NovelToon NovelToon

Tadabbur Cinta

Takdir Yang Tak Diharapkan

“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur, haalan.”

Seketika hati Silvia remuk berkeping. Tidak pernah menyangka, takdir membawanya pada peristiwa hidup yang memilukan. Hidup se atap bersama lelaki asing yang baru 2 bulan dia kenal. Sebut saja pernikahan tanpa cinta. Ya, menyedihkan. 

Usai acara sakral itu, Silvia sengaja duduk menepi di sudut dalam kamarnya yang tidak terkunci. Bersandar di tembok putih, seraya menyeka air matanya berkali-kali.

Tiba-tiba saja suara pintu terbuka, ia dengar. Ya, benar. Seseorang sedang melangkah pelan, menyusup masuk ke kamarnya dan menutup kembali pintu itu. Siapa lagi kalau bukan lelaki asing yang kini bergelar suaminya. 

“Kenapa nangis?”tanya lelaki itu. 

“Kamu pikir menikah tanpa cinta itu menyenangkan?”Silvia menatap mata sayu lelaki muda itu dengan tatapan amarah. 

“Jangan pernah berharap, aku akan melakukan segala kewajibanku sebagai istri. Andai musibah itu gak menimpaku, aku pasti gak menikah dengan lelaki asing yang bahkan aku belum tahu sedikitpun tentang tabiatmu,”ucapnya lagi. 

Tapi dia hanya diam, seperti lelaki dungu yang hanya menambah kekesalannya. Sedikit pun ia tak membalas ocehan Silvia. 

Yang ada, dia membuka lemari baju dan mengambil satu stel pakaian, lalu kembali keluar dari kamar Silvia. Entah kemana. Terdengar suara mamah dan papah Silvia dari luar kamar yang menegur Yusuf.

"Kemana, Suf?" tanya Pak Boy pada Yusuf.

"Ganti baju, Pah. Gerah, pakai baju ini."

"Silvia mana?"

"Di kamar, Pah. Lagi marah-marah," ucap Yusuf.

Keluarga dan orang tua Silvia masih berkumpul di rumah Silvia. Mereka menikmati aneka macam sajian makanan dan minuman yang sudah dihidangkan. Berbincang santai, hingga beberapa jam lamanya.

Mamah dan papah asuh Silvia mendatangi kamar anak asuhnya, karena khawatir setelah mendengar ucapan Yusuf.

"Silvi .. Kamu kenapa?" tanya Bu Indah.

"Mamah dan papah udah puas 'kan, lihat aku nikah sama orang yang gak pernah aku cinta? Bahkan mengenal tabiatnya aja, gak."

"Ya ampun, Silvi. Mamah tahu ini berat buat kamu. Tapi mamah yakin, ini yang terbaik buat kamu, Silvi. Yusuf lelaki yang terbaik buat kamu, mamah yakin itu."

"Lagian kamu juga harus belajar nurut sama orang tua. Restu orang tua itu sama dengan restunya Tuhan, Teh. Sudah, mamah dan papah mau pulang dulu. Kamu jangan bikin susah suamimu, tidak baik. Toh percuma juga, nunggu laki-laki yang tidak jelas seperti Andrew," sahut papah asuhnya.

***

“Argkh! Kenapa nasib hidupku se sial ini, Tuhan? Apa salahku? Kenapa Kau lakukan ini padaku? Katakan?!”

Tanpa sadar, volume suara Silvia terdengar sangat keras, hingga ke teras rumah. Tidak lama dari histeris nya, lelaki asing itu kembali hadir di kamar Silvia dengan wajah panik.

“Kenapa lagi? Kenapa kamu menjerit marah se histeris itu, Albi sayang?”tanya nya. 

Seketika mata Silvia melotot dan amarahnya semakin memuncak, karena mendengar Yusuf berani memanggilnya ‘albi’ ditambah dengan kata ‘sayang’ yang membuatnya semakin ilfeel pada Yusuf. 

“Apa kamu bilang? Jangan pernah panggil aku dengan panggilan sayang. Aku gak sudi, kamu panggil kayak gitu!”teriak Silvia.

