NovelToon NovelToon

Ugh ... My Aggressive Bos!

Only One Night

...“Hangatkan tubuhku. Only one night.” – Bianca Francesca...

“Aku akan menemukan bule dan mengajaknya check in!”

Bianca Francesca. Gadis yang saat itu berusia 25 tahun, ia sedang menghabiskan uang pinjaman pernikahannya ke Paris. Pernikahan yang seharusnya berlangsung hari ini, terpaksa dibatalkan karena ia melihat mantan tunangannya check in ke hotel dengan wanita lain.

Mata hazel yang bengkak karena menangis itu terlihat sendu. Padahal, ini hari ketiganya di Paris, kota yang dijuluki dengan ‘Kota Romantis’. Tak sesuai dengan ia yang saat ini sedang bersedih. Lalu, ia pun membulatkan tekad untuk mencari seorang pria untuk ia ajak berkencan dan menghabiskan malam panas selama ia di sana.

Yah … hubungan panas tanpa cinta. Tak ada salahnya ia mencoba bukan? Lagi pula, selama ini ia menjaga kesuciannya untuk orang brengsek yang tak menghargai apa arti kesetiaan darinya.

Mata hazel itu melirik sekelilingnya. Ada begitu banyak orang yang sedang lalu lalang di Taman Jardin Catherine Labouré. Kebanyakan dari mereka datang ke sana bersama pasangan. Tak seorangpun yang terlihat berjalan sendiri.

“Haaa ….” Bibir pucat Bianca terlihat kedinginan akibat suhu dingin 10°C.

Kala itu, kota yang Bianca datangi sedang melalui musim gugur. Cuaca yang benar-benar pas untuk pasangan berbagi cinta. Namun berbeda dengannya. Ia tampak putus asa karena tak menemukan 1 orang pun yang dapat ia ajak kencan.

“Come on! Aku menawarkan kesenangan tanpa menuntut bayaran! Masak 1 orangpun nggak ada!” gerutu Bianca kesal sambil meniup kedua tangannya yang kedinginan.

Bruk!

Tubuh Bianca tertabrak oleh sebuah tubuh kekar yang mengeluarkan aroma maskulin. Aroma yang sangat wangi dan memberikan kesan laki-laki. Bianca menoleh ke depan, ke arah pria yang baru saja melewatinya sembari menelefon tanpa mengatakan ‘maaf’ karena telah menabraknya.

“Hey!” seru Bianca sembari berlari dan menggapai lengan pria itu.

Pria tersebut menoleh ke belakang.

“I will call you later,” ucap Leon sambil mematikan ponselnya dan menaruh ponsel tersebut ke dalam kantong mantel coklatnya.

“Say sorry!” ucap Bianca dengan mata yang melotot dan wajah yang cemberut.

Pria berparas bule tersebut mengerutkan keningnya. Ia menatap heran ke arah Bianca.

“Sial! Sudah menabrakku, tapi malah mengacuhkanku!” gerutu Bianca kesal.

“Orang Indonesia?” tanya Leon singkat.

“Kamu … kamu bisa bahasa Indonesia?” Bianca balik bertanya. Wajah kesalnya seketika menjadi tenang saat melihat wajah tampan Leon. Wajah maskulin yang terlihat dingin tapi memancarkan aura yang memikat. Mata biru yang indah, dipadukan dengan alis tebal itu benar-benar mempesona! Terlebih lagi bibir pria itu begitu sensual! Seperti sebuah mahakarya agung dari semesta!

Apakah ia akan melewati malam panas dengan pria itu? Pikir Bianca.

Sesaat kemudian ia melirik ke kiri dan ke kanan, seolah-olah sedang mencari seseorang.

“Sendiri? Atau dengan pasangan?” celetuk Bianca tanpa basa basi sesaat menerka bahwa pria itu sedang sendiri di taman itu.

