebuah senyuman dalam tangisnya.
Valen menganggu lantas merengkuh sang keponakan dalam pelukannya. Mendekap tubuh mungil itu begitu erat dalam isak tangis yang tertahan.
"Kita hadapi dunia yang kejam ini bersama-sama, ya. Ada Ante di sini kamu jangan takut, Canva."
Canva menganggu dalam dekapan velen. Seakan bocah berusia 4 tahun itu paham dengan apa yang baru saja di katakan Valen barusan. Valen tidak tau apa di usia belia itu sudah paham akan sebuah arti kehilangan.
Valen menarik napas panjang mengisi rongga dada yang seakan terasa sesak ketika bola matanya menatap wajah putus asa kakak iparnya. Valen berdiri lantas memeluk Dwi dengan sangat erat. Memberikan kekuatan yang masih ia miliki.
"Katanya … Abang mu pergi cuma sebentar. Tapi, nyatanya dia pergi untuk selamanya. Terus kakak harus apa, Valen? Kakak nggak tau harus berbuat apa dengan kondisi kakak kaya gini," tuturnya putus asa dalam tangisnya.
"Masih ada aku kakak. Kakak nggak usah mikirin apapun, jangan merasa sendiri. Aku sama kehilangannya." Kedua mata Valen memejam saat merasakan sesak yang teramat sangat. Seakan pasokan udara yang ia hirup habis tak bersisa. "Apa yang Kakak rasakan, aku juga merasakannya. Kita harus kuat. Kita pasti bisa demi, Canva. Kakak akan jadi tanggung jawab aku sekarang."
Tak ada yang bisa Dwi katakan, semua kosakata yang ada di kepalanya seakan berceceran. Dunianya seakan runtuh tak bersisa. Langit yang cerah seakan berganti dengan awan pekat dan kilat yang menyambar-nyambar dengan kabut yang menyelimuti seluruh dirinya. Dwi tidak tahu apakah ia bisa melanjutkan hari esok dengan baik.
Valen sadar, bukan ia sendiri yang merasa kehilangan dan terluka disini. Tapi ada kakak Dwi dan Canva yang juga jauh lebih terluka karena mereka kehilangan sosok suami sekaligus ayah. Apalagi bayi yang didalam kandungan kakak iparnya itu, sama sekali tidak akan pernah mengenal sosok ayah dalam hidupnya, karena dia harus mengalami kehilangan sebelum ia dilahirkan.
Valen menghempas bokongnya di kursi teras depan rumah. Manik matanya menatap langit yang gelap gulita tanpa bintang atau pun bulan yang menghiasi. Tampak suram dan kosong sama seperti dirinya. Valen menghela napas lelah. Acara 40 hari kakaknya itu baru saja selesai digelar di kediamannya. Semuanya terasa berat untuk ia jalani. Valen kira rentetan kejadian yang memilukan dalam hidupnya hanya sebuah mimpi dan akan berakhir jika ia bangun di pagi hari. Nyatanya, semua itu adalah nyata yang harus ia lalui dan hadapi. Valen sadar, bahwa semua makhluk hidup pasti akan mati. Tidak terkecuali kakaknya. Meski kematiannya datang secara tragis. Valen harus ikhlas karena itu sudah jalannya. Yang sudah pergi biarlah pergi dan yang ditinggalkan harus melanjutkan perjalanan hidupnya kembali.
Sebuah tepukkan di bahunya membuat ia menoleh dari lamunannya. "Len, gue balik dulu, ya. Lo jangan segan-segan minta bantuan sama gue kalo lo butuh sesuatu. Gue selalu ada buat lo."
Valen menari bibirnya sedikit, mencoba tersenyum walau berat. "Thanks, Bi. Gue udah ngerepotin lo banget. Makasih pijemaan nya juga. Nanti gue cicil ya, ganti nya."
Bianca berdecak. "Kan udah gue bilang nggak usah dipulangin, gue niat bantu lo. Udah ah, gue balik," katanya sambil melihat jam tangan yang melingkar pas di lengan kanannya. "Gue mau kerja juga." Tambahnya lagi. Valen mengangguk, lantas Bianca berbalik melangkahkan kaki jenjangnya berjalan menjauhi Valen.
"Bi!" Panggil Valen yang membuat langkah kaki Bianca berhenti, lalu berbalik menatap orang yang memanggilnya.