“Hari ini saya sudah resmi menjadi suamimu. Itu artinya saya punya hak penuh atas kamu. Termasuk berhak memanggilmu dengan panggilan khusus. Kamu tidak bisa semudah itu melarang saya,”ujar lelaki itu.

“Kalau kamu belum bisa mencintai saya, tidak apa-apa. Suatu hari nanti, kamu pasti bisa mencintai saya seperti saya mencintai kamu,”sambungnya.

Senyuman miring. Hanya itu yang Silvia berikan pada Yusuf sebagai jawaban dari kepercayaan diri Yusuf yang terlalu tinggi, untuk bisa memilikinya. Sedangkan hati Silvia bertolak belakang jauh dengan keyakinan Yusuf.

Gadis bungsu itu masih mencintai Andrew dan dia yakin, Andrew pun sama sepertinya. Baginya, Andrew lah lelaki yang terbaik untuknya. Selama ini dia yang selalu ada dikala Silvia susah dan senang. Andrew yang selalu ciptakan tawa bahagianya. Sedangkan Yusuf? 

***

Tepat pukul enam malam, rumah Silvia baru sepi dari tamu. Yusuf membersihkan rumah besar itu seorang diri, lalu menutup pintu dan semua jendela rumah. Sementara Silvia masih betah berada di dalam kamarnya dengan pakaian yang sudah ia ganti dan jilbab yang sudah ia lepas.

“Malam ini saya akan tidur di kamar ini bersamamu.”Lagi-lagi perkataan lelaki asing itu membuat Silvia semakin emosi. 

“Enak aja! Gak bisa! Ini kamarku, bukan kamarmu. Kalau kamu ngantuk, tidur saja di kamar tamu,”ujar Silvia bernada kesal. 

“Tapi saya suamimu, bukan tamu.”Yusuf tersenyum, seolah meledek Silvia. 

“Kamu tidak mau melayani saya, 'kan? Tenang saja, saya tidak akan meminta jatah apapun ke kamu, kalau kamu tidak menginginkannya. Saya tidur di bawah, kamu yang di kasur,”imbuhnya.

Kembali pergi dan cukup lama meninggalkan Silvia di kamar seorang diri. Gadis bungsu berdiri di depan cermin, sembari menghapus air matanya. Bengkak, kedua matanya akibat terlalu lama menangis. Tapi dia sudah sedikit tenang, karena lelaki asing itu bersepakat untuk tidak menyentuhnya sedikit pun tanpa seizinnya.

***

Hampir larut malam. Tetapi lelaki asing itu belum juga masuk ke kamarnya. Rasa penasaran Silvia mulai mengusik hati dan mengajaknya keluar dari kamar untuk mencari Yusuf.

Hampir seluruh ruangan dia datangi, tetapi tidak dia jumpai wajah tampan bermata sayu. Ya, Silvia akui dia sangat tampan, sesuai dengan namanya, ‘Yusuf,’seperti Nabi Yusuf yang ia baca dalam cerita sejarah Islam.

Terakhir, kakinya berhenti di depan mushola, tepatnya di lantai dasar rumahnya. Suara lantunan ayat-ayat suci mengalun begitu merdu dan mendamaikan hatinya. Silvia mendekati pintu mushola yang terbuka. Berdiri sedikit menyamping dan terus mendengarnya sampai selesai.

“Kenapa berdiri disitu? Masuk lah.”

Dia tercengang mendengar suara teguran suaminya dan ia putuskan untuk kembali ke kamarnya. Namun langkah kakinya terhenti di anak tangga bawah, karena teriakan Yusuf kembali dia dengar.

“Saya malam ini ada kerjaan yang harus diselesaikan lebih dulu. Jadi kalau kamu ngantuk, tidur dulu saja, pintunya jangan dikunci!”

Silvia menoleh dengan alis berkerut dan murung. Kala itu yang terlintas dibenak Silvia adalah pekerjaan Yusuf yang merepotkannya.

“Itu hanya modusmu aja, 'kan? Pasti nanti kalau aku udah tidur, kamu mau macem-macem ke aku. Ya, 'kan? Ngaku!”teriak Silvia kembali mencacinya. Suara tawa Yusuf membuatnya semakin geram dan tidak ingin melihat lelaki itu.