“Sendiri,” sahut Leon singkat. Ia semakin tak mengerti kenapa gadis itu bertanya demikian. Merasa tak memiliki keperluan, Leon beranjak pergi. Namun langkahnya terhenti ketika Bianca meraih lengan kekarnya.

“Tunggu!” ucap Bianca dengan mata memelasnya. Ia terlihat seperti seekor anak anjing yang kehilangan induknya!

“Aku kedinginan,” tambahnya dengan suara yang pelan.

“Then?” tanya Leon tak mengerti.

Bianca mendekat dan berdiri tepat di depan Leon. Kemudian ia mendongak ke atas, karena pria itu terlalu tinggi untuk tingginya yang hanya sebatas bahu pria itu.

“Hangatkan tubuhku. Only one night. Kita nggak usah saling kenal dan nggak usah mengatakan apa-apa. Cukup temani aku melewati malam panas—”

“Kamu pikir aku gig0lo?” sentil Leon sengit. Ia merasa harga dirinya ternodai karena gadis yang masih muda dimatanya mengajaknya untuk melakukan hal yang panas di cuaca yang dingin ini.

Leon menempik tangan Bianca. Kemudian ia melengos meninggalkan Bianca yang masih mematung di tempat. “Ck! Dia pikir aku ini—”

“Om! Tunggu!” seru Bianca yang lagi-lagi menahan tangan Leon.

Leon menghela nafasnya dengan kasar. Kemudian ia menoleh ke arah Bianca. “Stop call me ‘Om’! Emangnya tampangku Om-Om?!”

“Maybe. Tapi Om terlihat dewasa,” kekeh Bianca yang sok akrab. Padahal ia sendiri mengutuki dirinya yang begitu berani berbuat hal melewati batas di negara orang. “Temani aku, hmm? Cuma 1 malam dan aku nggak akan menuntut apa-apa. Setelah itu, aku akan pergi dan meninggalkan Om. Anggap aja setelah malam ini, kita kembali menjadi orang asing.”

“No. Aku akan mencarikan seseorang untuk—”

“But I want you,” potong Bianca memelas dengan suara putus asa. Matanya berbinar-binar dengan tatapan penuh harap.

Leon menghela nafas berat. Ia merasa bersalah jika membiarkan gadis itu. Karena, kalau bukan dia, pria-pria di luar sana pasti sudah meng-iya-kan ajakannya tanpa penolakan.

“Aku akan membantunya karena dia berasal dari negara ibuku. Only help. Tanpa melewati batas,” batin Leon.

Sesaat mengatakan hal tersebut, Leon mengangkat kedua alisnya secara bersamaan. Ia menatap tajam ke arah Bianca.

“Where we go?” tanya Leon singkat.

Sebuah senyuman terbit di wajah Bianca yang hampir putus asa. Menampilkan dua lesung pipi yang sebelumnya tersembunyi di balik pipi tembamnya.

“Wait,” ucap Bianca antusias, “ayo kita pikirkan nama samaran masing-masing. Jadi, kita akan saling memanggil dengan nama itu untuk beberapa jam ke depan.”

Leon tampak tak tertarik. Jadi ia menggunakan nama aslinya karena pikirnya mereka tak akan bertemu lagi kelak. Sedangkan Bianca, ia sibuk mengerucutkan bibirnya ke kiri dan ke kanan sembari berfikir nama apa yang akan ia gunakan agar pria itu bebas memanggilnya.

“Angel!” Bianca menyodorkan tangannya kepada Leon.

“Leon,” ucap Leon tak menyambut sodoran tangan Bianca. “Ayolah. Aku sudah kedinginan.”

Mendengarkan ucapan Leon, Bianca dibuat senyam senyum sambil membayangkan malam panas yang akan mereka lewati. Pasalnya, pria yang ada di depan matanya saat ini terlihat dingin dan tenang. Tapi … dengan tubuhnya yang kekar seperti itu, pria itu akan sebuas apa ya di ranjang?