Valen terdiam untuk sesaat wajahnya ia tundukan menatap ubi keramik berwarna putih seakan ragu dengan kalimat yang ingin ia lontarkan sebentar lagi.
Alis Bianca mengerut. Wanita itu bingung sebab sahabatnya malah terdiam. Pada akhirnya Bianca bertanya, "Kenapa?"
Valen menghela napas berat, lalu menaikan pandangannya menatap orang yang sedang berdiri tak jauh darinya. "Ada kerjaan di tempat lo nggak, Bi? Kalo ada gue mau dong."
Bianca tampak kaget akan ucapan Valen. Alih-alih menjawab dari perkataan Valen, ia malah membawa kaki jenjangnya melangkah maju mendekati Valen berada, lalu duduk di samping Valen.
Bianca menarik napas. Dirinya tak menyangka akan mendengar permintaan seperti itu dari Valen. "Emang napa sama tempat kerja lo yang sekarang ini?"
"Ya, nggak pa-pa, gue mau cari uang tambahan. Lo kan tau, gue punya tanggungan sekarang. Kalo ngandelin gaji gue di Indomaret mana cukup. Lagi pula kerja di tempat lo malem ini," ucap Valen menjelaskan.
Bianca mengangguk paham. "Kayaknya nggak bisa, Len. Eem, bukan nya gue nggak mau ngajak lo kerja di tempat gue kerja, Len. Tapikan lo tau gue kerja apa? Kerja di tempat gue tuh, banyak nggak enaknya, daripada enaknya. Apalagi kerja di tempat gue buat orang yang nggak biasa denger berisik itu pasti bikin pusing kepala dan masih banyak lagi yang nggak bikin lo nyaman kerja di sana."
Valen menghela napas panjang, lantas pandangan nya menatap langit malam. "Ya, kan belum dicoba, Bi. Lo udah buat kesimpulan kaya gitu aja ke gue. Gue mohon dah, kali ini aja batu gue cariin kerjaan tambahan buat gue. Sumpah gue nggak enak selalu pinjem uang lo mulu."
Bianca memanjangkan tangan, mengusap punggung Valen dengan lembut. "Ya, udah sih, Len, jangan di pikirin selagi gue bisa batu bakalan gue bantu. Jadi, lo nggak usah nggak enak gitu ke gue."
Valen berdecak. Menolehkan kepalanya menatap Bianca sahabat sejak lama. "Ya kali, gue minta bantuan lo mulu. Kan nggak mungkin juga Bi, gue bergantung sama lo muli. Gue sih seneng-seneng aja jadi parasit di hidup lo. Tapi, rekening lo tanpa limit nggak? Lo kan tau ada kakak ipar gue sama ponakan gue yang harus gue urus juga."
Bianca menghela napas, terdiam untuk sesaat. Berpikir apa yang sahabatnya itu katakan benar adanya, lantas ia menarik sudut-sudut bibirnya tinggi. Bianca tersenyum, lalu menepuk-nepuk punggung itu dengan lembut. "Oke, kalo keputusan lo udah bulat. Nanti gue cariin kerjaan di tempat gue."
Saat mendengar itu Valen tersenyum lalu merentangkan kedua tangannya. Bianca yang paham akan hal itu pun melakukan hal yang sama, lantas mereka berdua berpelukan. Dalam pelukan itu Valen berkata, "Terima kasih, Bi. Gue jadi ngerepotin lo mulu, akhir-akhir ini."
Bianca menggelengkan kepalanya tidak setuju dengan ucapan Valen. "Gue yang seharusnya terima kasih ke lo, Len. Di saat orang-orang menjauhi gue karena pekerjaan gue dan hal gila yang gue lakuin, lo tetap disisi gue tanpa merendahkan gue atau pun menghakimi gue. Lo juga nggak pernah tuh kasih nasehat kaya yang lain." Bianca menarik napas dalam sambil memejamkan kedua matanya ketika hal-hal bodoh yang pernah ia lakukan terlintas lagi di dalam ingatannya seperti tak ubahnya kaset kusut yang rusak. Bianca memeluk Valen lebih erat lagi. Sedangkan Valen hanya tersenyum tanpa ingin membalasnya.
"Kalo gitu gue balik dulu." Bianca melepaskan pelukannya lalu menyunggingkan senyumnya tipis. "Lo mending tidur gih, istirahat. Kantong mata lo tuh, udah item banget persis kaya panda." Valen mengangguk sebagai respon.