“Ngapain saya memodusimu? Saya ini suami Sah mu, Silvia. Tidak perlu repot-repot membohongimu seperti maling yang mau nyuri motor. Kalau saya menginginkanmu, saya tinggal minta padamu, 'kan?”

"Bisa gak, ngerjakan tugas di dalam kamar aja? Aku gak mau tidurku terganggu oleh suara pintu kamar."

Lelaki asing menghampiri Silvia dan tiba-tiba saja menggandeng tangannya, bersama-sama naik ke lantai dua menuju kamar Silvia.

“Ma–mau ngapain? Aku gak mau ngasih kamu apa-apa! Lepasin tanganku!”bentak Silvia lagi.

“Dasar cewek rewel. Tadi kamu sendiri 'kan yang meminta saya untuk lembur di dalam kamar? Sekarang saya ajak kamu ke kamar, malah ke GR-an. Maunya apa?”tanya Yusuf.

Lagi-lagi Silvia kembali murung, kala itu. Tapi setiap menatap sayu mata suaminya, entah mengapa hatinya terasa tenang, sama seperti saat dia mendengar lantunan ayat suci yang Yusuf baca beberapa menit yang lalu. Tak ingin lagi berbasa-basi.

Silvia masuk ke kamarnya lebih dulu dan Yusuf pamit mengambil laptopnya di ruang keluarga yang berada di depan kamar Silvia, sedikit jauh. Tidak lama, dia kembali dengan senyuman yang selalu ia berikan kepada Silvia, seperti tanpa rasa berdosa sedikit pun.

Tangan kanannya menyeret kursi office dan duduk disana, membelakangi Silvia. Sempat beberapa menit gadis bungsu melihat wajah tampan suaminya dari kaca cermin lemari, sebelum dia tidur.

Dua jam sudah, Yusuf menatap layar laptopnya. Hingga dia lupa, kalau ada gadis tercintanya yang tidur di belakangnya, saat ini.

Yusuf menoleh, “Masyaallah, sudah tidur.”

Dia mendekati Silvia dan naik ke ranjangnya secara perlahan, agar Silvia tidak terbangun lagi bersama suara ocehannya yang menggelegar.

Cup. Sekali kecupan di kening, Yusuf berikan untuk pertama kalinya. Meskipun Silvia tidak tahu, tetapi Yusuf merasa senang, bisa melakukannya.

“Allahumma inni as' aluka min khairi haa, wa khairi maa jabaltahaa 'alaihi wa'auudzubika min syarri haa wa syarri maa jabaltaha 'alaihi.”

Kembali ia mengecup kening istrinya, sembari mengusap lembut rambutnya, setelah membacakan sebuah doa khusus untuk Silvia.

Identitasnya sebagai santri, sekaligus putra tunggal dari seorang Kyai dan pemimpin yayasan pendidikan Islam, masih melekat dalam dirinya. Mengaji dan berdoa adalah senjata andalannya.

***

Hingga waktu subuh datang, Silvia masih tidur pulas di atas kasurnya. Lelaki asing yang Silvia benci itu dengan penuh keberanian, mendekatkan wajahnya demi membisikkan sesuatu pada Silvia.

“Albi, bangun. Waktunya salat subuh,” ucapnya. Bisikan yang terus diulang-ulang olehnya. Namun dengan enteng, Silvia menolak ajakan baik Yusuf.

“Masih ngantuk. Subuhan sendiri aja, lah! Ganggu orang tidur aja!”

Melambaikan tangan, kode mengusir Yusuf dari kamarnya. Lelaki santri itu hanya diam dan menarik nafas panjang.

“Astaghfirullah .., beri hamba kemudahan untuk mendidiknya dengan kesabaran, Ya Rabb.”

Pergi ke mushola seorang diri lagi. Semua tidak sesuai dengan ekspektasinya, dulu. Awal dirinya mengenal Silvia, dia yakin kalau Silvia adalah gadis baik- baik dan rajin ibadah. Tetapi semua praduganya salah dan justru sebaliknya.