“Ugh!” Bianca menepuk-nepuk kedua pipinya menggunakan kedua tangannya. Ia mencoba menenangkan perasaannya yang berkecamuk karena rasa campur aduk yang berkecamuk di dada.

“Leon! Tunggu!” Bianca berlari kecil ke arah Leon yang sudah berjalan lebih dulu darinya.

Tanpa segan, gadis itu meraih tangan kekar Leon yang semula ada di dalam saku mantelnya. Dengan beraninya gadis itu menggenggam tangan kekar pria itu, lalu ia kembali memasukkan kedua tangan itu ke dalam saku mantel Leon.

“Hey!” sergah Leon sambil menoleh ke samping dengan wajah tercengang dan tak bisa berkata-kata. Pasalnya gadis itu terlalu berani dan sama sekali tak takut padanya.

“Only one night,” bisik Bianca sambil tersenyum menampakkan giginya yang rapi.

“Kalau aku ini orang jahat gimana? Kamu nggak takut?” celetuk Leon penasaran.

Bianca menggelengkan kepalanya. “Nggak. Soalnya kamu nggak keliatan jahat.”

Lagi-lagi gadis itu tersenyum dengan sangat lepas. Seoalah-olah beban di dadanya menghilang. Apa matanya terlalu jelalatan saat melihat pria tampan? Sepertinya tidak, buktinya selama 2 tahun ia menjalin hubungan dengan mantan tunangannya, ia sedikitpun tak pernah melirik pria lain. Untuk saat ini … ia hanya ingin merasakan bebas dan melupakan peristiwa menyakitkan itu.

Leon menatap wajah Bianca sekilas saat gadis itu tersenyum. Di balik senyuman yang lepas itu, ia dapat menangkan kesedihan yang menguasai diri gadis itu. Buktinya, mata indah gadis itu ternodai karena bengkak akibat menangis. Lagi pula, mana ada gadis bodoh yang berani menyerahkan tubuhnya jika bukan karena sedang terpuruk?

...🫧🫧🫧...

...BERSAMBUNG…...

Forget That Guy

..."Malam ini, lupakan pria itu." – Leonidas Salvatore...

“Nggak masuk?” tanya Leon acuh tak acuh.

Pria bertubuh tinggi tersebut membuka mantel coklat yang membalut tubuhnya. Kemudian melempar mantel tersebut ke atas sofa yang tak jauh dari tempat ia berdiri.

Sementara itu, Bianca masih mematung di depan pintu kamar hotel yang tadi ia reservasi. Wajahnya yang semula antusias saat perjalanan menuju hotel, kini mendadak pucat dan penuh dengan kegelisahan.

“Bianca, Bianca. Kamu sendiri yang ngajak dia, tapi kenapa malah kamu yang ketakutan?!” sesal Bianca dalam hati. Entah kenapa langkah kakinya begitu berat untuk memasuki kamar tersebut.

“Masuklah. Tadi kamu sendiri yang bilang kalau aku ini orang baik?” celetuk Leon sambil meraih botol wine yang sudah tersedia di atas meja. Ia membuka tutup botol wine menggunakan wine screw. Kemudian ia menuangkan alkohol tersebut ke dalam dua gelas.

Usai menuangkan minuman, ia meraih kedua gelas wine tadi dan memberikannya 1 gelas kepada Bianca.

“Take it. Dan, istirahatlah. Aku akan berada di balkon dan malam ini aku tidur di sofa,” lirih Leon menenangkan.

Bianca mengambil gelas wine yang disodorkan oleh Leon. Setelah itu, pria yang tadinya menyodorkan gelas wine kepadanya beranjak pergi menuju balkon. Punggung kekar pria itu menghilang dari pandangan mata Bianca.