"Hati-hati, Bi. Inget kalo ada cowok cakep minta kenalan jangan lo ladenin atau lo bawa pulang." Pesan Valen serius yang membuat Bianca terkekeh dalam langkah kakinya.
Ketika semuanya kembali terasa sunyi. Valen mendengar seseorang membuka pintu rumah, lantas berjalan ke arahnya lalu duduk disamping dirinya. Valen menoleh, sedetik setelahnya ia tersenyum. "Kakak belum tidur?"
Dwi tersenyum. "Abis dari sini kakak tidur. Kamu udah makan?"
Valen menggelengkan kepalanya. "Belum."
"Mau kakak buatin makanan?"
"Nggak usah deh kakak, aku mah gampang, nanti tinggal beli nasi goreng di depan sana aja. Kakak juga udah makan belum? Atau kakak lagi pengen makan sesuatu? Nanti aku beliin," tanya Valen dengan bersamaan pandangannya menatap orang yang ada di sebelahnya dengan bibir ia angkat kedua sudut-sudutnya.
Dwi tersenyum lantas menggelengkan kepala. "Nggak usah kakak udah makan tadi. Kakak juga nggak pengen apa-apa." Dwi menundukkan wajahnya. "Maaf ya, sekarang kakak jadi beban buat kamu. Andai kakak punya orang tua atau keluarga pasti kakak nggak akan ngerepotin kamu atau jadi beban buat kamu kaya sekarang ini." Kalimatnya berakhir dengan bersamaan air mata yang jatuh melintasi pipi. Dadanya teramat sesak. Tidak ada kalimat yang dapat ia jabarkan bagaimana dirinya saat ini. Semuanya teramat menyedihkan bagaimana orang yang ia sayang pergi untuk selama-lamanya tanpa ada salam perpisahan yang layak. Yang Dwi pahami saat ini ialah, hargai waktu. Karena pada akhirnya hadiah terbesar yang diberikan oleh waktu adalah kenangan.
Valen yang melihat itu langsung saja beranjak dari tempat duduknya. Berjalan menghampiri Dwi lalu mendekapnya. Dalam pelukan itu Valen berbicara dengan nada bergetar, "Kakak bukan beban buat aku. Jadi, aku mohon, Kakak jangan ngomong kaya gitu lagi atau menganggap diri kakak itu beban buat aku. Kita ini keluarga, Kak." Dalam setiap kalimat yang ia lontarkan dirinya mati-matian menahan tangis. Dan pada akhirnya malam ini pun masih sama seperti malam-malam yang sebelumnya. Kami masih menangisi orang yang lebih dulu berpulang dengan tangisan yang teramat pilu.
Plak
Sebuah tangan lebar baru saja menampar bokong sintal seorang wanita sambil memacu kecepatan pinggulnya. Mengeluarkan lalu memasukan kejantanan yang teracung.
"Diamlah kau terlalu berisik."
"Ah… ini terlalu enak, Honey," balas wanita itu di tengah-tengah pergulatan mereka dengan napas yang tersengal.
Laki-laki itu tak menghiraukan ucapan wanita itu lagi ketika ia sudah mencapai titik kli_maks. Napasnya memburu. Ia mempercepat tempo permainan sampai sampai-sampai wanita itu semakin mend _esah dan meracau tak jelas.
Seketika suara erangan menggema di ruangan yang bertanda pergulatan telah berakhir. Laki-laki itu langsung beranjak dari atas kasur menuju kamar mandi meninggalkan wanitanya begitu saja di sana.
"Pergilah."
Kata pria itu sambil melempar segepok uang di sisi wanita bayarannya, ketika ia kembali dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya mempertontonkan otot-otot perutnya yang memiliki abs.
Wanita bergincu merah itu tersenyum sambil mengambil uang yang diberikan oleh laki-laki itu. "Thank you. Ternyata kau jauh lebih tampan jika dilihat secara langsung Arion kalendra Damian. Enaknya aku panggil kamu apa, ya? Eemm … Ari." Setelah mengatakan kalimat itu, wanita itu terkekeh geli dengan apa yang ia ucapkan sendiri. Mengingatkan ia pada mantannya yang dulu.
Arion memutar bola matanya malas. "Pergilah dan jangan pernah sebut-sebut namaku dari mulut kotormu itu dimanapun kamu berada. Ingat itu!"