Tak lama dari kepergiannya, Silvia membuka satu matanya, lalu meloncat turun dari ranjang tidurnya dan mengintip Yusuf dari lantai 2, tepat di depan kamarnya.

“Rupanya dia udah mulai salat,”ujarnya.

Gadis bungsu, segera membersihkan diri, lalu melaksanakan salat subuh di dalam kamarnya, seorang diri. Pintunya sengaja ia kunci, agar lelaki yang ia juluki lelaki asing itu tidak bisa memasuki kamarnya dan melihatnya sedang salat. Salat yang terburu-buru, tentunya.

“Untung ..., aja gak ketahuan dia kalau aku salat sendirian. Aku pengen tahu, seberapa besar sabarnya ngadepin aku. Cowok berlaga sok sabar. Kita lihat aja nanti, endingnya bakal gimana,”gerutunya bersuara lirih.

“Paling juga, habis ini minta cerai karena gak kuat sama kelakuanku,”gerutunya lagi.

Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar di telinganya. Silvia panik dan segera mengemas mukena dan sajadahnya. Dia berlari mendekati pintu dan menempelkan telinganya.

“Mampus kau, Silvia. Dia udah ada di depan pintu. Gimana nih? aku harus alasan apa?”batinnya.

Sakit Hati Part 1

Hampir saja Yusuf membuka pintu kamar Silvia. Tetapi tiba-tiba dia teringat, kalau dirinya belum belanja untuk masak menu makan hari ini.

“Pasti Silvia belum bangun,”tutur batinnya.

Dia kembali turun, menuju dapur lebih dulu untuk memastikan keberadaan istrinya. Benar dugaannya. Tidak ada Silvia di dapur, bahkan di luar rumah. Yusuf menggelengkan kepalanya, lalu mengambil motornya dan mengunci pintu rumah Silvia.

“Sabar, Suf ... Sabar,”gerutunya.

“Wah, si ganteng pagi-pagi sudah rapi banget, mau kemana?”sapa Mang Rojik–salah satu tetangga Silvia yang berprofesi penjual bakso.

“Mau belanja, Mang. Pasarnya disini jauh, tidak?”tanya Yusuf.

“Lumayan, Suf. Kalau pakai motor paling-paling sekitar 15 menitan sudah sampai.”

Sudah lama, Mang Rojik tinggal di kampung Silvia. Dia sangat hafal dengan tingkah gadis bungsu itu. Banyak yang bilang, Silvia adalah gadis yang manja. Namun sebagian lain bilang, dia pekerja keras dan selalu mengerjakan apapun sendiri, tanpa mau merepotkan orang.

“Pasti, Neng Silvi belum bangun ya, Suf?”tanya Mang Rojik, menjurus tanpa basa-basi. Yusuf hanya tersenyum, lalu pamit ke pasar dulu karena takut kesiangan.

Baru saja, Yusuf menghilang. Silvia tiba-tiba muncul dari dalam rumah, menuju taman untuk menyiram bunga. Dia sudah mengintip bahkan menguping pembicaraan Yusuf dan Mang Rojik dari ruang tamu yang tidak terlalu jauh jaraknya dari pintu gerbang rumahnya.

“Tumben sudah bangun, Non? ini masih belum jam sebelas loh!”teriak Mang Rojik–meledeknya.

“Iya, punggungnya udah capek, tidur mulu!”sahut Silvia.

Sudah tersirami semua bunga-bunga yang ia tanam. Kini saatnya Silvia memasak untuk sarapannya bersama suami.

“Cowok bodoh. Stok bahan makanan masih ada di kulkas, gak mau lihat dulu,”gerutunya.

Masak ala kadarnya. Telur dadar, sayur bayam dan sambal. Maklum, pengantin baru yang belum jago masak, karena sejak dulu Silvia tidak pernah belajar memasak.

Satu jam berkreasi di dapur seorang diri. Kini semua makanan telah siap disajikan di meja makan, tepat saat Yusuf pulang. Betapa terkejutnya lelaki muda itu, melihat istrinya sudah cantik dan menyiapkan menu sarapan.