“Haaa ….” Bianca menghela nafasnya. Ia pun memberanikan diri masuk ke kamar tersebut dan menutup pintu. Kemudian, ia duduk ke atas sofa sembari menatap warna ungu dari alkohol yang ada di gelasnya.

Tatapan kosong yang sangat tak bersemangat. Padahal, tadi ia berniat ingin bersenang-senang dan melupakan kegundahan yang terus menjadi mimpi buruk baginya. Haruskah ia merelakan sesuatu yang selama ini ia jaga hanya untuk pria yang baru ditemuinya?

“Lagian, dia juga nggak tertarik sama aku,” gumam Bianca sembari menenggak habis alkohol yang ada di gelasnya, “sesuatu yang dipaksakan itu nggak akan pernah berhasil.”

Usai menenggak habis alkohol di gelasnya, entah kenapa ia terpancing ingin menuangkan kembali alkohol yang ada di meja kaca depannya. Ia menuangkan alkohol yang ada di atas meja tersebut ke gelasnya.

Satu gelas. Dua gelas. Tiga gelas. Setelah menenggak tiga gelas wine untuk menghilangkan rasa frustasi yang membelenggu dirinya, entah kenapa tiba-tiba saja tingkat kepercayaan diri Bianca mendadak bertambah. Ia menjadi bersemangat dan badannya terasa panas.

Gadis dengan rambut tergerai tersebut melepaskan mantel hitamnya. Ia juga melepaskan sepatu boot hitam selutut yang ia kenakan. Setelah itu, ia bangkit dari sofa dan berjalan mendekati pintu balkon. Ia membuka pintu balkon dan berjalan mendekat ke arah Leon yang saat itu sedang menikmati pemandangan menara Eiffel dari lantai 7.

Leon menoleh sesaat ke arah gadis itu. Kemudian ia membuang pandangannya dan kembali menatap indahnya menara Eiffel di malam hari sembari sesekali meneguk wine yang ada di tangannya. Ia terlihat tak peduli dengan kehadiran Bianca yang kini sedang berdiri bersebelahan dengannya.

“Leon …,” lirih Bianca pelan. Mata gadis itu menatap lurus ke depan, ke arah menara Eiffel yang menjulang tinggi dan kokoh. “Kenapa kamu mengikutiku ke hotel ini?”

“Padahal, kamu ‘kan sedikitpun nggak tertarik sama aku?” tambahnya.

Leon tak peduli. Ia kembali menyeruput wine di gelasnya.

“Ck!” Bianca berdecak sebal, lalu terkekeh pelan. Ia menertawakan dirinya yang terlihat begitu menyedihkan. “Apa aku nggak menarik? Sampai-sampai Rey meniduri gadis lain seminggu sebelum hari pernikahan?”

Mendengar celetukan Bianca, Leon tersentak. Ia yang semula tak acuh, mendadak menajamkan telinganya. Entah kenapa ia menjadi penasaran. Tangannya bergerak pelan untuk memutar alkohol yang tersisa di gelasnya.

“Aku udah menguras tabungan untuk pernikahan ini. Bahkan, aku juga mengajukan pinjaman ke kantor. Ck! Aku benar-benar bodoh,” racau Bianca yang sudah mulai mabuk.

Leon menenggak habis alkohol di gelasnya. Kemudian ia membalikkan badannya untuk masuk ke dalam kamar dan menuangkan kembali alkohol tadi. Namun langkahnya terhenti karena lagi-lagi gadis itu menahan lengan kekarnya.

“Benar ‘kan? Aku itu nggak menarik? Bahkan dengan menyodorkan tubuhku saja untuk kamu nikmati, kamu menolak,” papar Bianca tak sadar.

“Masuklah. Kamu itu mabuk,” ucap Leon dingin.

“Okay, aku akan masuk. Tapi denganmu,” ucap Bianca sambil memeluk tubuh Leon dan membenamkan wajahnya ke dada bidang Leon.