Wanita itu beranjak dari atas kasur lalu melangkahkan kakinya jenjangnya menghampiri Arion yang sedang berdiri seakan tidak marah akan ucapan yang Arion lontarkan terhadap dirinya. Wanita itu tersenyum. "Oke, jika kamu membutuhkan jasaku lagi, aku sangat siap!"
Bagaimana tidak siapa, jika yang memakai jasanya begitu royal dengan uang dengan wajah yang tampan pula. Dirinya seperti sekali mendayung dua pulau terlampaui.
Wanita itu menggigit bibir bawahnya dengan sensual. Menaruh jemari lentiknya di atas perut Arion, bermain-main di sana, berniat menggodanya kembali.
Arion berdecak lalu menepis tangan nakal yang menelusuri perutnya. "Aku tidak suka memakai jasa yang sama untuk permainan berikutnya."
Wanita itu tampak kecewa, lalu sedetik setelahnya ia tersenyum.
"Kalo begitu aku pergi sekarang. Permisi."
Wanita itu pun keluar dari kamar Arion. Arion tidak merespon, ia berjalan menuju nakas yang ada di sisi ranjangnya. Mengambil ponsel yang berbunyi.
Angel of Death
"Kamu lagi dimana, A? Apa malam ini kamu nggak pulang ke rumah lagi?" Sembur sang penelepon ketika Arion mengangkat teleponnya.
Arion memejamkan mata dengan napas yang terhela begitu saja. "Aku masih di kantor, Mom. Nanti aku pulang."
"Pulang loh, awas aja sampe nggak pulang malah tidur di apartemen lagi. Nanti biar mamah yang akan pindah kesana aja kalo kamu nggak pulang hari ini."
"Iya, iya aku pulang. Ya udah, aku tutup telponnya." Tanpa menunggu jawaban dari sangat Mama, Arion mematikan sambungannya begitu saja lalu melempar ponselnya dengan bersamaan ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur.
Arion membaringkannya tubuhnya di atas kasur king size yang super empuk mengistirahatkan tubuh yang lelah setelah seharian bekerja. Perlahan-lahan kedua matanya mulai memejam saat rasa kantuk mulai mendominasi matanya.
Tapi seketika suara dering telepon mengharuskannya kembali membuka mata yang mulai berat. Lantas tangan kekarnya meraba keberadaan ponsel yang ia taruh tak jauh darinya.
Daniel
"Ada apa? Kalo nggak penting lebih baik jangan ngomong dan tutup telponnya." ancam Arion ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel.
"Gue nggak tau ini penting apa nggak buat Lo. Jessica disini. Dia keliatan udah teler banget. Dan gue nggak bisa anter dia kaya biasanya. Disini lagi rame banget. Jadi lo bisa nggak jemput dia dan anter pulang." Pinta Daniel.
"Nggak bisa, gue sibuk."
"Oke. Sorry Bro, kalo gue ganggu. Kebetulan gue liat ibram lewat. Gue minta tolong dia aja deh kalo gitu." Telepon langsung ditutup begitu saja oleh Daniel sahabat Arion semasa kuliah dan ia membuka bisnis minuman beralkohol di salah satu klub malam.
Daniel mendengus sambil melihat ponselnya. "Gue berani taruhan lo pasti datang. Kalo tebakan gue salah, gue berani puasa 1 bulan full deh, nggak nidurin cewe." Gerutunya sambil melangkah kaki masuk kedalam klub Moonlight.
Suara hentakan musik yang dimainkan oleh disjoki langsung terdengar di indra pendengaran Daniel takala langkah kakinya sampai ke meja bartender dimana ia biasa meracik minuman yang pelanggannya pesan.
"Vodka?" tawar Daniel pada ibram yang sudah duduk di depan meja bartender.
Ibram mengangguk dengan bola mata melirik orang yang sudah teler di sebelahnya. Ibram adalah asisten pribadi Arion di kantor dan merangkap menjadi tangan kanannya.
Ibram mendengus ketika orang yang di sebelahnya meracau tak jelas. "Nih cewek gak ada malunya banget masih mau nampilin mukanya disini." sarkas Ibram yang membuat Daniel terkekeh.
Daniel menyodorkan gelas yang berisi es batu dan sebuah botol kaca di hadapan Ibram.
"Gitu-gitu bos lo masih ada rasa sama tuh cewek. Cuma gengsi dia aja tinggi. Tapi, kesalahan tuh cewek juga fatal sih, menurut gue."