“Masyaallah, kamu sudah bangun, Sayang? Sejak kapan? Kok sudah matang semua, masakannya?”

“Sstt! Ini masih pagi ya, Suf. Tolong gak usah cerewet dan banyak nanya, karena itu bikin aku emosi dan mood ku berantakan. Oke!”ujar Silvi dengan suara cetar membahana.

Sang suami hanya bisa diam seraya tersenyum, melihat istri cantiknya pagi-pagi sudah mengomel. Seluruh belanjaan, ia taruh di meja kosong, dekat dengan wastafel.

Saat hendak duduk di kursi makan, ia melihat Silvia sedang kesulitan mengambil toples yang terletak diatas rak yang cukup tinggi.

Tanpa banyak bicara lagi, Yusuf mengambilkan toples tersebut dan memberikannya ke Silvia.

Cup. Tiba-tiba ciuman jahil Yusuf mendarat ke pipi mulus Silvia dan membuat gadis itu menjadi marah-marah dengannya.

“Ih, apaan, sih! Main nyosor aja!”teriak Silvia.

Yusuf terkekeh sembari mengambil piring dan sendok, lalu duduk di samping Silvia.

“Minta tolong ambilkan dong, Sayang,”ujar Yusuf dengan mata sedikit melirik Silvia.

“Ogah. Kamu 'kan punya tangan sendiri, Suf. Ambil gitu aja minta dilayani,”gerutu Silvia.

“Melayani suami, meskipun itu hal sepele, pahalanya besar loh, Sayang. Apa kamu tidak pengen dapat pahala?”

“Gak!”bentak Silvia.

“Istri durhaka. Tidak takut dosa?”

Yusuf terus menggodanya, sampai akhirnya Silvia mau mengambilkan nasi dan lauk untuk Yusuf. Sesekali Yusuf melirik Silvia, sembari tersenyum tipis. Sedikit merasa bahagia, hari ini.

“Kenapa, masaknya hanya ini?”tanya Yusuf.

“Gak bisa masak. Kalau mau makan enak dan banyak menu, cari istri baru aja. Gampang, 'kan? Aku juga seneng kalau kamu ceraikan aku.”

Hati Yusuf mendadak sakit, saat mendengar ucapan istrinya. Tetapi dia tidak ingin terpancing emosi, sehingga dia memilih diam dan hanya mengambil nafas berat.

“Saya tidak pernah menginginkan perceraian. Apapun yang terjadi, saya tidak akan pernah menceraikanmu. Semua problematika ada jalan keluarnya, tanpa harus mempermainkan agama dan janji saya saat ijab qabul,”ucapnya. Yusuf lantas pergi begitu saja dari ruang makan dan keluar membawa motornya.

Gadis bungsu hanya terdiam, merenung. Ada rasa bersalah dalam hatinya, karena sudah bicara yang tidak-tidak ke Yusuf.

“Kamu ini gimana sih, Sil. Punya mulut sadis banget kalau ngomong. Gak cinta ya gak apa-apa, tapi gak gitu juga caranya, Silvia! bodoh, kamu,”ujarnya lirih.

Renata dan Andrew Kembali Bertemu

3 jam Silvia menunggu Yusuf–suaminya. Tetapi tidak ada tanda-tanda kepulangannya. Keluar masuk rumah dengan penuh kecemasan, hingga dia merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri.

“Tuh orang kemana, sih. Udah jam sepuluh, belum balik juga. Bikin orang khawatir aja,”gerutunya dengan suara lirih.

Jari-jari tangannya mulai dingin dan wajah ayunya memerah. Kali ini Silvia merasa sangat bersalah, sudah menyakiti hati Yusuf. Bahkan dia tidak tahu lagi harus melakukan apa lagi, agar Yusuf mau pulang dan memaafkannya.

Berulang kali dirinya menelpon lelaki asing itu, tetapi pesannya tidak dibaca sama sekali.

“Duh! Ini anak kemana, sih! dijapri gak mau baca, giliran di telepon juga gak diang—”

Silvia berhenti dari omelannya dan mendengarkan suara musik seperti dering ponsel dengan penuh kefokusan.