“Angel. Sadarlah.” Leon berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Bianca. Bukannya merasa tak nyaman, hanya saja ia takut tak bisa mengontrol dirinya jika gadis itu terus menerus menyerahkan diri dan memeluknya. Karena dia pria normal.

“Bukan Angel. Tapi Bianca! Namaku Bianca!” ketus Bianca kesal saat ia dipanggil Angel.

“Ck!” Leon berdecak saat gadis yang memeluknya memberi tahu nama aslinya. Padahal, di awal gadis itu ingin merahasiakan identitas diri. Lantas, kenapa sekarang ia malah mengatakannya?

“Leon,” panggil Bianca dengan suara yang sendu dan kepala yang mendongak ke atas, ke arah wajah Leon yang samar-samar terlihat karena sinar rembulan yang begitu terang malam itu.

“Hug me please. Just for one night,” lirih Bianca pelan dengan nada yang memelas dan penuh harap.

“Tenangkan aku dan bebaskan aku dari kegundahan yang seperti mimpi buruk ini,” tambahnya dengan tatapan yang sayu.

Malam itu, entah kenapa suasana mendadak romantis. Cuaca yang sangat dingin itu tak sedikitpun mengusik Leon dan Bianca. Kedua tubuh mereka terasa hangat. Entah karena dua tubuh menyatu karena pelukan, atau karena alkohol yang mereka tenggak sebelumnya.

Semilir angin bertiup dengan lembut. Hembusan angin tersebut membuat rambut dan pakaian yang mereka kenakan menari-nari dengan riang mengikuti arah mata angin.

“Hari ini adalah hari pernikahanku. Tapi—”

Belum sempat Bianca menyelesaikan ucapannya, Leon langsung menyambar bibir gadis itu dan menempelkan bibirnya tanpa melanjutkan aksinya.

Kedua mata Bianca sempat terbelalak sesaat kedua bibir luar mereka bertemu. Namun, perlahan mata bulat tersebut mulai sayu dan perlahan terpejam dengan pasrah. Seolah-olah ia dengan sengaja menyerahkan diri untuk dibawa hanyut oleh pria asing itu.

Leon menjauhkan bibirnya sebentar. Kemudian dengan suara baritonnya, ia berkata lirih, "Malam ini, lupakan pria itu."

Sesaat kemudian, ia kembali menempelkan bibirnya ke bibir Bianca. Tangan kanan yang masih memegang gelas wine tadi melingkar ke pinggul Bianca. Sedangkan tangan kirinya memegang tengkuk Bianca.

Entah setan apa yang merasuki diri Leon, pria dingin anti sosial itu ikut terhanyut dan mengikuti permainan yang ditawarkan oleh Bianca. Permainan malam panas tanpa mengharapkan imbalan apa-apa.

...🫧🫧🫧...

...BERSAMBUNG......

Bermainlah Dengan Benar

..."Kalau memang mau main, seharusnya bermainlah dengan benar." – Leonidas Salvatore...

"Ugh!" Bianca meringis tanpa sadar. Ia memegang pinggangnya yang terasa nyeri. Kemudian ia terusik dengan sebuah tangan kekar yang melingkar ke tubuhnya.

"Katanya nggak mau. Tapi malam tadi kayak binatang buas," kekeh Bianca pelan sesaat usai menatap wajah pulas Leon yang sedang terlelap.

Namun seketika itu juga kesadaran Bianca langsung menyeruak! Kesenangan dan kepuasan yang telah ia lewati bersama pria itu seketika sirna dan berubah menjadi panik!

"Sial! Aku benar-benar melakukannya?! Merelakan mahkotaku pada orang asing ini?!" rutuk Bianca dalam hati.

Bianca mengangkat tangan kekar Leon dengan perlahan. Kemudian ia meletakkan tangan Leon ke atas bantal yang sengaja ia jadikan penyanggah tangan itu agar pria itu tak bangun dari tidurnya.