Ibram diam tidak mau menanggapi.
"Kalo bos lo nggak dateng, lo yang anter. Soalnya gue lagi repot." Lanjut Daniel lagi tanpa mau mendengar persetujuan dari ibram, ia langsung meracik minuman untuk pesanan yang lain.
Ibram menarik napas lantas pandangannya teralihkan ke panggung utama ketika sorak-sorai terdengar begitu heboh dengan lampu sorot yang menyorot para wanita dengan provokatif yang sedang mempertontonkan kemolekan tubuhnya.
Enam orang se_xy dancer sedang meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti ritme musik yang dimainkan. Kostum yang mereka kenakan terlampaui minim yang bisa dibilang hanya pakaian dalam yang mereka kenakan. Tentu saja membuat para kaum adam dibuat panas dingin takala melihatnya.
Si penari yang paling depan paling banyak dapat sawerannya, dia memang bintang utamanya. Dengan kaki jenjang dengan kulit putih mulus bagai porselen, begitu juga dengan tubuh yang sempurna dan proporsional. Dua buah dada montok, pinggang yang ramping ditambah bokong yang bulat dan sintal, sudah pasti memanjakan mata kaum adam yang melihatnya.
Untuk beberapa saat ibram hanya terdiam dengan dua mata yang terus menatap si penari dari kejauhan lalu sedetik setelahnya ia mendengus lantas mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menikmati minumannya dalam diam.
Sebuah kecupan manis di pipi ibram mendarat setelah bermenit-menit lamanya dan keriuhan sudah tak lagi terdengar seperti tadi.
"Koktail satu." Pinta seorang wanita yang baru saja mencium pipi ibram dan duduk disebelahnya.
Ibram diam tidak merespon atau merasa terganggu.
Daniel mengangguk. "Niel, lo butuh pegawai baru nggak disini? Buat bantu-bantu lo. Teman gue lagi butuh banget kerjaan," ucap sang wanita.
Daniel yang mendengar itu terdiam dari kegiatannya untuk berpikir. "Sebenarnya akhir-akhir ini klub lagi rame jadi gue agak kewalahan. Tapi gue belum ada niatan untuk cari orang baru buat bantu-bantu gue selain karyawan lama gue," jawab Daniel apa adanya.
Wanita itu mengangguk, wajahnya sedikit kecewa. Daniel yang melihat itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal ketika melihat perubahan wajah orang yang ada di depannya. "Ya udah, itung-itung bantu teman lo. Dan gue juga lagi repot akhir-akhir ini jadi bawa aja dia kesini," ujar Daniel pada akhirnya yang membuat kedua sudut-sudut bibir wanita berpoles gincu merah itu tersenyum.
"Thank Niel."
Tanpa aba-aba Ibram merengkuh pinggang wanita bergincu merah itu secara agresif. Membawa tubuh proporsionalnya ke dalam pelukannya, lantas menghidu leher jenjangnya. Memberikan tanda kepemilikan di sana. Lantas ia melu_mat bibir yang terlihat menggoda di matanya. Wanita itu menyambut ciuman itu dengan lembut dan menuntut.
"Berhentilah jadi penari dancer, biar gue yang tanggung biaya hidup lo." bisik ibram dengan mencondongkan wajahnya pada telinga wanita yang ia cium. Wanita itu menoleh, bibir kedua hampir beradu kembali.
Wanita itu mendorong dada ibram, lantas terkekeh. "Abis itu gue dikurung deh, nggak boleh kemana-mana. Kaya burung yang hidup di dalam sangkar," bales wanita itu sambil meminum koktail yang sudah tersaji diatas meja.
Ibram memejamkan mata ketika gai_rahnya datang dengan hanya sebuah ciuman. "Gue nggak kaya gitu orangnya, Bianca Rosalinda."
Wanita yang dipanggil Bianca mendelikkan matanya lalu menatap sinis si pria. "Ros. Panggil gue Ros kalo disini, Ibram." tegur Bianca memperingatkan.
Ibram seakan tak cuh dengan protes itu. Dia kembali meminum minumannya.
Bianca beranjak dari posisinya saat ini. "Gue balik. Tugas negara gue udah selesai disini," katanya sambil berlalu menjauhi ibram yang hanya terdiam dengan netra mata melihat punggung wanita itu semakin menjauh hingga tak terlihat lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!