“Jangan-jangan ...”Dia berlari ke atas dan masuk ke kamar tidurnya.

“Hwaa!! Pantesan, susah dihubungi. Hp nya di rumah to! Aduh ... Baru juga serumah 2 hari, udah ada aja kelakuannya!”teriak Silvia.

Duduk seorang diri di depan pintu kamar, sampai Yusuf pulang. Apa yang dia nanti-nantikan kini telah tiba. Terdengar suara Yusuf mengunci pintu rumah, lalu naik ke lantai 2.

Bukannya segera menyusul Yusuf dan meminta maaf, tetapi gadis bungsu itu justru memainkan dramanya. Dia memasang wajah marah dan cuek, seakan tidak peduli dengan Yusuf.

“Ngapain pulang? udah selesai marahnya?”tanya Silvia.

“Siapa juga, yang marah. Sok tahu,”sahut Yusuf sembari mendekati pintu kamar.

“Kamu sendiri ngapain duduk di situ?”tanya Yusuf.

“Suka-suka aku, lah. Rumah juga rumahku sendiri, bukan rumahmu. Terserah aku dong, mau ngapain di rumah ini.”Silvia kembali menancapkan bendera perang dengan Yusuf.

Namun tabiat Yusuf yang sangat santai, sama sekali tidak bisa membuat Silvia kembali mengomel. Padahal, Silvia sangat berharap percekcokan antara dirinya dan Yusuf kembali terjadi, lalu lelaki itu menceraikannya.

“Nih, es krim. Mendingan makan itu saja, daripada ngomel-ngomel tidak jelas.”

Satu tepak es krim coklat vanila, Yusuf sodorkan ke Silvia dengan wajah datar.

“Emang kamu pikir aku anak TK, bisa kamu sogok pakai es krim? Mau kamu ngasih gedung sekalipun, aku gak bakalan bisa cinta sama kamu. Percuma, Suf! Cintaku cuma buat Andrew.”Penegasan itu kembali Silvia tegaskan ke Yusuf untuk yang ke 2 kalinya.

Tanpa bicara apa-apa, Yusuf menaruh es krim yang ia beli di meja kecil–samping kursi yang Silvia tempati. Tetapi dengan amarahnya, hampir saja Silvia membuang es itu dengan melemparnya ke lantai bawah.

“Astaghfirullah! Istighfar, Sayang!”teriak Yusuf sembari merebut es krim dari tangan Silvia.

Mata berembun dan wajah memerah. Emosi gadis keras kepala itu tidak lagi bisa ditahan. Ada amarah dan kesedihan di dalam hatinya yang tidak lagi bisa dia sembunyikan.

Air matanya tumpah dan mengalir sangat deras. Menangis tersedu dan sejadi-jadinya, sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan mungilnya.

Sebagai lelaki yang sangat mencintai Silvia, Yusuf tidak tega melihatnya terus menerus bersedih dan marah-marah. Dia berjongkok di bawah Silvia, sembari mengelus lembut rambutnya.

“Saya tahu, ini tidak mudah untukmu dan tidak nyaman untukmu. Tapi tidak seperti ini caranya, Sayang. Es krim itu makanan halal, jangan dibuang-buang. Dia itu rezeki, bukan musuhmu. Jangan bertingkah kekanak-kanakan,”ujar Yusuf.

Dia berusaha membuka kedua tangan Silvia yang menutupi wajahnya, namun ia kesulitan. Pada akhirnya, sebuah pelukan menjadi cara andalannya untuk menenangkan hati Silvia.

“Kamu boleh marah sama saya, bahkan kalau kamu mau pukul saya pun silakan. Tapi kalau kamu berharap dan minta saya menceraikan kamu, itu tidak akan pernah bisa terjadi. Tidak ada perceraian di dalam kamus hidup saya,”ujar Yusuf kembali.

“Tapi aku gak cinta sama kamu, Suf. Aku gak mau melayanimu. Mau sampai kapan kita terus kayak gini? Apa kamu gak mau punya keturunan, ha?!”Silvia mendorong Yusuf agar melepas pelukannya. Menatap lekat wajah suami yang tidak pernah ia harapkan di dalam hidupnya.