Lalu Bianca menuju ke sisi ranjang dengan perlahan dan menapaki kakinya ke lantai. Ia meraih pakaiannya yang berserakan di lantai. Lalu ia berniat memakai baju tersebut. Namun tangannya terhenti saat melihat ada begitu banyak 'kissmark' yang pria itu tinggalkan di leher dan sekitar badannya.

"Leon ... nama yang indah meskipun palsu. Aku akan mengenangmu seumur hidupku," lirih Bianca sembari menyentuh lembut 'kissmark' yang ditinggalkan oleh Leon di tubuhnya.

Usai mengenakan pakaiannya dan merapikan rambut, Bianca mengeluarkan pensil alis dari tasnya. Kemudian ia mengambil kertas struk belanjaan dari tasnya. Lalu ia menuliskan beberapa kalimat di sana. Setelah itu ia meraih sepatu boot hitamnya dan berjinjit perlahan-lahan menuju pintu kamar. Kemudian ia keluar dan melarikan diri untuk segera pulang ke hotel yang sebelumnya ia tempati.

Beberapa menit setelah kepergian Bianca, Leon menarik bantal yang ia peluk ke pelukannya. Namun matanya terbelalak kaget secara spontan. Ia melihat bantal yang saat itu ia peluk. Karena penasaran, ia pun bergegas bangkit dari tidurnya dan melihat sekiling. Tak ada tanda-tanda manusia di kamar itu selain dirinya. Lalu ia melihat ke arah lantai dan sofa. Tak satupun pakaian wanita yang tersisa selain pakaian miliknya.

"Ck! Dia benar-benar menepati janjinya. Only one night," geram Leon sambil mengepalkan kedua tinjunya.

Entah kenapa, rasanya begitu kesal saat tidur berdua namun terjaga sendirian. Itu adalah hal yang paling ia benci sejak kecil. Saat akan tidur, ia ditemani ibunya. Namun saat ia membuka mata, tak ada seorangpun yang ada di sana. Rasanya begitu sunyi dan sepi.

"Haaa ...." Leon menghela nafasnya.

Malam panas yang penuh sukacita, berakhir dengan kesepian mendalam. Padahal, ia sangat menikmati pergumulan pertama dalam hidupnya itu.

Leon pun berusaha menempik kesepian di pagi hari itu. Ia menuruni ranjang sehingga selimut tebal yang semula menutupi tubuhnya ikut tertarik dan menampakkan noda merah di atas sprei putih itu.

Melihat noda merah di sana, seketika terlintas kembali potongan-potongan adegan panas antara ia dan gadis itu.

"Leon ... pe-pelan-pelan ...," lirih Bianca sembari menatap pasrah ke arah Leon yang saat itu sedang bersemangat.

"Sure, My Angel."

Leon bergegas menempik ingatan panas tersebut sambil menyeka kasar wajahnya menggunakan kedua tangan. Kemudian ia tanpa sengaja melihat sebuah kertas kecil yang memiliki tulisan tangan di atas sana.

...'Thanks untuk malam yang menyenangkan yang kita lewati. Aku akan mengenangmu sebagai kenangan indah yang tertinggal di Paris, kota romantis ini. - Angel'...

"Angel? Bukankah namanya Bianca?" gumam Leon kesal.

Tanpa sadar, ia melihat dibalik tulisan tangan yang ditinggalkan Bianca. Tertera sebuah kertas struk yang ia pegang. Ia menilik dengan cermat toko pencetak struk tersebut. Terlihat sepele dan tak penting. Tapi ... sepertinya ada petunjuk yang tersisa saat mereka akan bertemu lagi.

"Kalau memang mau main, seharusnya bermainlah dengan benar," lirih Leon sembari tersenyum tipis saat melihat toko pencetak struk yang tertera di lembaran kertas kecil yang ia pegang.

...🫧🫧🫧...

Seminggu kemudian.

"Morning, guys!"