Hanya senyuman tipis yang Yusuf berikan ke Silvia, saat ia menatapnya. Yusuf benar-benar tidak ingin emosi dengan Silvia, karena dia sangat mencintainya. Keyakinan hati yang sangat besar bahwa dia bisa memenangkan hati Silvia adalah penyebabnya tidak ingin mundur.

“Lelaki normal mana yang tidak mau memiliki anak dari cewek yang dia cintai? Saya rasa tidak ada. Tapi, saya tidak ingin memaksamu memberikannya untuk saya sekarang,”ujarnya.

“Lagi pula, saya yakin Allah pasti membantu saya untuk meluluhkan hatimu dan membuatmu mencintai saya. Entah cepat atau lambat, semua itu pasti terjadi,”ujar Yusuf lagi.

***

Di waktu yang sama. Di sebuah gedung bertingkat cukup tinggi, di kota besar. Seorang pemuda mengenakan jas hitam, kemeja putih berdasi, sedang duduk di sebuah ruangan ber Ac. Mengerjakan suatu pekerjaan menggunakan laptop yang ia letakkan di meja kerjanya.

“Selamat siang, Pak. Mohon maaf, ada tamu yang sedang menunggu di ruang tunggu,”ujar seorang sekretaris.

“Ah, iya. Setelah ini saya kesana. Terima kasih, ya.”Pemuda itu segera berdiri, lalu menyeruput sedikit kopi hangatnya yang masih ada.

Kaki panjangnya melangkah, menemui tamu yang dimaksud oleh sekretarisnya.

“Siapa ya, kira-kira. Tumben, ada tamu datang kesini jam segini,”tutur batinnya.

Namun tiba-tiba langkahnya terhenti, ketika ia melihat ada seorang perempuan cantik dengan rambut tergerai sedang duduk seorang diri di sana.

“Renita!”teriaknya.

Matanya berbinar dan senyumnya melebar, tanda bahwa dia sangat bahagia melihat kehadiran perempuan itu. Renita Kumalasari, namanya. Sudah lama mereka berpisah, karena Renita harus melanjutkan study nya ke Singapore, sesuai perintah orang tuanya.

Sementara Andrew, harus melanjutkan karirnya, menggantikan posisi papahnya yang sudah berumur. Ya, pemuda itu adalah Andrew–kekasih Silvia yang sudah tujuh bulan lamanya, menghilang tanpa kabar.

“Kamu apa kabar? sudah lama, pulang ke Indo?”tanya Andrew.

“Baik, kok. Seperti yang kamu lihat. Aku baru sanpai kemarin sore, Ndrew,”ucapnya.

“Ya ampun .., makin cantik kamu, Ren.”

Memandang dari atas sampai ujung kaki dengan penuh rasa takjub. Senyumnya tetap mengembang, hingga tanpa ia sadari, rekan kerja disekelilingnya sedang melihatnya dengan tatapan aneh.

“Oh iya, ayo masuk ke ruanganku saja, Ren. Disini banyak cowok hidung belangnya,”canda Andrew seraya tertawa bersama beberapa rekan kerja laki-lakinya yang sama-sama terpesona melihat kecantikan Renita.

***

“Duduk lah, Ren. Mau aku pesankan minuman apa?”tanya Andrew, seraya menata posisi duduknya di depan Renata.

“Emm .. Apa aja, deh. Yang penting dingin,”ucap Renata.

“Eh iya, Ndrew. Kamu kangen nggak sih sama aku? Maksud aku, selama aku nggak disini, kamu kangen nggak sih?”sambung Renata.

Kala itu alis Andrew tiba-tiba mengerut. Dia merasa aneh dengan pertanyaan yang Renata ajukan kepadanya.

“Kenapa memangnya?”Andrew pun mencoba melempar pertanyaan untuk Renata.

“Ya ... nggak apa-apa, cuma pengen tahu aja, sih. Karena kamu 'kan lagi pacaran sama Silvia. Sementara, kita dulu pernah ada hubungan khusus juga, 'kan? Kali aja kamu pernah ngrasa kangen sama aku”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!