Bianca melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri memasuki kantor tempat di mana ia mencari sesuap nasi.

"Morningggg!!!" sahut hampir seluruh karyawan yang ada di lantai tersebut sambil menatap gembira dan sedih ke arah Bianca.

"Bi, are you okay?" tanya Ivan dengan wajah yang tak bisa berbohong bahwa ia turut berduka dengan gagalnya pernikahan Bianca.

"Sure. I'm okay," sahut Bianca antusias. Kemudian ia mendekatkan bibirnya ke telinga Ivan dan berbisik, "Bahkan aku melewati malam yang panas dengan seorang bule!"

"Aww! Really?!" seru Ivan yang langsung tingkah cucok meongnya terlihat dengan jelas. Pria yang memiliki sifat anggun bak wanita itu sudah lama berteman dengan Bianca. Jadi ia mengetahui semua hal-hal baik dan buruk yang telah sahabatnya itu lalui.

"Terus, gimana? Enak nggak? Dia buas nggak di ranjang?" bisik Ivan penasaran dengan matanya yang membulat antusias.

"Bukan buas lagi, tapi ganas!" goda Bianca sambil tersenyum puas. Kemudian ia menyodorkan 4 paper bag yang berisi oleh-oleh dari Paris. "Nih, tolong kasih ke yang lain ya. Gue mau ke ruangan."

"Bi, lu udah tau 'kan, ada CEO baru?" ucap Ivan yang tiba-tiba membuat wajah girang Bianca mendadak bingung.

"Loh, ada apa? Emangnya Pak—”

"Sssttt ... ntar dulu ngobrolnya, CEO baru udah dateng dari tadi," potong Karla, wanita paruh baya yang sejak tadi berusaha memberikan kode pada Bianca dan Ivan yang sibuk mengobrol.

"Jadi, sarapan pagi di Indonesia itu gosip ya? Aku pikir nasi uduk atau semacamnya," sentil seorang pria dengan lantang dan tanpa basa basi.

Merasa kesal dengan sentilan tersebut, Bianca menggigit bibirnya sembari mengepalkan tinju. Kemudian ia membalikkan tubuhnya menoleh ke arah pria yang menyentilnya dengan sengit dari belakang.

Bukannya membalas ucapan pria itu, malah mata Bianca sempurna terbelalak kaget begitu melihat sosok pria yang ada di depannya. 'Leon'. Pria yang menemaninya melewati malam yang panas di Paris.

"Selamat pagi, Mba Bianca," sapa Pak Alfred memecah ketegangan yang merupakan sekretaris senior yang dulunya melayani CEO sebelumnya.

"Beliau adalah Pak Leonidas Salvatore, CEO baru kita. Berhubung Pak Reinhard sekarang sedang koma akibat kecelakaan, beliau yang akan menangani Salvatore Group cabang Indonesia untuk sementara waktu."

"Ah, ada surat tugas juga. Mungkin Mba sudah melihat di email, bahwa Mba Bianca yang akan menjadi sekretaris beliau selama beliau meng-handle Salvatore Group cabang Indonesia. Surat tugas fisik akan segera diberikan tim HR kepada Mba," jelas Pak Alfred panjang lebar.

Seperti akan meledak, Bianca benar-benar tak mengerti dengan situasi yang saat ini sedang ia hadapi. Sekilas terlintas dipikirannya bahwa ia terus menerus mengejar pria yang kini adalah CEO-nya untuk menjadi pasangan malam panasnya di Paris. Tak hanya itu, ia juga kembali teringat bahwa mereka melewati malam yang panas. Bahkan pria itu meninggalkan puluhan kissmark di tubuhnya yang sampai sekarang masih tersisa sama-samar di tubuhnya.

"Sial! Apa yang harus aku lakukan? Gimana kalau aku dipecat?!" teriak batin Bianca saat itu.

...🫧🫧🫧...

...BERSAMBUNG......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!